Minggu, 27 Desember 2009

dOA rASUL yG DItolak ALLOH..

amir bin Said dari bapaknya meriwayatkan:

Satu hari Rasulullah SAW datang dari daerah berbukit. Setelah Rasulullah SAW sampai di masjid Bani Mu'awiyah, beliau masuk ke dalam masjid dan menunaikan shalat dua rakaat. Kami pun turut shalat bersama dengan Rasulullah SAW.

Kemudian Rasulullah SAW berdoa dengan agak panjang kepada Allah SWT.

Setelah selesai berdoa, Rasulullah SAW pun berpaling kepada kami lalu berkata:

"Aku telah memohon kepada Allah SWT tiga hal. Dari tiga hal itu, hanya dua hal yang Dia kabulkan sementar yang satu lagi ditolak. Tiga hal itu adalah:
1. Aku memohon kepada Allah SWT agar Dia tidak membinasakan umatku dengan musim susah (paceklik) yang berkepanjangan. Permohonanku ini dikabulkan oleh Allah SWT.
2. Aku memohon kepada Allah SWT agar umatku ini jangan dibinasakan dengan bencana tenggelam (seperti banjir besar yang telah melanda umat Nabi Nuh a.s.). Permohonanku yang ini pun dikabulkan oleh-Nya.
3. Aku memohon kepada Allah SWT agar umatku terbebas dari pertikaian sesama mereka (peperangan, percekcokan antara sesama umat Islam). Tetapi permohonanku yang ini tidak dikabulkan (telah ditolak) oleh-Nya."

Riwayat hadis di atas hingga kini masih menjadi bahan perdebatan di antara ahli hadis tentang kesahihannya. Beberapa ulama menyatakan hadis ini sahih, namun tak sedikit yang meragukan keasliannya dari Nabi SAW.

Namun, jika hal ini benar-benar pernah terjadi pada masa Rasulullah, tentunya kita butuh pemahaman yang pas tentang makna hadis ini.

Ditolaknya permohonan Nabi tidak harus dimaknai bahwa umat ini memang telah ditakdirkan harus berperang. Karena kalau seprti itu, maka hanya akan menjadi pembenar terhadap perilaku brutal sebagian umat yang sebenaranya hanya pemenuhan ego dan fanatisme golongan dan pemahaman belaka.

Kasus dalam hadis ini mungkin hampir mirip dengan kisah diijinkannya iblis untuk menggoda anak keturunan Adam a.s. hingga akhir masa. Hal ini tentu tidak bisa dimaknai bahwa anak keturunan Adam memang sudah ditakdirkan tergoda oleh tipu daya Iblis.

Kedua kasus di atas merupakan ujian bagi umat untuk belajar bagaimana mengendalikan ego dan nafsu-nafsu rendah. linabluwakum ayyukum ahsanu amala: Untuk menguji siapa di antara manusia yang melakukan kebajikan.
Wa Allah A'lam bi Ash-Shawab.taq/berbagai sumber

Menilai Manusia

Menilai orang lain sesungguhnya merupakan perilaku yang telah menyatu pada fitrah setiap manusia dari sejak kecil hingga dewasa, bahkan sepanjang umurnya. Secara sadar ataupun tidak, saat berinteraksi dengan orang lain, seketika itu juga benak kita akan menilai lawan interaksi kita tersebut. Sejumlah faktor yang bisa memunculkan penilaian atas diri orang lain antara lain bisa berupa: penampilan, cara berpakaian, merk busana, paras wajah, gambar tato dikulit, gelang tangan, gaya bicara, bahasa tubuh, tingkat tanggung jawab, tingkat komitmen, track record, latar belakang pendidikan, kedudukan, salary/harta, tingkat perhatian/empati, sikap ataupun cara penyelesaian terhadap suatu persoalan, dan banyak ragam lagi faktor yang bisa dinilai. Jadi, aktivitas menilai orang lain bukanlah hal yang asing ataupun aneh dan tabu. Di rumah, di lingkungan tempat tinggal, di sekolah, di kampus, di perusahaan, di instansi pemerintah baik yang departemen maupun yang non departemen, bahkan hampir didalam semua institusi formal, yang namanya mekanisme fit and proper test lazim dilakukan pada sejumlah orang kandidat dalam rangka promosi jabatan ataupun sekedar rekrutment karyawan atau anggota baru. Semua itu tak lain adalah bentuk aktifitas menilai manusia yang dilakukan oleh manusia yang lain.
Menilai manusia adalah keniscayaan. Itulah bentuk ikhtiar manusiawi yang bisa dilakukan. Namun begitu, ada sebagian orang yang berfikir dan berpandangan bahwa mestinya yang berhak menilai seseorang hanyalah Tuhan sang pencipta manusia tersebut. Tepat sekali!! Namun kita sama sekali tidak tahu apa-apa tentang penilaian Tuhan terhadap seseorang. Tak ada wahyu lagi yang turun setelah Nabi Muhammad SAW. Sikap seperti ini cenderung membuat orang untuk pasif dan enggan menerima penilaian atas diri seseorang meskipun penilaian itu dilakukan oleh banyak orang dan berdasarkan data temuan yang akurat. Padahal pada saat yang sama dirinya sama sekali tidak tahu apa-apa nilai dari Tuhan terhadap orang tersebut. Selanjutnya, tanpa disadari dan akibat ketidaktahuannya, akan mendorongnya untuk memunculkan pembenaran demi pembenaran atas pilihan tindakan yang sebenarnya sarat akan muatan subyektifitas dirinya dalam menilai dan didominasi oleh perasaan (bukan lagi oleh logika/nalar yang obyektif). Ujung-ujungnya, itulah cara yang dia pilih dalam rangka memberi nilai. Suatu cara menilai yang menutup semua pandangan dan masukan dari luar dirinya. Dalam situasi seperti itu, apakah bisa dijamin nyawa keadilan dan rasionalitas masih tertinggal disana?
Dalam lingkup dakwah, khususnya dalam suatu halaqoh (yang tentu saja di dalamnya terdiri dari manusia-manusia), seorang da’i murabbi memerlukan proses taqwim dakwah (penilaian atas diri seseorang sebagai evaluasi dakwah) secara berkesinambungan terhadap para mutarobbi-nya ataupun terhadap orang lain yang punya kaitan masalah dengan mutarobbi-nya, dalam rangka komitmen Islam secara umum. Proses taqwim ini memiliki dua bentuk yaitu jarh (menilai sisi kelemahan) atau ta’dil (menilai sisi kebaikan), atau bahkan terkadang mencakup keduanya, yang disampaikan secara garis besar atau secara rinci. Proses taqwim bertujuan untuk mengetahui ahliyyah (kapabilitas) seseorang. Proses ini juga bertujuan untuk mengevaluasi pencapaian muwashafat pada diri mutarobbi ataupun orang lain yang punya kaitan masalah dengan mutarobbi, misalnya dalam hal memilih pasangan yang sesuai untuk mutarobbi; atau misalnya ketika akan memilih seseorang untuk didudukkan pada posisi jabatan tertentu.
Untuk mengetahui tingkat ahliyyah (kapabilitas) seseorang, diperlukan adanya proses taqwim yang serius, jujur, obyektif, jauh dari ifrath (terlalu memudahkan) dan tafrith (terlalu menyulitkan), dan memiliki tingkat akurasi yang baik. Karenanya, peran pihak yang lebih dekat dan tahu kepada seseorang yang sedang dievaluasi dan diseleksi harus lebih diutamakan dibandingkan dengan pihak yang jauh darinya. Penilaian itu hendaknya dilakukan secara jama’i melalui mekanisme syura, agar tingkat akurasi penilaiannya lebih terjamin.
Landasan Syar’i
1. Al Qur’an Al Karim.
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S An-Nisa’: 58)
2. Sunnah Rasulullah saw.
“Jika suatu urusan diberikan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat (kehancuran)-nya”. (H.R Bukhari)
3. Manhaj Salafush-Shalih.
a. Umar bin Al Khaththab setiap kali mau mengangkat seseorang untuk menempati jabatan tertentu, terlebih dahulu bertanya kepada Hudzaifah pemegang rahasia Rasulullah saw, jika Hudzaifah merasa keberatan dengan orang itu, maka Umar tidak jadi mengangkatnya, jika Hudzaifah tidak keberatan, maka Umar mengangkatnya.
b. Umar bin Al Khaththab berkata kepada seorang lelaki yang mengaku mengenal seorang lelaki lainnya: “Pernahkah engkau pergi bersamanya? Pernahkah engkau bermuamalah uang dengannya? Orang itu menjawab: “Belum”. Kata Umar, “Berarti engkau belum mengenalnya”.
c. Begawan Ilmu Hadits Imam Al Bukhari melakukan perjalanan sangat jauh beberapa bulan untuk menemui seseorang yang diduga kuat mengetahui suatu hadits. Di suatu sisi lembah menjelang sampai di rumah orang yang dituju, dilihatnya orang yang dicarinya itu memanggil keledainya yang mogok dengan isyarat genggaman tangan seakan hendak memberi makan, namun ternyata dusta. Maka Imam Al Bukhari meninggalkan orang yang telah lama dicarinya itu dengan alasan : jika dengan keledai saja ia berani berbohong, maka tidak mustahil ia berbohong atas nama Nabi Muhammad saw kepada manusia.
Sebenarnya, penggunaan taqwim dalam bingkai kolektif di masa sekarang, meskipun bersandar pada sebagian acuan jarh wa ta’dil dalam ilmu hadits, hanya saja analogi mutlak tidak selamanya benar karena ada perbedaan substansial. Yaitu, bahwa jarh atau ta’dil dalam ilmu hadits bertujuan untuk mengetahui perawi secara khusus; dari segi tsiqah-nya dan kemampuannya dalam meriwayatkan. Sedangkan dalam taqwim dakwah, ia bertujuan untuk mengetahui seseorang dari segi kemampuan dan kelemahannya secara garis besar. Secara prinsip, jarh dan ta’dil (di dalam ilmu hadits) pada akhirnya didedikasikan untuk menetapkan kebenaran nash Nabawi, dan implikasinya berupa derajat kelemahan atau keshahihan riwayat.. Sementara itu, taqwim da’awi ditujukan kepada sejumlah tujuan universal dan final bagi aktivitas dakwah.
Seni Menilai dan Memilih
Manusia dan seluk-beluk keadaannya dapat diketahui melalui berbagai cara. Diantaranya:
1. Kesaksian yang bersifat massal: yakni yang beredar di tengah masyarakat (misalkan : keterlibatan di lingkungan masyarakat tempat tinggalnya, menanyakan kepada tetangganya tentang eksistensi dan kontribusi diri dan keluarganya, bagaimana kualitas mu’amalah maaliyah dengan para orang lain).
2. Pengujian: diberi tanggung jawab, diberi amanah lalu dilihat daya tahan, istiqomah dan kesabarannya serta kekuatannya (misalkan : kemampuan rekruitmen kader da’wah baru, kualitas dalam membina halaqah tarbiyah, keterlibatan dalam pengelolaan institusi da’wah dan partai, dsb), yang bukan sekedar simulasi (misalkan, hanya mengandalkan : membuat makalah dan mempresentasikannya, menjadi panitia daurah, dsb) juga bukan ‘mengkarbit’ kelulusan.
3. Proses taqwim melalui jarh (menilai sisi kelemahan) dan ta’dil (menilai sisi kebaikan) secara proporsional. Menilai bukan saja dari pandangan seorang kerabat, bahkan hingga cibiran musuh.
Tidak diragukan lagi bahwa proses taqwim merupakan salah satu seni mengetahui atau menilai manusia dan keadaan mereka secara umum (yakni bisa dianggap sebagai bagian dari ilmu antropologi). Proses taqwim ini merupakan ilmu Islam autentik yang bermula sebagai salah satu ilmu hadits Nabawi, dan menjadi ciri khas peradaban Islam. Karenanya acuan yang digunakan dalam menilai seseorang adalah sistem nilai yang berasal dari Allah Swt dan Rasul-Nya. Artinya penilaian baik maupun buruknya seseorang harus mengacu pada apa yang Allah tetapkan tentang muwashofat (karakter/ciri-ciri) orang baik dan apa yang Allah tetapkan tentang orang buruk. Bahkan dengan adanya proses taqwim, penjejangan didalam sekumpulan orang baik bisa dibedakan. Misalnya nilai kebaikan terendah adalah menyingkirkan duri di jalan, sedangkan kebaikan tertinggi adalah mengatakan al-haq dihadapan penguasa dzalim. Diantara keduanya tentu banyak sekali amal-amal yang bernilai baik.
Jadi, aktivitas menilai orang (taqwim) bukanlah hal yang tabu dalam Islam. Malah sebaliknya, Islam telah memberikan arahan bagaimana caranya men-taqwim yang dibenarkan oleh syariat. Upaya taqwim merupakan ikhtiar manusia untuk memilih manusia yang terbaik diantara sekumpulan manusia yang baik. Ia tidak ditujukan untuk men-judge seseorang dalam konotasi negatif. Ia tidak ditujukan untuk merendahkan dan meremehkan orang lain. Bukan pula untuk menghinakan dan ‘menjegal’ mutarabbi dari haknya untuk di-upgrade. Ingat ! Tarbiyah adalah proses rancang bangun, bukan membiarkan sang mutarabbi dalam keterpurukan muwashafat yang bonsai !

Upaya taqwim lebih ditujukan untuk ‘lebih menegakkan’ dari sesuatu yang belum sepenuhnya kokoh untuk menjadi semakin tegak. Upaya taqwim lebih ditujukan untuk memilih orang yang tepat untuk menerima suatu amanah berdasarkan tingkat kapasitasnya, kemampuannya, daya juangnya, daya tahannya, nalarnya, istiqomahnya dan kesabarannya. Upaya taqwim lebih ditujukan untuk memilih orang yang cocok memikul beban dakwah yang semakin berat. Upaya taqwim lebih ditujukan untuk menunjuk orang yang tepat menerima tongkat estafeta aktivitas dakwah.

Akhirnya, mari kita merancang bangun manusia dan mari kita men-taqwim. Inilah panduan teknis saat akan mempromosikan dan memilih seseorang, seperti ketika saat memilih calon pemimpin dan bahkan termasuk saat memilih calon pasangan hidup.

Semoga hidayah Allah menuntun kita untuk mampu memilih yang terbaik diantara hamba-hamba-Nya. Amiin.

Wallaahu a‘lamu bish_shawaab.

TOTALITAS / TAJARRUD

Apa yang dimaksud dengan tajarrud atau totalitas dakwah? KH.Hilmy Aminudin memaknai tajarrud sebagai ketulusan pengabdian kader dakwah bukanlah meninggalkan semuanya untuk dakwah tetapi membawa semuanya demi kejayaan dakwah.
Apakah yang selama ini sudah kita berikan untuk dakwah dan dien ini? Apakah kita hanya disibukkan dengan masalah yang berkutat diri sendiri saja? Apakah dakwah dan tarbiyah hanya sebagai sampingan saja, kalau sempat saja? Apakah kita hanya memberikan waktu sisa, energi sisa dan harta sisa untuk dakwah? Datang syuro atau ngaji dengan waktu sisa dan energi sisa hingga badan sudah lelah, pikiran sudah jenuh dan mata pun sudah mengantuk? Itu masih mending mungkin daripada yang tidak hadir karena sudah capek dan mengantuk?
Sayyid Qutb mengatakan, “Orang yang hidup bagi dirinya sendiri akan hidup sebagai orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil. Tapi orang yang hidup bagi orang lain akan hidup sebagai orang besar dan mati sebagai orang besar.” Nach, kita termasuk yang mana nich? Berapa waktu yang kita gunakan untuk memikirkan dan mengelola dakwah,tarbiyah dan kemajuan umat? Berapa pengorbanan yang kita berikan untuk memerdekakan diri kita dari belenggu egoisme pribadi? Barangkali kita yang lebih disibukkan dengan masalah diri kita sendiri, repot dengan keluarga, bingung mengelola organisasi, stress mengelola waktu, nervous memanaj potensi sehingga kita kehilangan banyak meomentum di sekitar kita. Padahal di sekitar kita banyak yang membutuhkan pembinaan dan seruan dakwah. Banyak anakremaja yang terjerumusnarkoba, banyak kemaksiatan merajalela, dsb. Bahkan banyak yang sebenarnya merindukan untuk dibina tapi malah kita “binasakan” karena tidak serius mengelolanya.
Coba kita bandingkan diri kita dengan orang-orang Barat. Dalam bukunya Syakb Arselan, pemikir Muslim dari Syiria, ia menjelaskan kenapa kaum Muslimin mundur sedangkan orang-orang Barat maju adalah karena orang-orang Barat lebih banyak berkurban daripada kaum Muslimin. Mereka memberi lebih demi agama mereka ketimbang apa yang diberikan kaum Muslimin bagi agamanya.
Tuh kan…,selama ini barangkali kita tertinggal karena belum seserius mereka.
Mari kita gunakan semua yang kita miliki demi kejayaan dakwah. Anak, istri, harta benda, pekerjaa,waktu dan tenaga yang kita miliki bukan penghalang dakwah tapi justru bisa menjadi pendukung dakwah. Sehingga antara keluarga dan dakwah, antara profesi dan dakwah tidak lagi saling dipertentangkan tetapi saling mendukung. Bukan meninggalkan semuanya untuk dakwah tetapi membawa semuanya demi kejayaan dakwah.
Wallahu a’lambishowab
Referensi: buku Quantum Tarbiyah

5 Bekal Istri Aktivis Dakwah

Seorang aktivis dakwah membutuhkan istri yang ‘tidak biasa’. Kenapa? Karena mereka tidak hanya memerlukan istri yang pandai merawat tubuh, pandai memasak, pandai mengurus rumah, pandai mengelola keuangan, trampil dalam hal-hal seputar urusan kerumah-tanggaan dan piawai di tempat tidur. Maaf, tanpa bermaksud mengecilkan, berbagai kepandaian dan ketrampilan itu adalah bekalan ‘standar’ yang memang harus dimiliki oleh seorang istri, tanpa memandang apakah suaminya seorang aktivis atau bukan. Atau dengan kalimat lain, seorang perempuan dikatakan siap untuk menikah dan menjadi seorang istri jika dia memiliki berbagai bekalan yang standar itu. Lalu bagaimana jika sudah jadi istri, tapi tidak punya bekalan itu? Ya, jangan hanya diam, belajar dong. Istilah populernya learning by doing.
Kembali kepada pokok bahasan kita. Menjadi istri aktivis berarti bersedia untuk mempelajari dan memiliki bekalan ‘di atas standar’. Seperti apa? Berikut ini adalah bekalan yang diperlukan oleh istri aktivis atau yang ingin menikah dengan aktivis dakwah:
1. Bekalan Yang Bersifat Pemahaman (fikrah).
Hal penting yang harus dipahami oleh istri seorang aktivis dakwah, bahwa suaminya tak sama dengan ‘model’ suami pada umumnya. Seorang aktivis dakwah adalah orang yang mempersembahkan waktunya, gerak amalnya, getar hatinya, dan seluruh hidupnya demi tegaknya dakwah Islam dalam rangka meraih ridha Allah. Mendampingi seorang aktivis adalah mendampingi seorang prajurit Allah. Tak ada yang dicintai seorang aktivis dakwah melebihi cintanya kepada Allah, Rasul, dan berjihad di jalan-Nya. Jadi, siapkan dan ikhlaskan diri kita untuk menjadi cinta ‘kedua’ bagi suami kita, karena cinta pertamanya adalah untuk dakwah dan jihad!
2. Bekalan Yang Bersifat Ruhiyah.
Berusahalah untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Jadikan hanya Dia tempat bergantung semua harapan. Miliki keyakinan bahwa ada Kehendak, Qadha, dan Qadar Allah yang berlaku dan pasti terjadi, sehingga tak perlu takut atau khawatir melepas suami pergi berdakwah ke manapun. Miliki keyakinan bahwa Dialah Sang Pemilik dan Pemberi Rezeki, yang berkuasa melapangkan dan menyempitkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki. Bekalan ini akan sangat membantu kita untuk bersikap ikhlas dan qana’ah ketika harus menjalani hidup bersahaja tanpa limpahan materi. Dan tetap sadar diri, tak menjadi takabur dan lalai ketika Dia melapangkan rezeki-Nya untuk kita.
3. Bekalan Yang bersifat Ma’nawiyah (mentalitas).
Inilah di antara bekalan berupa sikap mental yang diperlukan untuk menjadi istri seorang aktivis: kuat, tegar, gigih, kokoh, sabar, tidak cengeng, tidak manja (kecuali dalam batasan tertentu) dan mandiri. Teman saya mengistilahkan semua sikap mental ini dengan ungkapan yang singkat: tahan banting!
4. Bekalan Yang bersifat Aqliyah (intelektualitas).
Ternyata, seorang aktivis tidak hanya butuh pendengar setia. Ia butuh istri yang ‘nyambung’ untuk diajak ngobrol, tukar pikiran, musyawarah, atau diskusi tentang kesibukan dan minatnya. Karena itu, banyaklah membaca, rajin mendatangi majelis-majelis ilmu supaya tidak ‘tulalit’!
5. Bekalan Yang Bersifat Jasadiyah (fisik).
Minimal sehat, bugar, dan tidak sakit-sakitan. Jika fisik kita sehat, kita bisa melakukan banyak hal, termasuk mengurusi suami yang sibuk berdakwah. Karena itu, penting bagi kita untuk menjaga kesehatan, membiasakan pola hidup sehat, rajin olah raga dan lain-lain. Selain itu, jangan lupakan masalah merawat wajah dan tubuh. Ingatlah, salah satu ciri istri shalihat adalah ‘menyenangkan ketika dipandang’.
Akhirnya, ada bekalan yang lain yang tak kalah penting. Itulah sikap mudah memaafkan dan melapangkan. Wahai Ibu, bukankah tak ada seorangpun manusia yang ma’shum di dunia ini selain Baginda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?
Bagaimanapun saleh dan taqwanya seorang suami yang aktivis, tak akan mengubah dia menjadi malaikat yang tak punya kesalahan. Seorang suami aktivis dakwah tetaplah manusia biasa yang bisa dan mungkin untuk melakukan kesalahan. Seorang suami aktivis dakwah terkadang menjadi ‘bayi besar’ yang serba kolokan, serba meminta pelayanan paling ‘mewah’ untuk dirinya (seringkali menyaingi manja si bayi kecil). Namun jangan lupa ! Jemari halus kita yang memanjakan sang ‘bayi besar’, kelembutan rayu tutur kata mengiringi lapangnya keshabaran hati kita itulah yang mampu menjadikannya sebagai petarung ulung di medan da’wah ! (Amiin yaa Mujibad_Du’aa.....) Prestasi dan prestise seorang suami aktivis da’wah sedemikian, bukankah itu akibat dari kemahiran kita sebagai koki di rumah ? Amat sulit ditemukan peradaban besar yang dihasilkan seorang lelaki yang tidak berasal dari kinerja unggul seorang isteri yang berkualitas !
Wahai Ibu, keringat dan keletihan seperti inilah yang suata saat kelak menjadi sesuatu yang layak kita bangga-banggakan di hadapan mahkamah Allah Al ‘Aziz Al Jabbar Al Mutakabbir.....
Wallaahu a’lamu bish_shawaab.