Kamis, 24 Mei 2012

Aqiqah anak? kalo dulu enggak?

Anak adalah anugerah
Allah yang diberikan kepada setiap umat
manusia. Setiap orang akan berusaha keras
untuk bisa mendapatkan anak untuk
menjadi generasi penerus di kemudian hari.
Dan ketika mereka telah dilahirkan, dianjurkan bagi setiap
Muslim untuk memberikan kepadanya nama-nama yang
baik. Dan saat memberikan nama itu, sekalian disunahkan
untuk menyembelih hewan berupa kambing sebagai
aqiqahnya.
Aqiqah merupakan sunnah mu’akkad (sangat dianjurkan)
bagi mereka yang mampu. Menurut jumhur ulama dari
kalangan sahabat, tabi'in, dan orang yang hidup setelah
mereka, aqiqah disunahkan bagi anak laki-laki dan juga
perempuan.
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Seorang anak yang baru
lahir itu tergadai dengan aqiqahnya, maka semeblihkan
kambing untuknya, dicukur rambutnya dan diberi
nama.” (HR Nasa’i, Abu Dawud, dan Ahmad).
Berapakah jumlah kambing yang harus dijadikan kurban
aqiqah? Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah
ini. Ada yang menyatakan cukup satu ekor untuk anak laki-
laki, dan seekor pula buat anak perempuan. Namun adapula
yang menyatakan dua ekor kambing untuk anak laki-laki,
dan seekor kambing untuk anak perempuan.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA,
ia menceritakan bahwa, “Rasul SAW pernah mengaqiqahkan
Hasan dan Husain, masing-masing satu ekor domba.” (HR
Abu Dawud, Ibnu Majah, Nasa’i, dan Tirmidzi).
Dari Ummu Karaz Al-Ka’biyah RA, "Aku pernah mendengar
Rasul SAW bersabda, 'Bagi anak laki-laki dua ekor kambing
yang berdekatan (umur dan besarnya), sedangkan untuk
anak perempuan seekor kambing.”
Pendapat yang kedua ini lebih banyak disetujui para ulama,
yakni dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan seekor
untuk anak perempuan.
Adapun waktu melakukannya adalah pada hari ketujuh,
ke-14, ke-21, atau ke-28. “Aqiqah itu disembelih pada hari
ketujuh, ke-14, dan atau ke-21.” (HR Baihaqi).
Lalu bagaimana kalau tidak mampu dan mampunya setelah
sang bayi berusia lebih dari setahun, dua tahun, atau bahkan
sudah dewasa?
Dalam masalah ini, para
ulama berbeda pendapat. Al-Rafi’i
berpedapat, “Jika seseorang mengakhirkan
aqiqah sampai usia baligh, maka gugurlah
kewajiban aqiqah baginya.”
Sedang Al-Qafal dan Al-Syasyi menganjurkan untuk tetap
melaksanakannya.
Mengenai pendapat tentang keharusan untuk mengaqiqahi
dirinya sendiri setelah dewasa bilamana dia telah mampu
sebagaimana hadits Nabi SAW yang bersabda, “Aqiqahilah
untuk dirinya sendiri setelah kelahirannya,” menurut Syekh
Kamil Muhammad Uwaidah dalam kitabnya Al-Jami’ fi Fiqhi
an-Nisa’ , tidak bisa dibenarkan.
Alasannya, kata Syekh Kamil, hadits di atas dinyatakan oleh
Imam Baihaqi sebagai hadis munkar, karena di sana
terdapat periwayat hadits yang bernama Abdullah bin
Muharrar yang telah disepakati oleh para ahli hadits atas
kedhaifannya (lemah).
Imam Hanafi dan para pengikutnya menyatakan, kebolehan
menyatukan aqiqah dengan kurban saat Idul Adha. Hewan
itu selain kurban juga untuk aqiqah, sebagaimana
disunahkan mandi Jumat sekali saja, jika lebaran (Idul Fitri
atau Idul Adha) pada hari Jumat.
Bagaimana bila tidak mampu untuk beraqiqah? Dalam
masalah ini, Syekh Kamil berpendapat, tidak mengapa,
sebab hukum aqiqah itu hanya sunnah mu’akkad dan itu
jika mampu. Apabila tidak mampu, tidak apa-apa. Wallahu
a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar