Jumat, 04 Mei 2012

Berburu kursi berburu jabatan. . .

Abu Dzar al-Ghifari sahabat Nabi SAW yang
zuhud dan wara. Sebagai sosok yang saleh
dan sangat bersahaja. Dia bahkan tokoh ternama ahl al-
shufah, yang selalu berkumpul di beranda rumah Nabi
bersama mereka yang ahli ibadah, tetapi cenderung
menjauhi dunia. Ketika figur yang baik ini meminta jabatan,
seraya Nabi mencegahnya. Bahwa urusan publik harus
ditunaikan oleh ahlinya sekaligus mampu
mempertanggungjawabkannya.

Umar bin Khattab ketika hendak menerima amanat
kekhalifahan menggantikan Abu Bakar merasa berat, karena
betapa ia merasa tak mampu melampaui kebaikan Khalifah
pertama itu. Padahal, sejarah mencatat betapa Umar yang
lebih suka disebut Amir al-Mu'minin itu terbilang pemimpin
yang kuat, sukses, dan paling menjunjung tinggi amanat
dalam mengurus rakyat. Dialah sosok al-Faruq.
Khalid bin Walid setelah masuk Islam menjadi panglima
perang tertangguh hingga dijuluki Nabi sebagai syaifullah
(pedang Allah). Perluasan Islam hingga ke Mesir, Irak, dan
Syam di masa Khalifah Umar bin Khattab tidak lepas dari
keperkasaan Khalid. Tetapi, dalam peristiwa penaklukan
Syam, Khalid tiba-tiba dicopot Umar dari jabatannya sebagai
panglima perang. Bagaimana sikap Khalid? Dia ikhlas
menerimanya seraya berkata, aku berperang bukan karena
Umar, melainkan karena Allah.

Bagi Nabi dan para sahabatnya yang utama jabatan bukan
posisi yang ditempati, apalagi harus dikejar dengan hasrat
ambisi. Jabatan itu mutlak amanah yang wajib ditunaikan
dengan komitmen dan pertanggungjawaban yang tinggi.
Kesatriaan (al-futuwwah) siapa pun yang bersedia
memegang jabatan umat atau rakyat terletak pada
penunaian amanah dan pertanggungjawabannya dengan
penuh kehormatan diri.

Komitmen jabatan
Di negeri ini, para elite dan anak-anak negeri banyak
berburu jabatan-jabatan publik dengan penuh percaya diri.
Demokrasi telah mengajarkan secara fasih bagaimana para
elite berebut posisi politik tanpa rasa sungkan, tidak jarang
dengan sikap narsis, dan gampang beriklan diri. Demi posisi
tinggi, politik uang dan upeti pun menjadi tradisi, yang tidak
jarang diperoleh dengan korupsi. Semuanya seolah
serbamudah dan sekadar jalan mobilitas diri seakan tanpa
konsekuensi.

Semoga niat utama meraih posisi-posisi publik yang penting
dan strategis itu benar-benar bermotif mengabdi pada
negeri dan mengurus hajat hidup rakyat. Sebagai jalan
mewujudkan cita-cita nasional yang diletakkan oleh para
pendiri bangsa ini. Lebih bermakna lagi manakala menjadi
jalan menuju rida Tuhan. Sebab, setiap posisi publik selain
dibayar dengan uang rakyat, seluruhnya memang untuk
mengurus hajat hidup orang banyak sehingga negeri ini
semakin maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat.
Alangkah naif manakala jabatan-jabatan publik itu hanya
dijadikan lahan mobilitas diri untuk meraih kuasa, harta, dan
kejayaan duniawi. Sejumlah kasus tragis menunjukkan
mereka yang sudah di posisi-posisi publik itu kalau tidak
korupsi dan menyalahgunakan kekuasaan, kemudian pindah
posisi, bahkan lompat jabatan baru ke yang lebih tinggi
sebelum jabatan lama usai. Jabatan-jabatan penting itu
malah dijadikan "bancakan" untuk bagi-bagi uang dan
posisi, sekaligus memperkaya diri dan kroni. Mereka lupa
posisi yang ditempati bukanlah miliknya sendiri, melainkan
sekadar titipan rakyat untuk ditunaikan sebagai amanah
terpuji.

Tahun 2014, pasti akan menjadi masa paling krusial di
negeri ini. Para menteri dan politisi sudah bersiap diri
'nampang' posisi hingga iklan diri dengan uang dari
kementeriannya. Janji dan pesona diri tentu akan semakin
bertaburan. Para wakil rakyat pun malah giat bangun toilet
dan ruang sidang miliaran rupiah seolah uang negara adalah
miliknya sendiri. Rupanya jabatan bukan lagi amanat yang
harus dipertanggungjawabkan secara jujur dan penuh
komitmen, kecuali menjadi sarana bermegah-megah di
tengah derita rakyat yang diwakili dalam hidup miskin dan
teraniaya sistem.

Kita tidak tahu persis apa yang bersarang dalam benak
pikiran para elite dan anak negeri yang menempati jabatan-
jabatan publik di negeri ini. Bagaimana mereka menjiwai,
memahami, memaknai, dan melaksanakan fungsi jabatan
yang diembannya dengan pertanggungjawaban total. Apa
yang mereka cari? Jangan-jangan Max Weber benar ketika
mengatakan, profesi politik itu mata pencaharian. Orang
banyak mengejar dan memperebutkannya sekadar untuk
kenyang diri dan kroni. Lalu, nilai dan idealisme sekadar
ornamen indah tanpa makna, karena yang dikejar ialah
posisi, materi, dan mobilitas diri yang tak bertepi.
Lemah karakter

Rakyat sesungguhnya gundah dengan perangai para elitenya
yang banyak polah. Sebelum menduduki posisi mereka
mungkin banyak sosok idealis. Bahwa politik dan jabatan
publik itu jalan berkhidmat untuk kemajuan bangsa dan
negara, bukan mengejar harta dan takhta. Uang dan jabatan
pun diperoleh dengan cara halal, bukan dengan muslihat
dan upeti. Jabatan pun ketika sudah di tangan dimanfaatkan
untuk pengkhidmatan, sekaligus dapat
dipertanggungjawabkan sebagai amanah di hadapan Tuhan.
Tunaikan amanah karena tak ada iman bagi yang tak
menunaikan amanah, sabda Nabi.
Bagi mereka yang idealis jabatan bukan diburu, apalagi
dipertukarkan dengan uang dan jabatan lain yang
menggiurkan. Jabatan pantang diselewengkan dan dijadikan
lahan korupsi dan penyimpangan. Sekali jabatan diterima
maka saat itu jabatan berubah menjadi amanah dan janji
yang wajib ditunaikan dengan kesungguhan. Taruhannya
kehormatan diri, bahkan jiwa. Jabatan bukanlah kejayaan
dan kemegahan diri. Jabatan bukan dijadikan jalan tol
memenuhi hasrat-hasrat loba dan tamak.

Ketika banyak pejabat publik menyelewengkan jabatan dan
menjadikannya lumbung uang serta kemegahan tanpa rasa
sungkan, sesungguhnya akar masalahnya bukan pada sistem
belaka, tetapi pada penyakit mental mereka. Penyakit
lemahnya karakter diri selaku manusia-manusia yang
tangguh dengan prinsip dan makna hidup, sekaligus tahan
cobaan dan godaan duniawi. Mereka kehilangan karakter
amanah, kejujujuran, kesetiaan, kesahajaan, kebaikan,
kesatriaan, dan kepatutan. Mereka bahkan kehilangan rasa
malu dan kehormatan diri.

Penyakit lemah karakter yang menumbuhkan jiwa korup,
penyimpangan, kemegahan, dan lupa diri boleh jadi tumbuh
dalam virus keterbelakangan mentalitas laksana orang yang
tiba-tiba "munggah bale" (naik takhta) kemudian mengalami
kejutan budaya. Penyakit "munggah bale" tidak mengenal
latar belakang suku, ras, dan golongan. Tidak pula mereka
yang sekuler atau agamis. Bagi mereka yang agamis bahkan
penyakit jenis ini diperkuat dengan spirit dan dalih
keagamaan sehingga terkesan sakral dan sarat pesona
moral.
Penyakit "munggah bale" telanjur meluas dan diproduksi
lewat berbagai media yang populer, mengundang hasrat
anak-anak bangsa lainnya untuk mengikuti jejak berebut
takhta tanpa pertanggungjawaban moral yang tinggi.
Banyak anak negeri bahkan belajar menjadi broker guna
menapaki tangga politik, yang mengorbankan idealisme
kebeliaan. Seolah jabatan dan mobilitas hidup itu sekadar
nilai guna, yang harus diraih dengan cara apa saja untuk
kesenangan dan kejayaan diri minus nilai dan makna utama.

Mentalitas "munggah bale" dipersubur oleh hasrat berlebih
melahirkan akumulasi ketamakan kuasa. Orang biasa dan
terpandang, elite sekuler dan agamis, setelah berkuasa
sama-sama lapar takhta dan harta. Pada setiap kemegahan
dan ketamakan selalu ada dalih pembenar yang meyakinkan
publik. Kata pepatah Arab, singa-singa lapar tak mendekat
ke telaga bila anjing-anjing telah menjilatnya. Tapi, bagi para
singa berdasi, apa saja boleh tanpa rasa sungkan. Alhakumu
at-takatsur, hatta jurtumu al-makabir. (QS At-Takatsur: 1-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar