Selasa, 01 Mei 2012

Syarat dan ketentuan berlaku

Aku tak ingat siapa yang pertama
kali memulai, tapi aku ingat sekali kesimpulan dari
obrolan tentang poligami ini. Kalau mau jujur,
sebenarnya aku tidak terlalu tertarik dengan obrolan
bertema poligami. Bukan apa-apa, yang sudah-sudah,
karena keawaman masing-masing, obrolan semacam
ini kadang berlanjut dengan debat yang tak
berkesudahan, tanpa kesimpulan.
Fulan misalnya. Ia yang dulu sangat mengagumi
seorang da’i kondang negeri ini mengaku kecewa
sekali terhadap keputusan sang da’i untuk
berpoligami. Kekecewaan yang tak berkurang meski
sudah banyak yang mengingatkan bahwa poligami itu
diperbolehkan oleh agama. Jika dulu ia rajin
mengikuti ceramah sang da’i di televisi, sejak kejadian
itu mendengar namanya saja ia sudah tak respek lagi.
Astaghfirullah!
Seakan mendapat alasan baru, Fulan semakin
meyakini bahwa keputusan poligami sang da’i adalah
salah, itu dibuktikan dengan perceraiannya dengan
istri pertama beberapa waktu berikutnya. Ketika Fulan
mencoba mengangkat topik ini dalam obrolan, tak
ada rekan yang semangat menanggapi, termasuk aku.
Masing-masing berpendapat bahwa mengambil
pelajaran dari kejadian ini lebih baik daripada
membicarakannya, apalagi dengan pengetahuan yang
tak memadai.
Dan ketika sang da’i memutuskan menikahi kembali
istri pertama yang telah diceraikannya – karena telah
melewati masa iddah – Fulan kembali mencoba
membahasnya namun lagi-lagi tak ada yang
menanggapi.
Seakan mendapat angin segar, siang itu Fulan terlihat
semangat membahas masalah ini. Sulit untuk
kualihkan, sulit pula untuk menghindar, akhirnya
kuputuskan untuk jadi pendengar, mencoba
mengambil hikmah dan pelajaran dari obrolan
mereka.
“Apa kamu berminat untuk berpoligami?” tanya Fulan
pada rekan yang duduk di sebelah kirinya.
“Aku?” yang ditanya balik bertanya.
“Iya, kamu. Jujur saja, apa pernah terlintas dalam
benakmu untuk mempunyai lebih dari satu orang
istri?” Fulan memperjelas pertanyaannya.
Dengan santai tapi mengena, yang ditanya menjawab,
“Poligami itu diperbolehkan, bukan diharuskan. Islam
membolehkan seorang suami mempunyai lebih dari
satu istri, tapi dengan syarat dan ketentuan yang
berlaku. Dan aku cukup sadar diri dengan
kemampuanku memenuhi syarat dan ketentuan yang
menyertai poligami, karenanya aku tidak berfikir
untuk melakukannya.”
“Kalau kamu?” Fulan beralih pada rekan yang duduk
berhadapan dengannya.
“Kalau sudah ada lampu yang menerangi, untuk apa
menyalakan lilin lagi?” Ia beranalogi.
“Untuk cadangan barangkali, jika sewaktu-waktu
lampunya mati!” celetuk salah satu rekan yang
disambut derai tawa lainnya.
“Kalau memang sedang gelap gulita, jangan malah
memejamkan mata. Cobalah realistis, bahwa
pasangan kita juga manusia, bukan makhluk yang
sempurna. Buka mata, juga hatimu, sama seperti dia,
kita pun juga tiada sempurna.” Masih beranalogi, ia
menambahkan jawabannya.
“Kita ini sebenarnya sedang ngomongin apa sih?
Poligami atau PLN, kok ke lampu dan lilin segala?”
salah satu dari mereka kembali nyeletuk, yang lain
kembali tertawa, lebih keras dari sebelumnya.
“Begini,” salah satu rekan akhirnya mencoba
menengahi. “Betul bahwa poligami itu diperbolehkan,
bukan sebuah kewajiban melainkan sebuah solusi
halal bagi seorang suami, dengan syarat dan
ketentuan yang menyertainya. Jika ada yang
melakukannya, itu hak dia, dan tentunya ada
kewajiban yang harus ia penuhi. Bukan hak kita untuk
menghakimi pelaku poligami dengan tuduhan-
tuduhan yang kita tidak tahu kebenarannya secara
pasti. Kalau kita merasa jauh dari kategori laki-laki
yang layak berpoligami, bukan berarti orang lain juga
tak layak dan tidak akan bisa. Jangan samakan
keterbatasan dan keawaman kita pada setiap orang.”
Sejenak aku menghentikan kesibukanku, tertarik
dengan pendapatnya.
“Jika ada orang yang awalnya merasa mampu, tapi
setelah beberapa waktu berjalan ternyata ia tak
memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku,
konsekuensinya tidak beralih pada kita, tapi pada
pelaku masing-masing. Dan satu yang juga kita tidak
boleh lupa, Rasulullah juga berpoligami, artinya
agama memang membolehkan. Tapi poligami bukan
satu-satunya sunah nabi yang bisa kita ikuti, masih
banyak sunah nabi yang bisa kita teladani. Jadi,
siapapun yang ingin berpoligami hendaklah ia ingat
dengan syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi.
Jika ini diabaikan, kelak ia akan
mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah swt.”
Ia menyelesaikan argumennya tanpa satu pun yang
membantahnya. Dan tanpa kusadari, aku pun
mengangguk. Sepakat dan sependapat.
Poligami itu diperbolehkan, jalan halal bagi seorang
suami yang ingin memiliki lebih dari satu orang istri.
Tapi keinginan seperti ini bukan tidak diatur oleh
agama. Ada syarat dan ketentuan yang harus
dipenuhi oleh setiap pelaku poligami, salah satunya
harus adil dalam memberikan nafkah lahir maupun
batin. Jika ia mampu memenuhinya dengan baik,
insya Allah kebahagiaan dunia dan akhirat akan ia
dapatkan. Tapi jika sebaliknya, hanya menuruti
perasaan mampu tapi mengabaikan syarat dan
ketentuan yang berlaku, maka di dunia ia akan
merasakan akibatnya, juga di akhirat kelak ia harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan
Allah swt.
Jika saat ini atau suatu saat nanti, seorang suami
ingin berpoligami, jangan abaikan syarat dan
ketentuan yang berlaku. Jika yakin mampu,
lakukanlah. Tapi jika tidak, jaga dan rawatlah rumah
tangga yang sudah ada. Tak perlu menambah lilin lagi
bila lampu sudah cukup menerangi. Kalaupun
terkadang gelap, jangan lalu menutup mata, karena
hanya akan membuat semakin gulita. Seperti kita,
pasangan kita pun hanyalah manusia, sama-sama
tidak sempurna. Itu kesimpulan yang kutarik dari
obrolan mereka, bagaimana pendapat Anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar