Jumat, 18 Mei 2012

Money money dalam pandangan Islam


Sebelum manusia menemukan
uang sebagai alat tukar, ekonomi dilakukan dengan
menggunakan sistem barter, yaitu barang ditukar
dengan barang atau barang dengan jasa. Menurut
Syah Wali Allah ad-Dahlawy, (ulama besar asal India
yang hidup pada abad 18 M), pada tahap primitif
atau kehidupan rimba, manusia telah melakukan
pertukaran secarabarter dan melakukan kerja sama
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sistem barter ini merupakan sistem pertama kali
dikenal dalam sejarah perdagangan dunia. Hal ini
terjadi jauh sebelum abad VII M (sebelum masa Nabi
Muhammad Saw). Dalam sejarah kuno, binatang
ternak pernah menjadi medium pertukaran yang
dominan. Tetapi dalam hal ini timbul masalah
(kendala), karena ternak adalah barang yang tidak
awet dan terlalu besar dijadikan sebagai alat tukar.
Menurut Agustianto dalam buku Percikan Pemikiran
Ekonomi Islam (2004) sistem barter banyak
menghadapi kendala dalam kegiatan perdagangan
dan bisnis. Kendala-kendala itu antara lain, pertama,
sulit menemukan orang yang diinginkan. Kedua, sulit
untuk menentukan nilai barang yang akan ditukarkan
terhadp barang yang diinginkan. Ketiga, sulit
menemukan orang yang mau menukarkan barangnya
dengan jasa yang dimiliki atau sebaliknya. Keempat,
sulit untuk menemukakan kebutuhan yang akan
ditukarkan pada saat yang cepat sesuai dengan
keinginan. Artinya, untuk memperoleh barang yang
diinginkan, memerlukan waktu yang terkadang relatif
lama.
Tanpa mata uang sebagai standar harga dan alat
tukar maka proses pemenuhan kebutuhan manusia
menjadi sulit. Dalam ekonomi barter, transaksi terjadi
bila kedua belah pihak mempunyai dua kebutuhan
sekaligus, yakni pihak pertama membutuhkan barang
yang dimiliki pihak kedua dan begitu sebaliknya.
Misalnya seseorang mempunyai sejumlah gandum,
dan membutuhkan onta yang tidak dimilikinya.
Sementara orang lain mempunyai onta dan
membutuhkan gandum. Maka, terjadilah barter.
Tetapi dalam hal ini, berapa banyak gandum yang
akan ditukarkan dengan seekor onta, ukurannya
belum jelas, harus ada standar.
Menurut Thahir Abdul Muhsin Sulaiman dalam buku
‘Ilajul Musykilah Al-Iqtishadiyah bil Islam, “Dalam
mengukur harga barang-barang yang akan
dipertukarkan, harus ada standar (ukuran). Dalam
kasus di atas, sulit menentukan berapa banyak
gandum untuk sesekor unta. Demikian pula, halnya
kalau ada orang akan membeli rumah dengan baju,
atau budak dengan sepatu, atua tepung dengan
keledai. Proses transaksi barter seperti itu dirasakan
amat sulit, karena tiadanya ukuran yang jelas
mengenai harga suatu barang. Bila ini terjadi terus,
maka perekonomian mandeg dan lamban.
Untuk memudahkan kondisi itu, maka Allah
menciptakan dinar dan dirham sebagai hakim dan
ukuran harga suatu barang. Misalnya, seekor unta
sama dengan seratus dinar, sesekor kambing 20
dinar, segantang gandum 1 dirham, dsb.
Agustianto menuturkan, untuk mengatasi berbagai
kendala dalam transaski barter, manusia selanjutnya
menggunakan alat yang lebih efektif dan efisien. Alat
tukar tersebut ialah uang yang pada awalnya terdiri
dari emas (dinar), perak (dirham). Dengan demikian
komoditas berharga seperti ternak, diganti dengan
logam, seperti emas atau perak. Logam mulia ini
mempunyai kelebihan, pertama, logam adalah barang
yang awet. Kedua, ia bisa dipecah menjadi satuaan-
satuan yang lebih kecil. Ketiga, uang logam emas
(dinar) dan perak (dirham) senantiasa sesuai dengan
antara nilai intrinsiknya dengan nilai nominalnya.
Sehingga ekonomi lebih stabil dan inflasi bisa
terkendali. Hal ini sangat berbeda dengan uang kertas
yang nilai nominalnya tak seimbang dengan nilai
intrinsiknya (nilai materialnya). Sistem ini rawan
goncangan krisis dan rawan inflasi (Buku Percikan
Pemikiran Ekonomi Islam, 2004)
Imam al-Ghazali mengatakan , bahwa dalam ekonomi
barter sekalipun, uang dibutuhkan sebagai ukuran
nilai atau barang. Misalnya unta nilainya 100 dinar
dan satu gantang gandum harganya sekian dirham.
Dengan adanya uang sebagai ukuran nilai, maka uang
berfungsi pula sebagai media pertukaran (medium of
exchange). Namun, harus dicatat, bahwa dalam
ekonomi Islam, uang tidak dibutuhkan untuk uang itu
sendiri. Uang diciptakan untuk melancarkan
pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari
pertukaran barang atau jasa.
Dalam menjelaskan sejarah munculnya uang (alat
tukar), Syah Wali Allah ad-Dahlawy mengemukakan
teori wisdom (kebijaksanaan). Menurutnya, salah satu
kebijaksanaan (wisdom) yang dimiliki manusia,
adalah kebijaksanaan mengenai jual beli timbal balik,
(pembeli dan penjualan), memberi hadiah-hadiah,
sewa-menyewa, memberi pinjaman, hutang dan
hipotik. Dengan kebijaksaaan inilah manusia
menyadari bahwa pertukaran barang dengan barang
(barter) tidak dapat memenuhi kebutuhannya
seketika secara baik karena barter memerlukan syarat
“kecocokan kedua belah pihak pada saat yang
bersamaan” (double coincidence of wants). Oleh
karena itu kemudian diperlukan “sesuatu” yang dapat
diterima secara umun sebagai media petukaran
(medium of exchange) yang sekarang disebut uang.
Sesuatu scbagai medium of exchange ini berkembang
dalam berbagai bentuk (Goldfeld (1990, hal 10) mulai
dari tanah hat, kulit, garam, gigi ikan, logam, sampai
berbagai bentuk surat hutang (termasuk uang
kertas). Sesuatu yang disebut uang itu harus dapat
diterima masyarakat umum yang menurut lbn
Miskawaih (1030M) harus memenuhi syarat-syarat :
(1) tahan lama (durability), (2) mudah (convenience)
dibawa, (3) tidak dapat dikorup ; (incorruptibility), (4)
dikehendaki (desirability), (4) dikehendaki
(desirability) semua orang, dan (5) orang senang
melihatnya.
Berdasarkan rumusan Ibnu Miskawaih tersebut, maka
dari berbagai bentuk “uang” yang disebutkan di atas
hanya emas dan peraklah yang memenuhi kelima
syarat uang yang dirumuskannya.
Rasulullah Saw telah menetapkan emas dan perak
sebagai uang. Beliau menjadikan hanya emas dan
perak saja sebagai standar uang. Standar nilai barang
dan jasa dikembalikan kepada standar uang dinar dan
dirham ini. Dengan uang emas dan perak inilah
semua bentuk transaksi dilangsungkan. Beliau telah
membuat standar uang ini dalam bentuk uqiyah,
dirham, mitsqal dan dinar. Semua ini sudah dikenal
dan sangat masyhur pada masa Nabi saw, di mana
masyarakat Arab telah mempergunakannya sebagai
alat tukar dan ukuran nilai dalam transaksi.
Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa, di masa
awal Islam, mata uang yang digunakan adalah dinar
dan dirham. Fakta sejarah telah membuktikan hal ini.
Di salah satu museum di Paris, dijumpai koleksi
empat mata uang peninggalan Khilafah Islam. Salah
satu diantaranya sampai saat ini, dianggap satu-
satunya di dunia sebagai peniggalan sejarah mata
uang. Mata uang itu dicetak pada masa pemerintahan
Ali Ra. Sementara tiga lainnya adalah mata uang
perak yang dicetak di Damaskus dan Merv sekitar
tahun 60-70 Hijriyah..
Di masa khalifah Umar dan Usman,mata uang telah
pula dicetak dengan mengikuti gaya dirham Persia,
dengan perubahan pada tulisan yang tercantum di
mata uang tersebut dengan tulisan Arab. Memang, di
awal pemerintahan Umar pernah timbul pemikiran
untuk mencetak uang dari kulit, namun dibatalkan,
karena tidak disetujui para sahabat yang lain, dengan
alasan tidak terlalu awet dan intrinsiknya tidak bisa
menyamai emas dan perak.
Mata uang khilafah Islam yang mempunyai ciri
khusus, baru dicetak pada masa pemerintahan Imam
Ali r.a. Namun sayang, peredarannya sangat terbatas,
karena kondisi politik ketika itu amat tidak stabil.
Kosentrasi khalifah saat itu lebih terpokus pada
persoalan politik yang kacau seperti perang unta dan
perang siffin.
Mata uang gaya dirham Persia dicetak dengan
gambar pedang Irak pada masa Muawiyah, dan
anaknya Ziyad. Mata yang beredar saat itu belum
berbentuk bulat seperti uang logam sekarang ini.
Baru pada zaman Ibnu Zubair, mata uang dengan
bentuk bulat ini dicetak, namun peredarannya
terbatas di Hijaz. Sedangkan Mus’ab, Gubernur Kufah
mencetak dengan dua macam gaya, ada gaya Persia
dan ada gaya Romawi.
Pada 72-74 H Bishri bin Marwan mencetak mata
uang yang disebut atawiyya. Sampai dengan zaman
ini mata uang khilafah beredar bersama dengan dinar
Romawi, dirham Persia dan sedikit himyarite Yaman.
Baru pada zaman Abdul Malik (76 H), pemerintah
mendirikan tempat percetakan uang, antara lain di
Dara’bjarb, Suq Ahwaz, Sus, Jay dan Manadar,
Maysan, Ray dan Abarqubadh, dan mata uang khlifah
dicetak secara terorganisasi dengan kontrol
pemerintah.
Nilai uang ditentukan oleh beratnya. Mata uang dinar
mengandung emas 22 karat dan terdiri atas pecahan
setengah dinar dan sepertiga dinar. Pecahan yang
kecil didapat dengan memotong mata uang. Imam
Ali misalnya, pernah membeli daging dengan
memotong dua karat dari dinar (Hadits Riwayat Abu
Daud). Dirham terdiri dari beberapa pecahan nash
(20 dirham), nawat (5 dirham), dan sha’ira 1/60
dirham.
Nilai tukar dinar-dirham relatif stabil pada jangka
waktu yang paling panjang dengan kurs dirham 1:10.
artinya 1 dinar sama dengan 10 dirham. Satu dinar
terdiri dari 22 karat, sedangkan satu dirham terdiri
dari 14 karat. Pada masa Umar nilai dirham menguat,
apabila di masa Nabi 1 dirham senilai dengan 10
dirham, maka di masa Umar bin Khattab, 10 dinar
senilai dengan 7 dirham.
Reformasi moneter pernah dilakukan oleh Abdul
Malik, yaitu dirham diubah menjadi 15 karat (bukan
lagi 14 karat) dan pada saat yang sama, satu dinar
dikurangi berat emasnya dari 4,55 gram menjadi 4,25
gram. Di zaman Ibnu Faqih (289 H), nilai dinar
menguat menjadi 1;17, namun kemudian stabil pada
kurs 1:15.
Setelah reformasi moneter Abdul Malik, maka
ukuran-ukuran nilai adalah sebagai berikut : satu
dinar 4,25 gram, satu dirham, 3,98 gram, satu uqiyya
setara 90 mitsqal, satu qist 8 ritl (liter), setara
setengah sha’, satu qafiz 6 sha’ setara ¼ artaba, satu
wasq 60 sha’, satu jarib 4 qafiz.
Sungguh mengejutkan ternyata seribu tahun
kemudian kurs 1:15 ini juga berlaku di Amerika
Serikat 1792-1834 m. Berbeda dengan langkah
reformasi moneter yang diambil Abdul malik, Amerika
tetap mempertahankan kurs ini walaupun di negara-
negara erofa nilai mata uang emas menguat pada
kisaran kurs 1:15,5 sampai 1:16,6. wal hasil, mata
uang emas mengalir keluar dan mata uang biasa
mengalir masuk Amerika. Kejadian drives out bad
money atau uang kualitas buruk akan menggantikan
uang kualitas baik.
Lima ratus tahun sebelumya (1263-1328 M), ulama
Islam Ibnu Taymiyah yang hidup di zaman
pemerintahan Mamluk telah mengalami situasi di
mana mata uang telah beredar dalam jumlah besar
dengan nilai kandungan logam mulia yang berlainan
satu sama lain.
Pada saat itu beredar tiga jenis uang : dinar (emas),
dirham, (perak) dan fulus (tembaga). Peredaran dinar
sangat kadang mengilang, sedangkan yang beredar
luas adalah fulus. Fenomena inilah yang dirumuskan
Ibnu Taymiyah bahwa uang dengan kualitas rendah
(fulus) akan menendang uang keluar kualitas baik
(dinar, dan dirham).
Di zaman Ibnu Taymiyah hidup, pemerintahan
Mamluk ditandai dengan tidak stabilnya hidup.
Pemerintahan Mamluk ditandai dengan tidak
stabilnya sistem moneter, karena banyaknya fulus
yang beredar atau meningkatnya jumlah tembaga
dalam mata uang menggantikan dirham. Hal serupa
juga terjadi di zaman modern ini. Kerusakan sistem
moneter modern telah menimbulkan krisis di banyak
negara dan infalsi yang menggila. Kerusakan sistem
moneter itu terletak pada penggunaan uang kertas
yang melampaui batas. Uang kertas dicetak sebanyak-
banyaknya tanpa memiliki batasan atau standar
cadangan emas yang dimiliki. Karena itu, semenjak
standar emas dihapuskan tahun 1971 oleh Richard
Nixon, berbagai negara berulang kali mengalami
krisis, termasuk Indonesia.
Sistem uang kertas yang baru berlangsung sekitar 300
tahun, telah terbukti menimbulkan banyak bencana
di berbagai negara. Sedangkan mata uang dinar dan
dirham yang telah berlangsung lebih dari 3000 tahun
terbukti dalam sejarah tidak menimbulkan bencana
krisis moneter, sebab nilai nominalnya dan kondisi ini
tidak mengundang spekulasi dengan margin trading,
seperti sekarang ini.
Untuk kembali kepada penggunan uang emas dan
perak, merupakan sesuatu yang amat sulit. Hal ini
disebabkan terbatasnya jumlah cadangan emas dan
perak. Akibatnya, kebutuhan transaksi dalam
perekonomian yang cepat berakselerasi, tidak
sebanding dengan cadangan emas yang tersedia.
Petumbuhan aktivitas ekonomi yang semakin banyak
dan sangat beragam. Jelas tidak mungkin dapat
diimbangi dengan sejumlah produksi emas yang
dapat dihasilkan oleh tambang-tambang di seluruh
dunia. Kondisi inilah yang membuat percetakan uang
kertas tidak lagi perlu dijamin oleh cadangan emas
atau logam mulia.
Realitas ini, selanjutnya mengundang terjadinya
bisnis spekulasi mata uang yang disebut dengan
transaksi maya. Uang telah dijadikan sebagai
komoditas yang diperdagangkan, bukan untuk
kebutuhan sektor riel. Padahal, dalam konsep
ekonomi Islam, uang tidak boleh dijadikan sebagai
komoditas, karena itu ekonomi Islam dengan tegas
melarang spekulasi mata uang.
B. Fungsi Uang Menurut Syariah Islam
Dari uraian di atas terlihat bahwa menurut ekonomi
Islam, uang di pandang sebagai alat tukar, bukan
suatu komoditas. Selain sebagai alat tukar, uang juga
berfungsi sebagai pengukur harga (standar nilai), hal
ini sesuai denbgan definsi uang yang dirumuskan
Taqyuddin An-Nabhani, dalam buku An-Nizham Al-
Iqtishadi Al-Islami. Menurutnya uang adalah standar
nilai pada barang dan jasa. Oleh karena itu, dalam
ekonomi Islam, uang di defenisikan sebagai sesuatu
yang dipergunakan untuk mengukur harga setiap
barang dan jasa.
Diterimanya peranan uang ini, secara luas, dengan
maksud untuk mempermudah proses transaksi,
sebagai alat ukur dan menghapuskan ketidakadilan
dan kezaliman dalam ekonomi tukar-menukar. Karena
ketidakadilan dalam ekonomi barter, digolongkan
sebagai riba fadhal. Barter adalah sebuah metode
pertukaran yang tidak praktis dan umumnya
menunjukkaan banyak kepicikan dalam mekanisme
pasar. Jadi, dibutuhkan sebuah sistem penukaran
tepat guna yang praktis, yakni uang.
Kemudian, karena majunya peradaban, uang
dikembangkan sebagai ukuran nilai dan alat tukar.
Nabi Muhammad saw menyetujui penggunaan uang
sebagai alat tukar. Beliau tidak menganjurkan barter,
karena ada beberapa praktek yang membawa kepada
ketidakadilan dan penindasan. Barter hanya diterima
dalam kasus terbatas. Nabi menasehatkan agar
menjual sebuah produk dengan uang, dan membeli
produk yang lain dengan harganya
Dengan demikian, ajaran Islam sangat mendukung
tungsi uang sebagai media petukaran (medium of
exchange) karena banyak hadis-hadis Rasulullah yang
tidak menganjurkan barter tetapi sangat
menganjurkan terjadinya transaksi jual beli antara
uang dihadapkan dengan barang dan jasa. Contoh
hadis yang secara gamblang dijumpai pada Hadis
Shaih Muslim, sebagai berikut :
ُﺚﻳِﺪَﺣ ﻲِﺑَﺃ ٍﺪﻴِﻌَﺳ َﻲِﺿَﺭ ُﻪْﻨَﻋ ُﻪَّﻠﻟﺍ َﻝﺎَﻗ : َﺀﺎَﺟ ٌﻝﺎَﻠِﺑ ٍﺮْﻤَﺘِﺑ ٍّﻲِﻧْﺮَﺑ
َﻝﺎَﻘَﻓ ُﻪَﻟ ُﻝﻮُﺳَﺭ ِﻪَّﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ُﻪَّﻠﻟﺍ ِﻪْﻴَﻠَﻋ َﻢَّﻠَﺳَﻭ ْﻦِﻣ َﻦْﻳَﺃ ﺍَﺬَﻫ
َﻝﺎَﻘَﻓ ٌﻝﺎَﻠِﺑ ٌﺮْﻤَﺗ َﻥﺎَﻛ ﺎَﻧَﺪْﻨِﻋ ٌﺀﻱِﺩَﺭ ُﺖْﻌِﺒَﻓ ُﻪْﻨِﻣ ِﻦْﻴَﻋﺎَﺻ ٍﻉﺎَﺼِﺑ
ِﻢَﻌْﻄَﻤِﻟ ِّﻲِﺒَّﻨﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ُﻪَّﻠﻟﺍ ِﻪْﻴَﻠَﻋ َﻢَّﻠَﺳَﻭ َﻝﺎَﻘَﻓ ُﻝﻮُﺳَﺭ ِﻪَّﻠﻟﺍ َﺪْﻨِﻋ
َﻚِﻟَﺫ ْﻩَّﻭَﺃ ُﻦْﻴَﻋ ﺎَﺑِّﺮﻟﺍ ْﻞَﻌْﻔَﺗ ﺎَﻟ ْﻦِﻜَﻟَﻭ ﺍَﺫِﺇ َﺕْﺩَﺭَﺃ ْﻥَﺃ َﻱِﺮَﺘْﺸَﺗ َﺮْﻤَّﺘﻟﺍ
ُﻪْﻌِﺒَﻓ ٍﻊْﻴَﺒِﺑ َﺮَﺧﺁ َّﻢُﺛ ِﺮَﺘْﺷﺍ ِﻪِﺑ *
Dari Abu Said r.a, katanya : “Pada suatu ketika, Bilal
datang kepada Rasulullah saw membawa kurma
Barni. Lalu Rasulullah SAW bertanya kepadanya,
“Kurma dari mana ini ?” Jawab Bilal, “Kurma kita
rendah mutunya. Karena itu kutukar dua gantang
dengan satu gantang kurma ini untuk pangan Nabi
SAW.” Maka bersabda Rasulullah SAW, lnilah yang
disebut riba. Jangan sekali-kali engkau lakukan lagi.
Apabila engkau ingin membeli kurma (yang bagus),
jual lebih dahulu kurmamu (yang kurang bagus) itu,
kemudian dengan uang penjualan itu beli kurma yang
lebih bagus.”
Hadis lainnya yang diriwayatkan oleh Ata Ibn Yasar,
Abu Said dan Abu Hurairah, Abu Said Al Kudri
menegaskan anjuran jual beli dari pada barter :
“Ternyata Rasulullah SAW, tidak menyetujui transaksi-
transaksi dengan system barter, untuk itu dianjurkan
sebaiknya menggunakan uang. Nampaknya beliau
melarang bentuk pertukaran seperti itu karena ada
unsur riba didalamnya”.
Peranan uang sebagai alat tukar dan alat ukur juga
tampak dari hadits Nabi Saw, yaitu ketika beliau
mewajibkan zakat atas aset moneter (emas dan
perak). secara tidak langsung Nabi mengatakan,
bahwa uang sebagai faktor produksi mempunyai
potensi untuk berkembang melalui usaha-usaha
produktif yang riil.
Apabila uang diterima sebagai pilar produksi, maka
ketentuan pengambilan manfa’at keuntungan (hasil),
tidak boleh ditentukan di awal tanpa melihat hasil
realisasi produksi tersebut. Penetapan porsi
keuntungan di awal adalah riba dan bersifat tidak
adil. Karena itu Islam menkonsepsikan bagi hasil
dalam dunia bisnis.
Islam juga telah mengaitkan emas dan perak dengan
hukum-hukum syariah, seperti dalam jinayat
(pidana). Ketika Islam mewajibkan diyat, Islam telah
menentukan diyat tersebut dengan ukuran tertentu
dalam bentuk emas.
Rasulullah pernah menyatakan di dalam surat beliau
yang dikirimkan kepada penduduk yaman ; Bahwa di
dalam pembunuhan jiwa itu terdapat diyat berupa
100 ekor unta, dan terhadap pemilik emas (ada
kewajiban) sebanyak 1000 dinar. (HR. Nasai dan Amri
bin Hazam).
Ketika Islam mewajibkan hukuman potong tangan
bagi pelaku pencurian, Islam juga menentukan
ukuran tertentu dalam bentuk emas, yaitu
seperempat dinar. ). Sabda Rasulullah Saw “Tangan
itu wajib dipotong apabila mencuri ¼ dinar atau
lebih” (H.R. Bukhari dari Aisyah).
Ketentuan hukum di atas menunjukkan bahwa dinar,
dirham dan mitsqal merupakan satuan uang yang
digunakan untuk mengukur (menghitung) nilai
barang dan jasa. Jadi, satuan dinar dan dirham inilah
yang menjadi uang yang berfungsi sebagai ukuran
harga barang dan sekaligus sebagai alat tukar.
Tujuh ratus tahun sebelum Adam Smith menulis
buku The Wealth of Nation, seorang Islam bernama
al-Ghazali (w.1111 M), telah membahas fungsi uang
dalam perekonomian.
Secara panjang lebar, ia membahas fungsi uang
dalam bab “syukur” pada kitab Ihya Ulumuddin.
Dalam Bab itu ia mengatakan, “Di antara ni’mat Allah
ialah berlakunya dinar dan dirham. Dengan dinar dan
dirham itu, kehidupan dunia bisa diatur, padahal
keduanya tak lebih dari logam, yakni barang yang
pada asalnya tidak berguna apa-apa. Tetapi semua
orang tertarik pada kedua mata uang itu, sebab
setiap orang membutuhkan bermacam-macam
barang untuk makan, pakaian dan kebutuhan-
kebutuhan lainnya”.
Uraian-uraian Al-Gahzali berikutnya, tentang konsep-
konsep ekonomi Islam, sungguh menakjubkan. Tapi
sayang, banyak di antara umat Islam yang mengutip
dan menelaah aspek tasawufnya, tanpa mengkaji
secara utuh isi kitab itu, sehingga wacana ekonomi
Islam terabaikan.
Pemikiran Al-Ghazali yang juga cukup menakjubkan
tentang fungsi uang adalah teorinya yang
menyatakan bahwa uang diibaratkan cermin yang
tidak mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan
semua warna. (Ihya, 4 : 91-93). Maksudnya, uang
tidak memiliki harga (intrinsik) tetapi dapat dapat
merefleksikan semua harga. Atau dalam istilah
ekonomi klasik dikatakan, uang tidak memberi
kegunaan langsung (direct utility function). Hanya
bila uang itu digunakan untuk membeli barang,
barulah barang itu memiliki kegunaan.
Dalam teori ekonomi klasik dikatakan, kegunaan uang
timbul dari daya belinya. Jadi uang memberikan
kegunaan tidak langsung (indirect utility function).
Apapun debat para ekonom Barat tentang konvensi
ini, kesimpulannya tetap sama dengan al-Ghazali,
uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri.
Merujuk pada Al-Qur’an, al-Ghazali mengecam orang
yang menimbun uang. Orang demikian, dikatakannya
sebagai penjahat. Yang lebih buruk lagi adalah orang
yang melebur dinar dan dirham menjadi perhiasan
emas dan perak. Mereka ini dikatakannya sebagai
orang yang bersyukur kepada sang pencipta Allah
Swt, dan kedudukannya lebih rendah dari orang yang
menimbun uang. Menimbun uang berarti menarik
uang secara sementara dari peredaran. Sedangkan
meleburnya berarti menariknya dari peredaran untuk
selamanya.
Dalam teori moneter modern, penimbunan uang
berarti memperlambat perputaran uang. Ini berarti
memperkecil terjadinya transaksi sehingga
perekonomian lesu. Adapun peleburan uang, sama
saja artinya dengan mengurangi jumlah penawaran
uang yang dapat digunakan untuk melakukan
transaksi.
Dalam ekonomi Islam sebagaimana dijelaskan al-
Ghazali, fungsi uang adalah sebagai media pertukaran
dan standar harga barang. Siapa yang menggunakan
uang tidak sesuai dengan fungsinya, bererti dia telah
kufur nikmat dalam penggunaan uang. Menimbun
uang merupakan tindakan tercela dalam perspektif
ekonomi Islam, karena ia telah memenjarakan uang
dan mencegah fungsi sebenarnya. Kata al-Ghazali,
penimbunan uang persis seperti orang yang
memenjarakan hakim kaum muslimin, sehingga
kelancaran perasidangan hukum terhambat. Kalau
uang itu disimpan saja, maka hikmat-hikmatnya pun
akan hilang dan tujuan dari adanya uang itu tidak
terwujud.
Dinar dan dirham dalam ekonomi Islam, bukan
dikhususkan untuk individu-individu tertentu, tetapi
dinar dan dirham diciptakan supaya beredar di antara
manusia, lalu menjadi hakim di antara mereka,
menjadi standar harga dan alat tukar.
Pilihan kepada uang emas sebagal alat tukar yang
mempunyai nilai melekat pada zatnya (nilai intrinsik)
sama dengan nilai rielnya, nyatanya berlaku di
seluruh dunia selama berabad-abad lamanya.
Fungsi uang sebagai satuan nilai (unit of account), di
mana uang berfungsi sebagai standar alat ukur atas
suatu barang dan jasa menimbulkan konsequensi
uang menjadi mempunyai daya beli. Uang Dinar
emas dan Dirham perak akan tetap mempunyai daya
beli apabila uang-uang tersebut masih tetap dalam
standar kualitasnya. Kualifikasi Dinar dan Dirham
klasik sesuai hukum Islam yang dibakukan oleh
Khalifah Umar bin Khatab adalah mas 22 karat
seberat 4,25 gram dengan diameter 23 mm dan
perak murni seberat 3 gram dengan diameter 25 mm.
Sedang nisabnya masing-masing adalah 1 untuk
Dinar berbanding 10 untuk Dirham. Untuk saat
sekarang ini standarisasi Dinar dan Dirham dilakukan
oleh World Islamic Trade Organization (WITO)
Dalam ekonomi Islam, peredaran uang palsu sangat
dikecam. Pada zaman klasik Islam, khususnya masa
al-Ghazali, uang palsu dipandang sebagai uang yang
kandungan emas/peraknya tidak sesuai dengan yang
ditetapkan oleh pemerintah. al-Ghazali mengatakan,
mencetak atau mengedarkan uang sejenis ini lebih
berbahaya daripada mencuri seribu dirham. Karena
mencuri adalah satu dosa, sedangkan mencetak dan
mengedarkan uang palsu dosanya akan terus
menerus berulang setiap kali uang itu dipergunakan,
dan akan merugikan siapapun yang menerimanya
dalam jangka waktu lama. Begitulah cerdasnya al-
Ghazali, jauh sebelum ekonom Barat tampil, dia
sudah memiliki pemikiran yang cemerlang tentang
fungsi uang, penimbunan uang, dan implikasi uang
palsu.
Selanjutnya, al-Ghazali membahas konsep ekonomi
Islam tentang jenis mata uang. Beliau membolehkan
peredaran mata uang yang sama sekali tidak
mengandung emas dan perak, asalkan pemerintah
menyatakan sebagai alat bayar resmi (Ihya, 4:192).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar