Senin, 30 April 2012

aku tak rela kau kenakan jilbab tipis itu. . .

Hari berbilang berganti bulan,
bulan pun berbilang berganti tahun, masih ingatkah
kau saudariku 12 tahun yang lalu saat kita masih
berseragam putih abu-abu..?
Bersama kita susuri lorong-lorong sekolah dengan
segenap semangat, senyum terkembang penuh
simpati pada setiap orang…
Sapaan salam senantiasa terurai, jilbab tebal lebar
terkibar, dan sesekali kita senantiasa merapikan saat
angin bersegera menerpa tubuh kita, takut tersingkap
lekuk tubuh yang memang sedikit Nampak karena
seragam mengharuskan berikat pinggang.
Cukup dinding-dinding kelas dan mushalla menjadi
saksi keteguhan kita dalam memperjuangkan jilbab
syar’i bahkan ketika peraturan saat itu siswa
perempuan harus menampakkan telinga dalam foto
ijazahnya…
Tak mudah bagi kita memperjuangkannya saat itu,
banyak jam pelajaran terbuang hanya gara-gara
diinterogasi pihak sekolah karena tindakan “ngeyel”
kita, bergantian dipanggil wakil kepala dan kepala
sekolah. Padahal ujian akhir makin dekat
Tak jarang kita berjalan dari ujung kelas ke ujung
kelas yang lain, bahkan dengan berurai air mata
sekedar menyatukan dan meyakinkan para jilbaber
untuk setia dengan jilbab menutup kepala saat
berfoto. Meskipun orang lain banyak berbicara miring
tentang kita, kita tetap dalam tujuan semula tetap
teguh dalam prinsip.
Dua belas tahun bukan waktu yang sebentar
memang, sekarang kita memang tidak bersama tapi
aku yakin prinsip kita yang sama itu masih ada. Dan
aku sangat yakin itu, aku sangat mengenal sosokmu…
Kita jarang bertemu, tak lagi satu halaqah dalam
menuntut ilmu. Entah mengapa sekarang aku jarang
melihat jilbab tebal nan lebar itu. Sehingga tak ada
lagi beda antara dirimu dengan jilbaber gaul itu. Aku
hanya bisa menerka sekiranya bertemu dan bisa
bertegur sapa. Tak berhak sedikit pun aku mengatur
visi misi hidup dirimu. Namun tak bisa membohongi
diri ini, ada rasa sedih dan iba apakah gerangan yang
telah terjadi dengan saudari seimanku yang dulu
pernah duduk satu lingkaran untuk mengkaji ilmu?
Mungkin engkau akan berargumentasi toh jilbabku
bukan nilaiku..!. Duhai ukhti yang aku cintai karena
Allah, yang masih saja aku doakan dalam setiap doa
rabithahku. Kembali dalam kemuliaan nilai-nilai Islam
itu pasti lebih utama dan menenangkan, tak usahlah
risau karena tak biasa di mata manusia, bukankah
kita berharap menjadi luar biasa di Mata Allah
dengan amalan terbaik kita?
Entahlah dunia memang makin berubah dan aku tak
tahu apa yang telah mengubah pandanganmu itu,
mungkin tuntutan profesi, mungkin tuntutan mode,
tuntutan ekonomi, atau tuntutan suami?
Padahal telah jelas dan gamblang bagaimana
ketentuan jilbab syar’i itu, Allah sendiri yang
berfirman dalam QS Al Ahzab: 59:
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin:
‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka. ‘yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak
diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” Dan juga dalam QS An Nuur 31
… ”Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
ke dadanya…”
Perintah Allah itu jelas dan tak pernah berubah
karena Al Quran itu sesuai dengan perkembangan
zaman , meski zaman banyak berubah karena
teknologi yang begitu pesat, namun bukan berarti
kemudian Al Qur’an mengikuti zaman, tetapi
zamanlah yang mengikuti Al Quran.
Perintah Allah begitu jelas tak perlu ditawar agar
muslimah itu menutupkan kain kudung ke dada, dan
tentunya arti dada di sini tidak serta merta hanya
bagian dada tetapi area selingkaran dengan dada
yaitu punggung lengan dan juga di bawahnya, karena
perbuatan demikian lebih menutup aurat dan
menjaga kemuliaan.
Lantas dengan jilbab yang tipis itu, aku juga semakin
tak mengerti alas an apalagi, apakah karena di
pasaran sudah tak ada lagi yang menjual kain tebal
yang lebih menutup aurat, atau takut dikatakan
jilbaber tapi tidak innovation, atau lagi-lagi masih
saja menggunakan dalil cuaca di bumi makin panas,
dan takut kegerahan dengan jilbab yang tebal.
Padahal jika dinalar rumah yang kecil dengan rumah
yang besar tentu akan terasa panas ketika kita berada
dalam rumah yang kecil bukan? Ketika kita berjilbab
masih merasa gerah mungkin ada yang tidak beres
dengan model jilbab kita, seperti model rumah tadi.
Mungkin terlalu ketat, atau ada ikatan-ikatan yang
memang seharusnya tak perlu kita pasang sehingga
malah membuat gerah.
Tak ada yang salah dengan syari’at Islam, kalaupun
kita belum menemukan kebahagiaan dan
ketenteraman sebagai umat muslim, mungkin kita
belum sampai dalam ilmunya. Dan seharusnyalah kita
menuntut ilmu Islam itu lebih keras lagi. Karena kita
tahu Islam itu syammil mutakamil, Islam itu
sempurna dan menyeluruh. Seluruh aturan hidup itu
ada dalam Islam. Karena itu kita harus bahagia dan
bangga sebagai umat Islam. Bentuk kebanggaan kita
salah satunya adalah tidak malu menampakkan
identitas kita sebagai muslimah. Tidak malu atau
setengah-setengah dalam mengimani perintah dan
mengenakan jilbab syar’i.
Muslimah harus cerdas, begitu juga dalam mengikuti
perkembangan mode harus bisa menyiasati dan
pandai memilah saat membeli pakaian pun dalam
berbisnis pakaian muslimah. Saudariku bukankah
telah sampai kepada kita kajian tentang syarat-syarat
jilbab syar’i:
1. Menutup seluruh badan selain bagian yang
dikecualikan (muka dan telapak tangan)
2. Tidak dijadikan perhiasan
3. Jilbab itu harus tebal tidak tipis
4. Jilbab harus longgar, tidak ketat
5. Tidak dibubuhi parfum atau minyak wangi
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki
7. Tidak menyerupai pakaian wanita-wanita
kafir
8. Tidak berupa pakaian Syuhrah (sensasi)
baik itu terlalu mewah karena mahal
ataupun terlalu murahan yang dipakai
untuk menunjukkan sikap zuhud dan
dilakukan atas dasar riya’
Tentu engkau masih ingat saudariku yang aku cintai
karena Allah, sebuah hadits yang meriwayatkan “ Pada
akhir umatku nanti akan muncul para wanita yang
berpakaian namun hakikatnya telanjang. Di atas
kepala mereka terdapat sesuatu seperti punuk unta.
Laknatlah mereka! Sesungguhnya mereka wanita-
wanita terlaknat. Mereka tidak akan masuk syurga dan
tidak akan mencium aromanya, padahal aroma
syurga itu dapat tercium dari jarak perjalanan sekian
dan sekian (HR Thabrani, dalam al-Mu’jamus Shaghiir
(hlm.232), dari hadits ibnu ‘Amr, dengan sanad
shahih). Dan juga kisah shahbiyyah bersegera
memenuhi perintah Allah tentang berpakaian yang
sesuai syari’at. Yaitu seperti wanita-wanita Anshar
yang bersegera merobek gorden rumah mereka untuk
dijadikan jilbab ketika ayat tentang hijab turun
sehingga dikisahkan wanita-wanita Anshar keluar dan
seakan-akan di atas kepala mereka bertengger burung
gagak hitam karena pakaian yang mereka kenakan.
Saudariku masih ada lagi kisah yang menakjubkan
dari kalangan shahabiyyah yang seharusnya kita
jadikan teladan. Yaitu riwayat dari Ummu ‘Alqamah
bin Abu ‘Alqamah, ia berkata: “Aku melihat Hafshah
binti ‘Abdurrahman bin Abu Bakar menemui ‘Aisyah.
Ketika itu, Hafshah sedang memakai khimar berbahan
tipis sehingga keningnya terlihat. ‘Aisyah lantas
merobek khimar itu, seraya berkata: “tahukah kamu
apa yang Allah turunkan dalam surat An Nuur?
Kemudian, ‘Aisyah minta diambilkan khimar (yang
tebal), lalu ia memakaikannya kepada Hafshah.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad (VIII/46), Ibnu Hibban
mencantumkannya dalam ats Tsiqaat (V/466))
Saudariku aku berharap keprihatinan hati ini cukup
sampai di sini dan takkan aku temui lagi keadaan
yang membuat diri ini miris dan sedih. Saudariku
memang seharusnyalah kita malu kepada Allah,
banyak nikmat yang Dia beri kepada kita. Nikmat
sehat, tubuh yang lengkap, dan segala kesempurnaan
fisik sebagai perempuan, serta banyak nikmat lain
yang takkan pernah habis bila kita menghitungnya.
Namun kita sering malas bahkan mengulur waktu dan
terus mencari alas an untuk tidak menjalankan
perintahNya. Bukankah bentuk dari kesyukuran
adalah ibadah dan menjalankan aturan Islam dengan
paripurna? Mungkin kita akan mengatakan toh kita ini
berproses? Namun proses harus mempunyai target
yang jelas, karena kita tidak tahu sampai kapan jatah
hidup kita di dunia.
Saudariku, tentu kita takut ketika rasa malu dalam
diri kita dicabut karena apa dalam hadits
dikatakan:”Sesungguhnya Allah SWT apabila hendak
membinasakan seseorang, maka dicabutnya rasa
malu dari orang itu. Bila sifat malu sudah dicabut
darinya, maka ia akan mendapatinya dibenci orang,
malah dianjurkan orang benci padanya. Jika ia telah
dibenci orang, dicabutlah sifat amanah darinya. Jika
sifat amanah telah dicabut darinya, kamu akan
mendapatinya sebagai seorang pengkhianat. Jika telah
menjadi pengkhianat, dicabutnya sifat kasih sayang.
Jika telah hilang kasih sayangnya, maka jadilah ia
seorang yang terkutuk. Jika ia telah menjadi orang
terkutuk maka lepaslah tali Islam darinya.” (HR Ibnu
Majah).
Istiqamah memang tak mudah apalagi tanpa
didukung oleh lingkungan, teman-teman dan orang-
orang terdekat dari kita. Namun bukan hal yang
mustahil bagi kita untuk mengupayakan itu semua.
Dengan upaya terus memupuk keimanan kita,
senantiasa menuntut ilmu, dan bergaul dengan orang
shalih dan shalihah. Yang tak kalah penting adalah
Berdoa pada Allah semoga kita senantiasa tetap
komitmen dalam jilbab yang syar’i.
Wallahu A’lam bishawwab

Warna Cinta

Apa yang terbayang saat melihat kedua
orang tua ‘berantem’ mempertahankan pendapatnya
masing-masing? Kesal, takut, atau ogah ikut campur. Itu
pula yang terkadang saya alami saat melihat mereka beradu
pendapat. Ibu bersikukuh dengan pendapatnya, dan bapak
bersikeras dengan pemikirannya. Sebagaimana pasangan
lainnya, dalam beberapa hal mereka punya kesamaan-
kesamaan, dan dalam beberapa hal lainnya mereka pun
punya perbedaan. Cara mendidik anak, cara membuat
keputusan, dan lain-lain.
Saat saya masih SD, ibu pernah mengatakan “Kamu harus
selalu siap apabila sewaktu-waktu guru di sekolah tiba-tiba
mengadakan ulangan!” Namun seketika itu pula bapak
menimpal, “Nggak bisa begitu! Nggak baik kalau mendadak
begitu. Harus ada pemberitahuan lebih dulu sebelumnya.”
Saya yang bengong melihat mereka berdua adu pendapat,
akhirnya hanya bisa pasrah. Tanpa mengerti mengapa
mereka bisa sampai demikian.
Beberapa tahun kemudian, barulah saya memahami kira-
kira apa yang mereka maksudkan dari pendapatnya itu. Ibu
bilang bahwa saya harus siap apabila sewaktu-waktu ibu
guru memberikan ulangan dadakan, itu karena beliau
menginginkan agar saya selalu siap menghadapi berbagai
kemungkinan yang bisa saja terjadi. Sedangkan bapak yang
bilang bahwa tidak bisa serba mendadak, itu dikarenakan
pengalamannya dalam berorganisasi. Bapak menginginkan
anaknya pandai-pandai membuat rencana sebelum
bertindak, terlebih lagi bagi seorang anak laki-laki yang kelak
akan memimpin. Itulah yang hendak diajarkan oleh ibu, dan
itulah yang hendak diajarkan oleh bapak.
Saat anak sedang sakit, tentunya yang paling diharapkan oleh
anak adalah keberadaan kedua orang tua di dekatnya. Itu
pula yang dulu saya rasakan saat pertama kali masuk dan
dirawat di rumah sakit. Namun yang ada justru tidak
demikian adanya. Terkadang hanya ada bapak, atau hanya
ibu yang menemani. Namun demikianlah adanya, dan
bahkan mungkin selalu demikian.
Selama ini saya hanya mengetahui bahwa biasanya hanya
salah satu saja dari mereka yang ada untuk menemani.
Sebatas itu, tanpa mengetahui apa yang dilakukan oleh ibu
atau bapak saat mereka pergi tanpa ada untuk menemani.
Saat bapak ada untuk menemani, ibu pergi. Beberapa saat
kemudian, ibu datang membawakan makanan kesukaan
anaknya. Lain halnya saat ibu yang ada untuk menemani,
dan bapak yang pergi. Saat bapak datang, beliau tidak
membawa apa-apa. Bahkan sampai saatnya untuk pulang
pun, bapak tidak membawakan oleh-oleh. Sekedar tahu
bahwa saya sudah bisa dibawa ke rumah, dan bapak datang
untuk menjemput lalu mengantarkan saya pulang.
Hanya itu. Kalaupun ada kabar baik, mungkin selama ini saya
yang memang tak pernah menyadarinya. Memang tak ada
oleh-oleh yang bapak bawa, beliau hanya memastikan
bahwa saya akan diantar hingga ke rumah. “Yang penting,
sekarang Kamu udah bisa pulang. Itu aja!” Begitulah kata
beliau, tanpa bercerita tentang apa yang terjadi di luar
ruangan. Saya hanya tahu bahwa biaya berobat inap sudah
lunas. Begitulah bapak, beliau tak bercerita tentang berapa
biaya berobat, dan apa yang dia lakukan untuk bisa melunasi
biaya rumah sakit. Mungkin selama ini beliau jarang
menemani anaknya karena sedang berusaha mengumpulkan
uang untuk biaya pengobatan. Yah, entah apapun itu,
tampaknya itu adalah rahasia seorang bapak.
Beranjak SMP, bapak jadi lebih pendiam, sedangkan ibu
tetap cerewet banyak aturan. Ibu semakin banyak
memberikan tuntutan dan keharusan, sedangkan bapak
semakin memberikan kebebasan. Bahkan kadang bapak
memberikan uang jajan lebih. Begitu pula saat SMA, bapak
tak pernah ikut campur saat saya hendak memilih jurusan
IPA atau IPS. Beliau hanya bertanya “Mau masuk apa? IPA
atau IPS?” tanpa berkomentar apapun saat saya
menjawabnya “Mau ke IPA.” Berbeda dengan ibu yang
banyak bicara soal pemilihan jurusan. Buat ibu, yang paling
penting adalah nantinya kuliah di jurusan Akuntansi, karena
itu akan memudahkan untuk mencari kerja. Maklum, ibu
bekerja di sebuah kantor akuntan, jadi sejelek-jeleknya kuliah
saya (kalau saya kuliah di jurusan Akuntansi), ibu setidaknya
ibu bisa membantu untuk membawa saya bekerja di
kantornya.
Tibalah saat pemilihan jurusan di SPMB (2004). Ibu
bersikukuh agar saya mau mengambil kuliah jurusan
Akuntansi. Mungkin beliau takut nanti anaknya ini akan
kesulitan mencari pekerjaan. Berbanding terbalik dengan
bapak yang diam-diam saja tanpa banyak berkomentar.
Hampir tiap hari ibu membahas pemilihan jurusan,
sedangkan bapak hanya sekali mendatangi untuk
membicarakan tentang pemilihan jurusan. Beliau duduk di
kursi belajar yang ada di kamar sembari menatap saya yang
terduduk di kasur.
“Jadinya pilih jurusan apa?”
“Yang pilihan pertamanya Farmasi ITB, keduanya Psikologi
UPI, Pak…”
“Beneran?”
“Iya, Pak. Insya Allah.”
“Ya udah. Bapak mah nggak akan maksa buat milih jurusan
apa-apa. Yang penting mah Kamu serius, bener-bener, ama
komitmen ama pilihan. Bertanggung jawab ama
keputusan…”
Bapak pun beranjak dari kamar, dan tak ada lagi obrolan
tentang itu dengan beliau. Begitulah bapak. Bila ibu
ketakutan saya akan susah dapat pekerjaan bila setelah lulus
kuliah nanti, bapak lebih menginginkan saya untuk bisa
membuat keputusan sendiri, berani menentukan,
berkomitmen, bertanggung jawab, bersungguh-sungguh
dalam memperjuangkan hidup, dan mau menanggung
resiko. Itulah kenapa bapak lebih memilih untuk tak banyak
berkomentar dan memberikan kebebasan pada anaknya.
Bagi bapak, yang penting adalah mau bertanggung jawab
dan menerima resiko.
Begitulah ibu dan bapak. Ibu punya pendapat sendiri untuk
anaknya, bapak pun punya pandangan sendiri tentang
anaknya. Ibu punya cara tersendiri dalam mencintai
anaknya, begitu pula bapak yang punya cara tersendiri
dalam mencintai anaknya. Ada ‘warna’ yang berbeda dalam
mencintai anak-anaknya.
Selama puluhan tahun ini, begitulah ibu dan bapak. Ibu
mencintai dengan caranya sendiri, bapak pun mencintai
dengan caranya sendiri. Kakak punya cara tersendiri dalam
mencintai, adik pun punya cara tersendiri dalam mencintai.
Teman dan sahabat punya cara tersendiri dalam mencintai,
orang lain pun punya cara tersendiri. Cinta punya banyak
warna, sebagaimana kita punya cara tersendiri dalam
mencintai.

From this note with love.

"Jangan" cium tangan ibumu

Sahabat sekalian, suatu waktu saya
pernah menghadiri suatu acara training motivasi di kampus
saat masa kuliah dahulu. Pada waktu itu ada statement
trainernya yang masih saya ingat sampai sekarang. Ia
berkata: “rata-rata orang sukses di seluruh dunia itu,
mempunyai hubungan yang baik dengan kedua orang
tuanya khususnya dengan ibunya” jadi jika kita ingin sukses
maka sebelum itu yang harus diperhatikan ialah bagaimana
hubungan kita dengan orang tua saat ini? Apakah penuh
kehangatan atau penuh dengan kebencian? Yang saat ini
hubungan dengan orang tuanya penuh kehangatan
bersyukurlah Anda orang yang beruntung. Untuk mereka
yang punya hubungan tidak baik dengan orang tuanya
berdoalah agar dimudahkan Allah untuk memperbaiki
hubungan dengan mereka.
Sangat penting sekali mempunyai hubungan yang baik
dengan orang tua, khususnya ibu. Kenapa? Karena ridha
Allah ialah ridha orang tua, dan doa ibu itu Subhanallah,
tanpa hijab di hadapan Allah mudah menembus langit.
Sehingga doa seorang ibu yang dipanjatkan untuk anaknya
sangat mudah untuk Allah kabulkan. Mungkin sebagian dari
kira ada yang tidak sadar bahwa, kemungkinan kesuksesan-
kesuksesan kita selama ini adalah buah dari doa ibu kita
kepada Allah tanpa kita ketahui. Dan seorang ibu itu tanpa
disuruh pasti akan selalu mendoakan anaknya di tiap
nafasnya kala bermunajat kepada Allah. Tapi seorang anak
belum tentu selalu berdoa untuk orang tuanya ketika Shalat.
Mungkin sebagian dari kita suka mengeluh tentang sifat
buruk orang tua kita, entah karena ibu nya cerewet, suka ikut
campur, suka nyuruh-nyuruh, tidak gaul dan lain sebagainya.
Jika kita seperti ini maka tragis. Kenapa tragis? Karena kita
terlalu focus dengan secuil kekurangan orang tua kita dan
melupakan segudang kebaikan yang telah diberikan kepada
kita selama ini. Di pihak lain ada Orang-orang seusia Anda di
luar sana di pinggir jalanan, di bawah kolong jembatan dan
di tempat lainnya mereka juga suka mengeluh, tapi yang
mereka keluhkan ialah bukan karena sifat orang tua atau ibu
mereka, tapi mereka mengeluh karena mereka tidak punya
lagi orang tua. Bersyukurlah kita yang saat ini masih
mempunyai orang tua. Jika ingin tahu rasanya tidak punya
ibu, coba tanyakan kepada teman-teman Anda yang ibu nya
telah tiada. Mungkin perasaan mereka sangat sedih dan
kekurangan motivasi dalam hidup. Coba bayangkan jika kita
tidak punya ibu lagi, maka ketika kita akan pergi ke luar
rumah untuk sekolah atau bekerja, maka tidak ada lagi
tangan yang bias kita cium, jika kita tidak punya ibu lagi
maka mungkin tidak ada lagi makanan yang tersedia di meja
makan saat kita pulang, jika kita tidak punya ibu lagi ketika
hari lebaran rumah terasa sepi dan lebaran terasa tanpa
makna, jika kita tidak punya ibu lagi kita hanya bisa
membayangkan wajah tulusnya di pikiran kita dan melihat
baju-bajunya di lemarinya.
Banyak di antara kita suka mengeluh tentang sifat negative
ibu kita, tapi kita tidak pernah berfikir mungkin hampir setiap
malam ibu kita di keheningan sepertiga malam bangun
untuk shalat tahajjud mendoakan kita sampai bercucuran air
mata agar kita sukses dunia dan akhirat. Mungkin di suatu
malam beliau pernah mendatangi kita saat tidur dan
mengucap dengan bisik “nak, maafkan ibu ya… ibu belum
bisa menjadi ibu yang baik bagimu” kita mungkin juga lupa
di saat kondisi ekonomi rumah tangga kurang baik, ibu kita
rela tidak makan agar jatah makannya bisa dimakan
anaknya. Ketika kita masih kecil ibu kira rela tidur dan lantai
dan tanpa selimut, agar kita bisa tidur nyaman di kasur
dengan selimut yang hangat.
Setelah semua pengorbanan telah diberikan oleh ibu kita
selama ini, lalu coba renungkan apa yang kita perbuat
selama ini kepada ibu kita? Kapan terakhir kita membuat
dosa kepadanya? Kapan terakhir kita membentak-
bentaknya? Pantaskah kita membentak ibu kita yang selama
Sembilan bulan mengandung dengan penuh penderitaan?
Pantaskah kah kita membentak ayah kita yang setiap hari
pergi pagi pulang malam, lebur setiap hari, ngutang sana-
ngutang sini agar kita terpenuhi kebutuhannya. Oleh karena
itu maka berusahalah untuk berbakti kepada orang tuamu
khususnya kepada Ibumu. Karena masa depan mu ada di
desah doa-doanya setiap malam. Dan ingat “perilaku kita
dengan orang tua kita saat ini akan mencerminkan perilaku
anak kita kepada diri kita nanti”.

Minggu, 29 April 2012

Kisah gadis kecil dihari raya

Kisah ini terjadi di Madinah pada suatu pagi di hari
raya Idul Fitri. Rasulullah saw seperti biasanya
mengunjungi rumah demi rumah untuk mendoakan
para muslimin dan muslimah, mukminin dan
mukminah agar merasa bahagia di hari raya itu.
Alhamdulillah, semua terlihat merasa gembira dan
bahagia, terutama anak-anak. Mereka bermain sambil
berlari-lari kesana kemari dengan mengenakan pakaian
hari rayanya.
Namun tiba-tiba Rasulullah saw melihat di sebuah
sudut ada seorang gadis kecil sedang duduk bersedih.
Ia memakai pakaian tambal- tambal dan sepatu yang
telah usang. Rasulullah saw lalu bergegas
menghampirinya. Gadis kecil itu menyembunyikan
wajahnya dengan kedua tangannya, lalu menangis
tersedu-sedu.
Rasulullah saw kemudian meletakkan tangannya yang
putih sewangi bunga mawar itu dengan penuh kasih
sayang di atas kepala gadis kecil tersebut, lalu
bertanya dengan suaranya yang lembut : “Anakku,
mengapa kamu menangis? Hari ini adalah hari raya
bukan?” Gadis kecil itu terkejut.
Tanpa berani mengangkat kepalanya dan melihat siapa
yang bertanya, perlahan- lahan ia menjawab sambil
bercerita : “Pada hari raya yang suci ini semua anak
menginginkan agar dapat merayakannya bersama
orang tuanya
dengan berbahagia. Anak-anak bermain dengan riang
gembira.
Aku lalu teringat pada ayahku, itu sebabnya aku
menangis. Ketika itu hari raya terakhir bersamanya. Ia
membelikanku sebuah gaun berwarna hijau dan sepatu
baru. Waktu itu aku sangat bahagia. Lalu suatu hari
ayahku pergi berperang bersama Rasulullah saw. Ia
bertarung bersama Rasulullah saw bahu - membahu
dan kemudian ia meninggal. Sekarang ayahku tidak ada
lagi. Aku telah menjadi seorang anak yatim. Jika aku
tidak menangis untuknya, lalu siapa lagi?”
Setelah Rasulullah saw mendengar cerita itu, seketika
hatinya diliputi kesedihan yang mendalam. Dengan
penuh kasih sayang ia membelai
kepala gadis kecil itu sambil berkata:
“Anakku, hapuslah air matamu… Angkatlah kepalamu
dan dengarkan apa yang akan kukatakan kepadamu….
Apakah kamu ingin agar aku menjadi ayahmu? …. Dan
apakah kamu juga ingin agar Fatimah menjadi kakak
perempuanmu…. dan Aisyah menjadi ibumu….
Bagaimana pendapatmu tentang usul dariku ini?”
Begitu mendengar kata-kata itu, gadis kecil itu
langsung berhenti menangis.
Ia memandang dengan penuh takjub orang yang
berada tepat di hadapannya. Masya Allah! Benar, ia
adalah Rasulullah saw, orang tempat ia baru saja
mencurahkan kesedihannya dan menumpahkan segala
gundah di hatinya.
Gadis yatim kecil itu sangat tertarik pada tawaran
Rasulullah saw, namun entah mengapa ia tidak bisa
berkata sepatah katapun. Ia hanya dapat
menganggukkan kepalanya perlahan sebagai tanda
persetujuannya. Gadis yatim kecil itu lalu
bergandengan tangan dengan Rasulullah saw menuju
ke rumah. Hatinya begitu diliputi kebahagiaan yang
sulit untuk dilukiskan, karena ia diperbolehkan
menggenggam tangan Rasulullah saw yang lembut
seperti
sutra itu.
Sesampainya di rumah, wajah dan kedua tangan gadis
kecil itu lalu dibersihkan dan rambutnya disisir. Semua
memperlakukannya dengan penuh kasih sayang. Gadis
kecil itu lalu dipakaikan gaun yang indah dan diberikan
makanan, juga uang saku untuk hari raya. Lalu ia
diantar keluar, agar dapat bermain bersama anak -
anak lainnya. Anak-anak lain merasa iri pada gadis kecil
dengan gaun yang indah dan wajah yang berseri-seri
itu. Mereka merasa keheranan, lalu bertanya : “Gadis
kecil, apa yang telah terjadi? Mengapa kamu terlihat
sangat gembira?” Sambil menunjukkan gaun baru dan
uang sakunya gadis kecil itu menjawab : “Akhirnya aku
memiliki seorang ayah!
Di dunia ini, tidak ada yang bisa menandinginya! Siapa
yang tidak bahagia memiliki seorang ayah seperti
Rasulullah? Aku juga kini memiliki seorang ibu,
namanya Aisyah, yang hatinya begitu mulia. Juga
seorang kakak perempuan, namanya Fatimah. Ia
menyisir rambutku dan mengenakanku gaun yang
indah ini. Aku merasa sangat bahagia, dan ingin
rasanya aku memeluk seluruh dunia beserta isinya.”
Rasulullah saw bersabda : ”Siapa yang memakaikan
seorang anak pakaian yang indah dan mendandaninya
pada hari raya, maka Allah SWT akan
mendandani/menghias inya pada hari Kiamat. Allah
SWT mencintai terutama setiap rumah, yang di
dalamnya memelihara anak yatim dan banyak
membagi-bagikan hadiah. Barangsiapa yang
memelihara anak yatim dan melindunginya, maka ia
akan bersamaku di surga.” ♥ Semoga bisa diambil
hikmahnya

Kamis, 26 April 2012

Doa seorang Kekasih


Oh Tuhan… seandainya telah kau catatkan
Dia milikku tercipta untuk diriku…
Satukanlah hatinya dengan hatiku…
Titiplah kebahagiaan…
Ya Allah kumohon apa yang telah kau takdirkan
Kuharap dia adalah yang terbaik untukku
Karena engkau tahu segala isi hatiku
Pelihara daku dari kemurkaan-Mu


Begitu terdengar lirik-lirik syair tersebut hingga melenakan hati seseorang yang terpaut dengan cinta. Karena lagu tersebut terlaris bagi kalangan aktivis yang mendambakan seorang
kekasih. Seolah-olah lagu ini mengetahui segala isi
hati insan yang dimabuk asmara cinta. Yah…cinta
kalau dibicarakan pasti tidak akan ada habisnya. Cinta
yang hakiki adalah cinta kepada Allah SWT. Jika kita
mencintai Allah sebagai tujuan utama, insya Allah
cinta kita terhadap sesama atau makhluk lainnya
akan mengikuti dengan sendirinya.

Indahnya hidup di dunia ini ketika kita mampu
bersyukur dengan ketetapan yang Allah berikan.
Sesungguhnya ajal, jodoh, rizki sudah digariskan sejak
kita lahir di bumi tercinta ini. Yakinlah bahwa Allah
selalu memberikan yang terbaik untuk kita. Terkadang
kita berfikir apakah diri ini mampu mencapai impian
ataukah tidak…semua itu butuh proses dan
kematangan dalam jiwa.

Setiap kita pasti memiliki problem masing-masing
yang berbeda satu sama lainnya. Ketika sedang
kuliah sering ditanyakan, kapan wisuda??? Setelah
tamat wisuda ditanyakan kapan menikah??? Setelah
menikah ditanyakan lagi kapan punya anak??? Dan
sebagainya…subhanallah begitu pertanyaan muncul
bertubi-tubi dalam ritme kehidupan ini.

Wajar saja ketika pertanyaan itu muncul, kita hanya
bisa menjawab dengan senyuman penuh arti. Karena
Allah lah yang menentukan segala-galanya termasuk
pendamping hidup kita, hingga tiba masanya akan
merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Apalagi
kalau setengah dien kita sudah lengkap, hm…jadi
tambah semangat nih menyongsong masa depan.

Sahabatku…yang penting jika kita ingin mendapatkan
pendamping hidup yang shalih/shalihah dan terbaik,
so… perbaiki dulu kualitas pribadi kita termasuk
ruhiyah nya loh. Wanita yang baik pasti akan
mendapatkan laki-laki yang baik pula, begitu
sebaliknya. Mulai sekarang yuk tingkatkan amalan
wajib kita seperti shalat, puasa, zakat, dll. Perbanyak
do’a agar kita mendapatkan pasangan hidup dunia
dan akhirat serta diiringi dengan shalat istikharah
untuk menentukan yang terbaik di antara pilihan.

Karena sebaik-baik pilihan, hanya pilihan Allah SWT
yang terbaik untuk setiap hamba-Nya. Kemudian
ditambahin dengan amalan sunnah lainnya yang
bervariasi dan berkualitas. Wah…kalau semuanya
terpenuhi insyAllah impian kita bakalan tercapai.
Amin…
Sesuai dengan surat (Ar-Rum: 21)
Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia
menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari
jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di
antaramu rasa kasih dan saying. Sungguh, pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.

Dalam keheningan malam ku basuh muka, tangan
dan kakiku sambil mengambil air wudhu niat karena
Allah SWT, kuhamparkan sajadah merah, dalam
keheningan malam aku bersujud kepada pemilik Arsy
penguasa kehidupan dengan khusyuk dan khidmat
tenggelam dalam tahajjud, aku bersimpuh
mengangkat kedua tangan, bermunajat, berdo’a
kepada zat yang maha mengabulkan do’a.

Ya Allah jangan biarkan aku hidup seorang diri tanpa
teman sejati

Ya Allah berikanlah pendamping terbaik untukku yang
dapat menentramkan hatiku, pendamping yang dapat
membawaku lebih dekat dengan cinta-Mu.

Ya Allah berikan pendamping untukku yang dapat
membawaku ke surga-Mu

Ya Allah anugerahkan pendamping dan anak
keturunanku menjadi permata hatiku, serta
jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang
bertaqwa

Ya Allah kabulkanlah do’a dan permohonanku
Amin Ya Rabbal’alamin…

Hukum zakat untuk membangun masjid

Menyalurkan zakat untuk pembangunan
masjid sehingga dapat digunakan untuk mengagungkan
nama Allah, berdzikir kepada-Nya, menegakkan syiar-syiar-
Nya, menunaikan shalat, serta menyampaikan pelajaran-
pelajaran dan nasihat-nasihat, maka hal ini termasuk yang
diperselisihkan para ulama dahulu maupun sekarang.
Apakah yang demikian itu dapat dianggap sebagai “fi
sabilillah” sehingga termasuk salah satu dari delapan sasaran
zakat sebagaimana yang dinashkan di dalam Al-Qur’anul
Karim dalam surat at-Taubah:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang
fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para
muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan orang-
orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. at-Taubah: 60)
Ataukah kata “sabilillah itu artinya terbatas pada “jihad” saja
sebagaimana yang dipahami oleh jumhur?
Saya telah menjelaskan masalah ini secara terinci di dalam
kitab saya Fiqih az-Zakah, dan di sini tidaklah saya uraikan
lagi masalah tersebut.
Dalam buku itu saya memperkuat pendapat jumhur ulama,
dengan memperluas pengertian “jihad” (perjuangan) yang
meliputi perjuangan bersenjata (inilah yang lebih cepat
ditangkap oleh pikiran), jihad ideologi (pemikiran), jihad
tarbawi (pendidikan), jihad da’wi (dakwah), jihad dieni
(perjuangan agama), dan lain-lainnya. Kesemuanya untuk
memelihara eksistensi Islam dan menjaga serta melindungi
kepribadian Islam dari serangan musuh yang hendak
mencabut Islam dari akar-akarnya, baik serangan itu berasal
dari salibisme, misionarisme, marxisme, komunisme, atau
dari Free Masonry dan Zionisme, maupun dari antek dan
agen-agen mereka yang berupa gerakan-gerakan sempalan
Islam semacam Bahaiyah, Qadianiyah, dan Bathiniyah
(Kebatinan), serta kaum sekuler yang terus-menerus
menyerukan sekularisasi di dunia Arab dan dunia Islam.
Berdasarkan hal ini maka saya katakan bahwa negara-
negara kaya yang pemerintahnya dan kementerian wakafnya
mampu mendirikan masjid-masjid yang diperlukan oleh
umat, seperti negara-negara Teluk, maka tidak seyogianya
zakat di sana digunakan untuk membangun masjid. Sebab
negara-negara seperti ini sudah tidak memerlukan zakat
untuk hal ini, selain itu masih ada sasaran-sasaran lain yang
disepakati pendistribusiannya yang tidak ada penyandang
dananya baik dari uang zakat maupun selain zakat.
Membangun sebuah masjid di kawasan Teluk biayanya
cukup digunakan untuk membangun sepuluh atau lebih
masjid di negara-negara muslim yang miskin yang padat
penduduknya, sehingga satu masjid saja dapat menampung
puluhan ribu orang. Dari sini saya merasa mantap
memperbolehkan menggunakan zakat untuk membangun
masjid di negara-negara miskin yang sedang menghadapi
serangan Kristenisasi, komunisme, Zionisme, Qadianiyah,
Bathiniyah, dan lain-lainnya. Bahkan kadang-kadang
mendistribusikan zakat untuk keperluan ini – dalam kondisi
seperti ini – lebih utama daripada didistribusikan untuk yang
lain.
Alasan saya memperbolehkan hal ini ada dua macam:
Pertama , mereka adalah kaum yang fakir, yang harus
dicukupi kebutuhan pokoknya sebagai manusia sehingga
dapat hidup layak dan terhormat sebagai layaknya manusia
muslim. Sedangkan masjid itu merupakan kebutuhan asasi
bagi jamaah muslimah.
Apabila mereka tidak memiliki dana untuk mendirikan
masjid, baik dana dari pemerintah maupun dari sumbangan
pribadi atau dari para dermawan, maka tidak ada larangan di
negara tersebut untuk mendirikan masjid dengan
menggunakan uang zakat. Bahkan masjid itu wajib didirikan
dengannya sehingga tidak ada kaum muslim yang hidup
tanpa mempunyai masjid.
Sebagaimana setiap orang muslim membutuhkan makan
dan minum untuk kelangsungan kehidupan jasmaninya,
maka jamaah muslimah juga membutuhkan masjid untuk
menjaga kelangsungan kehidupan rohani dan iman mereka.
Karena itu, program pertama yang dilaksanakan Nabi SAW
setelah hijrah ke Madinah ialah mendirikan Masjid Nabawi
yang mulia yang menjadi pusat kegiatan Islam pada zaman
itu.
Kedua , masjid di negara-negara yang sedang menghadapi
bahaya perang ideologi (ghazwul fikri) atau yang berada di
bawah pengaruhnya, maka masjid tersebut bukanlah
semata-mata tempat ibadah, melainkan juga sekaligus
sebagai markas perjuangan dan benteng untuk membela
keluhuran Islam dan melindungi syakhshiyah islamiyah.
Adapun dalil yang lebih mendekati hal ini ialah peranan
masjid dalam membangkitkan harakah umat Islam di
Palestina yang diistilahkan dengan intifadhah (menurut
bahasa berarti mengguncang/ menggoyang; Pentj.) yang
pada awal kehadirannya dikenal dengan sebutan “Intifadhah
al masajid.” Kemudian oleh media informasi diubah menjadi
“Intifadhah al-Hijarah” batu-batu karena takut dihubungkan
dengan Islam yang penyebutannya itu dapat menggetarkan
bangsa Yahudi dan orang-orang yang ada di belakangnya.
Kesimpulan
Menyalurkan zakat untuk pembangunan masjid dalam
kondisi seperti itu termasuk infak zakat fi sabilillah demi
menjunjung tinggi kalimat-Nya serta membela agama dan
umat-Nya. Dan setiap infak harta untuk semua kegiatan
demi menjunjung tinggi kalimat (agama) Allah tergolong fi
sabilillah (di jalan Allah).
Wa billahit taufiq.

Maraji’: Yusuf Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer.

Hukum zakat untuk membangun masjid

Menyalurkan zakat untuk pembangunan
masjid sehingga dapat digunakan untuk mengagungkan
nama Allah, berdzikir kepada-Nya, menegakkan syiar-syiar-
Nya, menunaikan shalat, serta menyampaikan pelajaran-
pelajaran dan nasihat-nasihat, maka hal ini termasuk yang
diperselisihkan para ulama dahulu maupun sekarang.
Apakah yang demikian itu dapat dianggap sebagai “fi
sabilillah” sehingga termasuk salah satu dari delapan sasaran
zakat sebagaimana yang dinashkan di dalam Al-Qur’anul
Karim dalam surat at-Taubah:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang
fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para
muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan orang-
orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. at-Taubah: 60)
Ataukah kata “sabilillah itu artinya terbatas pada “jihad” saja
sebagaimana yang dipahami oleh jumhur?
Saya telah menjelaskan masalah ini secara terinci di dalam
kitab saya Fiqih az-Zakah, dan di sini tidaklah saya uraikan
lagi masalah tersebut.
Dalam buku itu saya memperkuat pendapat jumhur ulama,
dengan memperluas pengertian “jihad” (perjuangan) yang
meliputi perjuangan bersenjata (inilah yang lebih cepat
ditangkap oleh pikiran), jihad ideologi (pemikiran), jihad
tarbawi (pendidikan), jihad da’wi (dakwah), jihad dieni
(perjuangan agama), dan lain-lainnya. Kesemuanya untuk
memelihara eksistensi Islam dan menjaga serta melindungi
kepribadian Islam dari serangan musuh yang hendak
mencabut Islam dari akar-akarnya, baik serangan itu berasal
dari salibisme, misionarisme, marxisme, komunisme, atau
dari Free Masonry dan Zionisme, maupun dari antek dan
agen-agen mereka yang berupa gerakan-gerakan sempalan
Islam semacam Bahaiyah, Qadianiyah, dan Bathiniyah
(Kebatinan), serta kaum sekuler yang terus-menerus
menyerukan sekularisasi di dunia Arab dan dunia Islam.
Berdasarkan hal ini maka saya katakan bahwa negara-
negara kaya yang pemerintahnya dan kementerian wakafnya
mampu mendirikan masjid-masjid yang diperlukan oleh
umat, seperti negara-negara Teluk, maka tidak seyogianya
zakat di sana digunakan untuk membangun masjid. Sebab
negara-negara seperti ini sudah tidak memerlukan zakat
untuk hal ini, selain itu masih ada sasaran-sasaran lain yang
disepakati pendistribusiannya yang tidak ada penyandang
dananya baik dari uang zakat maupun selain zakat.
Membangun sebuah masjid di kawasan Teluk biayanya
cukup digunakan untuk membangun sepuluh atau lebih
masjid di negara-negara muslim yang miskin yang padat
penduduknya, sehingga satu masjid saja dapat menampung
puluhan ribu orang. Dari sini saya merasa mantap
memperbolehkan menggunakan zakat untuk membangun
masjid di negara-negara miskin yang sedang menghadapi
serangan Kristenisasi, komunisme, Zionisme, Qadianiyah,
Bathiniyah, dan lain-lainnya. Bahkan kadang-kadang
mendistribusikan zakat untuk keperluan ini – dalam kondisi
seperti ini – lebih utama daripada didistribusikan untuk yang
lain.
Alasan saya memperbolehkan hal ini ada dua macam:
Pertama , mereka adalah kaum yang fakir, yang harus
dicukupi kebutuhan pokoknya sebagai manusia sehingga
dapat hidup layak dan terhormat sebagai layaknya manusia
muslim. Sedangkan masjid itu merupakan kebutuhan asasi
bagi jamaah muslimah.
Apabila mereka tidak memiliki dana untuk mendirikan
masjid, baik dana dari pemerintah maupun dari sumbangan
pribadi atau dari para dermawan, maka tidak ada larangan di
negara tersebut untuk mendirikan masjid dengan
menggunakan uang zakat. Bahkan masjid itu wajib didirikan
dengannya sehingga tidak ada kaum muslim yang hidup
tanpa mempunyai masjid.
Sebagaimana setiap orang muslim membutuhkan makan
dan minum untuk kelangsungan kehidupan jasmaninya,
maka jamaah muslimah juga membutuhkan masjid untuk
menjaga kelangsungan kehidupan rohani dan iman mereka.
Karena itu, program pertama yang dilaksanakan Nabi SAW
setelah hijrah ke Madinah ialah mendirikan Masjid Nabawi
yang mulia yang menjadi pusat kegiatan Islam pada zaman
itu.
Kedua , masjid di negara-negara yang sedang menghadapi
bahaya perang ideologi (ghazwul fikri) atau yang berada di
bawah pengaruhnya, maka masjid tersebut bukanlah
semata-mata tempat ibadah, melainkan juga sekaligus
sebagai markas perjuangan dan benteng untuk membela
keluhuran Islam dan melindungi syakhshiyah islamiyah.
Adapun dalil yang lebih mendekati hal ini ialah peranan
masjid dalam membangkitkan harakah umat Islam di
Palestina yang diistilahkan dengan intifadhah (menurut
bahasa berarti mengguncang/ menggoyang; Pentj.) yang
pada awal kehadirannya dikenal dengan sebutan “Intifadhah
al masajid.” Kemudian oleh media informasi diubah menjadi
“Intifadhah al-Hijarah” batu-batu karena takut dihubungkan
dengan Islam yang penyebutannya itu dapat menggetarkan
bangsa Yahudi dan orang-orang yang ada di belakangnya.
Kesimpulan
Menyalurkan zakat untuk pembangunan masjid dalam
kondisi seperti itu termasuk infak zakat fi sabilillah demi
menjunjung tinggi kalimat-Nya serta membela agama dan
umat-Nya. Dan setiap infak harta untuk semua kegiatan
demi menjunjung tinggi kalimat (agama) Allah tergolong fi
sabilillah (di jalan Allah).
Wa billahit taufiq.

Maraji’: Yusuf Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer.

Senin, 23 April 2012

Sang Presiden

Akhir Juni 2029 Ahmad Jaelani, Presiden Indonesia,
menatap satu persatu teman halaqahnya. Mereka ada 10
orang, sedang duduk melingkar di atas ambal lembut made
in Iran di sebuah ruang keluarga di Istana Kepresidenan
Cikeas Bogor.
Dalam halaqah ini, keterikatan antar personil sudah begitu
dekat, layaknya bagaikan saudara sekandung. Sehingga tak
ada lagi yang dirahasiakan serta dalam menghadapi
persoalan saling memikul dan membahu. Halaqah adalah
semacam bentuk pertemuan pengajian pekanan yang di
dalamnya membahas masalah-masalah keagamaan,
kemasyarakatan, pekerjaan masing-masing personil halaqah
dan bagaimana mengimplementasikannya ke dalam
kehidupan sehari-hari.
Ahmad Jaelani menarik nafas pelan dan berkata, “Sepuluh
tahun saya telah menjadi Presiden RI. Saat ini adalah bulan-
bulan terakhir saya memimpin bangsa ini. Periode kedua
telah berakhir. Tidak ada periode yang ketiga. Inilah titik-titik
kesempatan terakhir bagi saya dalam menyumbangkan
seluruh potensi yang saya miliki guna kemaslahatan bagi
bangsa ini. Saya mau bertanya kepada kalian sahabat-
sahabatku seperjuangan dalam dakwah dan dalam
membenahi bangsa ini. Apakah setelah sepuluh tahun
kepemimpinanku, saat ini masih adakah rakyatku yang tidak
makan? Masih adakah yang buta huruf atau tidak sekolah
karena kemiskinan? Masih adakah anak-anak yang
dipekerjakan di usia sekolah? Dieksploitasikan? Masih adakah
yang tidur di bawah kolong jembatan? Di taman-taman
kota? Di emperan-emperan toko? Masih adakah yang
tergolek sakit tanpa sentuhan seorang dokter karena
kemiskinan? Masih adakah yang menadahkan tangannya di
tengah jalanan dan di keramaian kota? Masih adakah warga
Negara kita yang bekerja sebagai TKW di Negara orang dan
mengalami penyiksaan dan pelecehan? Kalaulah masih ada,
maka sangat beratlah pertanggungjawabanku kepada Allah”.
Mata sang Presiden mulai berkaca-kaca, membentuk
genangan air bagai butiran mutiara yang menghiasi
sepasang bola matanya yang teduh. Dia mencoba menahan
sedunya. Namun tangisan hatinya lebih membuncah dalam
isakan tertahan.
Berharap sebongkah jawaban pasti dan realistis dari para
sahabatnya, dia pandangi mereka satu persatu, dengan
pandangan kasih sayang dan cinta. Para sahabatnya
menunduk, tak mampu menatap ke kedalaman mata yang
beriak laksana lautan biru yang meluas dan tenang itu.
“Apakah kediaman kalian, sahabatku, menandakan
keberatan hati kalian menyampaikan sesuatu yang buruk
padaku? Janganlah kalian takut, aku tidak akan memarahi
ataupun memecat kalian. Bahkan bagi siapa di antara kalian
yang menyampaikan berita keburukan akibat
kepemimpinanku yang menimpa masyarakat, aku akan
memberikan hadiah kepadanya sebagai rasa terima kasihku
atas kejujurannya. Sampaikanlah kepadaku, sepahit apa
pun!” Salah seorang dari sahabatnya, “zero one, ZO” ,
menatap dalam dan penuh kasih kepada Sang Presiden,
untuk kemudian dia berkata pelan dan hati-hati, “ Dalam
pengamatan dan peninjauan yang saya lakukan ke beberapa
daerah di Indonesia ini sebagai seorang Menteri
Kesejahteraan dan Kemakmuran Rakyat pada pemerintahan
ini, hal-hal yang Saudara Presiden tanyakan tadi, beberapa di
antaranya sudah terlaksana dengan baik dan ada yang masih
belum tuntas benar penyelesaiannya dan diharapkan dapat
dilanjutkan oleh pemerintahan yang baru nantinya”. Sang
Presiden menatap Menteri Kesejahteraan dan Kemakmuran
Rakyat itu dengan serius, “Apa-apa sajakah yang telah
terlaksana dengan baik dan apakah yang belum tuntas itu
Sahabatku?” “ZO” menarik nafas pelan kemudian berkata,
“Saat ini rakyat Indonesia sudah tidak ada lagi yang tidak
makan karena kemiskinan. Sudah tidak ada lagi yang buta
huruf atau tidak sekolah karena kemiskinan. Sudah tidak ada
lagi anak-anak yang dipekerjakan di usia sekolah maupun
dieksploitasikan karena kemiskinan. Sudah tidak ada lagi
yang tidur di bawah kolong jembatan, di taman-taman kota
dan di emperan-emperan toko. Mereka telah dikumpulkan
pada satu Yayasan Penampungan dan Pembinaan Rakyat –
YPPR yang akan membekali mereka dengan ilmu
pengetahuan dan keterampilan-keterampilan agar mereka
menjadi anak-anak yang mandiri, kreatif dan berdaya guna.
Juga rakyat Indonesia sudah tidak ada lagi yang tergolek sakit
tanpa sentuhan dan bantuan medis karena kemiskinan.
Sudah tidak ada lagi yang menadahkan tangannya di tengah
jalanan dan di keramaian kota, karena mereka telah
diserahkan kepada yayasan penampungan dan pembinaan
masyarakat Indonesia seperti anak-anak tadi. Hanya saja
Saudaraku Presiden, hal yang belum tuntas itu adalah masih
adanya warga negara kita yang bekerja di negara orang
sebagai pembantu rumah tangga dan mengalami
penyiksaan dan pelecehan. Hal ini karena Program dari
Kementerian Kesejahteraan dan Kemakmuran Rakyat
tentang penarikan para TKI dari Negara lain belum
memasuki tahap akhir. Saat ini kita masih memasuki tahap
ketiga dari lima tahap yang diprogramkan agar semua TKI
kita dapat ditarik dari Negara lain untuk kemudian
ditampung dan dibina pada yayasan penampungan dan
pembinaan rakyat. Dua tahap terakhir ini diperhitungkan
akan mampu menarik seluruhnya TKI kita.” “Berapa
tahunkah dua tahap itu?” Tanya Sang Presiden penuh
perhatian. “ZO” berpikir sejenak, “Dalam satu tahap
diprogram tiga tahun berarti dua tahap ada enam tahun”.
Mendengar itu Sang Presiden menghela nafas panjang dan
berpikir keras. Dimainkannya jari jemarinya saling bertemu
dan bertaut, mencoba merilekskan pikirannya. Para sahabat
lainnya, tekun menyimak pembicaraan itu dan belum hendak
memberikan pendapat. “Kira-kira berapa dana yang
dibutuhkan untuk dua tahap itu?” Gumam Sang Presiden.
“ZO” mengambil HP-nya dari sakunya, kemudian membuka-
buka catatan kerjanya yang sudah diprogramnya di HP
tersebut. Dia menatap Sang Presiden dan berkata:
“Saudaraku Presiden, kita membutuhkan dana sekitar dua
belas trilyun untuk dua tahap itu”. Sang Presiden menoleh
ke samping kanannya dan berucap: “Saudaraku “Zero Two,
ZT”, berapakah utang kita kepada Negara lain?” “ZT”, Menteri
Keuangan RI menatap Sang Presiden penuh arti seraya
berkata dengan lembut, “Saudaraku Presiden, tahun 2028
lalu kita telah melunaskan seluruh utang-utang kita kepada
Negara lain, dan saat ini ada beberapa Negara miskin yang
berutang kepada Indonesia. Jumlahnya semua memang
tidak banyak. Hanya 10 trilyun rupiah”. Wajah Sang Presiden
kelihatan segar dan cerah mendengar laporan dari
sahabatnya Menteri Keuangan RI. Dengan tersenyum Sang
Presiden berkata, “Alhamdulillah, inilah yang aku cita-citakan
sejak remaja dulu. Indonesia tanpa utang dan Indonesia
yang memiliki piutang. Subhanallah, bersyukurnya hamba ya
Allah, Engkau berikan kesempatan dan pertolongan
mewujudkan impian hamba itu. Alhamdulillah ya Rabbul
‘alamin!” Mata Sang Presiden berkaca kembali, dia sangat
bahagia dan merasakan kelapangan yang luar biasa dalam
hidupnya. Dia berpaling ke sahabatnya di posisi kiri ujung
dan berkata, “Saudaraku “Zero Three, ZT1”, engkau telah
bekerja keras dalam menjalankan tugasmu sebagai Menteri
Energi, Mineral dan Sumber Daya Negara. Aku
berterimakasih padamu sekaligus memohon maaf karena
selama pemerintahanku aku bertindak begitu keras dan
disiplin kepada program kerjamu. Semoga engkau
memaafkan aku, Saudaraku …!” ZT1, Menteri Energi, Mineral
dan Sumber Daya Negara RI merasa sangat terharu sehingga
tanpa disadarinya seguliran air putih bening menetes dari
sudut kelopak matanya. Dengan penuh bahagia di tatapnya
mata Sang Presiden dan berucap pelan, “Saudaraku
Presiden, tak ada yang perlu dimaafkan. Keras dan
disiplinnya Saudara Presiden kepadaku memberikan hasil
yang luar biasa bagi rakyat dan bangsa ini. Aku bersyukur
kepada Allah Yang Maha Esa yang telah menciptakanmu dan
memberikan seorang presiden sepertimu kepada bangsa ini.
Aku berterimakasih kepadamu, Saudara Presiden”. Dia
menyeka air mata ketulusan dan kebahagiaannya. Para
sahabat yang lain dalam halaqah itu terharu dan masing-
masing menyeka air mata yang tak terasa mengalir dengan
sendirinya membasahi pipi. Ucapan kesyukuran mendesah
dari celah-celah bibir mereka. Sang Presiden menangis
bahagia dan tak putus-putusnya bibirnya mengucapkan puji-
pujian dan kesyukuran kepada Allah Yang Maha Esa. Situasi
yang mengharukan dan membahagiakan itu berlangsung
beberapa menit, tapi kemudian Sang Presiden mencoba
menguasai dirinya agar tidak larut terlalu lama karena
mengingat harus ada hal-hal terbaik yang dikerjakannya di
bulan-bulan terakhir dirinya sebagai Presiden.
Diambilnya selembar tissue dari sebuah kotak tissue di
depannya. Disekanya air matanya. Di pandanginya bergilir
sahabat-sahabatnya satu per satu. Dengan nada perlahan
dia menyampaikan apa yang terpikir olehnya beberapa hari
ini. “Sahabatku seperjuangan dalam dakwah dan
kenegaraan, ada satu hal yang ingin kusampaikan kepada
kalian yang hal ini telah aku pikirkan beberapa hari ini. Untuk
itulah aku menggunakan kesempatan pertemuan ini untuk
menyampaikannya kepada kalian, dengan harapan kalian
memberikan pertimbangan dan tata cara yang berarti dalam
mewujudkannya”. Para sahabatnya, memandang Sang
Presiden dengan penuh tanya dan serius. “Apakah itu
Saudaraku Presiden?” Pertanyaan itu tercetus bersamaan di
antara mereka secara spontan dan tidak janjian. Tersadar
kompak, mereka saling menatap dengan bola mata yang
sedikit membesar dan akhirnya menurunkan nafas pelan
seraya tersenyum malu. Sang Presiden pun ikut tersenyum
melihat antusiasme spontan yang direfleksikan oleh para
sahabatnya itu. Dia menatap lembut dan dalam kepada para
sahabatnya. Kemudian Sang Presiden berucap, “Saya ingin
melelang secara patungan kebutuhan 12 trilyun untuk
penarikan TKI kita dari Negara lain itu kepada seluruh
menteri dan pejabat Negara yang ada di Republik Indonesia
ini. Juga kepada para pengusaha dan masyarakat Indonesia
yang ingin turut ambil bagian dalam pelelangan ini. Dan
“pelelangan patungan” kebutuhan 12 trilyun ini adalah
dengan cara mengumpulkan tawaran-tawaran sumbangan
yang mereka ajukan”. Sang Presiden diam sejenak dan
melanjutkan kembali, “Tawaran pertama dari saya,
sumbangan sebesar 1 trilyun ru….pi ….ah …” Kalimat Sang
Presiden terbata-bata pada kata terakhir “rupiah” karena
terganggu oleh bunyi alarm darurat dari HP Sang Presiden.
Alarm darurat itu adalah atas perintah Sang Presiden kepada
Ajudannya bila ada kejadian-kejadian penting dan darurat
yang terjadi pada saat Sang Presiden lagi mengadakan
pertemuan namun harus segera diambil tindakan penting.
Sang Presiden meraih HP-nya yang terletak di depannya.
“Assalamu’alaikum, ada apa “Zero Eleven, ZE?” Tanya Sang
Presiden kepada Ajudannya melalui HPnya. Para sahabat
yang hadir, saling bertanya dalam pandangan. “Apa
tuntutan mereka?” Tanya Sang Presiden lagi kepada
Ajudannya. Para sahabat makin gelisah mendengar kata
“tuntutan” dalam pembicaraan itu. Dalam hati mereka
bertanya-tanya, siapakah yang menuntut dan apa yang
dituntut? Terlihat Sang Presiden menyimak tekun suara
Ajudannya dari HP-nya. Kemudian Sang Presiden berkata,
“Tolong dijaga keamanan mereka, sebentar lagi saya akan
keluar menghadapi mereka. Terima kasih, assalamu’alaikum
….” Sang Presiden menutup HP-nya, seraya menatap ke arah
sahabat-sahabatnya, “Ada demonstrasi di luar. Keluarlah
kalian lebih dulu, nanti saya menyusul. Kita tutup pertemuan
kita ini dengan membaca doa Penutup Majelis dan Doa
Rabithah!” Dengan khusyu’ Sang Presiden dan par a sahabat
membaca do’a penutup majelis dan do’a rabithah.
Kemudian para sahabat ke luar menuju ke tempat para
demonstran, dengan pertanyaan yang berkecamuk di hati,
apakah gerangan tuntutan para demonstran itu? Dan
kenapa Sang Presiden tidak memberitahukan kepada
mereka?
Sementara para sahabat yang juga menjabat sebagai menteri
di kabinet pemerintahan menuju ke tempat di mana para
demonstran, Sang Presiden memasuki sebuah ruangan
khusus yang terletak di balik toilet ruangan itu. Ruangan
Rahasia. Agak tersembunyi memang dan ukurannya juga
tidak begitu besar. Hanya ada sebuah meja kerja dan
kursinya serta sebuah lemari buku berwarna merah marun
kecoklatan berdiri eksklusif di belakang meja kerja itu. Sang
Presiden menarik 1 buah buku teks book dari lemari
tersebut. Tanpa diduga secara otomatis lemari itu bergerak
memutar ke kiri seratus delapan puluh derajat. Terlihat
sebuah ruangan rahasia di belakangnya. Sang presiden
memasukinya dan berjalan berbelok ke kanan. Mengangkat
sebuah lukisan gurun pasir yang indah pada dinding ruangan
itu. Ternyata ada sebuah kunci putar rahasia di situ. Sang
Presiden memutar kode rahasia. Terbukalah secara otomatis
pintu lemari penyimpanan rahasia itu. Ukurannya sebesar
30 cm x 30 cm. Di dalamnya terdapat sebuah kaca mata
hitam yang mengambang di tengahnya. Mengapung di atas
“sesuatu yang tak kelihatan” pada apa dia berjejak. Sang
Presiden mengeluarkan kaca mata hitam itu. Kemudian
mengangkat “sesuatu yang tak kelihatan” yang berada di
bawah kaca mata tadi. Kemudian dengan bergegas Sang
Presiden menggerak-gerakkan kedua tangannya, layaknya
gerakan seseorang yang memakai pakaian. Dimasukkannya
kembali kaca mata ke dalam lemari penyimpanan tadi.
Ditutup dan dikunci. Meletakkan lukisan kembali pada
tempatnya. Bergegas menuju balik lemari buku.
Memasukkan buku teks book kembali ke tempatnya. Seperti
tadi, secara otomatis pula lemari buku memutar ke kanan
seratus delapan puluh derajat. Menutup, kembali ke posisi
semula. Dan seperti tak ada apa-apa di balik sana selain
sekumpulan buku-buku tebal eksklusif. Sang Presiden
bergegas menuju ke tempat para demonstran di luar
gedung.
***
Sementara itu, di tempat para demonstran menunjukkan
aksi. Para sahabat Sang Presiden yang telah lebih dulu ke
luar, melihat poster-poster dan spanduk yang dibawa oleh
para demonstran. Di sana tertuliskan kata – kata: “Jangan
Ganti Presiden!” “Tolak Presiden Baru!” “Kami Cinta Presiden
Penolong Rakyat!” “Pertahankan Presiden Pemihak Rakyat!”
“Tak perlu ada pilpres lagi, pertahankan!”. Para sahabat Sang
Presiden terharu dan memahami mengapa Sang Presiden
tidak memberitahukan kepada mereka tadi tentang tuntutan
apa yang diminta oleh para demonstran. Ternyata
kerendahan hati beliau dan kesantunannya, menyebabkan
beliau tak sanggup mengutarakan hal sebenarnya. Kristal-
kristal mutiara mengambang jernih dan indah di pelupuk
mata para sahabat. Begitulah Sang Presiden. Tak
mengherankan, bila semua rakyat mencintainya.
***
Sorak sorai para demonstran gegap gempita penuh riuh
menyambut lambaian tangan Sang Presiden yang menuju
arena demonstran didampingi oleh ajudan dan para
pengawal kepresidenan. Sang Presiden langsung menuju
podium. Menatap para demonstran dengan pandangan
penuh kasih dan berwibawa, kemudian mengucapkan kata:
“Assalamu’alaikum Saudara-saudaraku, Rakyat Indonesia
yang saya cintai. Langsung saja. Saya sangat terharu atas
permintaan dan keinginan Saudara-saudara sekalian.
Namun, hukum dan peraturan yang berlaku di Negara kita
adalah bahwa masa jabatan seorang Presiden paling lama
adalah dua periode. Dan itu berarti dalam kurun waktu 10
tahun. Dan tahun ini, secara hukum masa jabatan saya akan
berakhir.” Gemuruh suara para demonstran menanggapi
pidato Sang Presiden, di susul teriakan-teriakan lantang
mereka yang susul menyusul memenuhi arena: “Teruskan!”
“Jangan Ganti, kami tidak mau!” “Kami cinta Presiden!”
Sang Presiden menghela nafas panjang. Mencoba
menentramkan para demonstran, dengan mengangkat
kedua tangannya ke atas dan ke bawah. “Saudara-saudara
rakyat Indonesia yang saya cintai. Saya dan Saudara harus
bersikap kesatria. Seorang kesatria itu, memiliki jiwa
pemberani. Gagah berani. Artinya dalam posisi saya, berani
maju berani mundur. Dalam posisi Saudara-saudara rakyat
Indonesia yang saya cintai, berani menerima berani
melepas. Itulah sifat kesatria yang dimiliki oleh seorang
prajurit dan perwira. Dan kita ini semua adalah prajurit-
prajurit dan perwira-perwira bangsa ini. Prajurit-prajurit dan
perwira-perwira bangsa ini, haruslah kesatria! Oleh karena
itu, Saudara-saudaraku rakyat Indonesia yang saya cintai,
berani menerima saya, maka beranilah melepas saya! Inilah
sikap kesatria-kesatria Indonesia!” Sang Presiden berkata
penuh wibawa dan kharisma. Begitulah Sang Presiden di
mata para sahabatnya. Halus dan lembut, tapi tegas dan
berwibawa. Tak tergoda dengan tawaran menggiurkan
keduniaan. Hidupnya dan gelombang pemikirannya dia
persembahkan dan pertanggungjawabkan kepada Sang
Pencipta Yang Maha Agung. Betapa para sahabat sangat
memahami watak Sang Presiden dan itulah yang
menyebabkan mereka sangat mencintai beliau. Sang
Presiden selalu bisa memegang kendali situasi dengan
untaian pita kata sutra keemasan. Membuat semua orang
yang mendengar merasakan kemilau kekaguman, patuh dan
tunduk. Contohnya saja, para demonstran yang tadinya
begitu gegap gempita, kini terdiam dan terpana. Seolah
tersadar mendengar untaian kata-kata didikan yang
disampaikan Sang Presiden. Tak seuntai katapun terucap
dari celah bibir mereka. Seolah mereka tersadar dan merasa
tersalah dengan tuntutan yang mereka gaungkan.
Sang Presiden menatap mereka dengan tatapan luas dan
melebar. Matanya memancarkan bias-bias cahaya
pemahaman dan memaklumi watak dan jiwa manusia.
Gelombang kasih dan cinta menyelip indah dalam pancaran
matanya. Berbinar dan menari bahagia, menyadari
rakyatnya masih bisa disentuh dengan kata-kata bijak. Inilah
yang membahagiakannya. Tak percuma dia membuat
sebuah program “Sentuhan Mingguan Sang Presiden” di
seluruh siaran televisi menjelang waktu shalat Maghrib pada
setiap hari Minggu. Acara tersebut dapat diliput di seluruh
wilayah tanah air. Pada kesempatan itulah beliau selalu
menyampaikan kata-kata didikan yang penuh bijak kepada
seluruh rakyat Indonesia. Sang Presiden yang sempurna!
Selalu memikirkan apa yang terbaik bagi bangsa ini.
Berbahagianya rakyat ini, memiliki seorang Presiden yang
seperti beliau.
Sang Presiden ingin mengucapkan kata-kata lagi. Bibirnya
mulai bergerak, “Sauda…” Tapi tiba-tiba sebuah benda kecil
hitam melesat cepat kearah Sang Presiden dan terpental
keras dari pijakan pipi kiri Sang Presiden. Membalik ke arah
para demonstran. Di susul dengan sebuah teriakan histeris
dari seorang demonstran putri disusul histeris-histeris yang
lain dari putri-putri yang berdiri barisan terdepan
demonstrasi tersebut. Begitu cepatnya kejadian itu. Sang
Presiden, ajudan dan para pengawal kepresidenan serta para
sahabat terkejut dan tak sempat berpikir. Dari kejauhan Sang
Presiden melihat seorang demonstran putri berjilbab putih
telah bermandikan darah yang mengucur dari pelipis
kanannya. Sejenak dia berpikir keras dan serta merta beliau
berbisik kepada ajudannya. Kemudian sang ajudan berbisik
kepada Kepala Pengawal Kepresidenan. Secepat kilat Kepala
Pengawal berbisik kepada bawahannya. Estafet. Kelihatan
mereka bergerak cepat. Selanjutnya, Sang Presiden, Ajudan
dan Kepala Pengawal meninggalkan podium, bergegas
menuju gedung Istana Kepresidenan. Mereka memasuki
ruang rapat mini. Sang Presiden duduk di ujung kursi utama
dari sebuah meja ellips, yang biasa dipakai untuk
pertemuan. Disusul ajudan di sebelah kanannya dan Kepala
Pengawal Kepresidenan di sebelah kiri. “Dari pengamatan
kalian tadi, apa yang telah terjadi ketika saya memberikan
pidato yang hanya beberapa menit dan terputus tadi?” Sang
Presiden langsung membuka pertemuan darurat itu dengan
pertanyaan. “Bapak Presiden yang kami hormati, ada sebuah
benda kecil hitam melesat cepat ke arah pipi kiri Bapak
Presiden –dan diduga itu adalah sebuah peluru- kemudian
memantul kembali dan nyasar menuju sasaran tak terduga.
Kesimpulannya, ada yang ingin membunuh Bapak Presiden!”
Jawab Kepala Pengawal Kepresidenan singkat dan padat.
Sang presiden mengangguk-angguk karena memang itulah
yang diduganya sedari awal saat kejadian itu terjadi.
Kemudian beliau menatap ke arah ajudannya, me nanti
jawaban. “Bapak Presiden yang kami hormati, pengamatan
saya sama dengan yang disampaikan oleh Saudara Kepala
Pengawal Kepresidenan!” Jawab sang ajudan. Sang Presiden
mengangguk-angguk lagi. Terlihat dia berpikir keras. Lalu
menatap serius ke arah Kepala Pengawal Kepresidenan.
“Saya ingin, pelakunya dapat segera ditangkap dan diselidiki
apa motif dia melakukan semua ini? Apakah strategi gerak
cepat yang saya perintahkan tadi sudah dilaksanakan dengan
baik?” Tanya Sang Presiden. “Seperti yang Bapak Presiden
perintahkan sudah kami laksanakan, seluruh Pasukan
Keamanan telah saya perintahkan untuk menutup seluruh
lokasi dengan pagar betis, jangan ada yang boleh keluar dari
lokasi sebelum ada pemeriksaan dan kemudian menangkap
siapa pun orang yang menimbulkan gerak-gerik yang
mencurigakan. Dan secepatnya melapor. Demikian Bapak
Presiden.” Jawab Kepala Pengawal Kepresidenan. “Baiklah
kalau begitu, saya tunggu kabar dalam tempo 2 jam
terhitung dari sekarang. Lebih cepat lebih baik. Pertemuan
ini kita tutup. Laksanakan tugas kalian masing-masing!”
Perintah Sang Presiden seraya berdiri dan mempersilakan
mereka meninggalkan tempat. Sang Ajudan dan Kepala
Pengawal Kepresidenan membungkuk sedikit ke arah Sang
Presiden untuk meninggalkan ruangan pertemuan. Dalam
hati mereka berkecamuk tanya dan jawab. Siapakah yang
ingin membunuh Sang Presiden yang mulia ini? Dari pihak
manakah? Kenapa peluru itu terpental kembali? Apakah
karena hakikat kemuliaan akhlaq dan ibadahnya yang
melindungi dirinya? Seperti cerita-cerita para sufi yang
menyimpan karomah? Sejuta tanya dan jawab bermain-
main petak umpet di pikiran kedua staff Sang Presiden.
Mereka bergegas menuju ke arena tugas masing-masing.
Sang ajudan menunggu di ruang tamu istana. Dan Kepala
Pengawal menuju arena dimana para demonstran sedang
histeris ketakutan penuh hirup pikuk dan berantakan. Angin
sore yang biasanya lembut dan bersahabat di halaman
Istana Kepresidenan di Cikeas Bogor ini, kini tak nyaman lagi.
Tugas berat sedang diembannya. Di sinilah diuji ketangkasan
dan kecerdikannya dalam menangani masalah darurat dan
tak terduga. Dia harus bergerak cepat dan berpikir
cemerlang. Dan harus berhasil memecahkan persoalan ini.
Harus!
***
Sementara itu, di kelompok para demonstran terjadi
kegaduhan disertai jeritan histeris karena melihat temannya
bersimbah darah dan digotong oleh beberapa orang menuju
ke arah mobil Ambulance yang terletak di ujung kanan arena
untuk mendapatkan pertolongan pertama demi keselamatan
jiwanya. Selain itu, hal yang lebih mencekam dan memporak
porandakan barisan adalah ratusan satuan pengamanan
khusus memblokade di sekeliling barisan dengan
membentuk pagar betis yang tak tertembuskan. Juga Tim
Pengamanan Terbuka dan Tertutup, menyisir barisan para
demonstran dan menangkapi personil-personil yang
mencurigakan. Tahulah mereka bahwa telah ada penyusup.
Mengantisipasi hal tersebut, Korlap Demonstran
memberikan aba-aba kepada massanya untuk saling
bergandengan tangan dengan teman di sebelahnya dan
menanyakan siapa nama dan dari kelompok mana. Bila ada
identitas yang tak dikenal dan tak terdaftar, harus segera
dilaporkan kepada petugas. Itulah yang diingat oleh Sang
Korlap. Strategi pengamanan kelompok dari penyusup dari
pihak musuh. Strategi ini pernah dilaksanakan oleh pihak
musuh pada peperangan di zaman Rasulullah SAW, ketika
Yang Mulia Rasulullah mengutus seorang Sahabat di malam
gelap gulita yang dinginnya sampai menusuk ke tulang sum-
sum, namun Sahabat tersebut berhasil mengelabui pihak
musuh dan dia tidak tertangkap. Langkah strategi inilah yang
ditiru oleh Sang Korlap. Menggunakan strategi musuh
Rasulullah SAW. Hal ini berhasil membantu aparat
keamanan dalam penyisiran karena para demonstran cepat
tanggap membaca situasi dan mengambil tindakan sesuai
komando dan aba-aba dari Sang Korlap.
***
Di ruang pertemuan Istana Kepresidenan, setelah Ajudan
dan Kepala Pengawal Kepresidenan berangkat melaksanakan
tugas yang diperintahkan, Sang Presiden bergegas cepat
menuju ke Ruangan Rahasia. Mengambil sebuah teks book
dari lemari buku. Mengangkat lukisan. Memutar kunci
rahasia. Terbukalah lemari penyimpanan. Sang Presiden
mengambil kaca mata hitam yang terletak di dalamnya. Dan
sejenak dia menggerak-gerakkan kedua tangannya, seolah-
olah sedang melepaskan pakaiannya. Diletakkannya “sesuatu
yang tak kelihatan” di atas lantai yang dilapisi ambal indah
buatan Iran. Digantungkannya tangkai kaca mata hitam tadi
di atas kedua daun telinganya dan bertengger indah di atas
hidungnya. Diamatinya “sesuatu yang tak kelihatan” yang
diletakkannya di atas lantai berlapis ambal tadi. Terlihatlah
sebuah baju mantel silver yang seolah terbuat dari bahan
halus dan mahal. Sang Presiden tahu bahwa bahan halus
dan mahal itu terdiri dari campuran baja dan pelindung anti
peluru sekaliber apa pun. Ini adalah sebuah hadiah yang
diberikan seorang sahabat seperguruan spiritualnya di Timur
Tengah, “Akh X”. Persahabatan mereka sangat dekat. Dialah
orang yang pertama sekali diberitahukannya ketika dia
berniat memimpin negeri ini. Dan “Akh X” inilah yang terus
menyemangatinya agar berani maju dan bersaing dengan
rival-rival yang berkompeten. Keinginannya semata-mata
adalah demi perbaikan negeri ini dan tegaknya kalimah Sang
Pencipta di muka bumi ini. Yang rahmatnya akan menjamah
seluruh dimensi suku, ras dan agama. Yang akan
memberikan pencerahan dan keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia. Itulah cita-citanya sebagai seorang Presiden.
Tidak muluk-muluk, namun dia telah mempersiapkan
program kerjanya jauh-jauh hari sebelum dia menjadi Sang
Presiden.
Enam bulan setelah pelantikannya -pertama kali sepuluh
tahun yang lalu- “Akh X” mengirimkan sebuah hadiah
kepadanya. Dikirim jauh dari Timur Tengah. Beberapa hari
sebelum dikirimkannya hadiah itu, dia telah menerima sms
dari sahabat lintas negaranya itu yang berisi pesan: “Jangan
dibuka, kecuali sendiri”. Dia mengerti isi pesan sahabatnya
itu. Makanya dia membuka sendiri bingkisan itu di ruang
kerjanya. Ketika membuka bungkusan itu, dia hanya melihat
sebuah kaca mata hitam yang mengambang di atas “sesuatu
yang tak kelihatan”. Dalam hatinya, mengapa hanya karena
sebuah kaca mata hitam ini dia harus membukanya
sendirian. Apa rahasianya? Dia tak mengerti. Tapi di atas
selembar kertas yang terlampir di situ tertulis dalam sebuah
tulisan bahasa Arab yang artinya: ”Pakailah kaca mata hitam
itu, Saudaraku”. Dengan patuh dia memakainya. Tahulah dia
akhirnya bahwa “sesuatu yang tak kelihatan” itu adalah
sebuah baju mantel hujan bertopi, berwarna silver, halus
dan mahal. Lembut sekali bahannya. Dia kembangkan
dengan kedua tangannya. Diperiksanya kedua saku baju
mantel itu satu persatu. Pada saku sebelah kanan dia
mendapati sepucuk surat dari bahan yang sama. Yang kalau
dilihat dengan mata telanjang, tidak akan kelihatan.
Dibacanya. “Saudaraku yang kucintai karena Allah. Selamat
atas dilantiknya engkau menjadi Presiden. Aku tahu tugasmu
berat dan mulia karena cita-citamu sangat agung. Dalam
dunia ini, dimana ada Muhammad, di situ akan ada Abu
Jahal. Artinya, ada yang baik, yang akan mendukungmu. Ada
yang jahat, yang tidak mendukungmu. Yang akan
membencimu sampai ke sum-sum tulangnya. Oleh karena
itu, sejak kau bercita-cita menjadi seorang Presiden, aku
telah merancang baju mantel ini untuk perlindunganmu. Ini
terbuat dari bahan baja dan anti peluru. Baik peluru
tercanggih sekalipun, tak akan mampu menembusnya. Dan
takkan terdeteksi oleh alat apa pun di dunia ini. Karena aku
telah melindunginya dengan bahan umum biasa dan tak
mencurigakan. Alhamdulillah, Allah memberiku ilmu tentang
hal ini dan harta yang banyak kepadaku, Saudaraku.
Simpanlah baju mantel ini di sebuah tempat yang
tersembunyi. Dan jangan beritahu siapa pun. Sekalipun
orang kepercayaanmu. Pakailah setiap kali kau mengadakan
acara-acara di muka umum, yang di situ segala macam
watak dan karakter manusia hadir di sana. Itulah untuk
pengamananmu. Selamat berjuang, Saudaraku. Ttd. Akh X”.
Itulah surat rahasia dari “Akh X”, yang akhirnya dirancanglah
Ruangan Rahasia ini untuk tempat penyimpanannya. Yang
tak seorang pun mengetahuinya karena seluruh rancangan
dan pekerjanya didatangkan oleh “Akh X” dari Timur Tengah.
Dari seorang sahabat, untuk Sang Presiden. Karena dia
punya cita-cita mulia dan rahmatan lil’alamin. Sehingga tak
seorang pun mengetahui hal ini, kecuali Sang Presiden
sendiri. Betapa matangnya perencanaan sahabatnya itu.
Dan hari ini, apa yang dikhawatirkan sahabatnya itu telah
terjadi. Dipandangnya tajam bagian atas baju mantel silver
itu. Bentuk topi ninja yang menyatu dengan baju mantelnya.
Pada bagian pipi sebelah kiri topi itu ada sedikit goresan tipis
retak-retak. Hantaman keras sebuah peluru, tapi tak sampai
menembus topi.
Dia harus segera memberitahukan kejadian ini kepada “Akh
X”. Hal yang dikhawatirkan sahabatnya itu telah menimpa
dirinya. Namun, saat ini juga dia sedang menunggu berita
dari Kepala Pengawalnya yang telah menggerakkan seluruh
komponen Pengamanan Terbuka dan Tertutup yang terdiri
dari pihak Polri, TNI AD, TNI AL, TNI AU dan BIN untuk
bergerak cepat menangkap siapa pelaku dan otak dari
“penembakan gagal” dirinya.
***
Di ruang keluarga Istana Kepresidenan, tujuh hari kemudian
setelah insiden “penembakan gagal” Sang Presiden tersebut.
Sang Presiden dan keluarga sedang berkumpul menyaksikan
berita televisi. Semua stasiun siaran televisi Indonesia,
meliput berita tentang pelaku “penembakan gagal” Sang
Presiden dan latar belakang terjadinya penembakan
tersebut. Laporan seorang penyiar televisi “Zero-zero Seven”
yang saat itu sedang ditonton keluarga Sang Presiden,
menyampaikan: ”Saudara-saudara pemirsa televisi “Zero-
zero Seven” yang setia, berikut kami sampaikan secara
singkat hasil inti dari penelusuran dan penyidikan kru televisi
kami dalam kasus “penembakan gagal” Sang Presiden.
Antara lain, dua jam setelah terjadinya insiden “penembakan
gagal” Sang Presiden, telah ditangkap pelaku-pelaku yang
mencurigakan. Para pelaku ini berhasil ditangkap setelah
dilakukan penyisiran pada barisan para demonstran. Juga
adanya kerjasama yang baik antara Aparat Keamanan
Terbuka dan Tertutup dengan Korlap demonstran.
Selanjutnya, dalam tempo tujuh kali dua puluh empat jam,
hasil kerja keras seluruh aparat keamanan yang terdiri dari
Satuan Pengawal Presiden, Polri, TNI AD, TNI AL, TNI AU dan
BIN berhasil mengungkapkan siapa otak dari “penembakan
gagal” ini. Ada dua orang sebagai otak dari penembakan ini,
yaitu : Satu, Mantan Menteri Pengurusan dan Kesejahteraan
Tenaga Kerja dengan motif sakit hati telah dipecat pada
tahun ketiga pertama pemerintahan Sang Presiden karena
tidak menjalankan tugas dengan baik dan menimbulkan
korban nyawa pada TKI. Saudara pasti ingat pada kasus
tujuh tahun yang lalu. Menteri ini dipecat karena lalai dan
tidak menolong puluhan TKI yang berada di Negara “Eksis”
yang terkena wabah penyakit menular. Padahal, program
Jamsostek untuk TKI kita waktu itu telah disyahkan untuk
dijalankan pada tahun kedua pemerintahan Sang Presiden.
Jadi Menteri yang bersangkutan tidak menjalankan tugasnya
dengan baik, sehingga memakan korban jiwa puluhan TKI.
Padahal, para TKI telah melapor dan memohon bantuan
kepadanya, namun tak segera diambil tindakan. Kedua,
Menteri Kekayaan Bumi yang dipecat pada tahun keempat
pertama dari pemerintahan Sang Presiden. Menteri ini
dipecat karena terkait kasus penjualan Kekayaan material
Bumi Indonesia secara illegal untuk memperkaya diri sendiri
kepada Negara lain. Sehingga rakyat Indonesia sendiri yang
memerlukan material tersebut mengalami kekurangan
pasokan yang besar sehingga hampir menimbulkan revolusi
rakyat. Hal ini menyebabkan kerugian yang besar bagi
Negara. Demikianlah kami sampaikan otak pelaku
“penembakan gagal” Sang Presiden. Saya, Aisyah Quthb
serta kru teknisi lainnya undur diri dari hadapan Saudara.
Terima kasih!”

Melawan janji setan dg kerja keras n istighfar

Intergovernmental Panel on Climate Control (IPCC) lima
tahun lalu (2007) memprediksi bahwa suhu permukaan
bumi akan naik minimal 1.1 dan maksimal 6.4 derajat
Celcius pada abad ini. Masih menurut institusi ini global
warming akan berdampak pada semakin banyaknya banjir
karena permukaan air laut yang naik, berkurangnya supply
air bersih, meningkatnya malnutrition, memburuknya
tingkat kesehatan sampai juga meurunkan kemampuan
berproduksi dari bangsa-bangsa di dunia.
Institusi lain World Bank (Bank Dunia) mengabarkan bahwa
saat ini ada sekitar 1.1 Milyar orang di seluruh dunia yang
hidup dibawah garis kemiskinan absolut dengan daya beli
kurang dari US$ 1 per hari. Institusi yang sama juga
mengungkapkan bahwa saat ini ada sekitar 923 juta orang
dari seluruh dunia kekurangan gizi.
Saat ini juga diperkirakan tidak kurang dari 1 Milyar
penduduk dunia tidak memiliki akses kesehatan. Karenanya
dari 56 juta kematian per tahun di dunia - 2/3
diantaranya oleh sebab penyakit yang tidak tertangani.
Masih banyak krisis-krisis lain seperti energy, finansial,
keamanan, kemanusiaan dlsb. yang semua mengarah pada
kehidupan yang semakin sulit dan bumi terasa semakin
sempit untuk ditinggali. Kondisi ini seolah terwakili dalam
judul buku Hot, Flat and Crowded (2008) yang ditulis oleh
penulis kondang Thomas L. Friedmen .
Gambaran tentang kesulitan dan kesempitan hidup di dunia
ini memang benar adanya, penyebabnya-pun jelas yaitu
dari kerusakan-kerusakan yang diciptakan oleh tangan-
tangan manusia itu sendiri. Bahkan kondisi ini juga telah
diberitahukan ke kita sejak 1,400 tahun lebih dalam
firmanNya :
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan
karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah
merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang
benar) .” (QS 30 :41)
Fakta bisa sama tetapi sikap bisa berbeda. Bagi orang-
orang yang tidak beriman, fakta krisis pangan , krisis energy
dlsb. menjadikannya jalan menghalalkan segala cara untuk
mengamankan pasokan pangan dan energy untuk
kepentingannya sendiri. Mereka bisa mencurangi, mengadu
domba, memerangi sampai juga menjajah negeri-negeri
yang berpotensi untuk dijadikan penyuply kebutuhan
pangan dan energy-nya.
Orang-orang beriman juga melihat fakta yang sama, tetapi
langkah yang dilakukannya yang akan berbeda.
Sebagaimana ayat di atas, mereka akan ‘ kembali ke jalan
yang benar’. Mereka akan bekerja keras untuk memperbaiki
kerusakan yang ada, menyuburkan kembali lahan-lahan
yang rusak, menghijaukan kembali hutan-hutan yang
gundul, membersihkan kembali air-air yang tercemar dst.
Bila pada umumnya orang melihat dunia menuju satu arah
yaitu semakin rusak, semakin sempit, semakin kompetitif,
semakin miskin dan seterusnya, maka memang inilah yang
dikehendaki setan – supaya manusia menghalalkan segala
cara untuk menghindari kemiskinan ini.
“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan
kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir);
sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-
Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi
Maha Mengetahui .” (QS 2 :268).
Janji-janji setan inilah yang antara lain juga membuat
kampanye program Keluarga Berencana sukses, karena
orang mudah untuk dibuat takut miskin – takut tidak bisa
menyekolahkan anak, dlsb.
Lantas dengan demikian apakah pemerintahan suatu
negeri seharusnya membiarkan saja jumlah penduduk
meledak tanpa kendali ?. Fokus programnya yang harus
dirubah, bukan jumlah penduduknya yang ditekan – karena
setelah ditekan selama sperempat abad lebih-pun
penduduk miskin kita juga terus bertambah.
Tetapi sumber-sumber kemakmurannya yang harus terus
digali. Bila Allah berjanji “…dan janganlah kamu
membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan.
Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada
mereka… ” (QS 6 : 151), maka Dia pasti penuhi janjiNya,
sumber-sumber rezeki itu akan tersedia cukup untuk kita,
anak-anak kita bahkan sampai cucu cucu kita kelak sampai
akhir jaman.
Syaratnya adalah kita tidak terus berbuat “…kerusakan di
darat dan di laut…” dan kita mulai menjalankan fungsi kita
diciptakan di muka bumi, yaitu “…menjadi
pemakmurnya… ”. Jadi jalan untuk memakmurkan bumi
ini yang harus menjadi fokus utama – karena itulah kita
diciptakan, bukan sebaliknya untuk mengerem
pertumbuhan penghuninya.
Bapak saya adalah Kyai di pesantren kecil di desa, beliau
juga petani kecil yang nyaris tanpa lahan yang berarti.
Tetapi beliau memiliki anak 11 ( 12 meninggal 1 sewaktu
bayi), kok cukup ya untuk membesarkan ke 11 anaknya ?.
Kebanyakan orang akan berfikir, oh itu dahulu, ketika dunia
belum se kompetitif sekarang, ketika produksi lahan-lahan
pertanian masih tinggi, ketika anak-anak cepat bisa mandiri
bahkan sejak mereka di bangku kuliah. Sekarang masanya
lain, kompetisi untuk sekolah, lapangan kerja dlsb menjadi
semakin berat, beban biaya hidup semakin mahal dlsb
sehingga tidak terbayang bisa punya anak 11 ?.
Allah punya cara tersendiri untuk mengendalikan jumlah
penduduk di muka bumi ini, ada yang diberi satu anak, dua
anak dan ada yang diberi 11, 13 dan bahkan konon ada
yang 16. Tetapi semuanya di cukupiNya, bila kita mengikuti
perintahNya untuk memakmurkan bumi.
Persaingan untuk memperoleh sekolah yang baik ?, siapa
bilang konsep sekolah harus berebut bangku di sekolah-
sekolah yang baik nan mahal ?. Sekolah bisa kita buat
sendiri dengan cara yang lebih murah dan insyaallah
lebih baik membekali anak-anak dengan keimanan dan
kemandiriannya.
Siapa bilang anak-anak harus berkompetisi mencari
lapangan pekerjaan ?. Dengan teknologi yang ada di jaman
ini, mestinya akan lebih mudah mencari atau bahkan
menciptakan lapangan pekerjaan sendiri .
Siapa bilang juga produksi lahan-lahan pertanian akan terus
menyusut ?, bila dengan karuniaNya dan petunjukNya kita
bisa melipat gandakan hasil dari setiap jengkal lahan
yang ada !.
Bila setelah bekerja keras untuk memakmurkan bumi ini
kemiskinan masih juga membayang di depan mata kita,
Allah-pun memberikan solusinya…yaitu banyak-banyaklah
kita beristigfar. Solusi istigfar ini setidaknya saya temukan
di dua surat yang berbeda, dengan redaksi yang berbeda –
tetapi pesan yang disampaikannya mirip satu sama lain :
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu
dan bertobat kepada-Nya. (Jika kamu, mengerjakan yang
demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik
(terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang
telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap
orang yang mempunyai keutamaan (balasan)
keutamaannya…” (QS 11:3)
“Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun
kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha
Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan
kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan
anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun
dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-
sungai. ’” (QS 71 : 10-12)
Jadi agar kita tidak terjebak dengan kampanye dan janji-
janji setan yang memiskinkan, nampaknya memang kita
harus bekerja keras dan terus beristigfar…

Minggu, 22 April 2012

Jangan bikin gelap yg sudah terang

Habis Gelap Terbitlah Terang.
Demikian judul buku yang ditulis oleh Raden Adjeng
Kartini, pejuang emansipasi wanita Indonesia. Dan
kita tak bisa menutup mata terhadap sejarah yang
mencatat perjuangan beliau dalam menempatkan
kaum wanita pada hak dan kewajiban yang
semestinya.
Jangan gelapkan yang sudah terang. Ini bukanlah
judul sebuah buku, tapi mungkin akan dituliskan oleh
Kartini bila beliau masih hidup di jaman sekarang,
dimana emansipasi banyak disalahartikan, juga
disalahtempatkan. Emansipasi sering dipahami
sebagai sebuah kebebasan yang seolah tidak ada
aturan. Sungguh, kebebasan yang kebablasan.
Atas nama seni dan kebebasan berekspresi, beberapa
wanita masa kini rela bahkan ada yang bangga dirinya
menjadi objek bahkan pelaku pornografi dan juga
pornoaksi. Astaghfirulloh. Jika hari ini R.A. Kartini
masih hidup, tentu beliau akan menangis sedih
melihat degradasi moral kaumnya yang tragis. Benar-
benar membuat miris.
Pria dan wanita mempunyai hak dan kewajiban yang
sama. Dalam hal tertentu memang iya, tapi dalam
beberapa hal lainnya, tetap ada perbedaan antara
pria dan wanita, baik hak maupun kewajibannya.
Dalam hal pendidikan, pria maupun wanita memiliki
hak yang sama untuk mendapatkannya. Bahkan Islam
bukan hanya memandang ini sebagai hak, tapi
kewajiban. Di berbagai riwayat, dapat kita temukan
hadist yang menyebutkan kewajiban setiap muslim
( laki-laki dan perempuan ) menuntut ilmu, sejak
masih dalam buaian hingga masuk dalam kuburan.
Mengapa? Jawabannya ada pada hadist nabi lainnya,
“Barang siapa menginginkan soal-soal yang
berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki
ilmunya ; dan barang siapa yang ingin (selamat dan
berbahagia) diakhirat, wajiblah ia mengetahui
ilmunya pula; dan barangsiapa yang meginginkan
kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-
duanya pula”. (HR.Bukhari dan Muslim)
Jadi apa yang dulu R.A. Kartini perjuangkan adalah hal
yang benar dan mulia. Tidak semestinya kaum wanita
diperlakukan beda dalam hal mendapatkan
pendidikan. Dan hasil perjuangan beliau sangat
dirasakan sekali oleh kaum wanita masa kini.
Berbagai prestasi, baik dalam bidang pendidikan
maupun pekerjaan bukan lagi mutlak milik kaum
pria. Banyak kaum wanita yang mampu menunjukan
prestasi cemerlang melebihi laki-laki. Dan ini tidak
masalah, tidak pula dilarang.
Yang menjadi masalah adalah ketika ada yang
menuntuk haknya ( dengan dalih emansipasi ) tapi
melupakan fitrahnya ataupun melalaikan
kewajibannya sebagai perempuan.
Apapun prestasi di luar rumah, seorang istri tetap
berkewajiban mengurus rumah tangganya. Apapun
prestasi akademik yang dimilikinya, seorang istri
harus tetap hormat dan patuh pada suami
( sepanjang dalam hal kebaikan dan kebenaran ).
Setinggi apapun karir yang diraihnya, seorang ibu
bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Seorang
anak wajib berbakti pada orang tuanya.
Prestasi dalam pendidikan maupun pekerjaan tidak
serta merta merubah fitrah seorang perempuan.
Tidak pula menggugurkan kewajibannya terhadap
keluarga, masyarakat dan juga negaranya. Emansipasi
boleh jadi memberikan hak tapi tidak menghilangkan
kewajiban seorang wanita. Ini yang terkadang kurang
dipahami dengan baik oleh beberapa wanita masa
kini. Bersenjatakan satu kata yaitu emansipasi
ditambah lagi hak asasi, mereka beranggapan pria
dan wanita sama, dalam segala hal, segala perkara.
Tapi anehnya, ketika mereka terpojok, keluarlah
senjata pamungkasnya “Saya ini kan wanita, jangan
disamakan dengan pria!”
Majulah wahai saudari-saudariku, gunakan hak-
hakmu untuk meraih mimpi dan cita-citamu tanpa
harus mengabaikan fitrahmu, melalaikan
kewajibanmu. Kartini, dengan perjuangannya, telah
memberikan cahaya terang bagi kaummu, karenanya
jangan gelapkan lagi yang sudah terang dengan
perilaku burukmu. Kartini berjuang untuk
meninggikan derajatmu, mendapatkan hak-hakmu,
bukan untuk melawan kodratmu, bukan pula
menghapus kewajibanmu. Jagalah terang yang telah
Kartini persembahkan agar tetap bercahaya. Jangan
biarkan nafsu mengembalikanmu pada kegelapan
yang gulita.

Sabtu, 21 April 2012

Kerabatmu dulu baru sahabatmu

Pulang sekolah, Anisa mendapati
Bunda sedang melipat baju yang baru diangkat dari
jemuran, membuat ia teringat dengan sebuah
rencana. Khawatir terlupa lagi, Anisa langsung
menyampaikan rencana tersebut kepada sang bunda.
“Bunda, boleh tidak kalau aku memberikan baju yang
sudah kekecilan pada orang yang membutuhkan?”
“Boleh saja. Tapi, bukankah dua minggu yang lalu
semua baju kecilmu sudah kamu berikan kepada
sepupumu?”
“Masih ada satu, Bunda. Baju warna biru yang dulu
ayah belikan. Boleh ya, Bunda?” Anisa memohon.
“Oh, yang itu. Sekarang kamu sudah berubah pikiran?
Daripada hanya tersimpan di lemari, Bunda memang
lebih setuju kalau kamu berikan kepada yang
membutuhkan. Bunda yakin Ayah juga setuju dengan
idemu. Kalau boleh tahu, kepada siapa baju itu akan
kamu berikan?”
Dengan semangat Anisa pun bercerita bahwa di
sekolahnya ada penjual jajanan yang mempunyai
anak perempuan. Usianya di bawah Anisa.
Kepadanyalah Anisa berencana memberikan baju
yang sebenarnya sangat special. Baju itu hadiah dari
Ayah saat ulang tahunnya setahun yang lalu. Tapi
karena Ayah keliru memilih ukuran, sejak dibeli baju
itu hanya tersimpan di lemari. Masih baru, belum
pernah dipakai sama sekali.
“Kamu sudah bilang sama anak atau ibu penjual
jajanan itu kalau kamu akan memberikan baju?”
tanya Bunda.
Anisa menggeleng. Sebenarnya ia agak khawatir kalau
pemberiannya justru akan menyinggung perasaan
mereka. Terus terang Anisa tidak begitu akrab dengan
mereka.
“Begini, Anisa. Sebenarnya Bunda mendukung penuh
niatmu. Mau diberikan kepada siapa saja, yang
penting kamu harus ikhlas, tidak mengharapkan
apapun kecuali ridha Allah semata. Tapi di pengajian
mingguan kemarin, kebetulan ustadzah membahas
tentang prioritas orang-orang yang berhak menerima
sedekah kita.”
Anisa menatap Bunda, tak mengerti apa yang Bunda
maksudkan.
Maka dengan lemah lembut Bunda menjelaskan
bahwa meski tidak ada larangan untuk memberikan
sedekah kepada siapa pun, tapi sebenarnya ada pihak-
pihak yang harus diprioritaskan. Keluarga dan kerabat
lebih utama didahulukan dibanding pihak lain.
Seperti yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim,
Rasulullah saw pernah bersabda, ““Jika salah seorang
di antaramu miskin, hendaklah dimulai dengan
dirinya, jika ada kelebihan maka untuk keluarganya,
jika ada kelebihan lagi untuk kerabatnya.” Atau beliau
bersabda: “Untuk yang ada hubungan kekeluargaan
dengannya. Kemudian apabila masih ada barulah
untuk ini dan itu.”
Juga ada satu firman Allah yang menunjukkan
keutamaan memberi shadaqoh kepada keluarga,
kaum kerabat kemudian tetangga sekitar, berdasarkan
firman Allah swt: “Kepada anak yatim yang
mempunyai hubungan kerabat. “ (QS. Al Balad: 15)
Karenanya, Bunda menyarankan kepada Anisa untuk
memberikan baju itu kepada kerabatnya. Ada satu
orang sepupu Anisa yang belum kebagian saat Anisa
membagi-bagikan baju bekas layak pakainya dua
minggu yang lalu.
“Jika kita memiliki beberapa yang bisa kita
sedekahkan, tidak masalah kita berikan kepada
beberapa orang, termasuk yang bukan kerabat kita.
Tapi Adakalanya, kita tak mempunyai banyak yang
bisa kita berikan, bahkan satu-satunya seperti baju
yang akan kau berikan, kita harus membuat skala
prioritas. Siapa yang paling membutuhkan, dan siapa
yang terdekat dengan kita. Jika dua orang sama-sama
membutuhkan, tapi hanya satu yang bisa kita
berikan, maka kita utamakan dulu yang masih ada
hubungan keluarga dengan kita. Menurut Bunda,
Aisyah adalah pilihan yang paling tepat. Kita tahu,
hidup mereka sangat sederhana. Sudah semestinya ia
kita prioritaskan sebelum orang lain.” Panjang lebar
Bunda menjelaskan.
“Tapi kalau semua orang lebih mementingkan
saudaranya, bagaimana dengan mereka yang tidak
memiliki saudara, siapa yang akan membantu
mereka? Apa negara, Bunda?”
Bunda tersenyum, menatap Anisa yang telah melepas
kerudungnya, kegerahan.
“Jangan khawatir mereka tidak ada yang
memperhatikan. Apa yang nabi contohkan, bukan
berarti kita tidak perlu memperhatikan dan
membantu orang lain yang bukan saudara. Bukan itu
maksudnya, Anisa. Jika ada dua pihak yang sama-
sama sangat membutuhkan, tapi hanya kepada salah
satunya kita bisa membantu, maka utamakan yang
terdekat hubungannya dengan kita. Jika kita mampu,
membantu orang lain yang tidak memiliki hubungan
kekerabatan juga dianjurkan. Yang terpenting, kita
harus ikhlas, tidak boleh mengharap imbalan dan
tidak juga boleh menyakiti perasaan mereka.”
“Mengenai orang-orang yang mungkin tidak memiliki
keluarga, seperti yang kamu pelajari di sekolah, orang
miskin dan anak-anak terlantar seharusnya menjadi
tanggung jawab negara, dalam hal ini aparat
pemerintahannya. Begitu pun dalam pandangan
agama, seorang pemimpin wajib memperhatikan
kesejahteraan hidup rakyat yang dipimpinnya.” Bunda
menambahkan.
Kening Anisa berkerut. Masih ada yang mengganjal di
hatinya. “Tapi kok masih banyak orang-orang yang
hidupnya kekurangan, terlantar di pinggir jalan dan
tinggal di kolong-kolong jembatan. Apa pemerintah
kita tidak tahu, pura-pura atau justru tidak mau
tahu? Jangan-jangan, para pejabat negeri ini
beralasan kalau mereka sekedar mengikuti sunah
nabi. Karenanya mereka selalu mengutamakan
keluarga dan kerabatnya saja? Memperkaya diri
sendiri dengan cara korupsi?”
Bunda terkekeh. Cara berfikir Anisa memang
seringkali melampaui anak seusianya.
“Secara pribadi seorang pejabat tidak salah jika
mengutamakan keluarga dan kerabatnya. Tapi sebagai
aparat pemerintah, mereka bertanggung jawab
terhadap kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya.
Bukankah dalam ruang lingkup negara, seluruh warga
negara adalah juga keluarganya? Jadi kalau ada
seorang pemimpin, pejabat negara yang tidak peduli
dengan rakyatnya, dan hanya mengutamakan
keluarga dalam kehidupan pribadinya, maka ia telah
menyalahi amanah yang rakyat berikan kepadanya.
Apalagi kalau sampai korupsi, memperkaya diri dan
keluarganya sendiri dengan mengambil hak-hak
rakyat, maka tunggulah di akhirat, ia akan diminta
pertanggungjawabannya.”
Anisa mengangguk. Bukan sok paham, ia benar-benar
telah paham.
“Ya sudah, kalau begitu baju Anisa yang biru itu buat
Aisyah saja. Lain kali, kalau ada yang sudah tidak
muat lagi baru Anisa berikan kepada anak si penjual
jajanan.”
“Berdoalah, Nak. Semoga Allah meluaskan rezeki kita
agar kita bisa berbagi dengan banyak orang. Tak
harus menunggu baju kamu kekecilan, tapi kita bisa
membelikan baju-baju baru untuk mereka yang
hidupnya kekurangan.”
“Amin…”

inspirasi "Umar"


Umar bin Khattab,
Rindu ku melihat wajahmu
Ketokohanmu menyejarah
Kepahlawananmu menghadirkan decak kagum
Keperkasaanmu menjungkalkan kemusyrikan
Keadilanmu meleburkan masalah
Kepedulianmu menghadirkan kebahagiaan
Luka-luka menganga kehidupan terobati
Jahitan kebenaranmu telah menyatukan serpihan-
serpihan kesalahan
Umar,
Dari dulu hingga kini namamu membumi
Sampai kapan pun namamu akan selalu dikenang
Kepahlawananmu menjayakan Islam
Gaya pemerintahanmu mengindahkan kehidupan
Umar,
Kau lah pemimpin yang bisa tertidur pulas tanpa
kawalan
Kaulah pemimpin yang tak butuhkan istana
pemerintahan
Kaulah pemimpin yang menerbangkan tinggi
kemuliaan akhlaq
Kaulah pemimpin yang menyedekahkan hartamu
karena ketinggalan shalat berjamaah
Kaulah manusia yang menjadi inspirasi turunnya
banyak ayat Al Qur’an
Kaulah manusia yang pendapatmu sering jadi rujukan
Kaulah manusia yang menggugurkan virus-virus
kejahilan
Umar,
Kaulah pemimpin tak ada bandingan
Menangis sesenggukan karena ketakutan melalaikan
amanah kepemimpinan
Memikul sendiri karung berisikan tepung
Kemudian memasak dan menghidangkannya
Umar,
Langit menangis karena kepergianmu
Malam kesepian karena kepulanganmu
Jihad merana menantikan semangatmu
Bumi gersang karena kehilangan siraman kasih
sayangmu
Kau tak ada duanya dan tak ada penggantinya
Selamanya

Akal vs Nafsu


Tuhan,
Akalku pastinya sudah paham
Kalau itu noktah-noktah hitam
Tapi sang nafsu itu
Tak mau berhenti menggoda merayu
Akalku menggelepar
Bak ikan terpanggang
Hidup-hidup dibuatnya
Raga ini selalu berlari
Dari syahwat durja itu
Tapi sang nafsu selalu
Setia hadir mengebiri
Tuhan,
Akalku menangis sedu
Di hadapan dua malaikatMu
Kiri-kanan sampingku
Tak berkutik ditiban sang nafsu
Akalku hanya mampu
Sedikit mengulum senyum tersipu
Kalaku tegak raka’atMu
Namun, akalku tau
Raka’at itu tak memberi
Banyak arti bagiku
Yang berlumuran dosa ini
karena syahwat itu
akan kembali mengebiri
Tuhan,
Kalau ku boleh berkalkulasi pahala
Adakah Ia setitik nila
Adakah Ia mencukupi
Bekal menghadapMu nanti
Sedangkan dosa-dosa itu
Tak terkalkulasi
Menggunung meninggi
Tanpa celah memandang
Tuhan,
Kalau boleh ku mengemis meminta
Tolong sediakan lautan ampunan itu
Beriku telaga rahmanMu
Di tengah kobaran dosa-dosaku
Yang ku pinta hanya ampunanMu
Yang ku harap hanya rahman Mu
Selimuti aku dengan rahim Mu
Hangatkan aku dengan ridhaMu