Jumat, 27 Januari 2012

kutitipkan dia ya Alloh

suara adzan Isya’ yang terdengar pelan dari salon
komputer sang Ayah membuat Rafi, anak yang masih
berusia dua tahun itu mengingatkan Ayahnya. “Ayah,
waktunya sholat ya...?” dengan polosnya Ia bertanya pada
sang Ayah yang sedang sibuk mengerjakan tugas kuliah di
depan komputer. “Iya sayang, Ayah mau berwudlu dulu
ya...” jawab sang Ayah dengan tersenyum. “Ayah mau ke
mana?” Tanya sang Anak lagi. “Ayah mau sholat ke masjid”
jawab sang Ayah. “Rafi ikut” jawab sang Anak dengan
mengiba. “Sayang, di luar sangat dingin, mas Rafi di rumah
saja ya sama Bunda,” jawab sang Ayah. “Rafi ikut Ayah...”
jawab sang Anak dengan mata yang berkaca-kaca...
Sang Ayah memandangi anaknya dengan iba, dia berusaha
meyakinkan anaknya yang masih kecil tersebut. Tetapi
semakin diyakinkan, si Anak semakin menangis menjadi,
karena memang hanya satu keinginan sang Anak, yaitu
mengikuti Ayahnya sholat ke masjid. Dilihatnya sang Istri
sudah tertidur sangat nyenyak, mungkin karena pekerjaan
hari ini yang melelahkan dan kebetulan memang sedang
berhalangan untuk sholat.
“Baiklah, mas Rafi ikut Ayah ke masjid, tetapi nanti mas
Rafi ikut sholat dan tidak mengganggu yang lain ya...”
pesan Ayah tersebut kepada anaknya. Rafi kecil
mengangguk, rupanya janji itu telah mengganti kesedihan
yang menyelimutinya, dengan kebahagiaan yang tak
terkira dihatinya nan tulus itu. Kemudian Sang Ayah
menuntun anaknya yang masih kecil untuk berwudlu dan
menggunakan baju Muslim yang kemudian mereka berdua
berangkat ke masjid bersama-sama.
Hawa dingin kota Wollongong menyelimuti perjalanan
mereka. “Mas Rafi kedinginan?” Tanya sang Ayah. Si Rafi
kecil mengangguk. “Sini Ayah gendong biar hangat” kata
sang ayah. Kemudian mereka berdua berjalan memasuki
Omar Mosque yang telah ramai dengan jamaah.
Selagi menanti iqomat berkumandang, Si Rafi kecil tetap
berada di dekapan sang Ayah. Namun tak berapa lama ia
tertidur, mungkin karena lelah ataupun memang sudah
malam bagi dia untuk masih terjaga. Karena sholat Isya di
kota Wollongong NSW saat itu tepat berada di pukul 20:40
PM.
Sang Ayah mulai bingung. Ia gelisah, jangan-jangan si Rafi
kecil nanti terbangun dan menangis di saat sholat sedang
berlangsung, “Apakah saya harus terus mengikuti sholat
berjamaah, atau pulang...” tanyanya dalam hati. Masih
ditengah kebimbangan itu, tiba-tiba Syeh Abdurrahman
memasuki masjid dan berkata, “Brother, why do you bring
your child here!? He is still too young. Its very cold outside.”
Katanya menasehati. Memang Syekh Abdurrahman sangat
ketat sekali terhadap anak kecil yang bisa mengganggu
kekhusyukan sholat. Berkali-kali beliau mengingatkan
untuk tidak membawa anak kecil terutama anak yang
masih sulit untuk diberi pengertian. Sudah banyak jamaah
yang diingatkan karena kejadian anaknya yang
mengganggu sholat.
“Syekh, should I go home now?” Tanya sang Ayah. Syeh
Abdurrahman memandangi si Anak yang sudah terlelap
tidur dipangkuan Ayahnya dengan iba. “If you think that he
will not crying when we are praying, you can pray at the
corner and take it beside you,” jawab Syeh Abdurrahman
yang tak berapa lama Iqomatpun dikumandangkan oleh
Muadzin.
Sang Ayah masih menggendong Rafi kecil di ruangan
masjid bagian belakang. Ia ragu untuk meneruskan sholat
berjamaah, karena malam semakin dingin, Ia takut
anaknya nanti terbangun dan menangis, sehingga akan
mengganggu jamaah yang lain. “Yaa Alloh..., kalau engkau
menghendaki aku pulang dan tidak mengikuti sholat
berjamaah, aku akan pulang sekarang, tetapi, kalau
engkau masih mengizinkan aku untuk mengikuti sholat
berjamaah bersama yang lain, hamba mohon, kuatkan
anak kami sehingga saya bisa mengikuti sholat berjamaah
dengan tenang...” doanya dalam hati.
“Brother, oh your son is sleeping..., its very cold outside...”
kata Ahmad Fathi Salah yang baru tiba dan tiba-tiba
menghampirinya, Ahmad adalah seorang sahabat,
International student yang berasal dari Libya. “I think Its
better for me to pray in my house,” jawab sang Ayah. “No...!,
you can pray together with us,” jawab Ahmad. Ahmad
kemudian melepas jaket kulitnya dan memberikan pada
Ayah Rafi. “Use it to warmer your son.” Jawabnya. “Brother
come here, you can pray here,” katanya kemudian sembari
memberikan sebuah tempat untuk sholat dan tempat
berbaring si Anak.
Mulanya ragu-ragu, tetapi Sang Ayah kemudian
membaringkan si Anak tepat di sebelahnya dan kemudian
menyelimuti dengan jaket kulit milik sahabatnya itu. “Yaa
Alloh kutitipkan dia padaMu, jangan bangunkan dia
sebelum sholat isya’ ini berakhir, Aamiin...” doa sang Ayah
sebelum memulai sholat.
Sholatpun kemudian dimulai dan sang anak tetap terlelap
dalam tidurnya. Dan... Alhamdulillah.., hingga rokaat ke
empat berakhir, tak ada suara dari si Rafi kecil, dan begitu
salam tanda sholat berakhir, Anak kecil itu bergerak-gerak,
ia membuka matanya dan.. “Ayah, di mana kita...?”
tanyanya dengan polos. “Kita di masjid sayang, tuh sholat
barusan selesai,” kata Ayahnya dengan tersenyum.
Terucap syukur dalam hati sang ayah, “Terima kasih Yaa
Alloh... telah Engkau bukakan pintu-pintu RahmatMu
kepada hamba, Engkau beri hamba kesempatan untuk
menikmati indahnya sholat berjamaah di rumahMu.
Alhamdulillah...”
“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah
orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari
kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan
zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada
Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan
termasuk golongan orang-orang yang mendapat
petunjuk.” (QS. At-Taubah [9] : 18)
Subhanalloh...

kutitipkan dia ya Alloh

suara adzan Isya’ yang terdengar pelan dari salon
komputer sang Ayah membuat Rafi, anak yang masih
berusia dua tahun itu mengingatkan Ayahnya. “Ayah,
waktunya sholat ya...?” dengan polosnya Ia bertanya pada
sang Ayah yang sedang sibuk mengerjakan tugas kuliah di
depan komputer. “Iya sayang, Ayah mau berwudlu dulu
ya...” jawab sang Ayah dengan tersenyum. “Ayah mau ke
mana?” Tanya sang Anak lagi. “Ayah mau sholat ke masjid”
jawab sang Ayah. “Rafi ikut” jawab sang Anak dengan
mengiba. “Sayang, di luar sangat dingin, mas Rafi di rumah
saja ya sama Bunda,” jawab sang Ayah. “Rafi ikut Ayah...”
jawab sang Anak dengan mata yang berkaca-kaca...
Sang Ayah memandangi anaknya dengan iba, dia berusaha
meyakinkan anaknya yang masih kecil tersebut. Tetapi
semakin diyakinkan, si Anak semakin menangis menjadi,
karena memang hanya satu keinginan sang Anak, yaitu
mengikuti Ayahnya sholat ke masjid. Dilihatnya sang Istri
sudah tertidur sangat nyenyak, mungkin karena pekerjaan
hari ini yang melelahkan dan kebetulan memang sedang
berhalangan untuk sholat.
“Baiklah, mas Rafi ikut Ayah ke masjid, tetapi nanti mas
Rafi ikut sholat dan tidak mengganggu yang lain ya...”
pesan Ayah tersebut kepada anaknya. Rafi kecil
mengangguk, rupanya janji itu telah mengganti kesedihan
yang menyelimutinya, dengan kebahagiaan yang tak
terkira dihatinya nan tulus itu. Kemudian Sang Ayah
menuntun anaknya yang masih kecil untuk berwudlu dan
menggunakan baju Muslim yang kemudian mereka berdua
berangkat ke masjid bersama-sama.
Hawa dingin kota Wollongong menyelimuti perjalanan
mereka. “Mas Rafi kedinginan?” Tanya sang Ayah. Si Rafi
kecil mengangguk. “Sini Ayah gendong biar hangat” kata
sang ayah. Kemudian mereka berdua berjalan memasuki
Omar Mosque yang telah ramai dengan jamaah.
Selagi menanti iqomat berkumandang, Si Rafi kecil tetap
berada di dekapan sang Ayah. Namun tak berapa lama ia
tertidur, mungkin karena lelah ataupun memang sudah
malam bagi dia untuk masih terjaga. Karena sholat Isya di
kota Wollongong NSW saat itu tepat berada di pukul 20:40
PM.
Sang Ayah mulai bingung. Ia gelisah, jangan-jangan si Rafi
kecil nanti terbangun dan menangis di saat sholat sedang
berlangsung, “Apakah saya harus terus mengikuti sholat
berjamaah, atau pulang...” tanyanya dalam hati. Masih
ditengah kebimbangan itu, tiba-tiba Syeh Abdurrahman
memasuki masjid dan berkata, “Brother, why do you bring
your child here!? He is still too young. Its very cold outside.”
Katanya menasehati. Memang Syekh Abdurrahman sangat
ketat sekali terhadap anak kecil yang bisa mengganggu
kekhusyukan sholat. Berkali-kali beliau mengingatkan
untuk tidak membawa anak kecil terutama anak yang
masih sulit untuk diberi pengertian. Sudah banyak jamaah
yang diingatkan karena kejadian anaknya yang
mengganggu sholat.
“Syekh, should I go home now?” Tanya sang Ayah. Syeh
Abdurrahman memandangi si Anak yang sudah terlelap
tidur dipangkuan Ayahnya dengan iba. “If you think that he
will not crying when we are praying, you can pray at the
corner and take it beside you,” jawab Syeh Abdurrahman
yang tak berapa lama Iqomatpun dikumandangkan oleh
Muadzin.
Sang Ayah masih menggendong Rafi kecil di ruangan
masjid bagian belakang. Ia ragu untuk meneruskan sholat
berjamaah, karena malam semakin dingin, Ia takut
anaknya nanti terbangun dan menangis, sehingga akan
mengganggu jamaah yang lain. “Yaa Alloh..., kalau engkau
menghendaki aku pulang dan tidak mengikuti sholat
berjamaah, aku akan pulang sekarang, tetapi, kalau
engkau masih mengizinkan aku untuk mengikuti sholat
berjamaah bersama yang lain, hamba mohon, kuatkan
anak kami sehingga saya bisa mengikuti sholat berjamaah
dengan tenang...” doanya dalam hati.
“Brother, oh your son is sleeping..., its very cold outside...”
kata Ahmad Fathi Salah yang baru tiba dan tiba-tiba
menghampirinya, Ahmad adalah seorang sahabat,
International student yang berasal dari Libya. “I think Its
better for me to pray in my house,” jawab sang Ayah. “No...!,
you can pray together with us,” jawab Ahmad. Ahmad
kemudian melepas jaket kulitnya dan memberikan pada
Ayah Rafi. “Use it to warmer your son.” Jawabnya. “Brother
come here, you can pray here,” katanya kemudian sembari
memberikan sebuah tempat untuk sholat dan tempat
berbaring si Anak.
Mulanya ragu-ragu, tetapi Sang Ayah kemudian
membaringkan si Anak tepat di sebelahnya dan kemudian
menyelimuti dengan jaket kulit milik sahabatnya itu. “Yaa
Alloh kutitipkan dia padaMu, jangan bangunkan dia
sebelum sholat isya’ ini berakhir, Aamiin...” doa sang Ayah
sebelum memulai sholat.
Sholatpun kemudian dimulai dan sang anak tetap terlelap
dalam tidurnya. Dan... Alhamdulillah.., hingga rokaat ke
empat berakhir, tak ada suara dari si Rafi kecil, dan begitu
salam tanda sholat berakhir, Anak kecil itu bergerak-gerak,
ia membuka matanya dan.. “Ayah, di mana kita...?”
tanyanya dengan polos. “Kita di masjid sayang, tuh sholat
barusan selesai,” kata Ayahnya dengan tersenyum.
Terucap syukur dalam hati sang ayah, “Terima kasih Yaa
Alloh... telah Engkau bukakan pintu-pintu RahmatMu
kepada hamba, Engkau beri hamba kesempatan untuk
menikmati indahnya sholat berjamaah di rumahMu.
Alhamdulillah...”
“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah
orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari
kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan
zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada
Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan
termasuk golongan orang-orang yang mendapat
petunjuk.” (QS. At-Taubah [9] : 18)
Subhanalloh...

sayyyid quth, said:

Hujjah atau argumentasi bisa saja
membungkam lawan, tetapi belum tentu dapat
memuaskan, bisa menjadikan orang terdiam, tetapi belum tentu menjadikan hati dan pikiran mau mematuhinya.
Perbedaan bisa menjadi tak berguna. Dialog dan diskusi hanya membuang tenaga dengan sia-sia. Demikianlah bila tdk terdapat ketakwaan dalam hati. Apabila ada
ketakwaan, maka akal akan bersinar, kebenaran menjadi jelas s, jalan-jalan menjadi terang benderang, kalbu menjadi tnteram, hati menjadi tenang, dan kaki pun jadi mantap n teguh di jalan

sahabat rasul: Saad bin abi waqas

Aku adalah orang ketiga yang
memeluk Islam, dan orang pertama yang
melepaskan anak panah di jalan Allah,”
Demikianlah Sa’ad bin Abi Waqqash mengenalkan dirinya.
Ia adalah orang ketiga yang memeluk Islam, dan orang
pertama yang melepaskan anak panah dari busurnya di
jalan Allah.
Sa’ad bin Abi Waqqash bin Wuhaib bin Abdi Manaf hidup di
tengah-tengah Bani Zahrah yang merupakan paman
Rasulullah SAW. Wuhaib adalah kakek Sa’ad dan paman
Aminah binti Wahab, ibunda Rasulullah.
Sa’ad dikenal orang karena ia adalah paman Rasulullah
SAW. Dan beliau sangat bangga dengan keberanian dan
kekuatan, serta ketulusan iman Sa'ad. Nabi bersabda, “Ini
adalah pamanku, perlihatkan kepadaku paman kalian!”
Keislamannya termasuk cepat, karena ia mengenal baik
pribadi Rasulullah SAW. Mengenal kejujuran dan sifat
amanah beliau. Ia sudah sering bertemu Rasulullah
sebelum beliau diutus menjadi nabi. Rasulullah juga
mengenal Sa’ad dengan baik. Hobinya berperang dan
orangnya pemberani. Sa’ad sangat jago memanah, dan
selalu berlatih sendiri.
Kisah keislamannya sangatlah cepat, dan ia pun menjadi
orang ketiga dalam deretan orang-orang yang pertama
masuk Islam, Assabiqunal Awwalun.
Sa’ad adalah seorang pemuda yang sangat patuh dan taat
kepada ibunya. Sedemikian dalam sayangnya Sa’ad pada
ibunya, sehingga seolah-olah cintanya hanya untuk sang
ibu yang telah memeliharanya sejak kecil hingga dewasa,
dengan penuh kelembutan dan berbagai pengorbanan.
Ibu Sa’ad bernama Hamnah binti Sufyan bin Abu Umayyah
adalah seorang wanita hartawan keturunan bangsawan
Quraisy, yang memiliki wajah cantik dan anggun.
Disamping itu, Hamnah juga seorang wanita yang
terkenal cerdik dan memiliki pandangan yang jauh.
Hamnah sangat setia kepada agama nenek moyangnya;
penyembah berhala.
Pada suatu hari, Abu Bakar Ash-Shiddiq mendatangi Sa'ad
di tempat kerjanya dengan membawa berita dari langit
tentang diutusnya Muhammad SAW, sebagai Rasul Allah.
Ketika Sa’ad menanyakan, siapakah orang-orang yang
telah beriman kepada Muhammad SAW. Abu Bakar
mengatakan dirinya sendiri, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid
bin Haritsah.
Seruan ini mengetuk kalbu Sa’ad untuk menemui
Rasulullah SAW, untuk mengucapkan dua kalimat
syahadat. Ia pun memeluk agama Allah pada saat usianya
baru menginjak 17 tahun. Sa’ad termasuk dalam deretan
lelaki pertama yang memeluk Islam selain Ali bin Abi
Thalib, Abu Bakar As Siddiq dan Zaid bin Haritsah.
Setelah memeluk Islam, keadaannya tidak jauh berbeda
dengan kisah keislaman para sahabat lainnya. Ibunya
sangat marah dengan keislaman Sa'ad. “Wahai Sa’ad,
apakah engkau rela meninggalkan agamamu dan agama
bapakmu, untuk mengikuti agama baru itu? Demi Allah,
aku tidak akan makan dan minum sebelum engkau
meninggalkan agama barumu itu,” ancam sang ibu.
Sa’ad menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan
meninggalkan agamaku!”
Sang ibu tetap nekat, karena ia mengetahui persis bahwa
Sa’ad sangat menyayanginya. Hamnah mengira hati Sa'ad
akan luluh jika melihatnya dalam keadaan lemah dan
sakit. Ia tetap mengancam akan terus melakukan mogok
makan.
Namun, Sa’ad lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya. “Wahai
Ibunda, demi Allah, seandainya engkau memiliki 70 nyawa
dan keluar satu per satu, aku tidak akan pernah mau
meninggalkan agamaku selamanya!” tegas Sa'ad.
Akhirnya, sang ibu yakin bahwa anaknya tidak mungkin
kembali seperti sedia kala. Dia hanya dirundung
kesedihan dan kebencian.
Allah SWT mengekalkan peristiwa yang dialami Sa’ad
dalam ayat Al-Qur’an, “Dan jika keduanya memaksamu
untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak
ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu
mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik.” (QS. Luqman: 15).
Pada suatu hari, ketika Rasulullah SAW, sedang duduk
bersama para sahabat, tiba-tiba beliau menatap ke langit
seolah mendengar bisikan malaikat. Kemudian Rasulullah
kembali menatap mereka dengan bersabda, "Sekarang
akan ada di hadapan kalian seorang laki-laki penduduk
surga."
Mendengar ucapan Rasulullah SAW, para sahabat
menengok ke kanan dan ke kiri pada setiap arah, untuk
melihat siapakah gerangan lelaki berbahagia yang
menjadi penduduk surga. Tidak lama berselang datanglah
laki-laki yang ditunggu-tunggu itu, dialah Sa’ad bin Abi
Waqqash.
Disamping terkenal sebagai anak yang berbakti kepada
orang tua, Sa’ad bin Abi Waqqash juga terkenal karena
keberaniannya dalam peperangan membela agama Allah.
Ada dua hal penting yang dikenal orang tentang
kepahlawanannya. Pertama, Sa’ad adalah orang yang
pertama melepaskan anak panah dalam membela agama
Allah dan juga orang yang mula-mula terkena anak
panah. Ia hampir selalu menyertai Nabi Saw dalam setiap
pertempuran.
Kedua, Sa’ad adalah satu-satunya orang yang dijamin oleh
Rasulullah SAW dengan jaminan kedua orang tua beliau.
Dalam Perang Uhud, Rasulullah SAW bersabda, "Panahlah,
wahai Sa’ad! Ayah dan ibuku menjadi jaminan bagimu."
Sa’ad bin Abi Waqqash juga dikenal sebagai seorang
sahabat yang doanya senantiasa dikabulkan Allah. Qais
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda,
“Ya Allah, kabulkanlah Sa’ad jika dia berdoa.”
Sejarah mencatat, hari-hari terakhir Sa’ad bin Abi
Waqqash adalah ketika ia memasuki usia 80 tahun. Dalam
keadaan sakit, Sa’ad berpesan kepada para sahabatnya
agar ia dikafani dengan jubah yang digunakannya dalam
Perang Badar—perang kemenangan pertama untuk kaum
Muslimin.
Pahlawan perkasa ini menghembuskan nafas yang
terakhir pada tahun 55 H dengan meninggalkan kenangan
indah dan nama yang harum. Ia dimakamkan di
pemakaman Baqi’, makamnya para syuhada.
Red:republika online

Rabi'ah bin ka'ab, sahabat yg rendah hati

di usia muda, jiwanya sudah
cemerlang dengan cahaya iman. Hatinya
dipenuhi pengertian dan pemahaman tentang
Islam.
Pertama kali berjumpa dengan Rasulullah saw, ia
langsung jatuh cinta dan menyerahkan seluruh jiwa
raganya; menjadi pendamping beliau. Kemana pun beliau
pergi, Rabi'ah bin Ka'ab selalu berada di sampingnya.
Rabi'ah melayani segala keperluan Rasulullah sepanjang
hari hingga habis waktu Isya' yang terakhir. Bahkan lebih
dari itu, ketika Rasulullah hendak berangkat tidur, tak
jarang Rabi'ah mendekam berjaga di depan pintu rumah
beliau. Di tengah malam, ketika Nabi SAW bangun untuk
melaksanakan shalat, seringkali ia mendengar beliau
membaca Al-Fatihah dan ayat-ayat Alquran.
Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah saw, jika seorang
berbuat baik kepadanya, maka beliau pasti membalasnya
dengan lebih baik lagi. Begitulah, beliau membalas
kebaikan Rabi'ah dengan kebaikan pula.
Pada suatu hari beliau memanggilnya seraya berkata,
"Wahai Rabi'ah bin Ka'ab, katakanlah permintaanmu,
nanti kupenuhi!"
Setelah diam sejenak, Rabi'ah menjawab, "Ya Rasulullah,
berilah saya sedikit waktu untuk memikirkan apa
sebaiknya yang akan kuminta. Setelah itu, akan
kuberitahukan kepada Anda."
"Baiklah kalau begitu," jawab Rasulullah.
Rabi'ah bin Ka'ab adalah seorang pemuda miskin, tidak
memiliki keluarga, harta dan tempat tinggal. Ia menetap
di Shuffatul Masjid (emper masjid), bersama-sama
dengan kawan senasibnya, yaitu orang-orang fakir dari
kaum Muslimin. Masyarakat menyebut mereka "dhuyuful
Islam" (tamu-tamu) Islam. Bila ada yang memberi hadiah
kepada Rasulullah, maka biasanya beliau memberikannya
kepada mereka. Rasulullah hanya mengambil sedikit saja.
Dalam hati, Rabi'ah bin Ka'ab ingin meminta kekayaan
dunia agar terbebas dari kefakiran. Ia ingin punya harta,
istri, dan anak seperti para sahabat yang lain. Namun,
hati kecilnya berkata, "Celaka engkau, wahai Rabi'ah bin
Ka'ab! Kekayaan dunia akan lenyap. Mengapa engkau tidak
meminta kepada Rasulullah agar mendoakan kepada
Allah kebajikan akhirat untukmu?"
Hatinya mantap dan merasa lega dengan permintaan
seperti itu. Kemudian ia datang kepada Rasulullah dan
berkata, "Wahai Rasulullah, saya mohon agar engkau
mendoakan kepada Allah agar menjadi temanmu di
surga."
Agak lama juga Rasulullah SAW terdiam. Sesudah itu
barulah beliau berkata, "Apakah tidak ada lagi
permintaamu yang lain?"
"Tidak, ya Rasulullah. Tidak ada lagi permintaan yang
melebihi permintaanku," jawab Rabi'ah bin Ka'ab mantap.
"Kalau begitu, bantulah aku dengan dirimu sendiri.
Perbanyaklah sujud," kata Rasulullah.
Sejak itu, Rabi'ah bersungguh-sungguh beribadah, agar
mendapatkan keuntungan menemani Rasulullah di surga,
sebagaimana keuntungannya melayani beliau di dunia.
Tidak berapa lama kemudian Rasulullah SAW
memanggilnya. "Apakah engkau tidak hendak menikah,
hai Rabi'ah?" tanya beliau.
"Saya tak ingin ada sesuatu yang menggangguku dalam
berkhidmat kepada Anda, ya Rasulullah. Di samping itu,
saya tidak mempunyai apa-apa untuk mahar kawin, dan
untuk kelangsungan hidup berumah tangga," jawab
Rabi'ah.
Rasulullah diam sejenak. Tidak lama kemudian beliau
memanggil Rabi'ah kembali seraya bertanya, "Apakah
engkau tidak hendak menikah, ya Rabi'ah?"
Dan Rabi'ah kembali menjawab seperti seperti semula.
Hingga ketiga kalinya Rasulullah memanggil dan bertanya
serupa. Rabi'ah menjawab, "Tentu, ya Rasulullah. Tetapi,
siapakah yang mau kawin denganku, keadaanku seperti
yang Anda maklumi."
"Temuilah keluarga Fulan. Katakan kepada mereka bahwa
Rasulullah menyuruhmu kalian supaya menikahkan anak
perempuan kalian, si Fulanah dengan engkau."
Dengan malu-malu Rabi'ah datang ke rumah mereka dan
menyampaikan maksud kedatangannya. Tuan rumah
menjawab, "Selamat datang ya Rasulullah, dan dan
selamat datang utusan Rasulullah. Demi Allah, utusan
Rasulullah tidak boleh pulang, kecuali setelah hajatnya
terpenuhi!"
Rabi'ah bin Ka'ab kemudian menikah dengan anak gadis
tersebut. Dan Rasulullah juga menghadiahkan sebidang
kebun kepadanya, berbatasan dengan kebun Abu Bakar
Ash-Shiddiq. Suatu ketika, Rabi'ah sempat berselisih
dengan Abu Bakar mengenai sebatang pohon kurma.
Rabi'ah mengaku pohon kurma itu miliknya, sementara
Abu Bakar juga mengakui hal yang sama.
Ketika perselisihan memanas, Abu Bakar sempat
mengucapkan kata-kata yang tak pantas didengar. Setelah
sadar atas ketelanjurannya mengucapkan kata-kata
tersebut, Abu Bakar menyesal dan berkata kepada Rabi'ah,
"Hai Rabi'ah, ucapkan pula kata-kata seperti yang
kulontarkan kepadamu, sebagai hukuman (qishash)
bagiku!"
Rabi'ah menjawab, "Tidak! Aku tidak akan
mengucapkannya!"
"Akan kuadukan kamu kepada Rasulullah, kalau engkau
tidak mau mengucapkannya!" kata Abu Bakar, lalu pergi
menemui Rasulullah SAW.
Rabi'ah mengikutinya dari belakang. Kerabat Rab'iah dari
Bani Aslam berkumpul dan mencela sikapnya. "Bukankah
dia yang memakimu terlebih dahulu? Kemudian dia pula
yang mengadukanmu kepada Rasulullah?" kata mereka.
Rabi'ah menjawab, "Celaka kalian! Tidak tahukah kalian
siapa dia? Itulah "Ash-Shiddiq", sahabat terdekat
Rasulullah dan orang tua kaum Muslimin. Pergilah kalian
segera sebelum dia melihat kalian ramai-ramai di sini.
Aku khawatir kalau-kalau dia menyangka kalian hendak
membantuku dalam masalah ini sehingga dia menjadi
marah. Lalu dalam kemarahannya dia datang mengadu
kepada Rasulullah. Rasulullah pun akan marah karena
kemarahan Abu Bakar. Kemarahan mereka berdua adalah
kemarahan Allah. Akhirnya, aku yang celaka?"
Mendengar kata-kata Rabi'ah, mereka pun pergi. Abu
Bakar bertemu dengan Rasululah SAW dan menuturkan
apa yang terjadi. Rasulullah mengangkat kepala seraya
bertanya pada Rabi'ah, "Apa yang terjadi antara kau
dengan Ash-Shiddiq?"
"Ya Rasulullah, beliau menghendakiku mengucapkan
kata-kata makian kepadanya, seperti yang diucapkannya
kepadaku. Tetapi, aku tidak mau mengatakannya," jawab
Rabi'ah.
Kata Rasulullah, "Bagus! Jangan ucapkan kata-kata itu.
Tetapi katakanlah, semoga Allah mengampuni Abu
Bakar!"
Rabi'ah pun mengucapkan kata-kata itu. Mendengar kata-
kata Rabi'ah, Abu bakar pergi dengan air mata berlinang,
sambil berucap, "Semoga Allah membalasmu dengan
kebaikan, wahai Rabi'ah." Mereka pun hidup rukun kembali. repub.online