Rabu, 02 Mei 2012

Romantika Hujan

Langit tak tampak. Biru tertutupi kelabu. Namun, cahaya
matahari sore berkelit memasuki celah-celah kecil yang
ditinggalkan awan. Cahaya-cahaya itu seperti sinar laser,
memanjang dari langit menembus awan, menusuk bumi.
Dari kejauhan terdengar gemuruh geledek. Disini, rintik
gerimis sesekali menyentuh kulit wajahku.
Rintik gerimis tak menyakitkanku. Justru memancing
ingatan-ingatanku. Tentang rintik-rintik gerimis, juga
hujan dan petirnya yang dulu jadi sahabatku. Maka, aku
justru menantikan yang lebih dahsyat dari sekedar rintik
gerimis ini. Hujan, datanglah. Sirami aku sebisa kamu.
Maka, hujan pun turun, deras dan semakin deras. Aku
memacu sepeda motorku santai, karena ingatan-ingatan
ini muncul lebih deras daripada hujan.
Hujan-hujan ini dulu sangat aku tunggu. Aku menyukai
hujan seperti kerbau menyukai kubangan lumpur, seperti
Romeo menyukai Juliet. Bukan hujan saja, aku menyukai
air sebetulnya. Maka, ingatan-ingatan tentang aku dan air
menyatukanku dengan hujan yang semakin lama semakin
deras ini. Maka, aku biarkan tubuhku kuyup, seperti
belasan tahun yang lalu, aku kuyup sambil mengejar-
ngejar bola.
***
Ayahku melihatku memperhatikan teman-temanku
bermain bola di pekarangan rumahku. Pekaranganku
memang luas, setengah lapangan bola. Namun itu bukan
punya keluargaku, kebetulan saja pekarangan rumahku
menyatu dengan pekarangan SD. Bagi anak-anak
kampung, bermain di pekarangan itu berarti bermain di
pekaranganku, arti yang lain: bermain denganku. Maka,
tak lengkap jika bermain disini tanpa aku. Termasuk juga
ketika hujan.
Ayahku melarangku hujan-hujanan. Aku pernah sekali
bermain bola sambil hujan-hujanan, sebelum ayahku
datang dari kerjanya. Aku tahu aku akan dimarahi jika
kepergok, dan benar saja, ayah pulang pukul empat, tepat
waktu, dan itu adalah waktu paling asyik untuk bermain
bola. Aku dihukum malam harinya, bukan hukuman
berupa pukulan di pantat atau dipenjara dalam kamar
mandi. Hukuman itu berupa belajar matematika. Bagiku
itulah hukuman paling mengerikan yang pernah aku
terima. Aku amat benci matematika, ayah tau itu. Dan
setiap kali aku mendapat hukuman dari ayah, belajar
matematika tidak akan kurang sampai jam 1 dini hari.
Aku seringkali menangis ketika dapat hukuman itu, benar-
benar menangis, tangisan atas siksaan yang luar biasa.
Tangisan yang pasti terbawa sampai tidur. Menjadi
bahan nyelindur .
Dan sore itu, hujan turun tidak terlalu deras. Padang
rumput di pekarangan pasti tergenang air setengahnya.
Dan itu saat istimewa untuk bermain bola, ketika
melakukan sliding tackle tak akan menyakiti kulit kita.
Justru jatuh terjerembab menjadi sensasi yang tiada
duanya. Dan teman-temanku itu tengah menikmatinya.
Aku? Hanya duduk diatas sepeda motor ayah yang
diparkir di teras, memperhatikan mereka dengan
seksama. Ikut tertawa jika teman-temanku
menertawakam salah satu dari mereka yang terpeleset
ketika menendang bola. Bersamaan dengan tawa, hatiku
meringis. Aku ingin hujan-hujanan seperti mereka.
Ayah datang membawa pisang goreng buatan ibu.
Adikku kemudian menyusul menyajikan teh manis
hangat. Aku menyambut pisang goreng dan teh hangat.
Memang hangat, enak. Namun aku tidak butuh hangat.
Aku justru ingin merasa kedinginan, ingin merasakan
kulit-kulit jariku keriput saking kedinginan, namun
sebetulnya jiwaku hangat, oleh rasa riang main bola
bersama teman-teman. Aku tidak butuh pisang goreng
hangat, padahal hatiku beku, karena tak kutemukan rasa
riang didalamnya.
Aku menyeruput teh manis hangat dengan malas-
malasan.
Ayahku mungkin menatapiku dari belakang. Aku
merasakan tatapannya menembus punggungku. Akupun
sebetulnya memunculkan gestur-gestur kegerahan.
Gerah atas keadaanku ini yang membosankan. Gestur-
gestur cari perhatian. “Kamu pengen hujan-hujanan?”
ayahku bertanya. Aku merasa bingung menjawab apa,
maka aku diam saja. Aku biarkan ayah merasa tersiksa
melihat anaknya tidak bahagia, ayah mana yang tidak
ingin anaknya bahagia.
“Sana, pergi… tapi ganti dulu pake baju kotor”.
Tuhan! Aku bengong mendengarkannya. Namun, aku
beringsut sebelum ayah berubah pikiran. Berlari
menyambar kaos kotor dari ember cucian, berlari
telanjang kaki menembus hujan, yang tetesnya kurasakan
begitu hangat menyentuh kulitku. Teman-teman
menyambutku jauh lebih hangat dari hujan.
Aku terjatuh tujuh kali, aku membuat gol tiga kali, aku
tertawa berjuta-juta kali…
Malam harinya aku khawatir kena hukuman. Ternyata
tidak. Aku dibiarkan belajar sendirian. Bahkan sejak itu
aku tidak pernah dilarang hujan-hujanan.
Dua hari kemudian aku baru tahu alasan ayah
melepaskanku pada hujan. Di dua hari kemudian itu ayah
mengajaku keluar saat hujan. “Aku hujan-hujanan
bersama ayah!” Seruku dalam hati. Aku dibekalinya
ember, ayah sendiri membawa jala dan sairan. Aku
diajaknya ke empang kami. Sebuah empang kecil yang
ditanami ikan mas, gurame dan lele. Ayah, bergegas
sampai setengah berlari, cepat-cepatan dengan gemuruh
petir. Aku sebetulnya ingin lebih bergegas lagi. Adrenalin
yang meluap-luap.
Sampai di empang, aku kaget melihat air empang yang
membandang. Aku melihat air empang sudah menyatu
dengan air dari sekelilingnya. Saluran air yang biasa
mengalirkan arus ke empang kini dialiri balik oleh
empang. Dan ikan-ikan seperti diberikan kebebasan
pilihan berenang saat itu. Ikan-ikan menari-nari di
kubangan disekeliling empang, bersembunyi dibalik
rumput-rumput, berloncatan diantara akar-akar pohon,
melarikan diri ke saluran air.
Tanpa dikomandoi aku menangkap ikan-ikan itu,
memasukannya ke ember-ember yang aku tenteng. Aku
cukup cekatan menangkap ikan sejak aku sering bolos
sekolah agama sore untuk berenang dan mencari ikan di
sungai desa. Mungkin ayah tahu itu, makanya aku
diajaknya kemari. Ayah langsung membenahi tanggul
empang yang bocor disana-sini. Menyumbat sebisa
mungkin saluran-saluran air menuju empang. Aku sibuk
setengah kegirangan, sibuk menangkapi ikan, dan girang
karena banyak alasan.
Ayah berlari menyusuri saluran air. 30 meter dari
empang, saluran setinggi setengah lutut ayah itu ia
sumbat dengan jala. Memerangkap ikan-ikan yang
euforia. Aku tetap pada inisiatifku, mengambili ikan
sebisaku. Kemudian ayah juga melakukan pekerjaanku,
menangkapi ikan menggunakan sairan. Ember-ember
kami penuh sesak oleh ikan. Ayah menyuruhku
mengambil ember tambahan. Sampai menjelang magrib
kami masih memasang jala di sekeliling bibir empang.
Malam harinya, ibu menggoreng lele, ikan mas dan
gurame untuk makan malam. Beres makan, ayah
memberiku obat. “Biar gak demam”, jelas ayah. Aku tidur
duluan karena obat yang diberikan ayah. Lelap.
Memimpikan keriangan sore tadi. Keriangan yang
terekam abadi dalam ingatanku.
Dan setiap hujan, ayah sudah tidak lagi khawatir tentang
empangnya. Ayah bisa menepi di perjalanan pulang bila
turun hujan, tanpa harus khawatir jika air empang
membandang lagi. Aku mengambil alih tugasnya.
***
Lamunanku deras seperti hujan kali ini. Motorku ini
sepertinya sudah menggigil Namun aku masih terhangati
romantisme masa kecilku. Sampai pada salah satu
perempatan di jalan terpanjang Kota Bandung ini, tiba-
tiba aku merasakan jalan motorku melambat. Dan kakiku
yang aku tumpangkan diatas step kanan kiri motorku
merasakan aliran air. Oh tuhan, air ternyata telah
menggenangi jalanan ini. Aku perhatikan dengan
seksama ke depan, jalanan dipenuhi mobil-mobil yang
bergerak melambat. Dan lebih jauh disana, mobil-mobil
sudah tidak bergerak, motor-motor dipapah yang
punyanya. Klakson-klakson nyaring memenuhi gendang
telinga. Keadaan ini menghentikan segala romantika.
Motorku sudah sulit melaju. Terjebak dalam jalanan
sungai atau sungai jalanan. Airnya pekat dan agak bau.
Beda dengan air yang mengaliri empang ayah yang jernih
sehingga ikan-ikan akan tetap terlihat kemanapun dia
pergi. Ban motorku sudah sulit bergerak karena
tersangkuti sampah plastik, kain, lumpur dan segala
sampah. Sampah botol minuman instan mengapung
disana-sini. Kini, bunyi deras hujan bersahutan dengan
caci maki pengguna jalan. Gelegar petir beradu kencang
dengan klakson kendaraan.
Aku masih mengikuti arah iring-iringan kemacetan. Air
sudah sampai pada lututku. Tentu saja aku sudah seperti
yang lainnya, memapah motor. Beberapa kendaraan
memutuskan berbalik arah, itulah yang menyebabkan
kemacetan. Jalanan jadi kacau balau. Hatiku sedari tadi
hangat oleh kisah masa kecilku, kini menjadi panas
karena keadaan yang tak menentu.
Aku berada di perempatan. Terjebak dalam sungai
jalanan atau jalanan sungai. Kini deras hujan sudah tak
terdengar, kalah telak dengan umpatan orang-orang.
Meski tak lagi menarik perhatian, hujan bertambah deras
dan begitu pula arus di kakiku. Aku makin sulit
menggerakan motorku. Aku putuskan untuk membelokan
motorku, mencari tempat parkir. Sulit, aku tak mendapat
ruang untuk membelok. Tuhan, sulit sekali ini keadaan.
Aku lihat ke sebelah selatan, air disana tampak lebih
tinggi. Itu daerah memang lebih rendah dari tempatku
berdiri. Kendaraan-kendaraan disana sudah tak ada yang
bergerak, semuanya mematung. Dan tidak ada orang-
orang disana. Kemanakah mereka? Lalu aku lihat lebih
seksama, dalam deras hujan aku lihat orang-orang
bergerak disisi-sisi jalan mencari daerah yang lebih tinggi.
Sementara motor-motornya, mobil-mobilnya mereka
tinggalkan.
Beberapa saat kemudian, rombongan orang semakin
ramai. Bergerak kepayahan melawan arus yang semakin
menggerus. Seratus meter di sebelah selatan sana air
telah hampir mencapai selangkangan. Orang-orang itu
tidak dengan tangan kosong, ibu-ibu menggendong anak-
anaknya, ayah-ayah membopong tv, kulkas, kasur dan
apa saja. Mereka berlomba-lomba menggapai ketinggian.
Menyelamatkan nyawa mereka dan nyawa anak-
anaknya. Rumah-rumah mereka mereka biarkan
terendam. Di kejauhan sana, jalanan sudah seperti sungai
betulan.
Aku masih saja berdiri. Aku sungguh benci keadaan ini.
Aku jadi ingat bahwa di desaku sederas apapun hujan
takkan membuat jalanan seperti sungai. Sederas apapun
aliran air takkan pernah bersampah seperti disini. Dan
sederas apapun hujan takkan membuat ayah dan aku
menyelamatkan ibu dan adikku. Hujan di desaku bahkan
merupakan sumber keriangan yang tiada duanya.
Aku masih saja berdiam diri. Di sebelah selatan sana,
seorang anak kecil mengambang diatas ban ditarik oleh
ayahnya. Disampingnya sang ibu menggendong sang adik
yang meraung-raung kedinginan. Aku masih saja berdiri,
mengingat-ingat di desaku, tak akan mungkin terjadi yang
seperti itu.
Aku masih saja berdiam diri. Beromantika bersama hujan,
berharap di depan mataku ini hanyalah ilusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar