Jumat, 19 April 2013
Kostipasi
Konstipasi: Penyebab dan Cara Penanganan
yang Tepat
Frekuensi buang air besar pada masing-masing individu
sehat mungkin bervariasi, normalnya berkisar tiga kali sehari
sampai dengan tiga kali seminggu. Adanya penurunan
abnormal pada frekuensi buang air besar dengan disertai/
tanpa rasa nyeri selama mengejan disebut sebagai konstipasi
atau sembelit. Feses dengan konsistensi keras dapat
menimbulkan kesulitan defekasi (buang air besar).
Penyebab terjadinya konstipasi
Ketika makanan masuk ke dalam saluran pencernaan, tubuh
akan mengambil nutrisi atau zat-zat gizi dan air dari
makanan tersebut. Sisa atau ampas dari makanan tersebut
selanjutnya dikeluarkan melalui usus halus lewat kontraksi
usus.
Kurangnya mengkonsumsi cairan, kurangnya beraktivitas,
tidak cukupnya makan makanan berserat, konsumsi obat-
obatan tertentu, tidak menyegerakan ke kamar mandi saat
ingin buang air besar dan secara teratur menggunakan
laksatif atau obat pencahar akan dapat mengakibatkan
terjadinya gangguan pencernaan yang pada akhirnya
menyebabkan timbulnya konstipasi.
Cara penanganan konstipasi
Makan makanan dengan cukup kandungan serat dan minum
cukup banyak cairan adalah kunci dalam penanganan
konstipasi. Dengan minum cukup air dan makanan berserat
akan membantu pergerakan feses dan membuat feses
menjadi lebih lunak. Peningkatan aktifitas fisik juga akan
membantu dalam mengatasi konstipasi.
Beberapa tips pencegahan konstipasi
Jangan mengabaikan atau menahan keinginan anda untuk
buang air besar.
Makanlah lebih banyak makanan berserat seperti sayur-
sayuran dan buah-buahan.
Minumlah cukup banyak air, kira-kira 8 gelas setiap hari.
Jangan mengkonsumsi obat pencahar (laksatif) terlalu sering.
Penggunaan laksatif secara berlebihan bisa merusak tinja
dan bisa membuat konstipasi yang terjadi bertambah parah.
Sering berolahraga atau beraktifitas.
Batasi makanan yang tinggi lemak dan gula (seperti makanan
yang manis-manis, keju, dan makanan olahan). Makanan-
makanan tersebut dapat menimbulkan konstipasi.
Hindari obat pencahar
Laksatif (obat pencahar) seringkali dianggap sebagai solusi
termudah untuk mengatasi konstipasi, tetapi jika tidak
digunakan secara benar, obat ini sebenarnya dapat
menimbulkan masalah lain yang lebih banyak.
Laksatif bekerja melalui banyak cara dan masing-masing
jenis menimbulkan masalah tersendiri. Beberapa
diantaranya bersifat sebagai lubrikan (pelumas), sedangkan
lainnya dapat melunakkan konsistensi feses, menyerap air
lebih banyak pada usus besar, dan ada juga yang
membentuk massa. Salah satu bahaya dari laksatif yaitu
dapat menimbulkan ketergantungan pada penggunanya.
Bahkan beberapa jenis laksatif diketahui dapat merusak sel-
sel saraf pada kolon (usus besar) sampai akhirnya membuat
individu tersebut tidak dapat buang air besar lagi. Laksatif
dapat menghambat absorpsi atau menghilangkan efikasi
obat. Laksatif berbahan dasar minyak mineral dapat
mencegah absorpsi vitamin A, D, E, dan K. Jenis laksatif
lainnya dapat merusak dinding usus. Karena itu penggunaan
laksatif sebaiknya dihindari dan hanya digunakan atas
anjuran dokter. Untuk mengatasi konstipasi, individu lebih
dianjurkan untuk secara rutin berolahraga, cukup minum,
dan mengonsumsi makanan yang tinggi serat.
Demam berdarah atau Tifus?
Demam Berdarah atau Tifus?
Demam Berdarah atau Tifus ?
Demam berdarah dan tifus memiliki gejala yang dapat
dikatakan hampir sama. Kedua penyakit ini ditandai oleh
gejala berupa demam yang cukup tinggi. Jika kita salah
menduga jenis penyakit yang diderita, nantinya akan bisa
menyebabkan kesalahan penanganan yang justru akan
berakibat fatal bagi penderita. Lantas apa saja sebetulnya
perbedaan antara penyakit demam berdarah dan tifus?
Penyebab
Demam berdarah disebabkan oleh virus dengue, sehingga
penyakit ini dikenal juga dengan nama DBD yang merupakan
singkatan dari Demam Berdarah Dengue. Terdapat 4 jenis
virus demam berdarah yang biasa menyerang manusia.
Itulah yang menyebabkan pada beberapa kasus penderita
demam berdarah yang satu menunjukkan gejala yang
berbeda dengan penderita demam berdarah lainnya.
Penyakit ini menular dari satu penderita ke penderita lainnya
melalui nyamuk Aedes aegypti . Nyamuk Aedes aegypti yang
sebelumnya mengisap darah penderita DBD, jika kemudian
menggigit orang lain yang sehat maka virus demam
berdarah akan berpindah ke orang sehat tersebut dan orang
tersebut akan menderita demam berdarah.
Berbeda dengan demam berdarah, penyakit tifus disebabkan
oleh bakteri yang bernama Salmonella typhi . Bakteri ini
berkembang cepat pada tempat-tempat yang kotor.
Penyebaran bakteri ini dibantu oleh serangga pembawa
bakteri, salah satunya adalah lalat. Bakteri ini oleh lalat
dibawa ke makanan atau minuman dan seterusnya akan
masuk ke dalam tubuh orang yang mengkonsumsinya,
menyebabkan orang tersebut terkena penyakit tifus.
Gejala
Pada penderita demam berdarah, gejala-gejala yang biasa
ditemui adalah:
Badan pegal-pegal, sakit kepala, menggigil, buang-buang air
dan muntah.
Muncul bintik-bintik merah. Gejala ini mungkin tidak muncul
jika demam yang dialami baru sebentar. Untuk itu dapat
dilakukan teknik menjepit pembuluh darah mirip seperti saat
melakukan pemeriksaan tekanan darah. Setelah itu biasanya
bintik merah akan terlihat.
Setelah hari ketiga, biasanya demam akan turun dan
penderita akan merasa sudah sembuh tetapi setelah itu
demam dapat menyerang kembali. Pada masa ini sebaiknya
berhati-hati agar tidak menganggap sudah sembuh dan
tidak menjaga kesehatan.
Sementara pada penderita tifus, gejala yang muncul adalah :
Pada awalnya demam yang dialami tidak terlalu tinggi, lalu
kemudian akan meningkat terus hingga lebih dari 38 o C.
Khusus pada malam hari, suhu akan meningkat dan akan
turun pada pagi hari. Inilah yang membedakan demam tifus
dengan demam pada demam berdarah.
Batuk dan sakit tenggorokan
Diare dan nyeri perut
Pemeriksaan
Cara yang paling tepat untuk mengetahui apakah seseorang
menderita demam berdarah atau tifus adalah dengan
melakukan pemeriksaan darah. Dari pemeriksaan darah akan
dapat diketahui secara pasti penyakit yang diderita.
Pada pasien demam berdarah, pemeriksaan dilakukan
dengan memeriksa jumlah trombosit. Jika trombosit
menurun, biasanya < 100.000/µl, seseorang didiagnosis
mengalami demam berdarah. Tetapi, jika demam baru satu
hari belum bisa diketahui karena jumlah trombosit yang
masih normal. Pada kasus seperti ini, pasien dapat
memeriksa jumlah trombositnya jika masih mengalami
demam. Pada pemeriksaan yang lebih canggih, dapat
diketahui apakah darah mengandung virus dengue atau
tidak. Jika jumlah trombosit masih normal tetapi pada darah
positif mengandung virus dengue berarti positif mengalami
demam berdarah.
Sementara untuk pasien tifus dapat dilakukan tes Widal.
Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui apakah pada
darah mengandung antibodi terhadap bakteri Salmonella
typhi atau tidak. Jika hasil menunjukkan > 1/160 berarti
positif menderita tifus. Pemeriksaan lain dapat dilakukan
dengan memeriksa tinja penderita karena pada tinja
penderita tifus biasanya terdapat bakteri Salmonella typhi .
Pengobatan
Tidak ada obat khusus untuk mengobati penderita demam
berdarah karena tidak ada vaksin untuk membunuh virus
dengue. Hal yang dapat dilakukan adalah dengan menjaga
agar penderita tidak mengalami dehidrasi. Jika penderita
tidak dapat makan dengan baik, mengalami diare atau
muntah, ada baiknya penderita dirawat di rumah sakit agar
dapat dibantu dengan infus.
Sedangkan untuk pengobatan tifus, biasanya diberikan
antibiotik untuk membunuh bakteri. Untuk menyembuhkan
usus yang luka, makanan yang dimakan tidak boleh keras
agar tidak memaksa kerja usus yang sedang sakit. Selain itu
hindari juga makanan yang asam dan pedas.
Cara Pencegahan
Cara pencegahan penyakit demam berdarah adalah melalui
gerakan 3M. Gerakan 3M yang dimaksud adalah menguras
bak mandi, menutup tempat penampungan air, dan
mengubur barang-barang bekas.
Sementara untuk mencegah penyakit tifus dapat dilakukan
dengan cara menjaga lingkungan tetap bersih sehingga
bakteri tifus tidak dapat berkembang biak. Selain itu pilihlah
makanan dan minuman yang bersih untuk dikonsumsi.
Jumat, 12 April 2013
Feminisme senjata penjajahan baru
Orang Cerdas Tak akan Tertipu..
KIta tidak Mau dijajah Lagi...
Hanya orang Bodoh yang mau jadi Jongos
Penjajah...
Setelah Perang Dunia II, penjajahan tidak lagi melalui
fisik, tetapi melalui pemikiran, yaitu menyebarkan ide
sekularisme dan liberalisme. Ide ini melandasi seluruh
aspek kehidupan. Untuk mengokohkan penjajahannya
maka ide tersebut dijadikan konvensi internasional.
Melalui PBB, konvensi berhasil mengikat negara-negara
anggota PBB. Konvensi yang dimaksud antara lain
Konvensi PBB yang berkaitan dengan HAM dan tentang
perempuan yang bertujuan memajukan perempuan;
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan (CEDAW); Deklarasi Universal
HAM (1948); Kovenan Internasional tentang hak-hak
sipil dan politik (1966); Konferensi Internasional
Kependudukan dan Pembangunan (International
Conference Population and Development – ICPD) di
Kairo tahun 1994 dan konferensi PBB tentang
perempuan; Konvensi PBB tentang hak-hak politik
perempuan yang telah diratifikasi dengan UU no. 68
tahun 1958 dan UU no. 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia dengan bab khusus tentang hak-hak
perempuan.
Selama puluhan tahun terakhir PBB telah banyak
menyelenggarakan konferensi untuk kemajuan wanita
(baca: kebebasan wanita dari hukum Islam), mulai dari
yang pertama di Mexico City tahun 1975 hingga yang
keempat tahun 1995.
Konferensi PBB keempat kalinya tentang perempuan
1995 di Beijing sangat besar pengaruhnya terhadap
derasnya arus liberalisasi melalui ide feminisme.
Pelaksanaan hasil konferensi tersebut
diimplementasikan oleh para feminis, baik melalui
lembaga pemerintah (semisal Tim Pengarusutamaan
Gender DEPAG, Departemen Pemberdayaan
Perempuan) maupun LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat)/NGOs (Non Goverment Organization–
Organisasi Non Pemerintah).
CLDKHI merupakan implementasi konvensi tersebut
oleh Tim Pengarusutamaan Gender yang diketuai
Musdah Mulia. Dalam menentukan isi CLDKHI (Caunter
Legal Draft Kompilasi Hukum Islam), mereka merujuk
pada “kitab suci”-nya, yaitu Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
(CEDAW); Deklarasi Universal HAM(1948) serta Kovensi
Internasional tentang hak-hak sipil dan politik (1966).
Pemerintah harus melaksanakan norma-norma dan
instrumen-instrumen HAM internasional yang terkait
dengan kekerasan dan perlakuan diskriminatif terhadap
perempuan. Pemerintah juga harus melaksanakan
CEDAW. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi isi
CEDAW ( Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Againts Women ) ini dengan
dikeluarkannya UU no. 7 tahun 1984. Karenanya,
Pemerintah telah mengesahkan undang-undang nomor
23 Tahun 2004 tentang PKDRT (Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga), UU Perlindungan
Anak dan upaya melegalisasi aborsi melalui
amandemen UU Kesehatan.
Sosialisasi ide Gender Eguality atau Keadilan dan
Kesetaraan Gender (KKG) sangat massif baik melalui
swasta semisal LSM, Ormas, Lembaga Pendidikan
maupun Pemerintah. Bidang garapan yang
dipengaruhinya mulai dari kebijakan sampai hal yang
teknis. Wilayah kerjanya pun sejak dari tingkat nasional
sampai dengan kelurahan, bahkan RT dan institusi
paling kecil, yaitu keluarga.
Ide ini dimasukkan dalam 12 bidang kritis yang ada,
yaitu: perempuan dan kemiskinan; pendidikan dan
pelatihan bagi perempuan; perempuan dan kesehatan;
kekerasan terhadap perempuan; perempuan dan konflik
bersenjata; perempuan dan ekonomi; perempuan
dalam pengambilan kekuasaan; mekanisme institusional
untuk kemajuan perempuan; hak asasi perempuan;
perempuan dan media; perempuan dan lingkungan
serta anak perempuan.
Sosialisasi feminisme juga melalui lembaga pendidikan
dan media, baik melalui lembaga pendidikan formal
(misal: masuk salah satu mata pelajaran sampai pada
kurikulum berbasis gender) maupun melalui pendidikan
non-formal (misal: seminar-seminar, diskusi, diklat dan
training). Media cetak pun tak ketinggalan semisal
jurnal, majalah, koran dan buku; juga media elektronik,
internet, televisi dan radio.
Serangan Terhadap Islam
Agar ide Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG)
diadopsi masyarakat, maka ide ini dibungkus dengan
ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Dalam
penyajiannya mereka ’melogikakan’ liberalisasi hukum
Islam. Inilah racun-racun yang mereka sebar dan
dibungkus dengan madu untuk menyerang Islam.
Dalam laporan tentang pelaksanaan konvensi, para
feminis menyebutkan bahwa kekerasan dan adanya
diskriminasi terhadap perempuan merupakan
hambatan untuk mencapai keadilan dan kesetaraan
gender. Mereka menggambarkan bahwa kekerasan
terhadap perempuan adalah manifestasi dari hubungan
kekuasaan antara pria dan wanita yang tidak seimbang
sepanjang sejarah sehingga menyebabkan dominasi dan
diskriminasi terhadap perempuan serta menghalangi
kemajuan perempuan.
Dalam mencari penyebab timbulnya kekerasan dan
diskriminasi terhadap perempuan, mereka melihat
adanya pola-pola budaya; khususnya efek yang
merugikan dari praktik-praktik tradisionil atau adat
serta semua tindakan ekstrimis yang berkaitan dengan
ras, jenis kelamin, bahasa atau agama yang telah
mengabadikan kedudukan perempuan lebih rendah
dalam keluarga, kelompok kerja dan masyarakat
(kepemimpinan ada pada pihak laki-laki).
Mereka mengemukakan fakta kepemimpinan dalam
masyarakat yang menerapkan ajaran Islam ada pada
pihak laki-laki. Dari sinilah mereka mulai menggugat
hukum Islam dan berusaha mengubahnya dengan dalih
bias gender. Menurut mereka, harus ada rekontruksi
dan reinterpretasi hukum-hukum Islam yang dinilai
bias gender.
Inilah logika yang dibangun kaum feminis. Karenanya,
mereka memposisikan Islam sebagai hambatan bagi
tercapainya Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG).
Mereka menyimpulkan bahwa Islam menghambat
kemajuan wanita. Karena itulah mereka berupaya
mengubah hukum Islam. Mereka juga menanamkan
keraguan kepada umat Islam terhadap kebenaran
ajarannya, khususnya dengan mempertanyakan
keadilan Islam dalam memperlakukan perempuan.
Mereka mengatakan, hukum-hukum agama (Islam)
telah memasung kebebasan perempuan, membuat
perempuan tidak maju karena hanya beraktivitas pada
sektor domestik (rumah tangga). Disebabkan posisi
tersubordinasi inilah perempuan rentan mengalami
kekerasan. Dari sudut pandang inilah mereka
membahas bagaimana upaya menyelesaikan masalah
kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan.
Berangkat dari landasan ideologi liberalis, kaum feminis
mengusung ide semangat pembebasan perempuan dan
kesetaraannya dengan laki-laki (ide keadilan dan
kesetaraan gender). Agenda gerakan feminisme ini
hakikatnya adalah agenda liberalisasi hukum Islam.
Agenda yang sama juga diusung kaum liberal. Di dalam
bukunya, Fakta dan Data Yahudi di Indonesia, Ridwan
Saidi menulis bahwa Lutfi asy-Syaukani
memperkenalkan empat agenda JIL, salah satunya
adalah emansipasi (feminisme). Artinya, salah satu
upaya liberalisasi di Dunia Islam adalah melalui
gerakan feminis ini
Racun bagi Perempuan dan Umat
Nyatalah bahwa propaganda liberalisme dan feminisme
tidak lebih merupakan alat musuh-musuh Islam untuk
menghancurkan Islam dan umatnya. Feminisme
mengajak kaum Muslim beramai-ramai meninggalkan
aturan agama yang dianggap sebagai penghalang
kemandirian dan kebebasan perempuan.
Ide ini hanya akan membawa kerusakan pada tatanan
individu, keluarga dan masyarakat yang telah mapan
dengan nilai-nilai Islam. Ide ini hanya akan menularkan
kerusakan dan kebobrokan masyarakat Barat yang
kapitalis dan sekularis.
Demikianlah para feminis mempropa-gandakan ide-ide
sesatnya secara massif. Mereka berupaya menyeret
sedikit demi sedikit kaum Muslimah untuk
meninggalkan kewajiban utamanya sebagai ummu wa
rabah al-bayt (sebagai ibu dan pengatur rumah
tangga ), lalu menjadi feminis sejati yang betul-betul
membebaskan diri dari hukum Islam dengan sukarela
Hancurkan wanita
Sistem Kapitalisme sejatinya telah menghancurkan
kehidupan manusia, termasuk kaum hawa
(perempuan). Dalam kungkungan sistem Kapitalisme
saat ini kaum perempuan dalam posisi serba salah. Di
satu sisi mereka memikul amanah mulia menjadi
benteng keluarga; menjaga anak-anak dari lingkungan
yang merusak sekaligus mengurus rumah-tangga. Di
sisi lain mereka pun harus ikut bertanggung jawab
‘menyelamatkan’ kondisi ekonomi keluarga dengan cara
ikut bekerja mencari nafkah tambahan, atau bahkan
harus ‘menggantikan’ posisi sang suami yang—karena
imbas krisis ekonomi—terpaksa dirumahkan oleh
perusahaan tempatnya semula bekerja.
Akibat himpitan ekonomi tidak sedikit perempuan lebih
rela meninggalkan suami dan anaknya untuk menjadi
TKW, misalnya, meskipun nyawa taruhannya. Ribuan
kasus kekerasan terhadap mereka terjadi. Mereka
disiksa oleh majikan hingga pulang dalam keadaan
cacat badan, bahkan di antaranya ada yang akhirnya
menemui ajal di negeri orang. Masih lekat dalam
ingatan, bagaimana derita seorang TKW asal Palu,
Susanti (24 tahun), yang kini tak bisa lagi berjalan
karena disiksa majikannya ( Liputan6.com , 9/3/2010).
Kapitalisme pula yang telah menorehkan kisah pilu bagi
para ibu, yang harus merelakan bayinya di sandera
pihak rumah sakit karena tak mampu membayar biaya
persalinan. Kemiskinan sistemik telah merampas hak
seorang ibu untuk dekat dengan anaknya. Fenomena
ibu yang membunuh anaknya karena himpitan
ekonomi pun kerap terjadi. Pada 15/1/2010 lalu,
seorang ibu muda di Jakarta bernama Amanda (25
tahun), misalnya, membunuh anak kandungnya sendiri
yang masih berusia 2,6 tahun di rumahnya
( Vivanews.com , 16/1/2010).
Depresi kerap menjadi alasan seorang ibu tega
melakukan tindakan nekad seperti ini. Bahkan ada yang
berani mengakhiri hidupnya karena sudah tak sanggup
lagi menanggung derita dalam rumah tangga dan
persoalan hidup yang kian menghimpit. Di Selakau,
seorang ibu muda bernama Syarifah (23 tahun) tewas
gantung diri karena depresi ( Pontianakpost.com ,
15/3/2010). Lagi-lagi motifnya karena kemiskinan yang
telah diciptakan oleh sistem Kapitalisme ini.
Maraknya perdagangan perempuan dan anak-anak
( trafficking ) tak kurang riuhnya. Pada Desember 2009
ditemukan 1.300 kasus perdagangan manusia dan
pengiriman tenaga kerja ilegal dari Nusa Tenggara
Timur ( Vivanews.com , 15/12/2009). Sekitar 10.484
wanita yang berada di Kota Tasikmalaya Jawa Barat
rawan dijadikan korban trafficking . Pasalnya, mayoritas
di antara mereka berstatus janda serta berasal dari
kalangan yang rawan sosial dengan tarap ekonomi
rendah ( Seputar-indonesia.com , 1/4/2010). Di
Kabupaten Cianjur Jawa Barat kasus trafficking dan
KDRT tercatat 548 kasus. Tidak sedikit dari mereka
menjadi korban dan dipekerjakan sebagai pekerja seks
komersil (PSK) ( Pikiranrakyat.com , 23/3/2010).
Kondisi ini diperparah dengan munculnya gagasan
gender equality (kesetaraan jender) , yakni upaya
menyetarakan perempuan dan laki-laki dari beban-
beban yang menghambat kemandirian. Beban itu
antara lain peran perempuan sebagai ibu: hamil,
menyusui, mendidik anak dan mengatur urusan rumah
tangga. Lalu berbondong-bondonglah kaum perempuan
meninggalkan kodratnya. Mereka berlomba
mensejajarkan diri dengan laki-laki. Namun apa daya,
begitu mereka memasuki ranah publik, ekploitasi habis-
habisan atas diri merekalah yang terjadi. Mereka
menjadi obyek eksploitasi sistem Kapitalisme yang
memandang materi adalah segalanya. Model, sales
promotion girl , public relation hingga profesi pelobi
hampir senantiasa berada di pundak kaum perempuan.
Mereka menjadi umpan dalam mendatangkan pundi-
pundi rupiah.
Akar Masalah
Setidaknya ada dua faktor penyebab mengapa kondisi di
atas bisa terjadi. Pertama : faktor internal umat Islam
yang lemah secara akidah sehingga tidak memiliki visi-
misi hidup yang jelas. Hal ini diperparah dengan
lemahnya pemahaman mereka terhadap aturan-aturan
Islam, termasuk tentang konsep pernikahan dan
keluarga, fungsi dan aturan main di dalamnya. Kedua:
faktor eksternal berupa konspirasi asing untuk
menghancurkan umat Islam dan keluarga Muslim
melalui serangan berbagai pemikiran dan budaya
sekular yang rusak dan merusak, terutama paham
liberalisme yang menawarkan kebebasan individu.
Paham ini secara langsung telah menyingkirkan peran
agama dalam pengaturan kehidupan manusia, sekaligus
menjadikan manusia bebas menentukan arah dan cara
hidupnya, termasuk yang terkait dengan hubungan
antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan
keluarga.
Nyatalah apa yang difirmankan Allah SWT:
] ْﻦَﻣَﻭ َﺽَﺮْﻋَﺃ ْﻦَﻋ ﻱِﺮْﻛِﺫ َّﻥِﺈَﻓ ُﻪَﻟ ًﺔَﺸﻴِﻌَﻣ ﺎًﻜْﻨَﺿ ُﻩُﺮُﺸْﺤَﻧَﻭ َﻡْﻮَﻳ
ِﺔَﻣﺎَﻴِﻘْﻟﺍ ﻰَﻤْﻋَﺃ [
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku,
sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit,
dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari
Kiamat dalam Keadaan buta (QS Thaha [20]: 124)
Umat ini memang telah berpaling dari peringatan
(hukum-hukum) Allah. Tak sedikit umat Islam
mencampakkan hukum Islam karena merasa malu atas
tuduhan yang dialamatkan oleh musuh-musuh Islam.
Mereka secara sengaja mempropagandakan hukum
Islam sebagai ‘kolot’, ‘anti kemajuan’, ‘ekslusif’, ‘bias
jender’ dan gambaran-gambaran buruk lainnya. Sebagai
gantinya, umat Islam justru didorong untuk
menerapkan berbagai aturan yang menjamin
kebebasan individu, sekalipun mereka tahu, bahwa
aturan-aturan itu bertentangan dengan syariah agama
mereka.
Tuduhan-tuduhan konyol (bodoh) ini secara konsisten
terus dialamatkan pada Islam melalui peranan
lembaga-lembaga internasional, terutama PBB yang
hakikatnya merupakan alat penjajahan Barat. Di
antaranya memakai modus "perang melawan
terorisme", yang hakikatnya adalah perang melawan
Islam.
PBB di bawah ketiak kendali negara-negara Barat
kapitalis sangat giat mengeluarkan berbagai konvensi
dan kesepakatan internasional terkait dengan isu HAM,
kesetaraan gender, dll. Di antaranya Deklarasi Universal
HAM, Konvensi tentang Penghapusan Kekerasan
Terhadap Perempuan, Konvensi Internasional tentang
hak-hak sipil dan politik, MDGs, dan semisalnya. Pada
dasarnya semua itu memiliki semangat perjuangan dan
target yang sama, yaitu tuntutan kebebasan
(liberalisasi) dalam segala hal, termasuk kebebasan dan
kesetaraan laki-laki dan perempuan.
Islam Mengancam Peradaban Barat
Konspirasi Barat ini dilakukan tidak lain karena Islam
dan umat Islam memiliki potensi ancaman terhadap
dominasi peradaban Barat (Kapitalisme global). Selain
potensi SDM yang sangat besar berikut SDA-nya yang
melimpah, Islam dan umat Islam juga memiliki potensi
ideologis yang jika semua potensi ini disatukan akan
mampu mengubur sistem Kapitalisme global.
Di samping itu, keluarga Muslim saat ini masih
berfungsi sebagai benteng pertahanan terakhir, yang
menjaga sisa-sisa hukum Islam terkait keluarga dan
individu, setelah hukum-hukum Islam lainnya
menyangkut aspek sosial dan kenegaraan berhasil
mereka hancurkan. Terpeliharanya sisa-sisa hukum-
hukum Islam oleh keluarga-keluarga Muslim ini pun
masih menyimpan potensi besar dalam melahirkan
generasi-generasi pejuang yang menjadi harapan umat
di masa depan. Inilah yang mereka takutkan. Dari
keluarga-keluarga Muslim ini akan lahir sosok Muslim
militan yang siap menghancurkan dominasi mereka
atas dunia.
Itulah mengapa mereka berupaya dengan sungguh-
sungguh menghancurkan keluarga Muslim dengan
berbagai cara. Di antaranya dengan menjauhkan para
Muslimah dari cita-cita menjadi ibu atau dari
penyempurnaan peran ibu. Secara sistemik,
diciptakanlah kemiskinan struktural melalui penerapan
sistem ekonomi kapitalis yang memaksa para ibu
bekerja untuk menutupi kebutuhan keluarga dan
karenanya peran ibu tidak bisa optimal.
Selain itu, mereka meracuni benak para Muslimah
dengan berbagai pemikiran yang merusak, semisal ide
emansipasi, keadilan dan kesetaraan jender serta
kebebasan. Akibatnya, para Muslimah lebih tertarik
beraktivitas di ranah publik (luar rumah) dan malah
merasa rendah diri jika sekadar berperan sebagai ibu
rumah tangga. Dampak lanjutannya, lahirlah generasi
tanpa bimbingan dan pengasuhan optimal para ibu.
Apa yang menjadi tujuan semua konspirasi Barat kafir
sesungguhnya sangat jelas, yakni merusak identitas
keislaman kaum Muslim, menghapus militansi ideologis
mereka dan melemahkan daya juang umat Islam.
Dengan cara ini, target besar mereka akan terwujud,
yakni menghambat gerakan mengembalikan Khilafah
Islamiyah yang memang sudah menggejala di seluruh
dunia. Apalagi sebagaimana prediksi RAND Corporation
(lembaga intelejen AS), ada kemungkinan pada tahun
2020 peta politik global disemarakkan dengan
bangkitnya Kekhilafahan baru. Karenanya, AS sebagai
motor Kapitalisme global sedini mungkin berupaya
memperkecil kemungkinan tersebut dengan berbagai
cara.
Apa yang Harus Dilakukan?
Jelas, upaya liberalisasi berlangsung sangat sistematis;
melibatkan berbagai pihak, mulai dari pihak negara-
negara kapitalis sebagai konspiratornya, para kapitalis
sebagai penyandang dananya, serta LSM liberal/gender
dan pemerintah bertindak sebagai EO-nya. Karena itu,
upaya strategis yang harus dilakukan untuk
menghadapi berbagai konspirasi asing dalam
penghancuran keluarga Muslim adalah mengajak umat
untuk bersegera meninggalkan sistem liberal sekular
ini, dengan cara melakukan pencerdasan umat dengan
Islam kâffah . Targetnya adalah agar tercipta profil
Muslim dan Muslimah tangguh yang siap berjuang
melakukan perubahan sistem menuju tegaknya syariah
Allah SWT dalam naungan Khilafah. Lebih khusus lagi,
agar kaum Muslimah menyadari betapa besar investasi
yang disiapkan jika mampu secara maksimal
menjalankan fungsi utamanya sebagai “umm[un] wa
rabbah al-bayt” (ibu dan manajer rumah tangga) .
Fungsi utama ini akan menjadi hulu bagi lahirnya
generasi utama yang akan mengguncang sekaligus
meruntuhkan dominasi kafir Barat dengan peradaban
sampahnya. Ingatlah firman Allah SWT:
] ْﻞُﻗ ﺎَﻳ ِﻡْﻮَﻗ ﺍﻮُﻠَﻤْﻋﺍ ﻰَﻠَﻋ ْﻢُﻜِﺘَﻧﺎَﻜَﻣ ﻲِّﻧِﺇ ٌﻞِﻣﺎَﻋ َﻑْﻮَﺴَﻓ
َﻥﻮُﻤَﻠْﻌَﺗ ْﻦَﻣ ُﻥﻮُﻜَﺗ ُﻪَﻟ ُﺔَﺒِﻗﺎَﻋ ِﺭﺍَّﺪﻟﺍ ُﻪَّﻧِﺇ ﻻ ُﺢِﻠْﻔُﻳ َﻥﻮُﻤِﻟﺎَّﻈﻟﺍ [
Katakanlah, "Hai kaumku, berbuatlah sepenuh
kemampuanmu, sesungguhnya aku pun berbuat.
Kelak kamu akan mengetahui, siapakah (di antara
kita) yang akan memperoleh hasil yang baik dari
dunia ini. Sesungguhnya orang yang zalim itu tidak
akan mendapat keberuntungan." (QS al-An’am
[6]: 135).
Sesungguhnya kewajiban memperjuangkan Islam
adalah konsekuensi keimanan kita kepada Allah SWT.
Kita semua tak akan bisa menghindar dari misi mulia
ini, kecuali jika kita siap menghadap-Nya tanpa hujjah.
Semoga kita semua termasuk yang bisa kembali ke
haribaan-Nya dengan membawa hujjah yang nyata.
Dengan begitu, di akhirat nanti, kita layak bersanding
dengan Rasulullah saw. tercinta dan barisan para
pejuang radhiyallâhu ‘anhum. Wallâhu a’lam. []
mendidik anak ala nabi yakub
Mendidik Keimanan Anak Ala Nabi Ya’qub
Bandingkan dengan kenyataan yang dialami anak-anak kita
hari ini. Mungkin anak-anak kita memiliki kecerdasan
intelektual namun nihil kecerdasan spiritual
Oleh: Ali Akbar bin Agil
DEWASA ini, tantangan dan rintangan yang harus dihadapi
oleh orangtua dalam mendidik putra-putrinya terasa berat.
Beban ujian dan godaan datang bertubi-tubi dari segala
penjuru. Jika tidak pandai mendidik anak, bisa saja mereka
masuk dalam generasi gagal. Anak kita tidak dilahirkan
selaras dengan zaman kita.
Belajar dari seorang Wali Allah, Luqman, kita bisa belajar
tentang mendidik anak. Beliau membekali anaknya dengan
iman, tauhid dan akidah yang kokoh. Luqman mengajarkan
putranya agar menjadi insan beriman, memiliki kekokohan
akidah, tidak menyekutukan Allah Subhanahu
Wata’aladengan apapun juga.
Luqman mengenalkan kepada putranya siapa yang telah
menciptakannya, menghidupkan, mematikan, dan memberi
rezeki. Iman merupakan sumber inspirasi, pembuka
wawasan, dan ide-ide cemerlang. Sebagai inspirasi, iman
dapat membuat seseorang tergerak melakukan kebaikan dan
menjauhi kejahatan. Dengan inspirasi iman, seseorang akan
memilki motivasi dalam memenuhi seruan-seruan kebajikan.
Sejarah mengukir kisah orang-orang yang terdidik dengan
pendekatan iman.
Dengan iman, Abu Bakar Ash-Shiddiq menyerahkan semua
hartanya di jalan Allah. Dengan iman pula, Umar bin Khattab
sebagai Kepala Negara siap sedia membawa gandum di
pundaknya, ia serahkan kepada seorang wanita yang papa.
Dengan inspirasi iman, Ali bin Abi Thalib rela tidur di
pembaringan Sang Nabi di waktu rumahnya dikepung
musuh.
Dengan inspirasi iman, seseorang akan mampu bangun di
waktu malam, bermunajah kepada Allah, di musim dingin
sekalipun. Dengan kekuatan iman juga, Sumayyah tetap
berkomitmen menjaga tauhidnya meski harus merelakan
nyawa satu-satunya. Semuanya karena iman kepada Allah.
Dengan iman yang kuat, seseorang akan berusaha menghiasi
diri dengan akhlak yang mulia.
Akhlak sangat penting dihadirkan dalam segala situasi dan
kondisi. Kemuliaan akhlak ada pada dorongan iman yang
kuat. Kekuatan iman membuat seorang anak selalu beretika
dalam tiap tindak tanduknya, menghindari perilaku-perilaku
tercela. Dengan iman yang mantap, seorang anak yang didik
dengan metode ini, akan memilki rasa malu. Malu dalam
melakukan kejahatan.
Rasa malu nyaris lenyap dalam kehidupan kita. Ada seorang
anak tidak malu-malu membuat malu keluarga dengan
perbuatan nistanya. Tanpa rasa malu ia berbuat keji. Tanpa
iman, seseorang akan ringan-ringan saja melangkahkan kaki
dalam perbuatan yang dimurkai Allah Subhanahu Wata’ala.
Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam
memprioritaskan pendidikan iman dalam dakwahnya. Beliau
mengajarkan cara beriman dan bertauhid kepada para
sahabatnya yang kemudian ditularkan kepada anak-anak
mereka. Sebagai salah satu contoh kesuksesan orang tua
memberi asupan iman dan akidah yang kokoh kepada
anaknya adalah Ali bin Abi Thalib.
Akkisah, dalam suatu kesempatan, Zainab duduk bersama
ayahnya di dalam kamar.
Sambil membelai-belai putrinya, sang ayah, Imam Ali,
bertanya, “Dapatkah engkau mengucapkan kata ‘satu’ ?”
“Dapat…”, jawab Zainab dengan gaya kekanak-kanakan.
“Cobalah,” lanjut Imam Ali.
“Sa-tu.”
“Coba ucapkan lagi dua…”
Zainab diam, tidak menjawab.
“Cobalah, ucapkan sayang…!”, ayahnya mengulang
pertanyaannya.
“Ayah,” kata Zainab, “aku tidak sanggup mengucapkan ‘dua’
dengan lidah yang sudah terbiasa mengucapkan “satu.”
Dalam kesempatan yang lain, pada suatu hari Zainab
bertanya kepada ayahnya, “Ayah, benarkah ayah mencintai
diriku?”
“Bagaimana tidak, bukankah engkau kesayanganku?”
Mendengar jawaban ayahnya seperti itu Zainab menyahut,
“Seharusnya cinta itu ditujukan kepada Allah, sedangkan
diriku cukuplah kasih sayang.”
Lihatlah bagaimana seorang anak di bawah umur sudah
memahami iman kepada Allah Subhanahu Wata’aladengan
begitu dalam. Bandingkan dengan kenyataan yang dialami
anak-anak kita hari ini. Mungkin anak-anak kita memiliki
kecerdasan intelektual namun nihil kecerdasan spiritual.
Pendidikan yang bersendikan iman dan tauhid kepada Allah,
akan menjadikan anak-anak tahu mana yang baik dan buruk,
mana yang diridhai oleh Allah Subhanahu Wata’ala dan
dimurkai-Nya, dan berusaha untuk melakukan tindakan-
tindakan yang baik, di mana pun ia berada, ke mana pun ia
melangkahkan kakinya.
Pada detik-detik kemangkatannya Nabi Ya`qub A`laihis
Salaam tidak bertanya tentang materi yang akan diperoleh
oleh anak-anaknya. Beliau menanyakan iman.
Allah Subhanahu Wata’ala merekam dengan sangat indah
momen dialog Nabi Ya`qub dengan anak-anaknya.
ْﻡَﺃ ْﺫِﺇ ﺀﺍَﺪَﻬُﺷ ْﻢُﺘﻨُﻛ َﺮَﻀَﺣ َﻝﺎَﻗ ْﺫِﺇ ُﺕْﻮَﻤْﻟﺍ َﺏﻮُﻘْﻌَﻳ ِﻪﻴِﻨَﺒِﻟ ﺎَﻣ َﻥﻭُﺪُﺒْﻌَﺗ ﻦِﻣ
ﻱِﺪْﻌَﺑ ْﺍﻮُﻟﺎَﻗ َﻪـَﻟِﺇَﻭ َﻚَﻬـَﻟِﺇ ُﺪُﺒْﻌَﻧ َﻚِﺋﺎَﺑﺁ َﻢﻴِﻫﺍَﺮْﺑِﺇ َﻞﻴِﻋﺎَﻤْﺳِﺇَﻭ َﻕﺎَﺤْﺳِﺇَﻭ ًﺎﻬـَﻟِﺇ
ًﺍﺪِﺣﺍَﻭ ُﻦْﺤَﻧَﻭ ُﻪَﻟ َﻥﻮُﻤِﻠْﺴُﻣ
“Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda)
maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang
kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami
akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu,
Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan
kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (QS: Al-Baqarah :
133).
Nabi Ya`qub tidak bertanya soal apa yang akan dimakan
sepeninggalnya, beliau bertanya tentang iman. Iman tidak
bisa diwariskan kepada anak-anak kita. Kita dapat
mengajarkan iman kepada anak-anak itu sejak dini, sebagai
bekal dalam menjalani kehidupan di dunia yang belakangan
begitu menyedihkan.
Pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan oleh
Mohammad Fauzil Adhim dalam bukunya “Positive
Parenting” (Cara-cara Islami Mengembangkan Karakter
Positif Pada Anak Anda) berikut ini, patut menjadi renungan
bagi kita semua.
“Seberapa gelisah kita hari ini? Apakah kita sibuk
memperbanyak tabungan agar mereka kelak tidak
kebingungan cari makan sesudah kita tiada? Ataukah kita
bekali jiwanya dengan tujuan hidup, visi besar, semangat
yang menyala-nyala, budaya belajar yang tinggi, iman yang
kuat dan kesediaan untuk berbagi karena Allah?”
Penulis adalah pengajar di Pesantren Darut Tauhid, Malang
berloba dalam membahagiakan pasangan
Rasulullah bersabda, “Setiap istri yang meninggal, dan
suaminya ridha, maka dia akan masuk surga.” (HR:Tirmidzi).
JIKA ada yang bertanya, siapakah pasangan suami istri paling
bahagia, maka jawabnya adalah Rasulullah Shallallahu Alayhi
Wasallam bersama Sayyidah Khadijah radhiyallahu anha.
Sekalipun Muhammad ketika itu lebih muda, mantan
karyawannya, dan tidak memiliki kekayaan seperti dirinya,
Khadijah tetap memuliakan, menghormati bahkan mentaati
Muhammad sebagai suaminya dengan sepenuh hati.
Khadijah sering sekali meneguhkan pendirian Muhammad,
menghibur dan memuliakannya. “Engkau adalah manusia
yang paling jujur di bumi ini wahai suamiku, engkau tidak
pernah membalas kecuali kebaikan, meskipun engkau
menerima keburukan dan penderitaan. Bahkan, engkau tidak
pernah memutus tali persaudaraan. Sungguh aku yakin,
engkau adalah suamiku yang akan menerangi kehidupan ini,”
demikianlah ungkap Khadijah dalam suatu kesempatan.
Demikian pula Muhammad, sekalipun istrinya jauh lebih tua
dan janda dari beberapa suami, Muhammad sangat-sangat
memuliakan Khadijah sebagai istrinya. Pernah suatu ketika,
Aisyah cemburu tidak suka Nabi menyebut nama Khadijah,
Nabi pun menjelaskan bahwa Khadijah adalah istri yang
paling dimuliakannya.
“Dia menerimaku pada saat orang mendustakanku. Dia yang
memuliakanku pada saat semua orang menghinakanku. Dia
telah menyerahkan seluruh hartanya demi dakwah ini.
Bahkan dia pula yang melahirkan anak-anakku,” demikian
kenang Nabi sebagai bentuk hormat dan kasih yang
mendalam beliau yang mulia kepada istri pertamanya
Khadijah radhiyallahu anha.
Khadijah menemani hidup Nabi selama 25 tahun sampai
dirinya berpulang 3 tahun sebelum Nabi hijrah ke Madinah.
Meninggalnya Khadijah membuat Nabi berduka sehingga
tahun wafatnyanya dinamai oleh Nabi dengan ‘Am Al-huzni'
(tahun duka cita). Khadijah adalah istri yang paling di cintai
Nabi sehingga sampai sekian lama setelah ketiadaannya Nabi
senantiasa menyebut namanya, hal itu pernah membuat
‘Aisyah cemburu.
Akar Kebahagiaan
Sikap saling memuliakan adalah akar kebahagiaan. Sikap
tersebut tidak akan muncul kecuali suami istri benar-benar
mengamalkan ajaran Islam. Oleh karena itu, sudah
seharusnya, seluruh rumah tangga Muslim bersegera untuk
memperbaiki kondisi keluarganya dengan bersegera untuk
saling memuliakan antara suami dan istri.
Ibn Abbas radhiyallahu anhu adalah sosok sahabat yang
sangat mengerti bagaimana cara memuliakan istrinya. Dia
berkata, “Aku sungguh senang berdandan untuk istriku,
sebagaimana aku senang jika dia berdandan untukku, karena
Allah Ta’ala berfirman;
َّﻦُﻬَﻟَﻭ ُﻞْﺜِﻣ َّﻦِﻬْﻴَﻠَﻋ ﻱِﺬَّﻟﺍ ِﻑﻭُﺮْﻌَﻤْﻟﺎِﺑ
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (QS: al Baqarah
[2]: 228).
Sungguh tak elok, jika seorang suami hanya menuntut
istrinya berdandan, sementara dirinya tidak memperhatikan
dandanannya. Adalah suatu kebaikan suami istri saling
bersikap ramah, lemah lembut, penuh kasih, melayaninya
dengan sebaik-baik pelayanan dan saling memuji serta saling
mendoakan.
Dengan cara seperti itu, Insya Allah istri akan bangga kepada
suami begitu juga sebaliknya. Bahkan jika sang istri menemui
ajal lebih dahulu dari suami, sementara suami ridha dengan
sikap dan perilaku istrinya selama bersamanya, maka surga
sudah siap menjemputnya.
Rasulullah bersabda, “Setiap istri yang meninggal, dan
suaminya ridha, maka dia akan masuk surga.” (HR:Tirmidzi).
Dengan demikian, jika suami istri ingin langgeng
pernikahannya, berhasil mewujudkan keluarga sakinah,
mawaddah wa rahmah, bahkan bisa melahirkan generasi
kebanggaan, maka sudah seharusnya setiap pasangan
menanam dalam-dalam akar kebahagiaan ini, yaitu saling
memuliakan antara istri dan suami.
Seperti itulah yang juga dicontohkan oleh Ashim bin Umar
bin Khaththab ketika menikah dengan gadis miskin penjual
susu. Ashim tidak melihat istrinya dari status sosialnya, tetapi
dari ketakwaannya yang telah mempesona sang ayah,
sehingga memerintahkan Ashim untuk menikah dengannya.
Ashim pun memuliakan istrinya dengan sebaik-baiknya
hingga akhirnya lahirlah putri mereka yang diberi nama Laila
yang kemudian dikenal sebagai Ummu Ashim. Ummu Ashim
pun kemudian dinikahi oleh Abdul Aziz bin Marwan, sampai
akhirnya lahirlah seorang cucu yang ketika besarnya menjadi
kebanggaan umat Islam, Umar bin Abdul Aziz.
Resep Kebahagiaan
Adalah idaman siapapun, pernikahannya menjadi pernikahan
yang berkah dunia akhirat. Dan, saling memuliakan antara
suami dan istri adalah akar dari terwujudnya dambaan
tersebut.
Atas halitu Asma ibn Kharijah memberi nasehat yang sangat
bagus kepada putrinya pada saat melangsungkan
pernikahannya.
“Wahai anakku, sesungguhnya engkau telah keluar dari
kehidupan yang engkau jalani menuju ke peraduan
yang tidak engkau kenali sebelumnya dan hidup
bersama dengan orang yang sebelumnya tidak engkau
kenal.
Maka jadilah engkau sebagai bumi bagi suami niscaya
dia akan menjadi langit bagimu, jadilah engkau sebagai
tempat tidur baginya niscaya dia menjadi tiang
penyanggamu. Jadilah engkau sebagai seorang hamba
sahaya wanitanya, niscaya dia akan menjadi soerang
hamba sahaya laki-lakimu.
Janganlah engkau menjauh darinya hingga ia akan
melupakanmu, kalau ia memanggilmu, maka dekatilah
ia, jagalah penciuman, pendengaran dan matanya. Ia
tidak akan mencium apapun darimu kecuali yang
indah.”
Jika demikian, tunggu apalagi, mari berlomba-lomba
memuliakan pasangan kita. Insya Allah kebahagiaan akan
menyertai kita, bahkan kehadiran generasi (anak-anak)
penuh iman dan takwa akan mendampingi kehidupan kita
hari ini dan kelak di akhirat. Semoga.*/ Imam Nawawi
wajib tolak UU KKG
Selamatkan Keluarga Indonesia...
Selamatkan Wanita Indeonesia..
Selamatkan Anak Bangsa...
Tolak RUU KG
Upaya legalisasi RUU KG tidak lepas dari ratifikasi
Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women (CEDAW) yang disahkan
Indonesia menjadi UU No. 7/1984. Kemudian UU No.
39/1999 tentang Hak Asasi Manusia menguatkan
keseriusan Pemerintah dalam menjamin pemenuhan
hak perempuan. Pasal 45 UU itu menyatakan: Hak
wanita dalam Undang-Undang ini adalah hak asasi
manusia.
Selain alasan yuridis, tinjauan sosiologis juga menjadi
aspek yang melatarbelakangi RUU ini. Dalih klasik yang
acap dilontarkan pegiat jender adalah perempuan
masih mengalami diskriminasi dalam keluarga,
masyarakat dan negara. Merekalah obyek penderita
akibat pembedaan, pengucilan, pembatasan, dan segala
bentuk kekerasan berdasar jenis kelamin. Akibatnya,
kebebasan menikmati hak politik, ekonomi, sosial,
budaya, sipil atau lainnya berkurang, bahkan terhapus.
Walaupun Indonesia telah memiliki beberapa UU
berbasis jender, ternyata semua itu tak cukup kuat
menjadi landasan gerakan pengarusutamaan jender.
Inpres No.9/2000 tentang Pengarus Utamaan Gender
(PUG) yang lahir pada masa Abdurrahman Wahid
belum mampu menjadi undang-undang payung
( umbrella act ). Maka dari itu, melegalkan UU yang
mengatur hak warga negara dan kewajiban negara
untuk mewujudkan kesetaraan jender adalah ambisi
yang harus direalisasi.
Sesi ke-39 Sidang Komite CEDAW PBB pada 23 Juli-10
Agustus 2007 secara khusus memberi beberapa catatan
pelaksanaan agenda CEDAW di Indonesia. Komite
memuji komitmen Indonesia terhadap mekanisme PUG
dalam pembangunan nasional. Demi memastikan
pemberlakuan konvensi itu, Komite meminta
Pemerintah segera menuangkannya dalam hukum
nasional. Bahkan dengan terus-terang Indonesia
didorong untuk melakukan studi banding tentang
kodifikasi dan penerapan tafsir progresif terhadap
hukum Islam. Karena itulah mereka memerlukan
dukungan bagi reformasi hukum, termasuk menjalin
kemitraan dengan lembaga penelitian yurisprudensi
Islam, masyarakat sipil, organisasi non-Pemerintah dan
tokoh masyarakat yang mendukung kesetaraan
perempuan.
Dokumen itu sengaja diminta untuk dipublikaskan tentu
dengan maksud untuk memberikan petunjuk bahwa
beginilah seharusnya arah pembangunan jender di
Indonesia. Bukankah bisa kita simpulkan bahwa
keislaman mayoritas penduduk Indonesia hanya
menjadi obyek perubahan agenda internasional? Karena
itulah, sejak pembukaan, RUU ini telah mengundang
kontroversi paradigmatis. Kewajiban meratifikasi dan
mengimplementasikan konvensi internasional yang
bahkan diikuti dengan sanksi menunjukkan bahwa
Indonesia tidak cukup berdaulat untuk memperhatikan
kepentingan rakyat yang mayoritas Muslim.
Menohok Ideologi Islam
Selain CEDAW , RUU ini juga merujuk pada Beijing
Platform For Action (BPFA) sebagai landasan aksi.
Secara lebih khusus perspektif jender diintegrasikan
dalam pencapaian Millenium Developments Goals .
Semuanya adalah permufakatan yang didasari dogma
sekularisme dalam memandang persoalan perempuan.
Bila dibiarkan, PUG akan menjadi bola liar yang
mengarahkan perempuan menuju liberalisme yang
makin liar. Karena itu, upaya mengkritisi RUU ini harus
dilakukan secara paradigmatis, Islam versus
Kapitalisme.
1. Ketentuan umum.
Ketentuan umum pada RUU ini diawali dengan definisi
jender, kesetaraan jender, diskriminasi,
pengarusutamaan jender dan perangkat pelaksananya.
Tentu diskriminasi menjadi pemicu utama kelahiran
RUU ini. Diskriminasi didefinisikan sebagai segala
bentuk pembedaan dan kekerasan berdasar jenis
kelamin yang berpengaruh untuk mengurangi atau
menghapuskan pengakuan, penikmatan manfaat/
penggunaan HAM dan kebebasan di segala bidang.
Islam, bagi Barat, adalah diskriminan kelas wahid
terhadap perempuan. Aturan syariah seperti batasan
aurat, pakaian ( hijab), pemimpin negara, tanggung
jawab keibuan, relasi suami-istri, perkawinan, dan
perwalian dianggap kontradiktif terhadap konsepsi
jender. Islam lekat dengan idiom patriarkis (memihak
laki-laki), bahkan banyak ayat dan hadis yang dituduh
memiliki muatan misogynist (membenci perempuan).
Semangat RUU ini untuk membebaskan perempuan
dari diskriminasi adalah dengan memberikan kemitraan
seimbang antara perempuan dan laki-laki, termasuk
dalam perkawinan dan peran kenegaraan. Karena itu,
hal itu akan diterjemahkan sebagai gugatan terhadap
hukum-hukum Islam yang dinilai mensubordinasi
(merendahkan) perempuan seperti masalah izin istri
kepada suami/wali, nusyuz , poligami, kepala keluarga,
juga keharaman perempuan menjadi kepala negara/
pemerintahan.
2. Tujuan penyelenggaraan KG.
Mewujudkan keadilan di segala bidang kehidupan bagi
perempuan dan laki-laki adalah tujuan umum yang
terangkum dalam RUU ini. Membedakan hak dan
kebebasan seseorang karena jenis kelamin adalah
ketidakadilan. Tidak boleh membedakan perempuan
karena pandangan tertentu—apalagi agama, terutama
Islam—terhadap peran dan fungsinya dalam
kehidupan. Dengan jelas poin f Pasal 3 menyatakan
akan menghapus segala praktik yang didasarkan atas
inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin.
Artinya, peran khas laki-laki sebagai qowwam ‘ala an-
nisa’ dan perempuan sebagai umm[un] wa rabbah al-
bayt adalah pembedaan yang layak untuk dihapuskan.
3. Hak dan kewajiban warganegara
Pasal 8-b menyatakan setiap warga negara berhak
mendapatkan perlindungan melalui peraturan yang
tidak diskriminatif jender. Peraturan diskriminatif—yang
mereka kategorikan sebagai perundang-undangan yang
tidak jelas rumusannya—jelas menyasar pada
peraturan bernuansa syariah. Data yang dihimpun
Komnas Perempuan sampai akhir September 2010
menunjukkan ada 189 Perda diskriminatif. Di antaranya
mengenai khalwat di Aceh, pemberantasan pelacuran
di Jawa Barat, keharusan berpakaian Muslim dan
Muslimah di Bulukumba, serta pelarangan keluar
malam bagi perempuan di Tanggerang. Komite CEDAW
memberikan catatan khusus agar Pemerintah
mengidentifikasi dan melakukan revisi terhadap Perda
tersebut. Selain desentralisasi yang mengakibatkan
diskriminasi perempuan, Komite juga mengkhwatirkan
kebangkitan kelompok agama fundamentalis.
Selanjutnya Pasal 9 ayat (1) menyatakan kesempatan
yang sama dan perlakuan yang adil dalam pemenuhan
hak kesehatan reproduksi, hak pendidikan, hak ekonomi
dan ketenagakerjaan, keterwakilan perempuan,
perkawinan dan hubungan keluarga.
Keadilan pada hak ekonomi mencakup peniadaan izin
perempuan dari keluarganya sebelum bekerja pada
malam hari. Terpenuhinya hak reproduksi mencakup
ketidakharusan izin suami soal sterilisasi dan aborsi.
Komite juga menganjurkan jaminan agar perempuan/
anak perempuan mendapatkan informasi dan
pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk
kemudahan mendapatkan kontrasepsi bagi remaja
untuk mengurangi tingkat aborsi tidak aman dan
kehamilan. UU Perkawinan No. 1/1974 disebut Komite
CEDAW mengabadikan pandangan diskeiminatif.
Undang-undang itu juga dianggap tidak melindungi
perempuan karena melegalkan poligami dan
perkawinan dini pada perempuan berusia 16 tahun.
Demi memperbesar keterwakilan perempuan, Komite
mendesak Indonesia untuk memperkuat sistem kuota
30 persen bagi calon perempuan sebagai syarat wajib
dalam UU Pemilu, dengan memastikan sanksi apabila
syarat itu tidak dipenuhi.
4. PUG: Partisipasi masyarakat, penghargaan dan
sanksi.
Pengarusutamaan jender adalah strategi untuk
mengintegrasikan perspektif jender atas kebijakan dan
program pembangunan nasional, termasuk
penghapusan segala bentuk diskriminasi dan
perlindungan terhadap perempuan. Pemberdayaan
masyarakat menjadi kata kunci PUG, termasuk
meminta keterlibatan dunia usaha dan swasta. Pasal 20
RUU ini mencantumkan sanksi administratif atau
pemberian disinsentif bagi pihak yang mencedarai
komitmen PUG. Bahkan Pasal 21 ayat (2) menentukan
bila terjadi tindak pidana yang dilatarbelakangi
diskriminasi jender. Pidananya dapat ditambah
sepertiga dari ancaman maksimum pidana yang
diancamkan dalam KUHP dan UU lainnya. Jelas, ini
adalah upaya untuk mendudukkan hukum positif di
atas hukum syariah ciptaan Allah yang Mahatinggi!
Islam Tak Memerlukan PUG
Sebagaimana Kapitalisme, kelahiran ide jender
berangkat dari pandangan absurd yang meniadakan
penghargaan bagi perempuan. Karena itulah
perempuan di luar Dunia Islam perlu berjuang untuk
mendapatkan keadilan. Pada tahun 1777 perempuan di
beberapa negara bagian Amerika Serikat belum
mendapatkan hak pilih dalam Pemilu. Baru tahun 1920
mereka boleh memilih. Adapun di Dunia Islam, sejak
abad ke-7 M Rasulullah saw. telah memberi
kesempatan pada Ummu Imarah dan Ummu Mani’
untuk menjadi naqibah (wakil kelompok) bagi delegasi
Baiat ‘Aqabah II. Hak mendapatkan pendidikan medis
pun baru dirasakan perempuan AS saat tahun 1850
saat didirikan Female Medical College of Pennsylvania .
Adapun Khilafah Utsmaniyah pada tahun 1470 telah
memiliki sekolah kedokteran di RS Al-Fatih dan
membolehkan perempuan menjadi mahasiswanya.
Sebuah risalah abad 15 M berjudul Cerrahiyet Ul Haniye
of Sabuncuoglu menunjukkan dokter perempuan pada
masa Utsmaniyah terlibat dalam operasi pasien
perempuan.
Setiap aturan yang diberlakukan Allah SWT menjamin
keadilan bagi seluruh manusia. Melaksanakan Islam
kaffah bukan berarti mengancam kebebasan, bahkan
justru menyelamatkan masyarakat khususnya generasi
muda dari kebebasan yang tidak bertanggung jawab.
Hakikat kedudukan perempuan dan laki-laki secara
syariah adalah setara. Pelaksanaan hak dan kewajiban
berlaku seimbang di antara keduanya. Namun, secara
fitrah penciptaan, Allah telah membedakan keduanya
dalam rangka mengemban misi kehidupan.Perbedaan
tersebut diciptakan bukan untuk mendiskri-minasikan
perempuan, tetapi demi harmonisasi peran masing-
masing. Hikmah pembedaan hukum yang berkaitan
dengan erempuan sejatinya adalah perlindungan
terhadap kehormatan dan kesucian perempuan,
sesuatu yang tidak disadari dan dipahami kaum
feminis. Maka dari itu, Islamlah jaminan kelestarian
generasi yang tangguh, bebas dari krisis keyakinan dan
moralitas
Wahai penjsjah jgn paksa kami untuk setara
Kejamnya Penjajahan Baru
Jangan Paksakan Kami Untuk Setara!
Oleh: Sarah Mantovani
USAHA kaum feminis Indonesia agar terciptanya
Kesetaraan Gender di Indonesia tidak berhenti pada
usaha pembuatan CLD-KHI (Counter Legal Draft-
Kompilasi Hukum Islam) saja tetapi sudah mencapai
pembentukan rancangan undang-undang tentang
Kesetaraan Gender.
Salah satu bunyi dari Pasal 1 Rancangan Undang-
Undang Kesetaraan Gender yang rencananya akan di
sahkan tahun ini adalah;
“Kesetaraan Gender adalah kondisi dan posisi yang
menggambarkan kemitraan yang selaras, serasi, dan
seimbang antara perempuan dan laki-laki dalam akses,
partisipasi, kontrol dalam proses pembangunan, dan
penikmatan manfaat yang sama dan adil di semua
bidang kehidupan” (Ps. 1 RUU Kesetaraan Gender)
Secara sekilas, memang kita tidak akan melihat
keganjilan atau sesuatu yang aneh dalam RUU
Kesetaraan Gender, tetapi saya baru menemukan
keganjilan saat membaca naskah akademik RUU
tersebut, terutama pada saat membaca asas-asas yang
di pergunakan dalam membuat RUU Kesetaraan
Gender pada halaman 23, yang salah satunya adalah
CEDAW ( Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women ). Karena di dalam
CEDAW, pada pasal 11 ayat (1) poin b menyebutkan
bahwa:
“Negara-negara peserta akan mengambil segala
tindakan yang pantas untuk menghapus diskriminasi
terhadap kaum wanita di bidang pekerjaan guna
menjamin, atas dasar persamaan kaum pria dan
wanita, hak yang sama, khususnya:
(b) Hak untuk memperoleh kesempatan-kesempatan
kerja yang sama, termasuk penerapan kriteria seleksi
yang samadalam masalah pekerjaan”.
Yang berarti dalam pasal tersebut, apabila wanita
masuk dalam akademi/sekolah militer, dia juga harus
menjalani tes fisik yang sama seperti yang diberlakukan
kepada kader pria.
Sedangkan, di Inggris saja, saat pemerintahnya
memberlakukan “Gender Free Aproach” pada tahun
1997 dalam merekrut tentaranya dan memberlakukan
ujian fisik yang sama kepada kader pria dan wanita
maka yang terjadi adalah tingkat cedera yang tinggi di
kalangan kader wanita.
Kemudian, dalam Perang Teluk, satu per 10 kru wanita
Kapal Perang Amerika USS Acadia dikembalikan karena
hamil di perjalanan menuju atau di medan perang,
sementara jumlah tentara pria yang dikembalikan: Nol.
Kapal itu kemudian diolok-olok dan diganti namanya
menjadi The Love Boat. (Santi Soekanto, “Gerakan
Feminisme Kembali ke Sunnatullah”, 22 April 2006,
www.hidayatullah.com .)
Nah, yang menjadi pertanyaannya adalah: Sanggupkah
jika kita-para perempuan mengalami seperti apa yang
di alami oleh kader tentara wanita Inggris di atas jika
hal tersebut juga di berlakukan di Negara kita?
Selain itu, apakah RUU Kesetaraan Gender memang
benar-benar sudah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan di negara kita? Dalam hal ini,
hak-hak yang diperjuangkan memang tidak
bertentangan dengan nilai-nilai agama yang di anut di
Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam pasal 28
J ayat (2) tentang Hak Asasi Manusia?.
Keganjilan lain pasal-pasal yang di adopsi dari CEDAW
ke dalam RUU Kesetaraan Gender, terutama pada pasal
1, pasal 9, pasal 11, pasal 13 dan pasal 16 CEDAW.
Sebagian pasal-pasal yang telah di adopsi dari CEDAW
tersebut juga akan membawa implikasi yang sangat
serius bagi kehidupan beragama umat Islam Indonesia
terutama dalam hal hukum keluarga. Karena dalam
pasal 16 ayat 1 huruf (b) dan (h), menyebutkan:
“Negara-negara peserta akan mengambil tindakan yang
tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap kaum
wanita dalam segala hal yang berkaitan dengan
perkawinan dan hubungan-hubungan keluarga dan
khususnya akan menjamin, atas dasar persamaan kaum
pria dan kaum wanita :
(h) Hak yang sama bagi kedua pasangan dalam hal
pemilikan, perolehan, pengelolaan, penguasaan,
penikmatan dan pembagian harta kekayaan, baik cuma-
cuma ataupun dengan pertimbangan nilai”.
Pasal di atas perlu diperhatikan, karena jika hal tersebut
di kaitkan dengan pembagian harta kekayaan dari
kedua pasangan untuk anak laki-laki dengan anak
perempuan dalam hak waris. Sebagaimana firman Allah
swt. dalam QS. An-Nisaa’ ayat 11;
"... bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian
dua orang anak perempuan [272]; dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua [273], maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika
anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh
separo harta..." [QS: An Nisaa':11]
Jika yang dimaksudkan adalah "kesetaraan" dalam hal-
hal yang tertulis dalam al-Quran menyangkut hubungan
perkawinan (sebagaimana kasus waris tadi), maka,
bukan tak mungkin para aktivis gender akan berusaha
mempertanyakan ulang atau setidaknya mengotak-atik
ketentuan nash dalam al-Quran.
Feminisme dan Krisis Identitas
Istilah feminisme sendiri berasal dari bahasa Latin
femina, perempuan. Konon dari kata fides dan minus
kemudian menjadi fe-minus . Gerakan feminisme
sendiri lahir dari Barat, sekitar pada abad 18, dimana
para wanitanya pada masa itu, diperlakukan secara
tidak manusiawi dan menjadi korban inquisisi
(penyiksaan atas kesalahan dalam beragama). Bisa di
pastikan bahwa gerakan feminisme merupakan gerakan
yang lahir dari pemberontakan total terhadap segala
sesuatu yang di anggap telah mendiskriminasi/
menindas wanita.
Dalam perkembangannya, feminisme pada akhirnya
mengakui keabsahan homoseks dan lesbianisme secara
religius, kemudian tanpa malu-malu lagi, para
penyokong feminis radikal mendeklarasikan bahwa
wanita dapat hidup dan memenuhi kebutuhan seksnya
tanpa laki-laki
.
Nah, yakinkah bahwa kita bisa hidup tanpa laki-laki?
Mungkin kasus Bella Abzug, bisa kita jadikan sebagai
cermin.
Bella merupakan icon feminisme dan perempuan aktivis
feminisme dari kalangan Yahudi yang ikut berperan
besar dalam penggodokan Plan of Action Konferensi
Beijing 1995.
Selama puluhan tahun Bella berada di garis depan
kaum feminisme yang menyuarakan kemandirian dan
kesamaan hak bagi perempuan di segala lini.
Ketika Bill Clinton berkuasa, dia menjadi salah satu
pendukung vokal Partai Demokrat. Di belakang wanita
yang tampak perkasa ini terdapat Martin, suaminya
yang pendiam yang selalu mendukung semua sepak
terjangnya. Dalam majalah Ms. 1990, Bella menulis
artikel “ Martin, What Should I Do Now?” (Martin, Apa
yang Harus Kulakukan Kini?) tentang betapa kematian
Martin membuatnya bagai kapal kehilangan kemudi.
Dan kaum muslimah Indonesia yang menyebarkan
maupun menganut paham semacam ini seperti sedang
di landa krisis identitas, karena mereka tak percaya
dengan hak, peran maupun kedudukan mereka sebagai
perempuan telah di jamin dan di atur oleh Islam,
sehingga mereka harus mengadopsi mentah-mentah
segala konvensi yang datang dari Barat tanpa harus
berkaca kembali pada nilai-nilai Islam.
Sebagai seorang muslimah, semestinya kita juga malu
pada penganut agama lain, karena sejak lima tahun
lalu, wanita Kristen Indonesia sudah di antisipasi untuk
menghindari gerakan feminisme. (SHINE: Wanita
Kristiani Harus Hindari Gerakan Feminisme, 04 October
2006), bahkan gereja Katolik Prancis juga sudah
mewaspadai bahayanya teori gender ini karena teori
Gender yang di ajarkan bertentangan dengan ajaran
Katolik. ( Gereja Prancis Waspadai Teori Gender,
Indonesia Malah Bangga, hidayatullah.com, 29
September 2011).
Di dalam Islam pun, hubungan antara laki-laki dan
perempuan sudah di atur sedemikian rupa. Laki-laki
berkewajiban mencari nafkah sedangkan perempuan
mengasuh dan mendidik anak-anaknya, meski memang
tak menutup kemungkinan perempuan juga ikut
membantu perekonomian keluarga tetapi tentunya
harus mendapatkan izin dan pertimbangan dari
suaminya.
Jika kesetaraan gender membawa dampak buruk
terhadap nilai-nilai agama, maka, jangan paksakan kami
untuk setara!.
Penulis sedang menempuh pendidikan di Fakultas
Hukum Universitas Pamulang
Selamatkan perempuan
Oleh : Dr. Dinar Dewi Kania*
Saat ini, kita disungguhkan kembali kepada sebuah
drama tragis pemerkosaan terhadap mahasiswi India
berusia 23 tahun yang dilakukan sekelompok laki-laki
dan berujung kepada tewasnya mahasiswi tersebut.
Sebelumnya, kita juga mendengar para aktivis
feminisme di Perancis berdiri di depan Patung Venus
de Milo, memprotes tindak pemerkosaan yang terjadi di
Tunisia dengan melakukan aksi telanjang dada,
mempertontonkan aurat mereka sambil mengangkat
tangan dan meneriakkan “Kami di sini untuk
menghentikan pemerkosaan”. (lihat
www.islampos.com )
Sudah sepantasnya kita berempati kepada para korban
pemerkosaan dan keluarganya. Namun yang kini
menjadi pertanyaan besar adalah bagaimana mengatasi
tindak kejahatan seksual terhadap diri perempuan yang
secara alamiah memang rentan terhadap bahaya
kekerasan tersebut ? Apakah para aktivis feminis, yang
selalu berteriak lantang apabila terjadi kekerasan
terhadap perempuan yang menyita perhatian publik,
menawarkan sebuah solusi yang dapat meminimalisir
potensi bahaya tersebut dari diri perempuan?
Jawabannya adalah tidak. Feminisme tidak pernah
datang dengan solusi, namun ia justru menambah
problem sosial di tengah masyarakat. Hanya Islam satu-
satunya agama yang mampu menjamin keselamatan
dan keamanan diri perempuan. Mengapa ?
Feminisme dan liberalisme memiliki akar yang sama
yaitu relativisme, paham yang menganggap bahwa
benar atau salah, baik atau buruk, senantiasa berubah-
ubah dan tidak bersifat mutlak, tergantung pada
individu, lingkungan maupun kondisi sosial. Maka tak
heran jika gerakan feminis menyatakan dirinya sebagai
”gerakan pembebasan perempuan“. Di negara-negara
Barat, kebebasan tersebut kemudian diterjemahkan
sebagai hak untuk melepaskan segala ikatan yang
membelenggu aktivitas perempuan dalam
mengaktualisasikan dirinya di ranah publik, baik ikatan
agama maupun moralitas. Bangsa Perancis mulai
memandang hubungan di luar nikah sebagai sesuatu
yang biasa menjelang akhir abad ke 19, begitu juga
negara Eropa lainnya dan Amerika. Isu kebebasan telah
membuat perzinahan diakui sebagai hak individu dan
bukan merupakan tindakan melanggar hukum. Laki-laki
dan perempuan hidup bersama tanpa ikatan perlahan-
lahan memperoleh status legal sehingga banyak
perempuan di Barat memilih untuk tidak menikah dan
menganggap pernikahan sebagai bentuk pengekangan
terhadap kebebasan. Isu kebebasan telah membuat
kaum perempuan tidak malu-malu lagi mengeksploitasi
tubuh mereka dengan alasan perempuan memiliki
kontrol penuh atas tubuh mereka sendiri.
Logika feminis adalah, “tubuh kami adalah milik kami,
kami berhak memperlakukan tubuh ini sesuai kehendak
kami. Bahkan jika kami ingin mempertontonkan bagian
yang paling pribadi di depan umum, itu adalah hak
asasi kami. Tidak boleh ada yang mengatur cara kami
berpakaian, baik negara atau agama sekalipun.”
Begitulah kira-kira cara pandang kaum feminis. Dan itu
telah mereka buktikan dengan aksi telanjang dada para
feminis Perancis. Para feminis merasa aksi
pemerkosaan dan kekerasan yang terjadi terhadap
perempuan adalah murni kesalahan laki-laki yang tidak
bisa mengekang hawa nafsunya. Mereka tidak pernah
mau dipersalahkan bahwa prilaku dan kebebasan
mereka dalam mengeskpresikan diri telah berkontribusi
pada maraknya aksi kekerasan seksual terhadap kaum
perempuan. Sehingga tidak heran apabila Islam yang
berusaha melindungi keselamatan dan keamanan
perempuan dengan mewajibkan pemeluknya untuk
menggunakan hijab dan mengatur perilaku perempuan
di ranah publik justru dianggap telah melakukan
deskriminasi dan pengekangan terhadap hak-hak
perempuan.
Kita semua sepakat, bahwa kejahatan terjadi bukan
hanya karena ada sekumpulan manusia yang
berperilaku jahat, namun kejahatan timbul karena
adanya kesempatan yang memudahkan para pelaku
kejahatan itu melakukan aksi mereka. Bahkan dalam
teori pengendalian terhadap resiko atau potensi bahaya
( hazard ) yang dikeluarkan ILO disebutkan bahwa
kecelakaan dapat dihindari dengan melakukan sejumlah
langkah pencegahan, diantaranya adalah pengaturan
administratif berupa penerapan prosedur dan aturan
yang jelas serta penggunaan alat pelindung diri.
Seorang pekerja dianjurkan untuk berperilaku aman
( safety behavior) dan akan dikenakan sangsi apabila
membiarkan dirinya terekspose dalam kondisi bahaya
atau melakukan tindakan yang mengancam
keselamatan dirinya atau orang lain ( unsafe behavior) ,
contohnya adalah tidak bekerja sesuai SOP ( standard
operating prochedure) atau tidak menggunakan alat
pelindung diri (APD) pada saat bekerja.
Hal yang sama sebenarnya dapat diterapkan dalam
menjaga keselamatan dan keamanan perempuan dari
bahaya tindak kekerasan seksual. Kita tidak bisa
menuntut pemerintah dan masyarakat untuk menjamin
keselamatan dan keamanan perempuan, apabila kaum
perempuan sendiri membiarkan dirinya terekspos
dalam kondisi bahaya dan melakukan tindakan yang
dapat mengancam keselamatan mereka. Contoh
tindakan yang dapat dikategorikan sebagai unsafe
behavior bagi perempuan diantaranya adalah
bepergian ketika malam telah larut tanpa pendamping,
menggunakan perhiasan berlebihan ketika berada di
tempat umum seperti di pasar atau angkutan umum,
menggunakan pakaian yang mempertontonkan aurat
dan berprilaku di luar batas kesopanan sehingga
mengundang pria untuk menyalurkan hasrat
seksualnya kepada kaum perempuan melalui tindak
kejahatan.
Bahaya memang tidak bisa dihilangkan 100 persen,
bahkan dalam teori keselamatan, zero accident bukan
berarti tidak terjadi kecelakaan sama sekali, namun ia
adalah kondisi dimana semua upaya pencegahan telah
dilakukan semaksimal mungkin. Jadi masuk akal,
apabila syariat Islam memberikan aturan yang jelas
terhadap perilaku perempuan di ranah publik. Hal
tersebut bukanlah bentuk deskriminasi, namun
merupakan sebuah proteksi bagi perempuan dari tindak
kekerasan yang mengancam keselamatan dirinya.
Dalam al-Quran surat an-Nur ayat 30, keharusan
untuk menjaga pandangan dan memelihara kemaluan
juga diperintahkan kepada para laki-laki mukmin.
Artinya, Islam tidak hanya mengatur perilaku
perempuan namun juga mengatur perilaku laki-laki
agar kemashlahatan dapat tercipta dalam masyarakat
dan negara.
Proteksi yang bersifat individual terntunya harus
ditunjang dengan kebijakan negara/ pemerintah yaitu
dengan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk
menjamin keselamatan dan keamanan perempuan dari
tindak kejahatan seksual. Diantaranya adalah dengan
memberikan sangsi hukum yang tegas kepada para
oknum yang menyemarakkan bisnis pornografi di
tengah masyarakat, mencegah dan menindak kaum
laki-laki yang hendak mengeksploitasi perempuan dan
juga mencegah serta menindak kaum perempuan yang
mengeksploitasi diri mereka sendiri.
Islam adalah satu-satunya agama dan padangan hidup
yang terbukti dapat memberikan keselamatan dan
keamanan bagi perempuan melalui aturan yang jelas
dan universal, baik di ranah domestik maupun publik,
dalam lingkup individu maupun lingkup masyarakat
atau negara. Oleh karena itu, umat Islam hendaknya
tidak terjebak oleh provokasi kaum feminis yang seolah-
olah berjuang untuk kaum perempuan padahal
feminisme adalah paham yang konsepnya sangat
absurd dan saling kontradiksi satu sama lain. Bahkan
para aktivis feminis tersebut tidak pernah sepakat
mengenai konsep kebebasan yang mereka perjuangkan,
walaupun lisan mereka berucap dengan penuh
keyakinan meneriakkan jargon “bebaskan kaum
perempuan”.
Sumber http://thisisgender.com/keselamatan-dan-
keamanan-bagi-perempuan/
feminis radikal paling berbahaya
Inilah Mazhab Paling Liberal
Paling Berbahaya untuk Wanita..
Semoga kita masih punya akal fikiran yang
berfungsi normal...
Istilah mazhab Chicago mencuat saat saya mengikuti
seminar Feminisme dan Kesetaraan Gender pada
22/12/2011 lalu. Istilah ini dilontarkan oleh seorang
Doktor Sosiologi perempuan di perguruan tinggi Islam
negeri di Jakarta ketika ia menjadi salah satu pembicara
seminar. “Dulu saya ini memang bermazhab Syafi’i tapi
sekarang saya bermazhab Chicago”, ungkapnya saat
seminar.
Lahirnya istilah itu makin memperkuat asumsi bahwa
gerakan feminisme di Indonesia semakin mem-Barat.
Parahnya lagi, ideologi ini telah dimasukkan ke dalam
RUU Kesetaraan Gender yang saat ini sedang digodok
oleh DPR dan menjadi UU Prioritas di tahun 2012 (lihat
hidayatullah.com, RUU KG Ancam Keutuhan Keluarga,
20/02).
Gerakan feminisme selalu berkembang dengan
beragam mazhab. Tapi sikap-sikap radikal tampaknya
tidak bisa ditanggalkan. Contohnya seperti yang saya
temukan dalam sebuah blog milik seorang feminis yang
menulis pengalamannya selama hamil. Dalam
tulisannya yang berjudul, “Feminis, ASI dan Klas”, ia
seperti ingin memperlihatkan kebenciannya menjadi
seorang Ibu. “Dulu, saat hamil, saya sering sesumbar:
tidak mau menyusui anak. Saya hanya akan kasih susu
Sapi. Saya tidak mau menghabiskan waktu untuk
menyusui. Saya sangat paham hak anak, tapi my body
is my right! Enak saja semua tanggung jawab ini jadi
beban perempuan. Mulai dari hamil, melahirkan dan
menyusui. Rasanya tidak adil”, begitu ungkapnya.
Gaya feminis seperti di atas dapat disebut radikalisme
feminis mazhab Chicago, baik itu dengan menirukan
pemikiran feminis secara sebagian atau keseluruhan
dari Barat. Tentu gerakan seperti ini mengkhawatirkan,
karena gerakan ini dari tahun ke tahun semakin radikal,
tepatnya sejak Indonesia meratifikasi CEDAW atau
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Wanita.
Dari hasil ratifikasi tersebut, lahir UU No. 7 tahun 1984,
yang kemudian disusul dengan terbitnya UU. No. 23
tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, upaya legalisasi aborsi melalui UU
Kesehatan dan adanya upaya membuat Counter Legal
Draft-Kompilasi Hukum Islam tandingan yang dibuat
oleh Prof. Musdah Mulia bersama tim
pengarusutamaan gendernya pada tahun 2008 lalu.
Dalam bidang politik, aktivis feminis juga berada di
belakangnya keluarnya UU Pemilu tahun 2008 tentang
kuota Caleg perempuan sebanyak 30 persen. (Dinar
Kania, Isu Gender: Sejarah dan Perkembangannya,
Jurnal ISLAMIA Vol III No. 5, hlm. 27).
Sejarah Feminisme
Istilah feminisme sendiri sebenarnya berasal dari
bahasa Latin, femina, yang artinya perempuan. Konon
dari kata fides dan minus yang kemudian menjadi fe-
minus . Gerakan feminisme sendiri lahir dari Barat,
sekitar pada abad 18, dimana para wanitanya pada
masa itu, diperlakukan secara tidak manusiawi dan
menjadi korban inquisisi (penyiksaan atas kesalahan
dalam beragama). Bisa di pastikan bahwa gerakan
feminisme merupakan gerakan yang lahir dari
pemberontakan total terhadap segala sesuatu yang di
anggap telah mendiskriminasi/menindas perempuan.
(Hamid Fahmy Zarkasy, Problem Kesetaraan Gender
dalam Studi Islam , Jurnal ISLAMIA vol III, hlm. 3)
Bukti bahwa feminisme dan gender berasal dari Barat
dapat kita telusuri dari literatur mereka, menurut Mary
Wollstonecraft dalam bukunya yang berjudul A
Vindication of The Rights of Women, pada abad ke 18,
perempuan mulai bekerja di luar rumah karena
didorong oleh kapitalisme industry. Maka, tidak heran
jika perempuan Barat pada zaman industri saat itu
dibingungkan dengan dua pilihan: menjadi wanita karir
ataukah Ibu Rumah Tangga (lihat Taylor,
Enfranchisement of Women , 1851).
Dalam perkembangannya, aktivis feminis radikal
mengusik pembagian hak dan tanggung jawab seksual
serta reproduksi perempuan dan laki-laki yang dianggap
tidak adil. Sebab perempuan sering diposisikan sebagai
alat pemuas laki-laki. Feminisme pada akhirnya
mengakui keabsahan homoseks dan lesbianisme secara
religius, kemudian tanpa malu-malu lagi, para
penyokong feminis radikal juga mendeklarasikan bahwa
perempuan dapat hidup dan memenuhi kebutuhan
seksnya tanpa laki-laki. Itulah ide awal yang melahirkan
praktek seks menyimpang yang disebut lesbianisme di
Barat. (Hamid Fahmy Zarkasy, op. cit., hlm. 5).
Hal ini sejalan pula dengan tanggapan dari Rena
Herdiyani, selaku Direktur Eksekutif LSM Kalyanamitra
yang merupakan salah satu penggagas RUU Kesetaraan
Gender, saat saya tanyai tentang hak-hak transgender
dalam RUU Kesetaraan Gender via email, Jum’at 17/02
lalu, “Tidak secara spesifik memuat hak-hak
transgender, tetapi UU ini diharapkan dapat melindungi
perempuan dari segala bentuk kekerasan dan
diskriminasi berdasarkan apapun, termasuk jenis
kelamin, etnis, status perkawinan, kehamilan, usia,
kecacatan, penyakit atau kondisi kesehatan yang
menimbulkan stigma, orientasi seksual, identitas
gender, status sosial, status ekonomi, jenis pekerjaan,
atau status lainnya”.
Mengancam Keluarga
Salah satu pasal dalam RUU Kesetaraan Gender yang
bisa menimbulkan perdebatan adalah pasal 1 ayat 2.
Pasal itu berbunyi: “Kesetaraan Gender adalah kondisi
dan posisi yang menggambarkan kemitraan yang
selaras, serasi, dan seimbang antara perempuan dan
laki-laki dalam akses, partisipasi, kontrol dalam proses
pembangunan, dan penikmatan manfaat yang sama
dan adil di semua bidang kehidupan”.
Berdasarkan pasal di atas, pasal ini menganjurkan pada
perempuan Indonesia agar bisa setara posisi dan
kondisinya dengan laki-laki di semua bidang kehidupan,
termasuk ranah agama. Mengenai hal ini yang paling
sering dipersoalkan oleh aktivis Feminis adalah Hak
Waris antara laki-laki dan perempuan yang berbeda
dalam Hukum Waris Islam.
Selain itu, melalui RUU ini, para aktivis feminis
menggugat perempuan yang posisinya bekerja sebagai
Ibu Rumah Tangga dan kondisinya tidak diizinkan untuk
bekerja di luar rumah oleh suaminya. Mereka
menganggap bahwa suami yang tidak mengizinkan para
istrinya untuk bekerja di luar rumah sebagai salah satu
kekerasan dalam rumah tangga (lihat juga pasal 9 ayat
2 UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga).
Tentunya, kondisi semacam itu seharusnya disikapi
secara bijak oleh negara, atas dasar apa perempuan
tidak diizinkan bekerja oleh suaminya? Jikalau memang
istri tidak diizinkan bekerja karena tidak bisa membagi
waktunya antara pekerjaan dan keluarga atau lebih
memprioritaskan waktunya untuk pekerjaan, negara
tidak berhak untuk mengkriminalisasi dengan hukuman
penjara selama 3 tahun (lihat pasal 49 poin b UU. No.
23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah tangga).
Yang mengherankan, kenapa di negara mayoritas
Muslim justru perempuannya ingin menerapkan suatu
paham yang jelas sangat berbeda dengan kultur
bangsanya sendiri? Atau bahkan berbeda dengan nilai-
nilai agama yang dianutnya? Coba kita lihat agama lain,
Kristen misalnya, dari jauh-jauh hari, tepatnya sejak
tahun 2006, perempuan Kristen sudah diantisipasi
untuk menghindari gerakan feminism ini dan tidak
mengadopsinya (SHINE: Wanita Kristiani Harus Hindari
Gerakan Feminisme, 04 Oktober 2006). Bahkan gereja
Katolik Prancis juga sudah mewaspadai bahaya teori
gender ini karena teori gender yang diajarkan
bertentangan dengan ajaran Katolik ( Gereja Prancis
Waspadai Teori Gender, Indonesia Malah Bangga,
hidayatullah.com, 29 September 2011).
Sesuai dengan pasal 28J ayat 2 UUD 1946, atas dasar
apapun (baik itu berdasarkan CEDAW atau Kesetaraan
Gender), seseorang yang menjalankan hak dan
kebebasannya harus tunduk pada pembatasan yang
telah ditetapkan oleh undang-undang, termasuk tidak
boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Oleh karena itu, seharusnya feminisme mazhab
Chicago tidak bisa diterima di Indonesia, karena selain
mempunyai kultur yang berbeda, perempuan
Indonesia, khususnya perempuan muslimah tidak
punya pengalaman buruk seperti perempuan Barat.
Dengan demikian, tidak salah jika saya mengatakan
gerakan feminisme mazhab Chicago yang radikal dapat
mengancam keutuhan keluarga, khususnya keluarga
muslim.
pencerahan buat para wanita
Wahai wanita...
Jangan Mau dikibulin...
Pasang akal fikiran yang tajam...
Siapkah hati yang Bersih dan Jernih...
Jangan Mau ditipu lagi....
Ragam Aliran Feminisme dan Definisinya
Kita perlu memahami gerakan feminisme, mengingat
gerakan tersebut menyatakan dirinya berjuang untuk
mewujudkan emansipasi dan kesejahteraan kaum
perempuan pada masa sekarang ini. Gerakan
feminisme sendiri mempunyai banyak aliran. Di
antaranya:
Pertama, gerakan feminisme Marxis (sosialis).
Doktrinnya, setiap perempuan, baik dari kalangan
proletar maupun borjuis, harus memahami bahwa
penindasan terhadap kaum perempuan bukan semata-
mata karena perbuatan sengaja individu-individu, tetapi
lebih merupakan produk struktur politik, sosial, dan
ekonomi yang disebabkan oleh Kapitalisme.
Kedua, feminisme liberal. Paham ini berjuang untuk
menghapuskan berbagai perbedaan seksual sebagai
langkah awal menuju kesetaraan sejati. Gerakan ini
meyakini, untuk mewujudkan kedudukan yang setara
antara kaum laki-laki dan perempuan maka segala
bentuk stereotip trentang peran sosial bagi laki-laki dan
perempuan harus dihapuskan.
Ketiga, feminisme radikal. The New York Feminist
Manifesto tahun 1971 menyatakan:
Feminisme radikal memandang bahwa penindasan
terhadap kaum perempuan merupakan suatu bentuk
penindasan politik yang mendasar; kaum perempuan
dianggap sebagai suatu kelompok yang berkedudukan
lebih rendah semata-mata karena jenis kelaminnya.
Tujuan feminisme radikal adalah melakukan
pengorganisasian secara politik untuk meruntuhkan
sistem yang mengelompokkan warga masyarakat
berdasarkan jenis kelamin ini.
Sebagai kelompok feminis radikal, kami menyadari,
bahwa kami tengah melakukan pertarungan kekuatan
dengan kaum laki-laki, dan bahwa pelaku penindasan
terhadap kaum perempuan adalah semua laki-laki yang
mengidentifikasi diri sebagai makhluk yang unggul dan
istimewa serta mengemban konsep keunggulan dan
keistimewaan peran laki-laki….
Feminisme radikal atau feminisme ekstrem
menganggap laki-laki sebagai penjahat, yang
menggunakan kekuatannya untuk menarik manfaat
dari kaum perempuan; mulai dari pemuasan ego,
eksploitasi ekonomi dan domestik, dominasi seksual,
hingga klan kekuasaan politik.
Walaupun sudah ada aliran dalam gerakan feminisme,
istilah “feminisme” sendiri masih bersifat sangat
subyektif dan sering digunakan secara sembarangan.
Akibatnya, sering muncul kebingungan dan berbagai
definisi tentang feminisme.
Di antara berbagai definisi feminisme yang berkembang
pada saat ini adalah:
(1) Kelompok-kelompok yang berjuang untuk
mengubah kedudukan kaum perempuan atau berbagai
pemikiran tentang kaum perempuan, mendapatkan
julukan kaum feminis.
(2) Sebuah doktrin yang menyerukan kesetaraan hak-
hak sosial dan politik kaum perempuan dengan kaum
laki-laki.
(3) Feminisme juga bermakna, segala upaya untuk
membuat kaum perempuan mempunyai kesempatan
dan hak-hak istimewa sebagaimana yang diberikan
masyarakat kepada kaum laki-laki, atau penegasan
tentang adanya nilai-nilai keperempuanan yang spesifik,
yang berbeda dengan anggapan negatif kaum laki-laki
selama ini. Sekalipun tidak berarti bahwa kedudukan
perempuan harus bersifat eksklusif, ada kecenderungan
kuat untuk membuat demikian. Persoalannya adalah:
apakah kaum perempuan seperti laki-laki atau tidak.
(4) Kaum feminis tidak berjuang hanya untuk
menghapuskan hak-hak istimewa kaum laki-laki, tetapi
juga menghilangkan perbedaan jenis kelamin.
Perbedaan jenis kelamin di antara manusia semestinya
tidak menjadi permasalahan lagi. Konsep keluarga
biologis yang tidak adil harus dipatahkan, demikian pula
konsep kekuatan psikologis yang selama ini menjadi
dalih superioritas kaum laki-laki.
Pandangan ‘Hina’ Berbagai Peradaban Terhadap
Perempuan
Perempuan menurut doktrin berbagai peradaban—
selain Islam—sejak dari awalnya memang dipandang
tidak lebih sebagai komoditas, alat pemuas nafsu yang
diperjualbelikan secara murahan. Sebagai contoh,
dalam doktrin peradaban Yunani, menurut penuturan
Prof. Will Durant:
Di Roma, hanya kaum lelaki saja yang memiliki hak-hak
di depan hukum pada masa-masa awal negara
Republik. Kaum lelaki saja yang berhak membeli,
memiliki, atau menjual sesuatu, atau membuat
perjanjian bisnis. Bahkan mas kawin istrinya—pada
masa-masa tersebut—menjadi miliknya
pribadi….Proses kelahiran menjadi suatu perkara yang
mendebarkan di Roma. Jika anak yang dilahirkan dalam
keadaan cacat atau berjenis kelamin perempuan, sang
ayah diperbolehkan oleh adat untuk membunuhnya.
Bahkan para filosof Yunani sendiri pun menyamakan
perempuan dengan para budak yang hina dan ‘patut’
ditindas. Aristoteles mengatakan:
Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa
menurut hukum alam, harus ada unsur yang secara
alamiah memerintah dan harus ada unsur yang secara
alamiah diperintah….Kekuasaan orang-orang yang
bebas terhadap para budak adalah salah satu bentuk
hukum alam; demikian pula kekuasaan kaum lelaki atas
kaum perempuan….
Orang-orang Yunani juga memposisikan kaum
perempuan pada kasta ketiga (kasta yang paling bawah)
dari masyarakat. Apabila seorang perempuan
melahirkan anak yang cacat, biasanya ia akan dihukum
mati. Masyarakat Sparta, yang dikenal sebagai kelompok
elit, memberlakukan hukuman mati bagi seorang
perempuan yang tidak lagi mampu mengasuh anak.
Orang-orang Sparta juga biasa mengambil kaum
perempuan dari suaminya untuk dihamili oleh laki-laki
yang “pemberani dan perkasa” dari masyarakat lain.
Pandangan yang lebih menghinakan lagi dapat kita
dapati dalam peradaban Yahudi. Kaum Yahudi ortodoks
yang mempelajari ajaran klasik Yahudi akan mendapati,
bahwa ada di antara ajaran dan aturan Yahudi yang
menindas kaum perempuan. Talmud, sebuah kitab
yang berisi aturan-aturan dalam kehidupan pribadi dan
peribadatan menyatakan: Mustahil ada sebuah dunia
yang tanpa keberadaan kaum lelaki dan perempuan.
Namun demikian, berbahagialah orang-orang yang
mempunyai anak laki-laki, dan celakalah orang-orang
yang mempunyai anak perempuan.
Pandangan yang tak jauh berbeda juga dilontarkan oleh
peradaban Hindu. Sebuah buku yang berisi aturan-
aturan keagamaan Sansekerta kuno, Draramasastra,
memuat satu bab tentang “kedudukan klan kewajiban
agama kaum perempuan” atau stridharmapaddhati.
Pengarang (atau lebih tepatnya penyusun) buku ini,
Tryambaka, adalah seorang pandit (pendeta) ortodoks
yang tinggal di Thanjavur, yang sekarang terletak di
bagian selatan negara bagian Tamil Nadu, India. Aturan
tentang kaum perempuan dalam buku tersebut secara
umum menempatkan kaum perempuan pada golongan
warga negara kelas dua. Sebagai contoh, seorang istri
tidak mempunyai hak atas harta kekayaan suaminya.
Harta kekayaan yang dimiliki bersama oleh suami dan
istri hanya boleh dikeluarkan oleh sang suami; boleh
dikeluarkan oleh istri, tetapi harus seizin suaminya. Ada
tiga pesan yang dapat diambil dari buku Pandit
Tryambaka ini. Pertama: seorang istri tidak perlu
memperhatikan kehidupan pribadinya. Kedua: seorang
istri bahkan harus rela untuk dijual apabila suaminya
menghendaki. Ketiga: kepatuhan kepada suaminya
harus diutamakan ketimbang kewajiban-kewajiban
lainnya, termasuk kewajiban-kewajiban agama
sekalipun.
Agama Nasrani pun tak luput dalam melecehkan
perempuan. Menurut Encyclopedia Britannica, “Sejak
awal, lembaga gereja telah menempatkan kaum
perempuan dalam posisi yang amat rendah.”
Barat pun ‘Melecehkan’ Perempuan
Saat ini, di Barat ketika kaum perempuan merasa
bertanggung jawab atas segala urusannya sendiri,
apakah mereka telah mencapai puncak kesetaraan
jender? Apakah “perempuan baru” yang ada di Barat
telah mampu membebaskan diri sepenuhnya dari
berbagai penindasan sebagaimana yang mereka
perjuangkan? Apakah kemunculan gerakan
“pembebasan” mereka itu menandakan datangnya
kehidupan dunia yang baru dan lebih bermoral? Apakah
gerakan “pembebasan” itu telah mampu mewujudkan
emansipasi kaum perempuan yang hakiki, dan
membebaskan mereka dari ketidakadilan?
Menurut mereka (kaum feminis), jawaban yang
diberikan pastilah, “Ya.” Namun, sayangnya kita
terpaksa menjawab, “Tidak!”
Mereka mengklaim telah mempunyai peradaban
modern dan beradab. Namun sejatinya, peradaban
mereka penuh dengan nuansa bar-bar dan kembali
pada kebodohan. Tingginya angka pembunuhan bayi,
prostitusi, pemerkosaan, perceraian, dan single parent
(yang paling umum adalah single mother) adalah
menjadi pertanda bahwa adat kebiasaan mereka sama
dengan adat kebiasaan yang dipraktikkan oleh “bangsa-
bangsa biadab” Romawi Kuno, Persia, Arab Jahiliah, dan
Yahudi.
Salah satu fakta yang menunjukkan bagaimana di mata
Barat perempuan sangat dilecehkan adalah kasus
aborsi. Pada abad modern ini, di Barat, membunuh
bayi perempuan tidak berdosa yang baru lahir boleh
jadi sangat jarang kita temui. Akan tetapi,
menggugurkan mereka ketika masih berbentuk janin,
kemudian mengeluarkan jasad mereka dari rahim
dalam keadaan terpotong-potong seperti sampah,
semakin umum dilihat dan dipraktikkan. Teknik aborsi
yang terbaru, yang diberi nama “partial birth-abortion”,
dilakukan dengan mengeluarkan janin dari dalam rahim
sepotong demi sepotong sehingga tinggal kepala bayi
yang masih tersisa di dalam rahim. Kemudian para
praktisi aborsi (apakah orang-orang seperti ini layak
diberi gelar dokter?), melubangi tengkorak bayi dengan
sebuah alat yang taham, memasukkan kateter ke
dalamnya, dan menyedot otak bayi sampai habis.
Setelah isinya disedot habis, maka kepala bayi berikut
sisa-sisa tubuh lainnya dapat dikeluarkan semuanya
dengan mudah. Inikah sebuah peradaban modern yang
menjunjung nilai-nilai kemanusiaan?
Fakta kedua tentang pelecehan Barat terhadap
perempuan adalah industri pornografi. Pesatnya
pertumbuhan industri pornografi sejak tahun 1950-an,
sekali lagi, dipandang mencerminkan kemajuan
“kesetaraan jender” di Barat. Dunia pornografi sama
sekali tidak mempertimbangkan kaum perempuan
sebagai manusia yang mempunyai perasaan dan
kebutuhan, namun hanya sekadar sebagai komoditas
yang layak dimanfaatkan dan segera disingkirkan
apabila tak lagi dapat dijual. Kaum perempuan
diyakinkan bahwa dengan menjual tubuh, mereka akan
mampu meraih “kesetaraan”. Padahal kenyataannya,
kaum perempuan hanya menjadi obyek kaum laki-laki
yang memanfaatkan kedok “kesetaraan” untuk dapat
mengeksploitasi kaum perempuan semata-mata demi
kepentingan hawa nafsu mereka dan untuk
mendapatkan keuntungan ekonomi.
Pada tahun 1980-an, sebuah “langkah maju” dalam hal
manipulasi perempuan kembali terjadi. Sheila Jeffreys,
seorang feminis, menulis:
Kaum perempuan telah diberitahu oleh para
pengusung ide kebebasan, bahwa karena sekarang
kaum perempuan telah “setara” dengan kaum laki-laki,
maka tidak ada salahnya kaum perempuan ikut
menikmati pornografi. Ideologi ini justru telah
menggagalkan gerakan emansipasi perempuan, bukan
mendukungnya. Gagasan untuk menjual produk-produk
pornografi kepada kaum perempuan sejak tahun 1980-
an telah menjadi sebuah strategi yang canggih dan
efektif dalam memperkuat kekuasaan kaum laki-laki.
mengapa kita menolak RUU KKG
oleh DR. Adian Husaini*
Harian Republika (Jumat, 16/3/2012), memberitakan,
bahwa RancanganUndang-undang Keadilan dan
Kesetaraan Gender (RUU KKG) sudah mulai
dibahassecara terbuka di DPR. Suara pro-kontra mulai
bermunculan. Apakah kita –sebagai Muslim – harus
menerima atau menolak RUU KKG tersebut?
Jika menelaah Draf RUU KKG/Timja/24/agustus/2011 --
selanjutnya kita sebut RUUKKG – maka sepatutnya
umat Muslim MENOLAK draf RUU ini. Sebab, secara
mendasarberbagai konsep dalam RUU tersebut
bertentangan dengan konsep-konsep dasarajaran Islam.
Ada sejumlah alasan yang mengharuskan kita – sebagai
Muslim dansebagai orang Indonesia – menolak RUU
KKG ini.
Pertama, definisi “gender” dalam RUU ini sudah
bertentangan dengan konsep Islamtentang peran dan
kedudukan perempuan dalam Islam. RUU ini
mendefinisikan gendersebagai berikut: “Gender adalah
pembedaan peran dan tanggung jawab laki-lakidan
perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial
budaya yang sifatnya tidaktetap dan dapat dipelajari,
serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat,dan
budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin
lainnya.” (pasal1:1)
Definisi gender seperti itu adalah sangat keliru. Sebab,
menurut konsep Islam,tugas, peran, dan tanggung
jawab perempuan dan laki-laki baik dalam keluarga
(ruang domestik) maupun di masyarakat (ruang publik)
didasarkan pada wahyuAllah, dan tidak semuanya
merupakan produk budaya.
Tanggung jawab laki-laki sebagai kepala keluarga dan
pencari nafkah keluargaadalah berdasarkan wahyu (al-
Quran dan Sunnah Rasul). Sepanjang sejarah Islam,di
belahan dunia mana saja, tanggung jawab laki-laki
sebagai kepala keluargasudah dipahami, merupakan
perkara yang lazim dalam agama Islam (ma’lumun
minaddin bid-dharurah). Bahwa yang menjadi wali dan
saksi dalam pernikahan adalahlaki-laki dan bukan
perempuan. Ini juga sudah mafhum.
Karena berdasarkan pada wahyu, maka konsep Islam
tentang pembagian peranlaki-laki dan perempuan itu
bersifat abadi, lintas zaman dan lintas budaya.
Karena itu, dalam tataran keimanan, merombak konsep
baku yang berasal dariAllah SWT ini sangat riskan. Jika
dilakukan dengan sadar, bisa berujung kepadatindakan
pembangkangan kepada Allah SWT. Bahkan, sama saja
ini satu bentukkeangkuhan, karena merasa diri berhak
menyaingi Tuhan dalam pembuatan hukum.(QS at-
Taubah: 31).
Jadi, cara pandang yang meletakkan pembagian peran
laki-laki dan perempuan(gender) sebagai budaya ini
jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab,sifat
syariat Nabi Muhammad saw – sebagai nabi terakhir
dan diutus untukseluruh manusia sampai akhir zaman
– adalah universal dan final. Zina haram,sampai
kiamat. Khamr haram di mana pun dan kapan pun.
Begitu juga suap adalahharam. Babi haram, di mana
saja dan kapan saja. Konsep syariat seperti inibersifat
lintas zaman dan lintas budaya.
Syariat Islam jelas bukan konsep budaya Arab. Saat
Nabi Muhammad sawmemerintahkan seorang istri
untuk taat kepada suaminya – dalam hal-hal yangbaik –
maka perintah Nabi itu berlaku universal, bukan hanya
untuk perempuanArab abad ke-7 saja. Umat Islam
sepanjang zaman menerima konsep batas auratyang
universal; bukan tergantung budaya. Sebab, fakta
menunjukkan, di mana sajadan kapan saja, perempuan
memang sama. Sudah ribuan tahun perempuan hidup
dibumi, tanpa mengalami evolusi. Matanya dua, hidung
satu, payudaranya dua, danjuga mengalami menstruasi.
Perempuan juga sama saja, dimana-mana. Hanya
warnakulit dan mungkin ukuran tubuhnya berbeda-
beda. Karena sifatnya yang universal,maka konsep
syariat Islam untuk perempuan pun bersifat universal.
Memang, tidak dapat dipungkiri, dalam aplikasinya, ada
unsur-unsur budaya yangmasuk. Misalnya, konsep
Islam tentang perkawinan pada intinya di belahan
duniamana saja tetaplah sama: ada calon suami, calon
istri, saksi, wali dan ijabqabul.
Tetapi, dalam aplikasinya, bisa saja unsur budaya
masuk, seperti bisa kitalihat dalam pelaksaan berbagai
upacara perkawinan di berbagai daerah diIndonesia.
Alasan kedua untuk menolak RUU Gender sangat
western-oriented. Para pegiatkesetaraan gender
biasanya berpikir, bahwa apa yang mereka terima dari
Barat –termasuk konsep gender WHO dan UNDP –
harus ditelan begitu saja, karenabersifat universal.
Mereka kurang kritis dalam melihat fakta sejarah
perempuandi Barat dan lahirnya gerakan feminisme
serta kesetaraan gender yang berakarpada ”trauma
sejarah” penindasan perempuan di era Yunani kuno
dan era dominasiKristen abad pertengahan.
Konsep-konsep kehidupan di Barat cenderung bersifat
ekstrim. Dulu merekamenindas perempuan sebebas-
bebasnya, sekarang mereka membebaskan
perempuansebebas-bebasnya. Dulu, mereka
menerapkan hukuman gergaji hidup-hidup bagipelaku
homoseksual. Kini, mereka berikan hak seluas-luasnya
bagi kaum homo danlesbi untuk menikah dan bahkan
memimpin geraja.
Lihatlah, kini konsep keluarga ala kesetaraan gender
yang memberikan kebebasandan kesetaraan secara
total antara laki-laki dan perempuan telah
berujungkepada problematika sosial yang sangat pelik.
Di Jerman, tahun 2004, sebuahsurvei menunjukkan,
pertumbuhan penduduknya minus 1,9. Jadi, bayi yang
lahirlebih sedikit dari pada jumlah yang mati.
Peradaban Barat juga memandang perempuan sebagai
makhluk individual. SementaraIslam meletakkan
perempuan sebagai bagian dari keluarga. Karena itulah,
dalamIslam ada konsep perwalian. Saat menikah, wali si
perempuan yang menikahkan;bukan perempuan yang
menikahkan dirinya sendiri. Ini satu bentuk
pernyerahantanggung jawab kepada suami. Di Barat,
konsep semacam ini tidak dikenal. Karenaitu jangan
heran, jika para pegiat gender biasanya sangat aktif
menyoal konsepperwalian ini. Sampai-sampai ada yang
menyatakan bahwa dalam pernikahan Islam,yang
menikah adalah antara laki-laki (wali) dengan laki-laki
(mempelailaki-laki).
Simaklah bagaimana kuatnya pengaruh cara pandang
Barat dalam konsep ”kesetaraangender” seperti
tercantum dalam pasal 1:2 RUU Gender yang sedang
dibahas saatini: “Kesetaraan Gender adalah kesamaan
kondisi dan posisi bagi perempuan danlaki-laki untuk
mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi,
mengontrol,dan memperoleh manfaat pembangunan di
semua bidang kehidupan.” (pasal 1:2).
Renungkanlah konsep semacam ini. Betapa
individualistiknya. Laki-laki danperempuan harus
disamakan dalam semua bidang kehidupan. Lalu,
didefinsikanjuga:
“Diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan,
pengucilan, atau pembatasan, dansegala bentuk
kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu,
yangmempunyai pengaruh atau tujuan untuk
mengurangi atau menghapuskan
pengakuan,penikmatan manfaat atau penggunaan hak
asasi manusia dan kebebasan pokok dibidang politik,
ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya
terlepasdari status perkawinan, atas dasar persamaan
antara perempuan dan laki-laki.”(pasal 1:4).
Jika RUU Gender ini akan menjadi Undang-undang dan
memiliki kekuatan hukum yangtetap, maka akan
menimbulkan penindasan yang sangat kejam kepada
umat Muslim –atau agama lain – yang menjalankan
konsep agamanya, yang kebetulan berbedadengan
konsep Kesetaraan Gender. Misalnya, suatu ketika,
orang Muslim yangmenerapkan hukum waris Islam;
membagi harta waris dengan pola 2:1 untuklaki-laki
dan perempuan akan bisa dijatuhi hukuman pidana
karena melakukandiskriminasi gender. Jika ada orang
tua menolak mengawinkan anak perempuannyadengan
laki-laki beragama lain, bisa-bisa di orang tua akan
dijatuhi hukumanpula. Bagaimana jika kita membeda-
bedakan jumlah kambing untuk aqidah antaraanak laki-
laki dan perempuan?
Alasan ketiga, RUU Gender ini sangat SEKULAR. RUU ini
membuang dimensi akhiratdan dimensi ibadah dalam
interaksi antara laki-laki dan perempuan.
Peradabansekular tidak memiliki konsep tanggung
jawab akhirat. Bagi mereka segala urusanselesai di
dunia ini saja. Karena itu, dalam perspektif sekular,
”keadilan”hanya diukur dari perspektif dunia. Bagi
mereka tidaklah adil jika laki-lakiboleh poligami dan
wanita tidak boleh poliandri. Bagi mereka, adalah
tidakadil, jika istri keluar rumah harus seijin suami,
sedangkan suami boleh keluarrumah tanpa izin istri.
Bagi mereka, tidak adil jika laki-laki dalam shalatnya
harus ditempatkan dishaf depan. Dan sebagainya.
Jika seorang perempuan terkena pikiran seperti ini,
maka pikiran itu yang perludiluruskan terlebih dulu.
Biasanya ayat-ayat al-Quran dan hadits Rasulullah
sawtidak mempan bagi mereka, karena ayat-ayat itu
pun akan ditafsirkan dalamperspektif gender.
Sebenarnya, perempuan yang kena paham ini patut
dikasihani,karena mereka telah salah paham. Mereka
hanya melihat aspek dunia. Hanyamelihat aspek hak,
dan bukan aspek tanggung jawab dunia dan akhirat.
Padahal, dalam perspektif Islam, justru Allah memberi
karunia yang tinggikepada perempuan. Mereka dibebani
tanggung jawab duniawi yang lebih kecilketimbang laki-
laki. Tapi, dengan itu, mereka sudah bisa masuk sorga,
samadengan laki-laki. Perempuan tidak perlu capek-
capek jadi khatib Jumat, menjadisaksi dalam berbagai
kasus, dan tidak wajib bersaing dengan laki-
lakiberjejalan di kereta-kereta. Perempuan tidak
diwajibkan mencari nafkah bagikeluarga. Dan
sebagainya.
Sementara itu, kaum laki-laki mendapatkan beban dan
tanggung jawab yang berat.Kekuasaan yang besar juga
sebuah tanggung jawab yang besar di akhirat. Jikadilihat
dalam perspektif akhirat, maka suami yang memiliki
istri lebih darisatu tentu tanggung jawabnya lebih berat,
sebab dia harus menyiapkan laporanyang lebih banyak
kepada Allah. Adalah keliru jika orang memandang
bahwamenjadi kepala negara itu enak. Di dunia saja
belum tentu enak, apalagi diakhirat. Sangat berat
tanggung jawabnya.
”Dimensi akhirat” inilah yang hilang dalam berbagai
pemikiran tentang ”gender”.Termasuk dalam RUU
Gender yang sedang dibahas di DPR. Perspektif dari
RUU inisangat sekuler. (saeculum=dunia); hanya
menghitung aspek dunia semata. Jikadimensi akhirat
dihilangkan, maka konsep perempuan dalam Islam akan
tampaktimpang. Sebagai contoh, para aktivis gender
sering mempersoalkan masalah”double burden” (beban
ganda) yang dialami oleh seorang perempuan karir.
Disamping bekerja di luar rumah, dia juga masih
dibebani mengurus anak danberbagai urusan rumah
tangga. Si perempuan akan sangat tertekan jiwanya,
jikaia mengerjakan semua itu tanpa wawasan ibadah
dan balasan di akhirat.Sebaliknya, si perempuan akan
merasa bahagia saat dia menyadari bahwatindakannya
adalah satu bentuk ibadah kepada Allah SWT.
Karena itu, jika Allah tidak memberi kesempatan kepada
perempuan untuk berkiprahdalam berbagai hal, bukan
berarti Allah merendahkan martabat perempuan.
Tapi,justru itulah satu bentuk kasih sayang Allah kepada
perempuan. Denganberorientasi pada akhirat, maka
berbagai bentuk amal perbuatan akan menjadiindah.
Termasuk keridhaan menerima pembagian peran yang
diberikan oleh Allahdan Rasul-Nya.
Pada akhirnya, dalam menilai suatu konsep – seperti
konsep Kesetaraan Gender –seorang harus memilih
untuk menempatkan dirinya: apakah dia rela menerima
AllahSWT sebagai Tuhan yang diakui kedaulatannya
untuk mengatur hidupnya? SeorangMuslim, pasti tidak
mau mengikuti jejak Iblis, yang hanya mengakui
keberadaanAllah SWT sebagai Tuhan, tetapi menolak
diatur oleh Allah SWT. Seolah-olah,manusia semacam
ini berkata kepada Allah SWT: ”Ya Allah, benar Engkau
memangTuhan, tetapi jangan coba-coba mengatur
hidup saya! Karena saya tidak perlusegala macam
aturan dari-Mu. Saya sudah mampu mengatur diri saya
sendiri!”Na’dzubillahi min-dzalika.
****
Tidak bisa dipungkiri, penyebaran paham ”kesetaraan
gender” saat ini telahmenjadi program unggulan dalam
proyek liberalisasi Islam di Indonesia. Banyakorganisasi
Islam yang memanfaatkan dana-dana bantuan
sejumlah LSM Barat untukmenggarap perempuan-
perempuan muslimah agar memiliki paham kesetaraan
genderini. Perempuan muslimah kini didorong untuk
berebut dengan laki-laki di lahanpublik, dalam semua
bidang. Mereka diberikan angan-angan kosong, seolah-
olahmereka akan bahagia jika mampu bersaing dengan
laki-laki.
Kedepan, tuntutan semacam ini mungkin akan terus
bertambah, di berbagai bidangkehidupan. Sesuai
dengan tuntutan pelaksaan konsep Human
Development Index(HDI), wanita dituntut berperan
aktif dalam pembangunan, dengan cara terjun
keberbagai sektor publik. Seorang wanita yang dengan
tekun dan serius menjalankankegiatannya sebagai Ibu
Rumah Tangga, mendidik anak-anaknya dengan baik,
tidakdimasukkan ke dalam ketegori ”berpartisipasi
dalam pembagunan”. Tentu, konsepsemacam ini
sangatlah aneh dalam perspektif Islam dan nilai-nilai
tradisi yangjuga sudah dipengaruhi Islam.
Daripada bergelimang ketidakpastian dan dosa,
mengapa pemerintah dan DPR tidakmengajukan saja
”RUU Keluarga Sakinah” yang jelas-jelas mengacu
kepadanilai-nilai Islam? Buat apa RUU Gender diajukan
dan dibahas? Dari tiga naskah akademikyang saya baca,
tampak tidak ada dasar pemikiran yang kuat untuk
mengajukan RUUKesetaraan Gender ini. RUU ini
cenderung membesar-besarkan masalah, dan
lebihmenambah masalah baru. Belum lagi jika RUU ini
melanggar aturan Allah SWT,pasti akan mendatangkan
kemurkaan Allah SWT.
Tugas kita hanya mengingatkan! Wallahu a’lam bil-
shawab.*/ Jakarta, 16 Maret2012
Kamis, 11 April 2013
keluarga bapak bapak
Oleh: Anis Byarwati,
Penasihat Rumah Keluarga
Indonesia
“KENAPA ya, setiap acara
pelatihan keluarga pasti
yang datang ibu-ibu lagi.
Bapak-bapaknya nggak ada.
Padahal ibu-ibu kan sudah
sering ikut acara ini. Kita-
kita sih sudah tahu, sudah
ngerti kewajiban-kewajiban kita. Bapak- bapaknya ikut
dong, biar seimbang”
Kita pernah mendengar komentar seperti di atas. Memang
belum pernah dilakukan penelitian secara khusus, tapi dari
pengamatan saya, acara-acara tentang pem- binaan
keluarga dan pendidikan anak kelihatannya lebih sering
ditujukan, diminati dan dihadiri oleh kaum perempuan.
Pernah juga ada pihak yang membuat acara serupa
dengan membuka peserta untuk umum, baik laki-laki
maupun perempuan. Tetapi, agaknya tidak mendapat
cukup respon dari kaum laki-laki sehingga tetap saja
mayoritas peserta adalah kalangan perempuan.
Untuk menyegarkan kembali ingatan kita akan materi itu,
sasaran pertama yang hendak dicapai dakwah kita adalah
binaa’ al-fardi al-muslim (terbentuknya pribadi muslim).
Sasaran berikutnya adalah terbentuknya keluarga muslim
(binaa’ al usrah al muslimah). Dua sasaran ini saling terkait
dalam arti, berhasil atau tidaknya kita membentuk diri
menjadi kader yang memiliki kepribadian islami, akan
sangat mempengaruhi pencapaian sasaran kedua, yaitu
terbentuknya keluarga islami (dengan segala
karakteristiknya). Begitu pula, keberhasilan pencapaian
sasaran kedua ini akan menentukan keberhasilan
pencapaian sasaran ketiga, yaitu binaa’ al mujtama’ al-
islami (terbentuknya masyarakat Islam), dan seterusnya.
Jadi, jangan mimpi kita akan memiliki ad-daulah islamiyah
dan al-khilafah al- islamiyah yang merupakan sasaran
keempat dan kelima dari dakwah kita, jika dari sekarang
tidak memberi perhatian sasaran-sasaran sebelumnya.
Atau dengan kalimat lain, jika kita ingin memiliki daulah
dan khilafah islamiyah, jangan pernah ‘meremehkan’
urusan pembinaan keluarga! Dalam manhaj dakwah kita,
persoalan pembinaan keluarga dan pendidikan anak
adalah persoalan yang sangat serius. Bersyukurlah kita
berada dalam sebuah partai dakwah yang menjadikan dan
memposisikan persoalan serius ini sebagai salah satu
program struktur berskala nasional, yang berarti mengikat
seluruh kader di manapun berada.
Tetapi persoalan membina keluarga dan mendidik anak
tentunya tidak boleh hanya sekedar menjadi program
struktur. Yang lebih penting adalah memposisikan dua hal
penting ini sebagai salah satu yang menjadi prioritas amal
kita. Mengapa? Karena pembinaan keluarga dan
pendidikan anak bukanlah semata terkait dengan amal
atau target pribadi. Dalam pandangan saya, bagi kita
kader dakwah, dua hal ini merupakan sebuah misi mulia
yang harus kita laksanakan dengan penuh kesungguhan
dan tanggung jawab sebagai bentuk kontribusi langsung
dan nyata kita dalam rangka mencapai dan merealisasikan
sasaran dakwah!
Mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengajak kita semua,
ikhwan dan akhwat, untuk ‘lebih serius lagi’ menata rumah
tangga kita, membina keluarga kita, mendidik anak-anak
kita, dengan menambahkan satu semangat: ”Ini adalah
bagian penting dari misi, tugas dan kontribusi dakwah
kita!”
Bagaimana dengan kalangan kita? Se- pertinya tidak jauh
berbeda. Jarang sekali acara tentang pembinaan ke- luarga
samara (sakinah, mawaddah wa rahmah) penuh sesak
oleh bapak-bapak sih yang hadir, tapi jumlahnya bisa
dihitung dengan jari. Dan fenomena ini hampir merata
terjadi di semua wilayah dakwah.
Kita tentu sepakat bahwa persoalan pembinaan keluarga
dan tarbiyatul aulad bukan hanya milik akhwat dan
ummahat. Terlebih dua persoalan ini merupakan salah
satu indikator kesuksesan dakwah kita. Karena suksesnya
dakwah bukan hanya ditandai munculnya figur-figur
istimewa, tetapi juga keluarga-keluarga yang layak menjadi
qudwah.
Karena itu, dakwah ini serius melakukan serangkaian
kajian-kajian yang berkaitan dengan manhaj pembinaan
keluarga dan pendidikan anak. Hasilnya? Serangkaian
arahan telah disosialisasikan melalui kegiatan rutin
pekanan kita, mulai dari arahan tentang persiapan
menikah, tentang pernak-pernik pernikahan dan
kehidupan rumah tangga, sampai arahan tentang
pendidikan anak.
Disamping itu, dakwah kita memiliki sasaran-sasaran yang
harus dicapai secara bertahap. Ada lima sasaran yang satu
dengan lainnya saling terkait, saling mem- pengaruhi dan
saling menentukan. Jika yang pertama gagal dicapai, yang
kedua pun akan gagal. Jika sasaran kedua tercapai sangat
lambat, maka sasaran ketigapun akan mengalami
keterlambatan. Begitu seterusnya. []
nona
KETIKA suatu sore dalam sebuah perbincangan santai, istri
saya bertanya, “Apa Ayah menyuruh Bunda kuliah lagi
sekarang agar kelak lulus Bunda bisa bekerja?”, saya
tercenung beberapa jenak dan lama tidak menjawab
pertanyaan itu.
Bukan karena pikiran tertuju kepada televisi yang tengah
menyiarkan langsung pertandingan Persib dan Persija yang
berjalan 0-0, tetapi karena pertanyaan itu tiba-tiba saja
datang menggelayuti pikiran saya yang kentara benar tidak
siap menerimanya.
Alih-alih menjawab pertanyaan itu, saya balik bertanya,
“memangnya kenapa kamu bertanya seperti itu?”
“Ya nggak sih, banyak teman satu kuliah Bunda yang
sepertinya bertujuan seperti itu. Kuliah untuk bekerja nanti
kalau sudah lulus…”
Saya kembali bertanya. Rasanya bertanya kembali adalah
respon yang sangat tepat kita berikan manakala
menemukan sesuatu yang benar-benar membuat kita
terjebak dalam situasi yang tidak kita inginkan dan kita
duga. “Kamu sendiri setelah kuliah nanti emangnya mau
ngapain?”
Gantian istri saya yang bengong sekarang. Ia memandang
saya dengan bingung, atau entahlah apa saya juga tidak
begitu mengerti. Atau tidak ingat. Kemudian, ia mulai
mengatakan banyak hal bla-bla-bla yang membuat saya
bengong. Bengong yang berjalan dalam beberapa hari.
Ketika saya menulis tulisan ini, sudah hampir setahun istri
saya studi di sebuah sekolah tinggi di kota kami.
Untungnya, ia mengambil kelas karyawan, jadinya ia hanya
masuk kampus hari Sabtu dan Ahad saja. Di kedua hari
itu, kedua anak saya—yang satu tengah berada dalam usia
mengesalkan kadang-kadang, karena banyak mangkir dan
mulai bisa berargumen, dan yang satunya lagi banyak
bertanya semisal “kenapa bulan munculnya tidak tiap
hari?”, “kenapa kodok suaranya ‘grok-grok-grok?”,
“kenapa nggak boleh makan es lilin?”, dan pertanyaan lain
sejenisnya yang sering membuat saya jadi banyak mikir
lagi—otomatis menjadi sepenuhnya berada dalam wilayah
kekuasaan saya.
Sabtu dan Ahad, teman saya menyebutnya “Father’s
Days,” saya melakukan semua hal kecil dan aneh mulai
dari pagi hari sampai sore. Mulai dari mencuci sehabis
shubuh, mengantar si besar ke sekolahnya, masak siang
hari dan kemudian mengondisikan kedua bocah itu untuk
tidur siang, sampai kemudian malam harinya, atau sore
jika lagi beruntung, maka istri saya akan pulang dan
menceritakan semua hal yang ia alami di kampusnya. Bla-
bla-bla, banyak sekali, dan saya diminta untuk selalu
mendengarkannya. Sesuatu yang saya juga senang
melakukannya.
Namun, kemudian sering setelah itu, kali ini saya yang
mulai merasa sendirian. Saya merasa bahwa istri saya
mempunyai kehidupan yang lain itu sekarang. Ia
bersosialiasi dengan dunia luar, melihat hal dan
pandangan orang lain di sana, dan saya tercenung. Saya
jadi teringat satu lagu jadul Bang Iwan Fals, “Nona.”
Sudah cukup jauh
Perjalanan ini
Lewati duka lewati tawa
Lewati segala persoalan
Kucoba berkaca
Pada jejak yang ada
Ternyata aku sudah tertinggal
Bahkan jauh tertinggal
Ah, saya juga jadi pengen sekolah lagi…..[]
Langganan:
Postingan (Atom)