Jumat, 19 April 2013

Kostipasi

Konstipasi: Penyebab dan Cara Penanganan yang Tepat Frekuensi buang air besar pada masing-masing individu sehat mungkin bervariasi, normalnya berkisar tiga kali sehari sampai dengan tiga kali seminggu. Adanya penurunan abnormal pada frekuensi buang air besar dengan disertai/ tanpa rasa nyeri selama mengejan disebut sebagai konstipasi atau sembelit. Feses dengan konsistensi keras dapat menimbulkan kesulitan defekasi (buang air besar). Penyebab terjadinya konstipasi Ketika makanan masuk ke dalam saluran pencernaan, tubuh akan mengambil nutrisi atau zat-zat gizi dan air dari makanan tersebut. Sisa atau ampas dari makanan tersebut selanjutnya dikeluarkan melalui usus halus lewat kontraksi usus. Kurangnya mengkonsumsi cairan, kurangnya beraktivitas, tidak cukupnya makan makanan berserat, konsumsi obat- obatan tertentu, tidak menyegerakan ke kamar mandi saat ingin buang air besar dan secara teratur menggunakan laksatif atau obat pencahar akan dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pencernaan yang pada akhirnya menyebabkan timbulnya konstipasi. Cara penanganan konstipasi Makan makanan dengan cukup kandungan serat dan minum cukup banyak cairan adalah kunci dalam penanganan konstipasi. Dengan minum cukup air dan makanan berserat akan membantu pergerakan feses dan membuat feses menjadi lebih lunak. Peningkatan aktifitas fisik juga akan membantu dalam mengatasi konstipasi. Beberapa tips pencegahan konstipasi Jangan mengabaikan atau menahan keinginan anda untuk buang air besar. Makanlah lebih banyak makanan berserat seperti sayur- sayuran dan buah-buahan. Minumlah cukup banyak air, kira-kira 8 gelas setiap hari. Jangan mengkonsumsi obat pencahar (laksatif) terlalu sering. Penggunaan laksatif secara berlebihan bisa merusak tinja dan bisa membuat konstipasi yang terjadi bertambah parah. Sering berolahraga atau beraktifitas. Batasi makanan yang tinggi lemak dan gula (seperti makanan yang manis-manis, keju, dan makanan olahan). Makanan- makanan tersebut dapat menimbulkan konstipasi. Hindari obat pencahar Laksatif (obat pencahar) seringkali dianggap sebagai solusi termudah untuk mengatasi konstipasi, tetapi jika tidak digunakan secara benar, obat ini sebenarnya dapat menimbulkan masalah lain yang lebih banyak. Laksatif bekerja melalui banyak cara dan masing-masing jenis menimbulkan masalah tersendiri. Beberapa diantaranya bersifat sebagai lubrikan (pelumas), sedangkan lainnya dapat melunakkan konsistensi feses, menyerap air lebih banyak pada usus besar, dan ada juga yang membentuk massa. Salah satu bahaya dari laksatif yaitu dapat menimbulkan ketergantungan pada penggunanya. Bahkan beberapa jenis laksatif diketahui dapat merusak sel- sel saraf pada kolon (usus besar) sampai akhirnya membuat individu tersebut tidak dapat buang air besar lagi. Laksatif dapat menghambat absorpsi atau menghilangkan efikasi obat. Laksatif berbahan dasar minyak mineral dapat mencegah absorpsi vitamin A, D, E, dan K. Jenis laksatif lainnya dapat merusak dinding usus. Karena itu penggunaan laksatif sebaiknya dihindari dan hanya digunakan atas anjuran dokter. Untuk mengatasi konstipasi, individu lebih dianjurkan untuk secara rutin berolahraga, cukup minum, dan mengonsumsi makanan yang tinggi serat.

Demam berdarah atau Tifus?

Demam Berdarah atau Tifus? Demam Berdarah atau Tifus ? Demam berdarah dan tifus memiliki gejala yang dapat dikatakan hampir sama. Kedua penyakit ini ditandai oleh gejala berupa demam yang cukup tinggi. Jika kita salah menduga jenis penyakit yang diderita, nantinya akan bisa menyebabkan kesalahan penanganan yang justru akan berakibat fatal bagi penderita. Lantas apa saja sebetulnya perbedaan antara penyakit demam berdarah dan tifus? Penyebab Demam berdarah disebabkan oleh virus dengue, sehingga penyakit ini dikenal juga dengan nama DBD yang merupakan singkatan dari Demam Berdarah Dengue. Terdapat 4 jenis virus demam berdarah yang biasa menyerang manusia. Itulah yang menyebabkan pada beberapa kasus penderita demam berdarah yang satu menunjukkan gejala yang berbeda dengan penderita demam berdarah lainnya. Penyakit ini menular dari satu penderita ke penderita lainnya melalui nyamuk Aedes aegypti . Nyamuk Aedes aegypti yang sebelumnya mengisap darah penderita DBD, jika kemudian menggigit orang lain yang sehat maka virus demam berdarah akan berpindah ke orang sehat tersebut dan orang tersebut akan menderita demam berdarah. Berbeda dengan demam berdarah, penyakit tifus disebabkan oleh bakteri yang bernama Salmonella typhi . Bakteri ini berkembang cepat pada tempat-tempat yang kotor. Penyebaran bakteri ini dibantu oleh serangga pembawa bakteri, salah satunya adalah lalat. Bakteri ini oleh lalat dibawa ke makanan atau minuman dan seterusnya akan masuk ke dalam tubuh orang yang mengkonsumsinya, menyebabkan orang tersebut terkena penyakit tifus. Gejala Pada penderita demam berdarah, gejala-gejala yang biasa ditemui adalah: Badan pegal-pegal, sakit kepala, menggigil, buang-buang air dan muntah. Muncul bintik-bintik merah. Gejala ini mungkin tidak muncul jika demam yang dialami baru sebentar. Untuk itu dapat dilakukan teknik menjepit pembuluh darah mirip seperti saat melakukan pemeriksaan tekanan darah. Setelah itu biasanya bintik merah akan terlihat. Setelah hari ketiga, biasanya demam akan turun dan penderita akan merasa sudah sembuh tetapi setelah itu demam dapat menyerang kembali. Pada masa ini sebaiknya berhati-hati agar tidak menganggap sudah sembuh dan tidak menjaga kesehatan. Sementara pada penderita tifus, gejala yang muncul adalah : Pada awalnya demam yang dialami tidak terlalu tinggi, lalu kemudian akan meningkat terus hingga lebih dari 38 o C. Khusus pada malam hari, suhu akan meningkat dan akan turun pada pagi hari. Inilah yang membedakan demam tifus dengan demam pada demam berdarah. Batuk dan sakit tenggorokan Diare dan nyeri perut Pemeriksaan Cara yang paling tepat untuk mengetahui apakah seseorang menderita demam berdarah atau tifus adalah dengan melakukan pemeriksaan darah. Dari pemeriksaan darah akan dapat diketahui secara pasti penyakit yang diderita. Pada pasien demam berdarah, pemeriksaan dilakukan dengan memeriksa jumlah trombosit. Jika trombosit menurun, biasanya < 100.000/µl, seseorang didiagnosis mengalami demam berdarah. Tetapi, jika demam baru satu hari belum bisa diketahui karena jumlah trombosit yang masih normal. Pada kasus seperti ini, pasien dapat memeriksa jumlah trombositnya jika masih mengalami demam. Pada pemeriksaan yang lebih canggih, dapat diketahui apakah darah mengandung virus dengue atau tidak. Jika jumlah trombosit masih normal tetapi pada darah positif mengandung virus dengue berarti positif mengalami demam berdarah. Sementara untuk pasien tifus dapat dilakukan tes Widal. Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui apakah pada darah mengandung antibodi terhadap bakteri Salmonella typhi atau tidak. Jika hasil menunjukkan > 1/160 berarti positif menderita tifus. Pemeriksaan lain dapat dilakukan dengan memeriksa tinja penderita karena pada tinja penderita tifus biasanya terdapat bakteri Salmonella typhi . Pengobatan Tidak ada obat khusus untuk mengobati penderita demam berdarah karena tidak ada vaksin untuk membunuh virus dengue. Hal yang dapat dilakukan adalah dengan menjaga agar penderita tidak mengalami dehidrasi. Jika penderita tidak dapat makan dengan baik, mengalami diare atau muntah, ada baiknya penderita dirawat di rumah sakit agar dapat dibantu dengan infus. Sedangkan untuk pengobatan tifus, biasanya diberikan antibiotik untuk membunuh bakteri. Untuk menyembuhkan usus yang luka, makanan yang dimakan tidak boleh keras agar tidak memaksa kerja usus yang sedang sakit. Selain itu hindari juga makanan yang asam dan pedas. Cara Pencegahan Cara pencegahan penyakit demam berdarah adalah melalui gerakan 3M. Gerakan 3M yang dimaksud adalah menguras bak mandi, menutup tempat penampungan air, dan mengubur barang-barang bekas. Sementara untuk mencegah penyakit tifus dapat dilakukan dengan cara menjaga lingkungan tetap bersih sehingga bakteri tifus tidak dapat berkembang biak. Selain itu pilihlah makanan dan minuman yang bersih untuk dikonsumsi.

Jumat, 12 April 2013

Feminisme senjata penjajahan baru

Orang Cerdas Tak akan Tertipu.. KIta tidak Mau dijajah Lagi... Hanya orang Bodoh yang mau jadi Jongos Penjajah... Setelah Perang Dunia II, penjajahan tidak lagi melalui fisik, tetapi melalui pemikiran, yaitu menyebarkan ide sekularisme dan liberalisme. Ide ini melandasi seluruh aspek kehidupan. Untuk mengokohkan penjajahannya maka ide tersebut dijadikan konvensi internasional. Melalui PBB, konvensi berhasil mengikat negara-negara anggota PBB. Konvensi yang dimaksud antara lain Konvensi PBB yang berkaitan dengan HAM dan tentang perempuan yang bertujuan memajukan perempuan; Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW); Deklarasi Universal HAM (1948); Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik (1966); Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (International Conference Population and Development – ICPD) di Kairo tahun 1994 dan konferensi PBB tentang perempuan; Konvensi PBB tentang hak-hak politik perempuan yang telah diratifikasi dengan UU no. 68 tahun 1958 dan UU no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dengan bab khusus tentang hak-hak perempuan. Selama puluhan tahun terakhir PBB telah banyak menyelenggarakan konferensi untuk kemajuan wanita (baca: kebebasan wanita dari hukum Islam), mulai dari yang pertama di Mexico City tahun 1975 hingga yang keempat tahun 1995. Konferensi PBB keempat kalinya tentang perempuan 1995 di Beijing sangat besar pengaruhnya terhadap derasnya arus liberalisasi melalui ide feminisme. Pelaksanaan hasil konferensi tersebut diimplementasikan oleh para feminis, baik melalui lembaga pemerintah (semisal Tim Pengarusutamaan Gender DEPAG, Departemen Pemberdayaan Perempuan) maupun LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)/NGOs (Non Goverment Organization– Organisasi Non Pemerintah). CLDKHI merupakan implementasi konvensi tersebut oleh Tim Pengarusutamaan Gender yang diketuai Musdah Mulia. Dalam menentukan isi CLDKHI (Caunter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam), mereka merujuk pada “kitab suci”-nya, yaitu Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW); Deklarasi Universal HAM(1948) serta Kovensi Internasional tentang hak-hak sipil dan politik (1966). Pemerintah harus melaksanakan norma-norma dan instrumen-instrumen HAM internasional yang terkait dengan kekerasan dan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan. Pemerintah juga harus melaksanakan CEDAW. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi isi CEDAW ( Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women ) ini dengan dikeluarkannya UU no. 7 tahun 1984. Karenanya, Pemerintah telah mengesahkan undang-undang nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga), UU Perlindungan Anak dan upaya melegalisasi aborsi melalui amandemen UU Kesehatan. Sosialisasi ide Gender Eguality atau Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) sangat massif baik melalui swasta semisal LSM, Ormas, Lembaga Pendidikan maupun Pemerintah. Bidang garapan yang dipengaruhinya mulai dari kebijakan sampai hal yang teknis. Wilayah kerjanya pun sejak dari tingkat nasional sampai dengan kelurahan, bahkan RT dan institusi paling kecil, yaitu keluarga. Ide ini dimasukkan dalam 12 bidang kritis yang ada, yaitu: perempuan dan kemiskinan; pendidikan dan pelatihan bagi perempuan; perempuan dan kesehatan; kekerasan terhadap perempuan; perempuan dan konflik bersenjata; perempuan dan ekonomi; perempuan dalam pengambilan kekuasaan; mekanisme institusional untuk kemajuan perempuan; hak asasi perempuan; perempuan dan media; perempuan dan lingkungan serta anak perempuan. Sosialisasi feminisme juga melalui lembaga pendidikan dan media, baik melalui lembaga pendidikan formal (misal: masuk salah satu mata pelajaran sampai pada kurikulum berbasis gender) maupun melalui pendidikan non-formal (misal: seminar-seminar, diskusi, diklat dan training). Media cetak pun tak ketinggalan semisal jurnal, majalah, koran dan buku; juga media elektronik, internet, televisi dan radio. Serangan Terhadap Islam Agar ide Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) diadopsi masyarakat, maka ide ini dibungkus dengan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Dalam penyajiannya mereka ’melogikakan’ liberalisasi hukum Islam. Inilah racun-racun yang mereka sebar dan dibungkus dengan madu untuk menyerang Islam. Dalam laporan tentang pelaksanaan konvensi, para feminis menyebutkan bahwa kekerasan dan adanya diskriminasi terhadap perempuan merupakan hambatan untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender. Mereka menggambarkan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah manifestasi dari hubungan kekuasaan antara pria dan wanita yang tidak seimbang sepanjang sejarah sehingga menyebabkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan serta menghalangi kemajuan perempuan. Dalam mencari penyebab timbulnya kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, mereka melihat adanya pola-pola budaya; khususnya efek yang merugikan dari praktik-praktik tradisionil atau adat serta semua tindakan ekstrimis yang berkaitan dengan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama yang telah mengabadikan kedudukan perempuan lebih rendah dalam keluarga, kelompok kerja dan masyarakat (kepemimpinan ada pada pihak laki-laki). Mereka mengemukakan fakta kepemimpinan dalam masyarakat yang menerapkan ajaran Islam ada pada pihak laki-laki. Dari sinilah mereka mulai menggugat hukum Islam dan berusaha mengubahnya dengan dalih bias gender. Menurut mereka, harus ada rekontruksi dan reinterpretasi hukum-hukum Islam yang dinilai bias gender. Inilah logika yang dibangun kaum feminis. Karenanya, mereka memposisikan Islam sebagai hambatan bagi tercapainya Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG). Mereka menyimpulkan bahwa Islam menghambat kemajuan wanita. Karena itulah mereka berupaya mengubah hukum Islam. Mereka juga menanamkan keraguan kepada umat Islam terhadap kebenaran ajarannya, khususnya dengan mempertanyakan keadilan Islam dalam memperlakukan perempuan. Mereka mengatakan, hukum-hukum agama (Islam) telah memasung kebebasan perempuan, membuat perempuan tidak maju karena hanya beraktivitas pada sektor domestik (rumah tangga). Disebabkan posisi tersubordinasi inilah perempuan rentan mengalami kekerasan. Dari sudut pandang inilah mereka membahas bagaimana upaya menyelesaikan masalah kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Berangkat dari landasan ideologi liberalis, kaum feminis mengusung ide semangat pembebasan perempuan dan kesetaraannya dengan laki-laki (ide keadilan dan kesetaraan gender). Agenda gerakan feminisme ini hakikatnya adalah agenda liberalisasi hukum Islam. Agenda yang sama juga diusung kaum liberal. Di dalam bukunya, Fakta dan Data Yahudi di Indonesia, Ridwan Saidi menulis bahwa Lutfi asy-Syaukani memperkenalkan empat agenda JIL, salah satunya adalah emansipasi (feminisme). Artinya, salah satu upaya liberalisasi di Dunia Islam adalah melalui gerakan feminis ini Racun bagi Perempuan dan Umat Nyatalah bahwa propaganda liberalisme dan feminisme tidak lebih merupakan alat musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam dan umatnya. Feminisme mengajak kaum Muslim beramai-ramai meninggalkan aturan agama yang dianggap sebagai penghalang kemandirian dan kebebasan perempuan. Ide ini hanya akan membawa kerusakan pada tatanan individu, keluarga dan masyarakat yang telah mapan dengan nilai-nilai Islam. Ide ini hanya akan menularkan kerusakan dan kebobrokan masyarakat Barat yang kapitalis dan sekularis. Demikianlah para feminis mempropa-gandakan ide-ide sesatnya secara massif. Mereka berupaya menyeret sedikit demi sedikit kaum Muslimah untuk meninggalkan kewajiban utamanya sebagai ummu wa rabah al-bayt (sebagai ibu dan pengatur rumah tangga ), lalu menjadi feminis sejati yang betul-betul membebaskan diri dari hukum Islam dengan sukarela

Hancurkan wanita

Sistem Kapitalisme sejatinya telah menghancurkan kehidupan manusia, termasuk kaum hawa (perempuan). Dalam kungkungan sistem Kapitalisme saat ini kaum perempuan dalam posisi serba salah. Di satu sisi mereka memikul amanah mulia menjadi benteng keluarga; menjaga anak-anak dari lingkungan yang merusak sekaligus mengurus rumah-tangga. Di sisi lain mereka pun harus ikut bertanggung jawab ‘menyelamatkan’ kondisi ekonomi keluarga dengan cara ikut bekerja mencari nafkah tambahan, atau bahkan harus ‘menggantikan’ posisi sang suami yang—karena imbas krisis ekonomi—terpaksa dirumahkan oleh perusahaan tempatnya semula bekerja. Akibat himpitan ekonomi tidak sedikit perempuan lebih rela meninggalkan suami dan anaknya untuk menjadi TKW, misalnya, meskipun nyawa taruhannya. Ribuan kasus kekerasan terhadap mereka terjadi. Mereka disiksa oleh majikan hingga pulang dalam keadaan cacat badan, bahkan di antaranya ada yang akhirnya menemui ajal di negeri orang. Masih lekat dalam ingatan, bagaimana derita seorang TKW asal Palu, Susanti (24 tahun), yang kini tak bisa lagi berjalan karena disiksa majikannya ( Liputan6.com , 9/3/2010). Kapitalisme pula yang telah menorehkan kisah pilu bagi para ibu, yang harus merelakan bayinya di sandera pihak rumah sakit karena tak mampu membayar biaya persalinan. Kemiskinan sistemik telah merampas hak seorang ibu untuk dekat dengan anaknya. Fenomena ibu yang membunuh anaknya karena himpitan ekonomi pun kerap terjadi. Pada 15/1/2010 lalu, seorang ibu muda di Jakarta bernama Amanda (25 tahun), misalnya, membunuh anak kandungnya sendiri yang masih berusia 2,6 tahun di rumahnya ( Vivanews.com , 16/1/2010). Depresi kerap menjadi alasan seorang ibu tega melakukan tindakan nekad seperti ini. Bahkan ada yang berani mengakhiri hidupnya karena sudah tak sanggup lagi menanggung derita dalam rumah tangga dan persoalan hidup yang kian menghimpit. Di Selakau, seorang ibu muda bernama Syarifah (23 tahun) tewas gantung diri karena depresi ( Pontianakpost.com , 15/3/2010). Lagi-lagi motifnya karena kemiskinan yang telah diciptakan oleh sistem Kapitalisme ini. Maraknya perdagangan perempuan dan anak-anak ( trafficking ) tak kurang riuhnya. Pada Desember 2009 ditemukan 1.300 kasus perdagangan manusia dan pengiriman tenaga kerja ilegal dari Nusa Tenggara Timur ( Vivanews.com , 15/12/2009). Sekitar 10.484 wanita yang berada di Kota Tasikmalaya Jawa Barat rawan dijadikan korban trafficking . Pasalnya, mayoritas di antara mereka berstatus janda serta berasal dari kalangan yang rawan sosial dengan tarap ekonomi rendah ( Seputar-indonesia.com , 1/4/2010). Di Kabupaten Cianjur Jawa Barat kasus trafficking dan KDRT tercatat 548 kasus. Tidak sedikit dari mereka menjadi korban dan dipekerjakan sebagai pekerja seks komersil (PSK) ( Pikiranrakyat.com , 23/3/2010). Kondisi ini diperparah dengan munculnya gagasan gender equality (kesetaraan jender) , yakni upaya menyetarakan perempuan dan laki-laki dari beban- beban yang menghambat kemandirian. Beban itu antara lain peran perempuan sebagai ibu: hamil, menyusui, mendidik anak dan mengatur urusan rumah tangga. Lalu berbondong-bondonglah kaum perempuan meninggalkan kodratnya. Mereka berlomba mensejajarkan diri dengan laki-laki. Namun apa daya, begitu mereka memasuki ranah publik, ekploitasi habis- habisan atas diri merekalah yang terjadi. Mereka menjadi obyek eksploitasi sistem Kapitalisme yang memandang materi adalah segalanya. Model, sales promotion girl , public relation hingga profesi pelobi hampir senantiasa berada di pundak kaum perempuan. Mereka menjadi umpan dalam mendatangkan pundi- pundi rupiah. Akar Masalah Setidaknya ada dua faktor penyebab mengapa kondisi di atas bisa terjadi. Pertama : faktor internal umat Islam yang lemah secara akidah sehingga tidak memiliki visi- misi hidup yang jelas. Hal ini diperparah dengan lemahnya pemahaman mereka terhadap aturan-aturan Islam, termasuk tentang konsep pernikahan dan keluarga, fungsi dan aturan main di dalamnya. Kedua: faktor eksternal berupa konspirasi asing untuk menghancurkan umat Islam dan keluarga Muslim melalui serangan berbagai pemikiran dan budaya sekular yang rusak dan merusak, terutama paham liberalisme yang menawarkan kebebasan individu. Paham ini secara langsung telah menyingkirkan peran agama dalam pengaturan kehidupan manusia, sekaligus menjadikan manusia bebas menentukan arah dan cara hidupnya, termasuk yang terkait dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga. Nyatalah apa yang difirmankan Allah SWT: ] ْﻦَﻣَﻭ َﺽَﺮْﻋَﺃ ْﻦَﻋ ﻱِﺮْﻛِﺫ َّﻥِﺈَﻓ ُﻪَﻟ ًﺔَﺸﻴِﻌَﻣ ﺎًﻜْﻨَﺿ ُﻩُﺮُﺸْﺤَﻧَﻭ َﻡْﻮَﻳ ِﺔَﻣﺎَﻴِﻘْﻟﺍ ﻰَﻤْﻋَﺃ [ Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam Keadaan buta (QS Thaha [20]: 124) Umat ini memang telah berpaling dari peringatan (hukum-hukum) Allah. Tak sedikit umat Islam mencampakkan hukum Islam karena merasa malu atas tuduhan yang dialamatkan oleh musuh-musuh Islam. Mereka secara sengaja mempropagandakan hukum Islam sebagai ‘kolot’, ‘anti kemajuan’, ‘ekslusif’, ‘bias jender’ dan gambaran-gambaran buruk lainnya. Sebagai gantinya, umat Islam justru didorong untuk menerapkan berbagai aturan yang menjamin kebebasan individu, sekalipun mereka tahu, bahwa aturan-aturan itu bertentangan dengan syariah agama mereka. Tuduhan-tuduhan konyol (bodoh) ini secara konsisten terus dialamatkan pada Islam melalui peranan lembaga-lembaga internasional, terutama PBB yang hakikatnya merupakan alat penjajahan Barat. Di antaranya memakai modus "perang melawan terorisme", yang hakikatnya adalah perang melawan Islam. PBB di bawah ketiak kendali negara-negara Barat kapitalis sangat giat mengeluarkan berbagai konvensi dan kesepakatan internasional terkait dengan isu HAM, kesetaraan gender, dll. Di antaranya Deklarasi Universal HAM, Konvensi tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, Konvensi Internasional tentang hak-hak sipil dan politik, MDGs, dan semisalnya. Pada dasarnya semua itu memiliki semangat perjuangan dan target yang sama, yaitu tuntutan kebebasan (liberalisasi) dalam segala hal, termasuk kebebasan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Islam Mengancam Peradaban Barat Konspirasi Barat ini dilakukan tidak lain karena Islam dan umat Islam memiliki potensi ancaman terhadap dominasi peradaban Barat (Kapitalisme global). Selain potensi SDM yang sangat besar berikut SDA-nya yang melimpah, Islam dan umat Islam juga memiliki potensi ideologis yang jika semua potensi ini disatukan akan mampu mengubur sistem Kapitalisme global. Di samping itu, keluarga Muslim saat ini masih berfungsi sebagai benteng pertahanan terakhir, yang menjaga sisa-sisa hukum Islam terkait keluarga dan individu, setelah hukum-hukum Islam lainnya menyangkut aspek sosial dan kenegaraan berhasil mereka hancurkan. Terpeliharanya sisa-sisa hukum- hukum Islam oleh keluarga-keluarga Muslim ini pun masih menyimpan potensi besar dalam melahirkan generasi-generasi pejuang yang menjadi harapan umat di masa depan. Inilah yang mereka takutkan. Dari keluarga-keluarga Muslim ini akan lahir sosok Muslim militan yang siap menghancurkan dominasi mereka atas dunia. Itulah mengapa mereka berupaya dengan sungguh- sungguh menghancurkan keluarga Muslim dengan berbagai cara. Di antaranya dengan menjauhkan para Muslimah dari cita-cita menjadi ibu atau dari penyempurnaan peran ibu. Secara sistemik, diciptakanlah kemiskinan struktural melalui penerapan sistem ekonomi kapitalis yang memaksa para ibu bekerja untuk menutupi kebutuhan keluarga dan karenanya peran ibu tidak bisa optimal. Selain itu, mereka meracuni benak para Muslimah dengan berbagai pemikiran yang merusak, semisal ide emansipasi, keadilan dan kesetaraan jender serta kebebasan. Akibatnya, para Muslimah lebih tertarik beraktivitas di ranah publik (luar rumah) dan malah merasa rendah diri jika sekadar berperan sebagai ibu rumah tangga. Dampak lanjutannya, lahirlah generasi tanpa bimbingan dan pengasuhan optimal para ibu. Apa yang menjadi tujuan semua konspirasi Barat kafir sesungguhnya sangat jelas, yakni merusak identitas keislaman kaum Muslim, menghapus militansi ideologis mereka dan melemahkan daya juang umat Islam. Dengan cara ini, target besar mereka akan terwujud, yakni menghambat gerakan mengembalikan Khilafah Islamiyah yang memang sudah menggejala di seluruh dunia. Apalagi sebagaimana prediksi RAND Corporation (lembaga intelejen AS), ada kemungkinan pada tahun 2020 peta politik global disemarakkan dengan bangkitnya Kekhilafahan baru. Karenanya, AS sebagai motor Kapitalisme global sedini mungkin berupaya memperkecil kemungkinan tersebut dengan berbagai cara. Apa yang Harus Dilakukan? Jelas, upaya liberalisasi berlangsung sangat sistematis; melibatkan berbagai pihak, mulai dari pihak negara- negara kapitalis sebagai konspiratornya, para kapitalis sebagai penyandang dananya, serta LSM liberal/gender dan pemerintah bertindak sebagai EO-nya. Karena itu, upaya strategis yang harus dilakukan untuk menghadapi berbagai konspirasi asing dalam penghancuran keluarga Muslim adalah mengajak umat untuk bersegera meninggalkan sistem liberal sekular ini, dengan cara melakukan pencerdasan umat dengan Islam kâffah . Targetnya adalah agar tercipta profil Muslim dan Muslimah tangguh yang siap berjuang melakukan perubahan sistem menuju tegaknya syariah Allah SWT dalam naungan Khilafah. Lebih khusus lagi, agar kaum Muslimah menyadari betapa besar investasi yang disiapkan jika mampu secara maksimal menjalankan fungsi utamanya sebagai “umm[un] wa rabbah al-bayt” (ibu dan manajer rumah tangga) . Fungsi utama ini akan menjadi hulu bagi lahirnya generasi utama yang akan mengguncang sekaligus meruntuhkan dominasi kafir Barat dengan peradaban sampahnya. Ingatlah firman Allah SWT: ] ْﻞُﻗ ﺎَﻳ ِﻡْﻮَﻗ ﺍﻮُﻠَﻤْﻋﺍ ﻰَﻠَﻋ ْﻢُﻜِﺘَﻧﺎَﻜَﻣ ﻲِّﻧِﺇ ٌﻞِﻣﺎَﻋ َﻑْﻮَﺴَﻓ َﻥﻮُﻤَﻠْﻌَﺗ ْﻦَﻣ ُﻥﻮُﻜَﺗ ُﻪَﻟ ُﺔَﺒِﻗﺎَﻋ ِﺭﺍَّﺪﻟﺍ ُﻪَّﻧِﺇ ﻻ ُﺢِﻠْﻔُﻳ َﻥﻮُﻤِﻟﺎَّﻈﻟﺍ [ Katakanlah, "Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu, sesungguhnya aku pun berbuat. Kelak kamu akan mengetahui, siapakah (di antara kita) yang akan memperoleh hasil yang baik dari dunia ini. Sesungguhnya orang yang zalim itu tidak akan mendapat keberuntungan." (QS al-An’am [6]: 135). Sesungguhnya kewajiban memperjuangkan Islam adalah konsekuensi keimanan kita kepada Allah SWT. Kita semua tak akan bisa menghindar dari misi mulia ini, kecuali jika kita siap menghadap-Nya tanpa hujjah. Semoga kita semua termasuk yang bisa kembali ke haribaan-Nya dengan membawa hujjah yang nyata. Dengan begitu, di akhirat nanti, kita layak bersanding dengan Rasulullah saw. tercinta dan barisan para pejuang radhiyallâhu ‘anhum. Wallâhu a’lam. []

mendidik anak ala nabi yakub

Mendidik Keimanan Anak Ala Nabi Ya’qub Bandingkan dengan kenyataan yang dialami anak-anak kita hari ini. Mungkin anak-anak kita memiliki kecerdasan intelektual namun nihil kecerdasan spiritual Oleh: Ali Akbar bin Agil DEWASA ini, tantangan dan rintangan yang harus dihadapi oleh orangtua dalam mendidik putra-putrinya terasa berat. Beban ujian dan godaan datang bertubi-tubi dari segala penjuru. Jika tidak pandai mendidik anak, bisa saja mereka masuk dalam generasi gagal. Anak kita tidak dilahirkan selaras dengan zaman kita. Belajar dari seorang Wali Allah, Luqman, kita bisa belajar tentang mendidik anak. Beliau membekali anaknya dengan iman, tauhid dan akidah yang kokoh. Luqman mengajarkan putranya agar menjadi insan beriman, memiliki kekokohan akidah, tidak menyekutukan Allah Subhanahu Wata’aladengan apapun juga. Luqman mengenalkan kepada putranya siapa yang telah menciptakannya, menghidupkan, mematikan, dan memberi rezeki. Iman merupakan sumber inspirasi, pembuka wawasan, dan ide-ide cemerlang. Sebagai inspirasi, iman dapat membuat seseorang tergerak melakukan kebaikan dan menjauhi kejahatan. Dengan inspirasi iman, seseorang akan memilki motivasi dalam memenuhi seruan-seruan kebajikan. Sejarah mengukir kisah orang-orang yang terdidik dengan pendekatan iman. Dengan iman, Abu Bakar Ash-Shiddiq menyerahkan semua hartanya di jalan Allah. Dengan iman pula, Umar bin Khattab sebagai Kepala Negara siap sedia membawa gandum di pundaknya, ia serahkan kepada seorang wanita yang papa. Dengan inspirasi iman, Ali bin Abi Thalib rela tidur di pembaringan Sang Nabi di waktu rumahnya dikepung musuh. Dengan inspirasi iman, seseorang akan mampu bangun di waktu malam, bermunajah kepada Allah, di musim dingin sekalipun. Dengan kekuatan iman juga, Sumayyah tetap berkomitmen menjaga tauhidnya meski harus merelakan nyawa satu-satunya. Semuanya karena iman kepada Allah. Dengan iman yang kuat, seseorang akan berusaha menghiasi diri dengan akhlak yang mulia. Akhlak sangat penting dihadirkan dalam segala situasi dan kondisi. Kemuliaan akhlak ada pada dorongan iman yang kuat. Kekuatan iman membuat seorang anak selalu beretika dalam tiap tindak tanduknya, menghindari perilaku-perilaku tercela. Dengan iman yang mantap, seorang anak yang didik dengan metode ini, akan memilki rasa malu. Malu dalam melakukan kejahatan. Rasa malu nyaris lenyap dalam kehidupan kita. Ada seorang anak tidak malu-malu membuat malu keluarga dengan perbuatan nistanya. Tanpa rasa malu ia berbuat keji. Tanpa iman, seseorang akan ringan-ringan saja melangkahkan kaki dalam perbuatan yang dimurkai Allah Subhanahu Wata’ala. Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam memprioritaskan pendidikan iman dalam dakwahnya. Beliau mengajarkan cara beriman dan bertauhid kepada para sahabatnya yang kemudian ditularkan kepada anak-anak mereka. Sebagai salah satu contoh kesuksesan orang tua memberi asupan iman dan akidah yang kokoh kepada anaknya adalah Ali bin Abi Thalib. Akkisah, dalam suatu kesempatan, Zainab duduk bersama ayahnya di dalam kamar. Sambil membelai-belai putrinya, sang ayah, Imam Ali, bertanya, “Dapatkah engkau mengucapkan kata ‘satu’ ?” “Dapat…”, jawab Zainab dengan gaya kekanak-kanakan. “Cobalah,” lanjut Imam Ali. “Sa-tu.” “Coba ucapkan lagi dua…” Zainab diam, tidak menjawab. “Cobalah, ucapkan sayang…!”, ayahnya mengulang pertanyaannya. “Ayah,” kata Zainab, “aku tidak sanggup mengucapkan ‘dua’ dengan lidah yang sudah terbiasa mengucapkan “satu.” Dalam kesempatan yang lain, pada suatu hari Zainab bertanya kepada ayahnya, “Ayah, benarkah ayah mencintai diriku?” “Bagaimana tidak, bukankah engkau kesayanganku?” Mendengar jawaban ayahnya seperti itu Zainab menyahut, “Seharusnya cinta itu ditujukan kepada Allah, sedangkan diriku cukuplah kasih sayang.” Lihatlah bagaimana seorang anak di bawah umur sudah memahami iman kepada Allah Subhanahu Wata’aladengan begitu dalam. Bandingkan dengan kenyataan yang dialami anak-anak kita hari ini. Mungkin anak-anak kita memiliki kecerdasan intelektual namun nihil kecerdasan spiritual. Pendidikan yang bersendikan iman dan tauhid kepada Allah, akan menjadikan anak-anak tahu mana yang baik dan buruk, mana yang diridhai oleh Allah Subhanahu Wata’ala dan dimurkai-Nya, dan berusaha untuk melakukan tindakan- tindakan yang baik, di mana pun ia berada, ke mana pun ia melangkahkan kakinya. Pada detik-detik kemangkatannya Nabi Ya`qub A`laihis Salaam tidak bertanya tentang materi yang akan diperoleh oleh anak-anaknya. Beliau menanyakan iman. Allah Subhanahu Wata’ala merekam dengan sangat indah momen dialog Nabi Ya`qub dengan anak-anaknya. ْﻡَﺃ ْﺫِﺇ ﺀﺍَﺪَﻬُﺷ ْﻢُﺘﻨُﻛ َﺮَﻀَﺣ َﻝﺎَﻗ ْﺫِﺇ ُﺕْﻮَﻤْﻟﺍ َﺏﻮُﻘْﻌَﻳ ِﻪﻴِﻨَﺒِﻟ ﺎَﻣ َﻥﻭُﺪُﺒْﻌَﺗ ﻦِﻣ ﻱِﺪْﻌَﺑ ْﺍﻮُﻟﺎَﻗ َﻪـَﻟِﺇَﻭ َﻚَﻬـَﻟِﺇ ُﺪُﺒْﻌَﻧ َﻚِﺋﺎَﺑﺁ َﻢﻴِﻫﺍَﺮْﺑِﺇ َﻞﻴِﻋﺎَﻤْﺳِﺇَﻭ َﻕﺎَﺤْﺳِﺇَﻭ ًﺎﻬـَﻟِﺇ ًﺍﺪِﺣﺍَﻭ ُﻦْﺤَﻧَﻭ ُﻪَﻟ َﻥﻮُﻤِﻠْﺴُﻣ “Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (QS: Al-Baqarah : 133). Nabi Ya`qub tidak bertanya soal apa yang akan dimakan sepeninggalnya, beliau bertanya tentang iman. Iman tidak bisa diwariskan kepada anak-anak kita. Kita dapat mengajarkan iman kepada anak-anak itu sejak dini, sebagai bekal dalam menjalani kehidupan di dunia yang belakangan begitu menyedihkan. Pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan oleh Mohammad Fauzil Adhim dalam bukunya “Positive Parenting” (Cara-cara Islami Mengembangkan Karakter Positif Pada Anak Anda) berikut ini, patut menjadi renungan bagi kita semua. “Seberapa gelisah kita hari ini? Apakah kita sibuk memperbanyak tabungan agar mereka kelak tidak kebingungan cari makan sesudah kita tiada? Ataukah kita bekali jiwanya dengan tujuan hidup, visi besar, semangat yang menyala-nyala, budaya belajar yang tinggi, iman yang kuat dan kesediaan untuk berbagi karena Allah?” Penulis adalah pengajar di Pesantren Darut Tauhid, Malang

berloba dalam membahagiakan pasangan

Rasulullah bersabda, “Setiap istri yang meninggal, dan suaminya ridha, maka dia akan masuk surga.” (HR:Tirmidzi). JIKA ada yang bertanya, siapakah pasangan suami istri paling bahagia, maka jawabnya adalah Rasulullah Shallallahu Alayhi Wasallam bersama Sayyidah Khadijah radhiyallahu anha. Sekalipun Muhammad ketika itu lebih muda, mantan karyawannya, dan tidak memiliki kekayaan seperti dirinya, Khadijah tetap memuliakan, menghormati bahkan mentaati Muhammad sebagai suaminya dengan sepenuh hati. Khadijah sering sekali meneguhkan pendirian Muhammad, menghibur dan memuliakannya. “Engkau adalah manusia yang paling jujur di bumi ini wahai suamiku, engkau tidak pernah membalas kecuali kebaikan, meskipun engkau menerima keburukan dan penderitaan. Bahkan, engkau tidak pernah memutus tali persaudaraan. Sungguh aku yakin, engkau adalah suamiku yang akan menerangi kehidupan ini,” demikianlah ungkap Khadijah dalam suatu kesempatan. Demikian pula Muhammad, sekalipun istrinya jauh lebih tua dan janda dari beberapa suami, Muhammad sangat-sangat memuliakan Khadijah sebagai istrinya. Pernah suatu ketika, Aisyah cemburu tidak suka Nabi menyebut nama Khadijah, Nabi pun menjelaskan bahwa Khadijah adalah istri yang paling dimuliakannya. “Dia menerimaku pada saat orang mendustakanku. Dia yang memuliakanku pada saat semua orang menghinakanku. Dia telah menyerahkan seluruh hartanya demi dakwah ini. Bahkan dia pula yang melahirkan anak-anakku,” demikian kenang Nabi sebagai bentuk hormat dan kasih yang mendalam beliau yang mulia kepada istri pertamanya Khadijah radhiyallahu anha. Khadijah menemani hidup Nabi selama 25 tahun sampai dirinya berpulang 3 tahun sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Meninggalnya Khadijah membuat Nabi berduka sehingga tahun wafatnyanya dinamai oleh Nabi dengan ‘Am Al-huzni' (tahun duka cita). Khadijah adalah istri yang paling di cintai Nabi sehingga sampai sekian lama setelah ketiadaannya Nabi senantiasa menyebut namanya, hal itu pernah membuat ‘Aisyah cemburu. Akar Kebahagiaan Sikap saling memuliakan adalah akar kebahagiaan. Sikap tersebut tidak akan muncul kecuali suami istri benar-benar mengamalkan ajaran Islam. Oleh karena itu, sudah seharusnya, seluruh rumah tangga Muslim bersegera untuk memperbaiki kondisi keluarganya dengan bersegera untuk saling memuliakan antara suami dan istri. Ibn Abbas radhiyallahu anhu adalah sosok sahabat yang sangat mengerti bagaimana cara memuliakan istrinya. Dia berkata, “Aku sungguh senang berdandan untuk istriku, sebagaimana aku senang jika dia berdandan untukku, karena Allah Ta’ala berfirman; َّﻦُﻬَﻟَﻭ ُﻞْﺜِﻣ َّﻦِﻬْﻴَﻠَﻋ ﻱِﺬَّﻟﺍ ِﻑﻭُﺮْﻌَﻤْﻟﺎِﺑ “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (QS: al Baqarah [2]: 228). Sungguh tak elok, jika seorang suami hanya menuntut istrinya berdandan, sementara dirinya tidak memperhatikan dandanannya. Adalah suatu kebaikan suami istri saling bersikap ramah, lemah lembut, penuh kasih, melayaninya dengan sebaik-baik pelayanan dan saling memuji serta saling mendoakan. Dengan cara seperti itu, Insya Allah istri akan bangga kepada suami begitu juga sebaliknya. Bahkan jika sang istri menemui ajal lebih dahulu dari suami, sementara suami ridha dengan sikap dan perilaku istrinya selama bersamanya, maka surga sudah siap menjemputnya. Rasulullah bersabda, “Setiap istri yang meninggal, dan suaminya ridha, maka dia akan masuk surga.” (HR:Tirmidzi). Dengan demikian, jika suami istri ingin langgeng pernikahannya, berhasil mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah, bahkan bisa melahirkan generasi kebanggaan, maka sudah seharusnya setiap pasangan menanam dalam-dalam akar kebahagiaan ini, yaitu saling memuliakan antara istri dan suami. Seperti itulah yang juga dicontohkan oleh Ashim bin Umar bin Khaththab ketika menikah dengan gadis miskin penjual susu. Ashim tidak melihat istrinya dari status sosialnya, tetapi dari ketakwaannya yang telah mempesona sang ayah, sehingga memerintahkan Ashim untuk menikah dengannya. Ashim pun memuliakan istrinya dengan sebaik-baiknya hingga akhirnya lahirlah putri mereka yang diberi nama Laila yang kemudian dikenal sebagai Ummu Ashim. Ummu Ashim pun kemudian dinikahi oleh Abdul Aziz bin Marwan, sampai akhirnya lahirlah seorang cucu yang ketika besarnya menjadi kebanggaan umat Islam, Umar bin Abdul Aziz. Resep Kebahagiaan Adalah idaman siapapun, pernikahannya menjadi pernikahan yang berkah dunia akhirat. Dan, saling memuliakan antara suami dan istri adalah akar dari terwujudnya dambaan tersebut. Atas halitu Asma ibn Kharijah memberi nasehat yang sangat bagus kepada putrinya pada saat melangsungkan pernikahannya. “Wahai anakku, sesungguhnya engkau telah keluar dari kehidupan yang engkau jalani menuju ke peraduan yang tidak engkau kenali sebelumnya dan hidup bersama dengan orang yang sebelumnya tidak engkau kenal. Maka jadilah engkau sebagai bumi bagi suami niscaya dia akan menjadi langit bagimu, jadilah engkau sebagai tempat tidur baginya niscaya dia menjadi tiang penyanggamu. Jadilah engkau sebagai seorang hamba sahaya wanitanya, niscaya dia akan menjadi soerang hamba sahaya laki-lakimu. Janganlah engkau menjauh darinya hingga ia akan melupakanmu, kalau ia memanggilmu, maka dekatilah ia, jagalah penciuman, pendengaran dan matanya. Ia tidak akan mencium apapun darimu kecuali yang indah.” Jika demikian, tunggu apalagi, mari berlomba-lomba memuliakan pasangan kita. Insya Allah kebahagiaan akan menyertai kita, bahkan kehadiran generasi (anak-anak) penuh iman dan takwa akan mendampingi kehidupan kita hari ini dan kelak di akhirat. Semoga.*/ Imam Nawawi

wajib tolak UU KKG

Selamatkan Keluarga Indonesia... Selamatkan Wanita Indeonesia.. Selamatkan Anak Bangsa... Tolak RUU KG Upaya legalisasi RUU KG tidak lepas dari ratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) yang disahkan Indonesia menjadi UU No. 7/1984. Kemudian UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia menguatkan keseriusan Pemerintah dalam menjamin pemenuhan hak perempuan. Pasal 45 UU itu menyatakan: Hak wanita dalam Undang-Undang ini adalah hak asasi manusia. Selain alasan yuridis, tinjauan sosiologis juga menjadi aspek yang melatarbelakangi RUU ini. Dalih klasik yang acap dilontarkan pegiat jender adalah perempuan masih mengalami diskriminasi dalam keluarga, masyarakat dan negara. Merekalah obyek penderita akibat pembedaan, pengucilan, pembatasan, dan segala bentuk kekerasan berdasar jenis kelamin. Akibatnya, kebebasan menikmati hak politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau lainnya berkurang, bahkan terhapus. Walaupun Indonesia telah memiliki beberapa UU berbasis jender, ternyata semua itu tak cukup kuat menjadi landasan gerakan pengarusutamaan jender. Inpres No.9/2000 tentang Pengarus Utamaan Gender (PUG) yang lahir pada masa Abdurrahman Wahid belum mampu menjadi undang-undang payung ( umbrella act ). Maka dari itu, melegalkan UU yang mengatur hak warga negara dan kewajiban negara untuk mewujudkan kesetaraan jender adalah ambisi yang harus direalisasi. Sesi ke-39 Sidang Komite CEDAW PBB pada 23 Juli-10 Agustus 2007 secara khusus memberi beberapa catatan pelaksanaan agenda CEDAW di Indonesia. Komite memuji komitmen Indonesia terhadap mekanisme PUG dalam pembangunan nasional. Demi memastikan pemberlakuan konvensi itu, Komite meminta Pemerintah segera menuangkannya dalam hukum nasional. Bahkan dengan terus-terang Indonesia didorong untuk melakukan studi banding tentang kodifikasi dan penerapan tafsir progresif terhadap hukum Islam. Karena itulah mereka memerlukan dukungan bagi reformasi hukum, termasuk menjalin kemitraan dengan lembaga penelitian yurisprudensi Islam, masyarakat sipil, organisasi non-Pemerintah dan tokoh masyarakat yang mendukung kesetaraan perempuan. Dokumen itu sengaja diminta untuk dipublikaskan tentu dengan maksud untuk memberikan petunjuk bahwa beginilah seharusnya arah pembangunan jender di Indonesia. Bukankah bisa kita simpulkan bahwa keislaman mayoritas penduduk Indonesia hanya menjadi obyek perubahan agenda internasional? Karena itulah, sejak pembukaan, RUU ini telah mengundang kontroversi paradigmatis. Kewajiban meratifikasi dan mengimplementasikan konvensi internasional yang bahkan diikuti dengan sanksi menunjukkan bahwa Indonesia tidak cukup berdaulat untuk memperhatikan kepentingan rakyat yang mayoritas Muslim. Menohok Ideologi Islam Selain CEDAW , RUU ini juga merujuk pada Beijing Platform For Action (BPFA) sebagai landasan aksi. Secara lebih khusus perspektif jender diintegrasikan dalam pencapaian Millenium Developments Goals . Semuanya adalah permufakatan yang didasari dogma sekularisme dalam memandang persoalan perempuan. Bila dibiarkan, PUG akan menjadi bola liar yang mengarahkan perempuan menuju liberalisme yang makin liar. Karena itu, upaya mengkritisi RUU ini harus dilakukan secara paradigmatis, Islam versus Kapitalisme. 1. Ketentuan umum. Ketentuan umum pada RUU ini diawali dengan definisi jender, kesetaraan jender, diskriminasi, pengarusutamaan jender dan perangkat pelaksananya. Tentu diskriminasi menjadi pemicu utama kelahiran RUU ini. Diskriminasi didefinisikan sebagai segala bentuk pembedaan dan kekerasan berdasar jenis kelamin yang berpengaruh untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan manfaat/ penggunaan HAM dan kebebasan di segala bidang. Islam, bagi Barat, adalah diskriminan kelas wahid terhadap perempuan. Aturan syariah seperti batasan aurat, pakaian ( hijab), pemimpin negara, tanggung jawab keibuan, relasi suami-istri, perkawinan, dan perwalian dianggap kontradiktif terhadap konsepsi jender. Islam lekat dengan idiom patriarkis (memihak laki-laki), bahkan banyak ayat dan hadis yang dituduh memiliki muatan misogynist (membenci perempuan). Semangat RUU ini untuk membebaskan perempuan dari diskriminasi adalah dengan memberikan kemitraan seimbang antara perempuan dan laki-laki, termasuk dalam perkawinan dan peran kenegaraan. Karena itu, hal itu akan diterjemahkan sebagai gugatan terhadap hukum-hukum Islam yang dinilai mensubordinasi (merendahkan) perempuan seperti masalah izin istri kepada suami/wali, nusyuz , poligami, kepala keluarga, juga keharaman perempuan menjadi kepala negara/ pemerintahan. 2. Tujuan penyelenggaraan KG. Mewujudkan keadilan di segala bidang kehidupan bagi perempuan dan laki-laki adalah tujuan umum yang terangkum dalam RUU ini. Membedakan hak dan kebebasan seseorang karena jenis kelamin adalah ketidakadilan. Tidak boleh membedakan perempuan karena pandangan tertentu—apalagi agama, terutama Islam—terhadap peran dan fungsinya dalam kehidupan. Dengan jelas poin f Pasal 3 menyatakan akan menghapus segala praktik yang didasarkan atas inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin. Artinya, peran khas laki-laki sebagai qowwam ‘ala an- nisa’ dan perempuan sebagai umm[un] wa rabbah al- bayt adalah pembedaan yang layak untuk dihapuskan. 3. Hak dan kewajiban warganegara Pasal 8-b menyatakan setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan melalui peraturan yang tidak diskriminatif jender. Peraturan diskriminatif—yang mereka kategorikan sebagai perundang-undangan yang tidak jelas rumusannya—jelas menyasar pada peraturan bernuansa syariah. Data yang dihimpun Komnas Perempuan sampai akhir September 2010 menunjukkan ada 189 Perda diskriminatif. Di antaranya mengenai khalwat di Aceh, pemberantasan pelacuran di Jawa Barat, keharusan berpakaian Muslim dan Muslimah di Bulukumba, serta pelarangan keluar malam bagi perempuan di Tanggerang. Komite CEDAW memberikan catatan khusus agar Pemerintah mengidentifikasi dan melakukan revisi terhadap Perda tersebut. Selain desentralisasi yang mengakibatkan diskriminasi perempuan, Komite juga mengkhwatirkan kebangkitan kelompok agama fundamentalis. Selanjutnya Pasal 9 ayat (1) menyatakan kesempatan yang sama dan perlakuan yang adil dalam pemenuhan hak kesehatan reproduksi, hak pendidikan, hak ekonomi dan ketenagakerjaan, keterwakilan perempuan, perkawinan dan hubungan keluarga. Keadilan pada hak ekonomi mencakup peniadaan izin perempuan dari keluarganya sebelum bekerja pada malam hari. Terpenuhinya hak reproduksi mencakup ketidakharusan izin suami soal sterilisasi dan aborsi. Komite juga menganjurkan jaminan agar perempuan/ anak perempuan mendapatkan informasi dan pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk kemudahan mendapatkan kontrasepsi bagi remaja untuk mengurangi tingkat aborsi tidak aman dan kehamilan. UU Perkawinan No. 1/1974 disebut Komite CEDAW mengabadikan pandangan diskeiminatif. Undang-undang itu juga dianggap tidak melindungi perempuan karena melegalkan poligami dan perkawinan dini pada perempuan berusia 16 tahun. Demi memperbesar keterwakilan perempuan, Komite mendesak Indonesia untuk memperkuat sistem kuota 30 persen bagi calon perempuan sebagai syarat wajib dalam UU Pemilu, dengan memastikan sanksi apabila syarat itu tidak dipenuhi. 4. PUG: Partisipasi masyarakat, penghargaan dan sanksi. Pengarusutamaan jender adalah strategi untuk mengintegrasikan perspektif jender atas kebijakan dan program pembangunan nasional, termasuk penghapusan segala bentuk diskriminasi dan perlindungan terhadap perempuan. Pemberdayaan masyarakat menjadi kata kunci PUG, termasuk meminta keterlibatan dunia usaha dan swasta. Pasal 20 RUU ini mencantumkan sanksi administratif atau pemberian disinsentif bagi pihak yang mencedarai komitmen PUG. Bahkan Pasal 21 ayat (2) menentukan bila terjadi tindak pidana yang dilatarbelakangi diskriminasi jender. Pidananya dapat ditambah sepertiga dari ancaman maksimum pidana yang diancamkan dalam KUHP dan UU lainnya. Jelas, ini adalah upaya untuk mendudukkan hukum positif di atas hukum syariah ciptaan Allah yang Mahatinggi! Islam Tak Memerlukan PUG Sebagaimana Kapitalisme, kelahiran ide jender berangkat dari pandangan absurd yang meniadakan penghargaan bagi perempuan. Karena itulah perempuan di luar Dunia Islam perlu berjuang untuk mendapatkan keadilan. Pada tahun 1777 perempuan di beberapa negara bagian Amerika Serikat belum mendapatkan hak pilih dalam Pemilu. Baru tahun 1920 mereka boleh memilih. Adapun di Dunia Islam, sejak abad ke-7 M Rasulullah saw. telah memberi kesempatan pada Ummu Imarah dan Ummu Mani’ untuk menjadi naqibah (wakil kelompok) bagi delegasi Baiat ‘Aqabah II. Hak mendapatkan pendidikan medis pun baru dirasakan perempuan AS saat tahun 1850 saat didirikan Female Medical College of Pennsylvania . Adapun Khilafah Utsmaniyah pada tahun 1470 telah memiliki sekolah kedokteran di RS Al-Fatih dan membolehkan perempuan menjadi mahasiswanya. Sebuah risalah abad 15 M berjudul Cerrahiyet Ul Haniye of Sabuncuoglu menunjukkan dokter perempuan pada masa Utsmaniyah terlibat dalam operasi pasien perempuan. Setiap aturan yang diberlakukan Allah SWT menjamin keadilan bagi seluruh manusia. Melaksanakan Islam kaffah bukan berarti mengancam kebebasan, bahkan justru menyelamatkan masyarakat khususnya generasi muda dari kebebasan yang tidak bertanggung jawab. Hakikat kedudukan perempuan dan laki-laki secara syariah adalah setara. Pelaksanaan hak dan kewajiban berlaku seimbang di antara keduanya. Namun, secara fitrah penciptaan, Allah telah membedakan keduanya dalam rangka mengemban misi kehidupan.Perbedaan tersebut diciptakan bukan untuk mendiskri-minasikan perempuan, tetapi demi harmonisasi peran masing- masing. Hikmah pembedaan hukum yang berkaitan dengan erempuan sejatinya adalah perlindungan terhadap kehormatan dan kesucian perempuan, sesuatu yang tidak disadari dan dipahami kaum feminis. Maka dari itu, Islamlah jaminan kelestarian generasi yang tangguh, bebas dari krisis keyakinan dan moralitas

Wahai penjsjah jgn paksa kami untuk setara

Kejamnya Penjajahan Baru Jangan Paksakan Kami Untuk Setara! Oleh: Sarah Mantovani USAHA kaum feminis Indonesia agar terciptanya Kesetaraan Gender di Indonesia tidak berhenti pada usaha pembuatan CLD-KHI (Counter Legal Draft- Kompilasi Hukum Islam) saja tetapi sudah mencapai pembentukan rancangan undang-undang tentang Kesetaraan Gender. Salah satu bunyi dari Pasal 1 Rancangan Undang- Undang Kesetaraan Gender yang rencananya akan di sahkan tahun ini adalah; “Kesetaraan Gender adalah kondisi dan posisi yang menggambarkan kemitraan yang selaras, serasi, dan seimbang antara perempuan dan laki-laki dalam akses, partisipasi, kontrol dalam proses pembangunan, dan penikmatan manfaat yang sama dan adil di semua bidang kehidupan” (Ps. 1 RUU Kesetaraan Gender) Secara sekilas, memang kita tidak akan melihat keganjilan atau sesuatu yang aneh dalam RUU Kesetaraan Gender, tetapi saya baru menemukan keganjilan saat membaca naskah akademik RUU tersebut, terutama pada saat membaca asas-asas yang di pergunakan dalam membuat RUU Kesetaraan Gender pada halaman 23, yang salah satunya adalah CEDAW ( Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women ). Karena di dalam CEDAW, pada pasal 11 ayat (1) poin b menyebutkan bahwa: “Negara-negara peserta akan mengambil segala tindakan yang pantas untuk menghapus diskriminasi terhadap kaum wanita di bidang pekerjaan guna menjamin, atas dasar persamaan kaum pria dan wanita, hak yang sama, khususnya: (b) Hak untuk memperoleh kesempatan-kesempatan kerja yang sama, termasuk penerapan kriteria seleksi yang samadalam masalah pekerjaan”. Yang berarti dalam pasal tersebut, apabila wanita masuk dalam akademi/sekolah militer, dia juga harus menjalani tes fisik yang sama seperti yang diberlakukan kepada kader pria. Sedangkan, di Inggris saja, saat pemerintahnya memberlakukan “Gender Free Aproach” pada tahun 1997 dalam merekrut tentaranya dan memberlakukan ujian fisik yang sama kepada kader pria dan wanita maka yang terjadi adalah tingkat cedera yang tinggi di kalangan kader wanita. Kemudian, dalam Perang Teluk, satu per 10 kru wanita Kapal Perang Amerika USS Acadia dikembalikan karena hamil di perjalanan menuju atau di medan perang, sementara jumlah tentara pria yang dikembalikan: Nol. Kapal itu kemudian diolok-olok dan diganti namanya menjadi The Love Boat. (Santi Soekanto, “Gerakan Feminisme Kembali ke Sunnatullah”, 22 April 2006, www.hidayatullah.com .) Nah, yang menjadi pertanyaannya adalah: Sanggupkah jika kita-para perempuan mengalami seperti apa yang di alami oleh kader tentara wanita Inggris di atas jika hal tersebut juga di berlakukan di Negara kita? Selain itu, apakah RUU Kesetaraan Gender memang benar-benar sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan di negara kita? Dalam hal ini, hak-hak yang diperjuangkan memang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama yang di anut di Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam pasal 28 J ayat (2) tentang Hak Asasi Manusia?. Keganjilan lain pasal-pasal yang di adopsi dari CEDAW ke dalam RUU Kesetaraan Gender, terutama pada pasal 1, pasal 9, pasal 11, pasal 13 dan pasal 16 CEDAW. Sebagian pasal-pasal yang telah di adopsi dari CEDAW tersebut juga akan membawa implikasi yang sangat serius bagi kehidupan beragama umat Islam Indonesia terutama dalam hal hukum keluarga. Karena dalam pasal 16 ayat 1 huruf (b) dan (h), menyebutkan: “Negara-negara peserta akan mengambil tindakan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap kaum wanita dalam segala hal yang berkaitan dengan perkawinan dan hubungan-hubungan keluarga dan khususnya akan menjamin, atas dasar persamaan kaum pria dan kaum wanita : (h) Hak yang sama bagi kedua pasangan dalam hal pemilikan, perolehan, pengelolaan, penguasaan, penikmatan dan pembagian harta kekayaan, baik cuma- cuma ataupun dengan pertimbangan nilai”. Pasal di atas perlu diperhatikan, karena jika hal tersebut di kaitkan dengan pembagian harta kekayaan dari kedua pasangan untuk anak laki-laki dengan anak perempuan dalam hak waris. Sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. An-Nisaa’ ayat 11; "... bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan [272]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua [273], maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta..." [QS: An Nisaa':11] Jika yang dimaksudkan adalah "kesetaraan" dalam hal- hal yang tertulis dalam al-Quran menyangkut hubungan perkawinan (sebagaimana kasus waris tadi), maka, bukan tak mungkin para aktivis gender akan berusaha mempertanyakan ulang atau setidaknya mengotak-atik ketentuan nash dalam al-Quran. Feminisme dan Krisis Identitas Istilah feminisme sendiri berasal dari bahasa Latin femina, perempuan. Konon dari kata fides dan minus kemudian menjadi fe-minus . Gerakan feminisme sendiri lahir dari Barat, sekitar pada abad 18, dimana para wanitanya pada masa itu, diperlakukan secara tidak manusiawi dan menjadi korban inquisisi (penyiksaan atas kesalahan dalam beragama). Bisa di pastikan bahwa gerakan feminisme merupakan gerakan yang lahir dari pemberontakan total terhadap segala sesuatu yang di anggap telah mendiskriminasi/ menindas wanita. Dalam perkembangannya, feminisme pada akhirnya mengakui keabsahan homoseks dan lesbianisme secara religius, kemudian tanpa malu-malu lagi, para penyokong feminis radikal mendeklarasikan bahwa wanita dapat hidup dan memenuhi kebutuhan seksnya tanpa laki-laki . Nah, yakinkah bahwa kita bisa hidup tanpa laki-laki? Mungkin kasus Bella Abzug, bisa kita jadikan sebagai cermin. Bella merupakan icon feminisme dan perempuan aktivis feminisme dari kalangan Yahudi yang ikut berperan besar dalam penggodokan Plan of Action Konferensi Beijing 1995. Selama puluhan tahun Bella berada di garis depan kaum feminisme yang menyuarakan kemandirian dan kesamaan hak bagi perempuan di segala lini. Ketika Bill Clinton berkuasa, dia menjadi salah satu pendukung vokal Partai Demokrat. Di belakang wanita yang tampak perkasa ini terdapat Martin, suaminya yang pendiam yang selalu mendukung semua sepak terjangnya. Dalam majalah Ms. 1990, Bella menulis artikel “ Martin, What Should I Do Now?” (Martin, Apa yang Harus Kulakukan Kini?) tentang betapa kematian Martin membuatnya bagai kapal kehilangan kemudi. Dan kaum muslimah Indonesia yang menyebarkan maupun menganut paham semacam ini seperti sedang di landa krisis identitas, karena mereka tak percaya dengan hak, peran maupun kedudukan mereka sebagai perempuan telah di jamin dan di atur oleh Islam, sehingga mereka harus mengadopsi mentah-mentah segala konvensi yang datang dari Barat tanpa harus berkaca kembali pada nilai-nilai Islam. Sebagai seorang muslimah, semestinya kita juga malu pada penganut agama lain, karena sejak lima tahun lalu, wanita Kristen Indonesia sudah di antisipasi untuk menghindari gerakan feminisme. (SHINE: Wanita Kristiani Harus Hindari Gerakan Feminisme, 04 October 2006), bahkan gereja Katolik Prancis juga sudah mewaspadai bahayanya teori gender ini karena teori Gender yang di ajarkan bertentangan dengan ajaran Katolik. ( Gereja Prancis Waspadai Teori Gender, Indonesia Malah Bangga, hidayatullah.com, 29 September 2011). Di dalam Islam pun, hubungan antara laki-laki dan perempuan sudah di atur sedemikian rupa. Laki-laki berkewajiban mencari nafkah sedangkan perempuan mengasuh dan mendidik anak-anaknya, meski memang tak menutup kemungkinan perempuan juga ikut membantu perekonomian keluarga tetapi tentunya harus mendapatkan izin dan pertimbangan dari suaminya. Jika kesetaraan gender membawa dampak buruk terhadap nilai-nilai agama, maka, jangan paksakan kami untuk setara!. Penulis sedang menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Pamulang

Selamatkan perempuan

Oleh : Dr. Dinar Dewi Kania* Saat ini, kita disungguhkan kembali kepada sebuah drama tragis pemerkosaan terhadap mahasiswi India berusia 23 tahun yang dilakukan sekelompok laki-laki dan berujung kepada tewasnya mahasiswi tersebut. Sebelumnya, kita juga mendengar para aktivis feminisme di Perancis berdiri di depan Patung Venus de Milo, memprotes tindak pemerkosaan yang terjadi di Tunisia dengan melakukan aksi telanjang dada, mempertontonkan aurat mereka sambil mengangkat tangan dan meneriakkan “Kami di sini untuk menghentikan pemerkosaan”. (lihat www.islampos.com ) Sudah sepantasnya kita berempati kepada para korban pemerkosaan dan keluarganya. Namun yang kini menjadi pertanyaan besar adalah bagaimana mengatasi tindak kejahatan seksual terhadap diri perempuan yang secara alamiah memang rentan terhadap bahaya kekerasan tersebut ? Apakah para aktivis feminis, yang selalu berteriak lantang apabila terjadi kekerasan terhadap perempuan yang menyita perhatian publik, menawarkan sebuah solusi yang dapat meminimalisir potensi bahaya tersebut dari diri perempuan? Jawabannya adalah tidak. Feminisme tidak pernah datang dengan solusi, namun ia justru menambah problem sosial di tengah masyarakat. Hanya Islam satu- satunya agama yang mampu menjamin keselamatan dan keamanan diri perempuan. Mengapa ? Feminisme dan liberalisme memiliki akar yang sama yaitu relativisme, paham yang menganggap bahwa benar atau salah, baik atau buruk, senantiasa berubah- ubah dan tidak bersifat mutlak, tergantung pada individu, lingkungan maupun kondisi sosial. Maka tak heran jika gerakan feminis menyatakan dirinya sebagai ”gerakan pembebasan perempuan“. Di negara-negara Barat, kebebasan tersebut kemudian diterjemahkan sebagai hak untuk melepaskan segala ikatan yang membelenggu aktivitas perempuan dalam mengaktualisasikan dirinya di ranah publik, baik ikatan agama maupun moralitas. Bangsa Perancis mulai memandang hubungan di luar nikah sebagai sesuatu yang biasa menjelang akhir abad ke 19, begitu juga negara Eropa lainnya dan Amerika. Isu kebebasan telah membuat perzinahan diakui sebagai hak individu dan bukan merupakan tindakan melanggar hukum. Laki-laki dan perempuan hidup bersama tanpa ikatan perlahan- lahan memperoleh status legal sehingga banyak perempuan di Barat memilih untuk tidak menikah dan menganggap pernikahan sebagai bentuk pengekangan terhadap kebebasan. Isu kebebasan telah membuat kaum perempuan tidak malu-malu lagi mengeksploitasi tubuh mereka dengan alasan perempuan memiliki kontrol penuh atas tubuh mereka sendiri. Logika feminis adalah, “tubuh kami adalah milik kami, kami berhak memperlakukan tubuh ini sesuai kehendak kami. Bahkan jika kami ingin mempertontonkan bagian yang paling pribadi di depan umum, itu adalah hak asasi kami. Tidak boleh ada yang mengatur cara kami berpakaian, baik negara atau agama sekalipun.” Begitulah kira-kira cara pandang kaum feminis. Dan itu telah mereka buktikan dengan aksi telanjang dada para feminis Perancis. Para feminis merasa aksi pemerkosaan dan kekerasan yang terjadi terhadap perempuan adalah murni kesalahan laki-laki yang tidak bisa mengekang hawa nafsunya. Mereka tidak pernah mau dipersalahkan bahwa prilaku dan kebebasan mereka dalam mengeskpresikan diri telah berkontribusi pada maraknya aksi kekerasan seksual terhadap kaum perempuan. Sehingga tidak heran apabila Islam yang berusaha melindungi keselamatan dan keamanan perempuan dengan mewajibkan pemeluknya untuk menggunakan hijab dan mengatur perilaku perempuan di ranah publik justru dianggap telah melakukan deskriminasi dan pengekangan terhadap hak-hak perempuan. Kita semua sepakat, bahwa kejahatan terjadi bukan hanya karena ada sekumpulan manusia yang berperilaku jahat, namun kejahatan timbul karena adanya kesempatan yang memudahkan para pelaku kejahatan itu melakukan aksi mereka. Bahkan dalam teori pengendalian terhadap resiko atau potensi bahaya ( hazard ) yang dikeluarkan ILO disebutkan bahwa kecelakaan dapat dihindari dengan melakukan sejumlah langkah pencegahan, diantaranya adalah pengaturan administratif berupa penerapan prosedur dan aturan yang jelas serta penggunaan alat pelindung diri. Seorang pekerja dianjurkan untuk berperilaku aman ( safety behavior) dan akan dikenakan sangsi apabila membiarkan dirinya terekspose dalam kondisi bahaya atau melakukan tindakan yang mengancam keselamatan dirinya atau orang lain ( unsafe behavior) , contohnya adalah tidak bekerja sesuai SOP ( standard operating prochedure) atau tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) pada saat bekerja. Hal yang sama sebenarnya dapat diterapkan dalam menjaga keselamatan dan keamanan perempuan dari bahaya tindak kekerasan seksual. Kita tidak bisa menuntut pemerintah dan masyarakat untuk menjamin keselamatan dan keamanan perempuan, apabila kaum perempuan sendiri membiarkan dirinya terekspos dalam kondisi bahaya dan melakukan tindakan yang dapat mengancam keselamatan mereka. Contoh tindakan yang dapat dikategorikan sebagai unsafe behavior bagi perempuan diantaranya adalah bepergian ketika malam telah larut tanpa pendamping, menggunakan perhiasan berlebihan ketika berada di tempat umum seperti di pasar atau angkutan umum, menggunakan pakaian yang mempertontonkan aurat dan berprilaku di luar batas kesopanan sehingga mengundang pria untuk menyalurkan hasrat seksualnya kepada kaum perempuan melalui tindak kejahatan. Bahaya memang tidak bisa dihilangkan 100 persen, bahkan dalam teori keselamatan, zero accident bukan berarti tidak terjadi kecelakaan sama sekali, namun ia adalah kondisi dimana semua upaya pencegahan telah dilakukan semaksimal mungkin. Jadi masuk akal, apabila syariat Islam memberikan aturan yang jelas terhadap perilaku perempuan di ranah publik. Hal tersebut bukanlah bentuk deskriminasi, namun merupakan sebuah proteksi bagi perempuan dari tindak kekerasan yang mengancam keselamatan dirinya. Dalam al-Quran surat an-Nur ayat 30, keharusan untuk menjaga pandangan dan memelihara kemaluan juga diperintahkan kepada para laki-laki mukmin. Artinya, Islam tidak hanya mengatur perilaku perempuan namun juga mengatur perilaku laki-laki agar kemashlahatan dapat tercipta dalam masyarakat dan negara. Proteksi yang bersifat individual terntunya harus ditunjang dengan kebijakan negara/ pemerintah yaitu dengan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk menjamin keselamatan dan keamanan perempuan dari tindak kejahatan seksual. Diantaranya adalah dengan memberikan sangsi hukum yang tegas kepada para oknum yang menyemarakkan bisnis pornografi di tengah masyarakat, mencegah dan menindak kaum laki-laki yang hendak mengeksploitasi perempuan dan juga mencegah serta menindak kaum perempuan yang mengeksploitasi diri mereka sendiri. Islam adalah satu-satunya agama dan padangan hidup yang terbukti dapat memberikan keselamatan dan keamanan bagi perempuan melalui aturan yang jelas dan universal, baik di ranah domestik maupun publik, dalam lingkup individu maupun lingkup masyarakat atau negara. Oleh karena itu, umat Islam hendaknya tidak terjebak oleh provokasi kaum feminis yang seolah- olah berjuang untuk kaum perempuan padahal feminisme adalah paham yang konsepnya sangat absurd dan saling kontradiksi satu sama lain. Bahkan para aktivis feminis tersebut tidak pernah sepakat mengenai konsep kebebasan yang mereka perjuangkan, walaupun lisan mereka berucap dengan penuh keyakinan meneriakkan jargon “bebaskan kaum perempuan”. Sumber http://thisisgender.com/keselamatan-dan- keamanan-bagi-perempuan/

feminis radikal paling berbahaya

Inilah Mazhab Paling Liberal Paling Berbahaya untuk Wanita.. Semoga kita masih punya akal fikiran yang berfungsi normal... Istilah mazhab Chicago mencuat saat saya mengikuti seminar Feminisme dan Kesetaraan Gender pada 22/12/2011 lalu. Istilah ini dilontarkan oleh seorang Doktor Sosiologi perempuan di perguruan tinggi Islam negeri di Jakarta ketika ia menjadi salah satu pembicara seminar. “Dulu saya ini memang bermazhab Syafi’i tapi sekarang saya bermazhab Chicago”, ungkapnya saat seminar. Lahirnya istilah itu makin memperkuat asumsi bahwa gerakan feminisme di Indonesia semakin mem-Barat. Parahnya lagi, ideologi ini telah dimasukkan ke dalam RUU Kesetaraan Gender yang saat ini sedang digodok oleh DPR dan menjadi UU Prioritas di tahun 2012 (lihat hidayatullah.com, RUU KG Ancam Keutuhan Keluarga, 20/02). Gerakan feminisme selalu berkembang dengan beragam mazhab. Tapi sikap-sikap radikal tampaknya tidak bisa ditanggalkan. Contohnya seperti yang saya temukan dalam sebuah blog milik seorang feminis yang menulis pengalamannya selama hamil. Dalam tulisannya yang berjudul, “Feminis, ASI dan Klas”, ia seperti ingin memperlihatkan kebenciannya menjadi seorang Ibu. “Dulu, saat hamil, saya sering sesumbar: tidak mau menyusui anak. Saya hanya akan kasih susu Sapi. Saya tidak mau menghabiskan waktu untuk menyusui. Saya sangat paham hak anak, tapi my body is my right! Enak saja semua tanggung jawab ini jadi beban perempuan. Mulai dari hamil, melahirkan dan menyusui. Rasanya tidak adil”, begitu ungkapnya. Gaya feminis seperti di atas dapat disebut radikalisme feminis mazhab Chicago, baik itu dengan menirukan pemikiran feminis secara sebagian atau keseluruhan dari Barat. Tentu gerakan seperti ini mengkhawatirkan, karena gerakan ini dari tahun ke tahun semakin radikal, tepatnya sejak Indonesia meratifikasi CEDAW atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Dari hasil ratifikasi tersebut, lahir UU No. 7 tahun 1984, yang kemudian disusul dengan terbitnya UU. No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, upaya legalisasi aborsi melalui UU Kesehatan dan adanya upaya membuat Counter Legal Draft-Kompilasi Hukum Islam tandingan yang dibuat oleh Prof. Musdah Mulia bersama tim pengarusutamaan gendernya pada tahun 2008 lalu. Dalam bidang politik, aktivis feminis juga berada di belakangnya keluarnya UU Pemilu tahun 2008 tentang kuota Caleg perempuan sebanyak 30 persen. (Dinar Kania, Isu Gender: Sejarah dan Perkembangannya, Jurnal ISLAMIA Vol III No. 5, hlm. 27). Sejarah Feminisme Istilah feminisme sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Latin, femina, yang artinya perempuan. Konon dari kata fides dan minus yang kemudian menjadi fe- minus . Gerakan feminisme sendiri lahir dari Barat, sekitar pada abad 18, dimana para wanitanya pada masa itu, diperlakukan secara tidak manusiawi dan menjadi korban inquisisi (penyiksaan atas kesalahan dalam beragama). Bisa di pastikan bahwa gerakan feminisme merupakan gerakan yang lahir dari pemberontakan total terhadap segala sesuatu yang di anggap telah mendiskriminasi/menindas perempuan. (Hamid Fahmy Zarkasy, Problem Kesetaraan Gender dalam Studi Islam , Jurnal ISLAMIA vol III, hlm. 3) Bukti bahwa feminisme dan gender berasal dari Barat dapat kita telusuri dari literatur mereka, menurut Mary Wollstonecraft dalam bukunya yang berjudul A Vindication of The Rights of Women, pada abad ke 18, perempuan mulai bekerja di luar rumah karena didorong oleh kapitalisme industry. Maka, tidak heran jika perempuan Barat pada zaman industri saat itu dibingungkan dengan dua pilihan: menjadi wanita karir ataukah Ibu Rumah Tangga (lihat Taylor, Enfranchisement of Women , 1851). Dalam perkembangannya, aktivis feminis radikal mengusik pembagian hak dan tanggung jawab seksual serta reproduksi perempuan dan laki-laki yang dianggap tidak adil. Sebab perempuan sering diposisikan sebagai alat pemuas laki-laki. Feminisme pada akhirnya mengakui keabsahan homoseks dan lesbianisme secara religius, kemudian tanpa malu-malu lagi, para penyokong feminis radikal juga mendeklarasikan bahwa perempuan dapat hidup dan memenuhi kebutuhan seksnya tanpa laki-laki. Itulah ide awal yang melahirkan praktek seks menyimpang yang disebut lesbianisme di Barat. (Hamid Fahmy Zarkasy, op. cit., hlm. 5). Hal ini sejalan pula dengan tanggapan dari Rena Herdiyani, selaku Direktur Eksekutif LSM Kalyanamitra yang merupakan salah satu penggagas RUU Kesetaraan Gender, saat saya tanyai tentang hak-hak transgender dalam RUU Kesetaraan Gender via email, Jum’at 17/02 lalu, “Tidak secara spesifik memuat hak-hak transgender, tetapi UU ini diharapkan dapat melindungi perempuan dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi berdasarkan apapun, termasuk jenis kelamin, etnis, status perkawinan, kehamilan, usia, kecacatan, penyakit atau kondisi kesehatan yang menimbulkan stigma, orientasi seksual, identitas gender, status sosial, status ekonomi, jenis pekerjaan, atau status lainnya”. Mengancam Keluarga Salah satu pasal dalam RUU Kesetaraan Gender yang bisa menimbulkan perdebatan adalah pasal 1 ayat 2. Pasal itu berbunyi: “Kesetaraan Gender adalah kondisi dan posisi yang menggambarkan kemitraan yang selaras, serasi, dan seimbang antara perempuan dan laki-laki dalam akses, partisipasi, kontrol dalam proses pembangunan, dan penikmatan manfaat yang sama dan adil di semua bidang kehidupan”. Berdasarkan pasal di atas, pasal ini menganjurkan pada perempuan Indonesia agar bisa setara posisi dan kondisinya dengan laki-laki di semua bidang kehidupan, termasuk ranah agama. Mengenai hal ini yang paling sering dipersoalkan oleh aktivis Feminis adalah Hak Waris antara laki-laki dan perempuan yang berbeda dalam Hukum Waris Islam. Selain itu, melalui RUU ini, para aktivis feminis menggugat perempuan yang posisinya bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga dan kondisinya tidak diizinkan untuk bekerja di luar rumah oleh suaminya. Mereka menganggap bahwa suami yang tidak mengizinkan para istrinya untuk bekerja di luar rumah sebagai salah satu kekerasan dalam rumah tangga (lihat juga pasal 9 ayat 2 UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Tentunya, kondisi semacam itu seharusnya disikapi secara bijak oleh negara, atas dasar apa perempuan tidak diizinkan bekerja oleh suaminya? Jikalau memang istri tidak diizinkan bekerja karena tidak bisa membagi waktunya antara pekerjaan dan keluarga atau lebih memprioritaskan waktunya untuk pekerjaan, negara tidak berhak untuk mengkriminalisasi dengan hukuman penjara selama 3 tahun (lihat pasal 49 poin b UU. No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga). Yang mengherankan, kenapa di negara mayoritas Muslim justru perempuannya ingin menerapkan suatu paham yang jelas sangat berbeda dengan kultur bangsanya sendiri? Atau bahkan berbeda dengan nilai- nilai agama yang dianutnya? Coba kita lihat agama lain, Kristen misalnya, dari jauh-jauh hari, tepatnya sejak tahun 2006, perempuan Kristen sudah diantisipasi untuk menghindari gerakan feminism ini dan tidak mengadopsinya (SHINE: Wanita Kristiani Harus Hindari Gerakan Feminisme, 04 Oktober 2006). Bahkan gereja Katolik Prancis juga sudah mewaspadai bahaya teori gender ini karena teori gender yang diajarkan bertentangan dengan ajaran Katolik ( Gereja Prancis Waspadai Teori Gender, Indonesia Malah Bangga, hidayatullah.com, 29 September 2011). Sesuai dengan pasal 28J ayat 2 UUD 1946, atas dasar apapun (baik itu berdasarkan CEDAW atau Kesetaraan Gender), seseorang yang menjalankan hak dan kebebasannya harus tunduk pada pembatasan yang telah ditetapkan oleh undang-undang, termasuk tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama. Oleh karena itu, seharusnya feminisme mazhab Chicago tidak bisa diterima di Indonesia, karena selain mempunyai kultur yang berbeda, perempuan Indonesia, khususnya perempuan muslimah tidak punya pengalaman buruk seperti perempuan Barat. Dengan demikian, tidak salah jika saya mengatakan gerakan feminisme mazhab Chicago yang radikal dapat mengancam keutuhan keluarga, khususnya keluarga muslim.

pencerahan buat para wanita

Wahai wanita... Jangan Mau dikibulin... Pasang akal fikiran yang tajam... Siapkah hati yang Bersih dan Jernih... Jangan Mau ditipu lagi.... Ragam Aliran Feminisme dan Definisinya Kita perlu memahami gerakan feminisme, mengingat gerakan tersebut menyatakan dirinya berjuang untuk mewujudkan emansipasi dan kesejahteraan kaum perempuan pada masa sekarang ini. Gerakan feminisme sendiri mempunyai banyak aliran. Di antaranya: Pertama, gerakan feminisme Marxis (sosialis). Doktrinnya, setiap perempuan, baik dari kalangan proletar maupun borjuis, harus memahami bahwa penindasan terhadap kaum perempuan bukan semata- mata karena perbuatan sengaja individu-individu, tetapi lebih merupakan produk struktur politik, sosial, dan ekonomi yang disebabkan oleh Kapitalisme. Kedua, feminisme liberal. Paham ini berjuang untuk menghapuskan berbagai perbedaan seksual sebagai langkah awal menuju kesetaraan sejati. Gerakan ini meyakini, untuk mewujudkan kedudukan yang setara antara kaum laki-laki dan perempuan maka segala bentuk stereotip trentang peran sosial bagi laki-laki dan perempuan harus dihapuskan. Ketiga, feminisme radikal. The New York Feminist Manifesto tahun 1971 menyatakan: Feminisme radikal memandang bahwa penindasan terhadap kaum perempuan merupakan suatu bentuk penindasan politik yang mendasar; kaum perempuan dianggap sebagai suatu kelompok yang berkedudukan lebih rendah semata-mata karena jenis kelaminnya. Tujuan feminisme radikal adalah melakukan pengorganisasian secara politik untuk meruntuhkan sistem yang mengelompokkan warga masyarakat berdasarkan jenis kelamin ini. Sebagai kelompok feminis radikal, kami menyadari, bahwa kami tengah melakukan pertarungan kekuatan dengan kaum laki-laki, dan bahwa pelaku penindasan terhadap kaum perempuan adalah semua laki-laki yang mengidentifikasi diri sebagai makhluk yang unggul dan istimewa serta mengemban konsep keunggulan dan keistimewaan peran laki-laki…. Feminisme radikal atau feminisme ekstrem menganggap laki-laki sebagai penjahat, yang menggunakan kekuatannya untuk menarik manfaat dari kaum perempuan; mulai dari pemuasan ego, eksploitasi ekonomi dan domestik, dominasi seksual, hingga klan kekuasaan politik. Walaupun sudah ada aliran dalam gerakan feminisme, istilah “feminisme” sendiri masih bersifat sangat subyektif dan sering digunakan secara sembarangan. Akibatnya, sering muncul kebingungan dan berbagai definisi tentang feminisme. Di antara berbagai definisi feminisme yang berkembang pada saat ini adalah: (1) Kelompok-kelompok yang berjuang untuk mengubah kedudukan kaum perempuan atau berbagai pemikiran tentang kaum perempuan, mendapatkan julukan kaum feminis. (2) Sebuah doktrin yang menyerukan kesetaraan hak- hak sosial dan politik kaum perempuan dengan kaum laki-laki. (3) Feminisme juga bermakna, segala upaya untuk membuat kaum perempuan mempunyai kesempatan dan hak-hak istimewa sebagaimana yang diberikan masyarakat kepada kaum laki-laki, atau penegasan tentang adanya nilai-nilai keperempuanan yang spesifik, yang berbeda dengan anggapan negatif kaum laki-laki selama ini. Sekalipun tidak berarti bahwa kedudukan perempuan harus bersifat eksklusif, ada kecenderungan kuat untuk membuat demikian. Persoalannya adalah: apakah kaum perempuan seperti laki-laki atau tidak. (4) Kaum feminis tidak berjuang hanya untuk menghapuskan hak-hak istimewa kaum laki-laki, tetapi juga menghilangkan perbedaan jenis kelamin. Perbedaan jenis kelamin di antara manusia semestinya tidak menjadi permasalahan lagi. Konsep keluarga biologis yang tidak adil harus dipatahkan, demikian pula konsep kekuatan psikologis yang selama ini menjadi dalih superioritas kaum laki-laki. Pandangan ‘Hina’ Berbagai Peradaban Terhadap Perempuan Perempuan menurut doktrin berbagai peradaban— selain Islam—sejak dari awalnya memang dipandang tidak lebih sebagai komoditas, alat pemuas nafsu yang diperjualbelikan secara murahan. Sebagai contoh, dalam doktrin peradaban Yunani, menurut penuturan Prof. Will Durant: Di Roma, hanya kaum lelaki saja yang memiliki hak-hak di depan hukum pada masa-masa awal negara Republik. Kaum lelaki saja yang berhak membeli, memiliki, atau menjual sesuatu, atau membuat perjanjian bisnis. Bahkan mas kawin istrinya—pada masa-masa tersebut—menjadi miliknya pribadi….Proses kelahiran menjadi suatu perkara yang mendebarkan di Roma. Jika anak yang dilahirkan dalam keadaan cacat atau berjenis kelamin perempuan, sang ayah diperbolehkan oleh adat untuk membunuhnya. Bahkan para filosof Yunani sendiri pun menyamakan perempuan dengan para budak yang hina dan ‘patut’ ditindas. Aristoteles mengatakan: Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa menurut hukum alam, harus ada unsur yang secara alamiah memerintah dan harus ada unsur yang secara alamiah diperintah….Kekuasaan orang-orang yang bebas terhadap para budak adalah salah satu bentuk hukum alam; demikian pula kekuasaan kaum lelaki atas kaum perempuan…. Orang-orang Yunani juga memposisikan kaum perempuan pada kasta ketiga (kasta yang paling bawah) dari masyarakat. Apabila seorang perempuan melahirkan anak yang cacat, biasanya ia akan dihukum mati. Masyarakat Sparta, yang dikenal sebagai kelompok elit, memberlakukan hukuman mati bagi seorang perempuan yang tidak lagi mampu mengasuh anak. Orang-orang Sparta juga biasa mengambil kaum perempuan dari suaminya untuk dihamili oleh laki-laki yang “pemberani dan perkasa” dari masyarakat lain. Pandangan yang lebih menghinakan lagi dapat kita dapati dalam peradaban Yahudi. Kaum Yahudi ortodoks yang mempelajari ajaran klasik Yahudi akan mendapati, bahwa ada di antara ajaran dan aturan Yahudi yang menindas kaum perempuan. Talmud, sebuah kitab yang berisi aturan-aturan dalam kehidupan pribadi dan peribadatan menyatakan: Mustahil ada sebuah dunia yang tanpa keberadaan kaum lelaki dan perempuan. Namun demikian, berbahagialah orang-orang yang mempunyai anak laki-laki, dan celakalah orang-orang yang mempunyai anak perempuan. Pandangan yang tak jauh berbeda juga dilontarkan oleh peradaban Hindu. Sebuah buku yang berisi aturan- aturan keagamaan Sansekerta kuno, Draramasastra, memuat satu bab tentang “kedudukan klan kewajiban agama kaum perempuan” atau stridharmapaddhati. Pengarang (atau lebih tepatnya penyusun) buku ini, Tryambaka, adalah seorang pandit (pendeta) ortodoks yang tinggal di Thanjavur, yang sekarang terletak di bagian selatan negara bagian Tamil Nadu, India. Aturan tentang kaum perempuan dalam buku tersebut secara umum menempatkan kaum perempuan pada golongan warga negara kelas dua. Sebagai contoh, seorang istri tidak mempunyai hak atas harta kekayaan suaminya. Harta kekayaan yang dimiliki bersama oleh suami dan istri hanya boleh dikeluarkan oleh sang suami; boleh dikeluarkan oleh istri, tetapi harus seizin suaminya. Ada tiga pesan yang dapat diambil dari buku Pandit Tryambaka ini. Pertama: seorang istri tidak perlu memperhatikan kehidupan pribadinya. Kedua: seorang istri bahkan harus rela untuk dijual apabila suaminya menghendaki. Ketiga: kepatuhan kepada suaminya harus diutamakan ketimbang kewajiban-kewajiban lainnya, termasuk kewajiban-kewajiban agama sekalipun. Agama Nasrani pun tak luput dalam melecehkan perempuan. Menurut Encyclopedia Britannica, “Sejak awal, lembaga gereja telah menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang amat rendah.” Barat pun ‘Melecehkan’ Perempuan Saat ini, di Barat ketika kaum perempuan merasa bertanggung jawab atas segala urusannya sendiri, apakah mereka telah mencapai puncak kesetaraan jender? Apakah “perempuan baru” yang ada di Barat telah mampu membebaskan diri sepenuhnya dari berbagai penindasan sebagaimana yang mereka perjuangkan? Apakah kemunculan gerakan “pembebasan” mereka itu menandakan datangnya kehidupan dunia yang baru dan lebih bermoral? Apakah gerakan “pembebasan” itu telah mampu mewujudkan emansipasi kaum perempuan yang hakiki, dan membebaskan mereka dari ketidakadilan? Menurut mereka (kaum feminis), jawaban yang diberikan pastilah, “Ya.” Namun, sayangnya kita terpaksa menjawab, “Tidak!” Mereka mengklaim telah mempunyai peradaban modern dan beradab. Namun sejatinya, peradaban mereka penuh dengan nuansa bar-bar dan kembali pada kebodohan. Tingginya angka pembunuhan bayi, prostitusi, pemerkosaan, perceraian, dan single parent (yang paling umum adalah single mother) adalah menjadi pertanda bahwa adat kebiasaan mereka sama dengan adat kebiasaan yang dipraktikkan oleh “bangsa- bangsa biadab” Romawi Kuno, Persia, Arab Jahiliah, dan Yahudi. Salah satu fakta yang menunjukkan bagaimana di mata Barat perempuan sangat dilecehkan adalah kasus aborsi. Pada abad modern ini, di Barat, membunuh bayi perempuan tidak berdosa yang baru lahir boleh jadi sangat jarang kita temui. Akan tetapi, menggugurkan mereka ketika masih berbentuk janin, kemudian mengeluarkan jasad mereka dari rahim dalam keadaan terpotong-potong seperti sampah, semakin umum dilihat dan dipraktikkan. Teknik aborsi yang terbaru, yang diberi nama “partial birth-abortion”, dilakukan dengan mengeluarkan janin dari dalam rahim sepotong demi sepotong sehingga tinggal kepala bayi yang masih tersisa di dalam rahim. Kemudian para praktisi aborsi (apakah orang-orang seperti ini layak diberi gelar dokter?), melubangi tengkorak bayi dengan sebuah alat yang taham, memasukkan kateter ke dalamnya, dan menyedot otak bayi sampai habis. Setelah isinya disedot habis, maka kepala bayi berikut sisa-sisa tubuh lainnya dapat dikeluarkan semuanya dengan mudah. Inikah sebuah peradaban modern yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan? Fakta kedua tentang pelecehan Barat terhadap perempuan adalah industri pornografi. Pesatnya pertumbuhan industri pornografi sejak tahun 1950-an, sekali lagi, dipandang mencerminkan kemajuan “kesetaraan jender” di Barat. Dunia pornografi sama sekali tidak mempertimbangkan kaum perempuan sebagai manusia yang mempunyai perasaan dan kebutuhan, namun hanya sekadar sebagai komoditas yang layak dimanfaatkan dan segera disingkirkan apabila tak lagi dapat dijual. Kaum perempuan diyakinkan bahwa dengan menjual tubuh, mereka akan mampu meraih “kesetaraan”. Padahal kenyataannya, kaum perempuan hanya menjadi obyek kaum laki-laki yang memanfaatkan kedok “kesetaraan” untuk dapat mengeksploitasi kaum perempuan semata-mata demi kepentingan hawa nafsu mereka dan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Pada tahun 1980-an, sebuah “langkah maju” dalam hal manipulasi perempuan kembali terjadi. Sheila Jeffreys, seorang feminis, menulis: Kaum perempuan telah diberitahu oleh para pengusung ide kebebasan, bahwa karena sekarang kaum perempuan telah “setara” dengan kaum laki-laki, maka tidak ada salahnya kaum perempuan ikut menikmati pornografi. Ideologi ini justru telah menggagalkan gerakan emansipasi perempuan, bukan mendukungnya. Gagasan untuk menjual produk-produk pornografi kepada kaum perempuan sejak tahun 1980- an telah menjadi sebuah strategi yang canggih dan efektif dalam memperkuat kekuasaan kaum laki-laki.

mengapa kita menolak RUU KKG

oleh DR. Adian Husaini* Harian Republika (Jumat, 16/3/2012), memberitakan, bahwa RancanganUndang-undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) sudah mulai dibahassecara terbuka di DPR. Suara pro-kontra mulai bermunculan. Apakah kita –sebagai Muslim – harus menerima atau menolak RUU KKG tersebut? Jika menelaah Draf RUU KKG/Timja/24/agustus/2011 -- selanjutnya kita sebut RUUKKG – maka sepatutnya umat Muslim MENOLAK draf RUU ini. Sebab, secara mendasarberbagai konsep dalam RUU tersebut bertentangan dengan konsep-konsep dasarajaran Islam. Ada sejumlah alasan yang mengharuskan kita – sebagai Muslim dansebagai orang Indonesia – menolak RUU KKG ini. Pertama, definisi “gender” dalam RUU ini sudah bertentangan dengan konsep Islamtentang peran dan kedudukan perempuan dalam Islam. RUU ini mendefinisikan gendersebagai berikut: “Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-lakidan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidaktetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat,dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.” (pasal1:1) Definisi gender seperti itu adalah sangat keliru. Sebab, menurut konsep Islam,tugas, peran, dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki baik dalam keluarga (ruang domestik) maupun di masyarakat (ruang publik) didasarkan pada wahyuAllah, dan tidak semuanya merupakan produk budaya. Tanggung jawab laki-laki sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah keluargaadalah berdasarkan wahyu (al- Quran dan Sunnah Rasul). Sepanjang sejarah Islam,di belahan dunia mana saja, tanggung jawab laki-laki sebagai kepala keluargasudah dipahami, merupakan perkara yang lazim dalam agama Islam (ma’lumun minaddin bid-dharurah). Bahwa yang menjadi wali dan saksi dalam pernikahan adalahlaki-laki dan bukan perempuan. Ini juga sudah mafhum. Karena berdasarkan pada wahyu, maka konsep Islam tentang pembagian peranlaki-laki dan perempuan itu bersifat abadi, lintas zaman dan lintas budaya. Karena itu, dalam tataran keimanan, merombak konsep baku yang berasal dariAllah SWT ini sangat riskan. Jika dilakukan dengan sadar, bisa berujung kepadatindakan pembangkangan kepada Allah SWT. Bahkan, sama saja ini satu bentukkeangkuhan, karena merasa diri berhak menyaingi Tuhan dalam pembuatan hukum.(QS at- Taubah: 31). Jadi, cara pandang yang meletakkan pembagian peran laki-laki dan perempuan(gender) sebagai budaya ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab,sifat syariat Nabi Muhammad saw – sebagai nabi terakhir dan diutus untukseluruh manusia sampai akhir zaman – adalah universal dan final. Zina haram,sampai kiamat. Khamr haram di mana pun dan kapan pun. Begitu juga suap adalahharam. Babi haram, di mana saja dan kapan saja. Konsep syariat seperti inibersifat lintas zaman dan lintas budaya. Syariat Islam jelas bukan konsep budaya Arab. Saat Nabi Muhammad sawmemerintahkan seorang istri untuk taat kepada suaminya – dalam hal-hal yangbaik – maka perintah Nabi itu berlaku universal, bukan hanya untuk perempuanArab abad ke-7 saja. Umat Islam sepanjang zaman menerima konsep batas auratyang universal; bukan tergantung budaya. Sebab, fakta menunjukkan, di mana sajadan kapan saja, perempuan memang sama. Sudah ribuan tahun perempuan hidup dibumi, tanpa mengalami evolusi. Matanya dua, hidung satu, payudaranya dua, danjuga mengalami menstruasi. Perempuan juga sama saja, dimana-mana. Hanya warnakulit dan mungkin ukuran tubuhnya berbeda- beda. Karena sifatnya yang universal,maka konsep syariat Islam untuk perempuan pun bersifat universal. Memang, tidak dapat dipungkiri, dalam aplikasinya, ada unsur-unsur budaya yangmasuk. Misalnya, konsep Islam tentang perkawinan pada intinya di belahan duniamana saja tetaplah sama: ada calon suami, calon istri, saksi, wali dan ijabqabul. Tetapi, dalam aplikasinya, bisa saja unsur budaya masuk, seperti bisa kitalihat dalam pelaksaan berbagai upacara perkawinan di berbagai daerah diIndonesia. Alasan kedua untuk menolak RUU Gender sangat western-oriented. Para pegiatkesetaraan gender biasanya berpikir, bahwa apa yang mereka terima dari Barat –termasuk konsep gender WHO dan UNDP – harus ditelan begitu saja, karenabersifat universal. Mereka kurang kritis dalam melihat fakta sejarah perempuandi Barat dan lahirnya gerakan feminisme serta kesetaraan gender yang berakarpada ”trauma sejarah” penindasan perempuan di era Yunani kuno dan era dominasiKristen abad pertengahan. Konsep-konsep kehidupan di Barat cenderung bersifat ekstrim. Dulu merekamenindas perempuan sebebas- bebasnya, sekarang mereka membebaskan perempuansebebas-bebasnya. Dulu, mereka menerapkan hukuman gergaji hidup-hidup bagipelaku homoseksual. Kini, mereka berikan hak seluas-luasnya bagi kaum homo danlesbi untuk menikah dan bahkan memimpin geraja. Lihatlah, kini konsep keluarga ala kesetaraan gender yang memberikan kebebasandan kesetaraan secara total antara laki-laki dan perempuan telah berujungkepada problematika sosial yang sangat pelik. Di Jerman, tahun 2004, sebuahsurvei menunjukkan, pertumbuhan penduduknya minus 1,9. Jadi, bayi yang lahirlebih sedikit dari pada jumlah yang mati. Peradaban Barat juga memandang perempuan sebagai makhluk individual. SementaraIslam meletakkan perempuan sebagai bagian dari keluarga. Karena itulah, dalamIslam ada konsep perwalian. Saat menikah, wali si perempuan yang menikahkan;bukan perempuan yang menikahkan dirinya sendiri. Ini satu bentuk pernyerahantanggung jawab kepada suami. Di Barat, konsep semacam ini tidak dikenal. Karenaitu jangan heran, jika para pegiat gender biasanya sangat aktif menyoal konsepperwalian ini. Sampai-sampai ada yang menyatakan bahwa dalam pernikahan Islam,yang menikah adalah antara laki-laki (wali) dengan laki-laki (mempelailaki-laki). Simaklah bagaimana kuatnya pengaruh cara pandang Barat dalam konsep ”kesetaraangender” seperti tercantum dalam pasal 1:2 RUU Gender yang sedang dibahas saatini: “Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan danlaki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol,dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan.” (pasal 1:2). Renungkanlah konsep semacam ini. Betapa individualistiknya. Laki-laki danperempuan harus disamakan dalam semua bidang kehidupan. Lalu, didefinsikanjuga: “Diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan, dansegala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu, yangmempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan,penikmatan manfaat atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya terlepasdari status perkawinan, atas dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki.”(pasal 1:4). Jika RUU Gender ini akan menjadi Undang-undang dan memiliki kekuatan hukum yangtetap, maka akan menimbulkan penindasan yang sangat kejam kepada umat Muslim –atau agama lain – yang menjalankan konsep agamanya, yang kebetulan berbedadengan konsep Kesetaraan Gender. Misalnya, suatu ketika, orang Muslim yangmenerapkan hukum waris Islam; membagi harta waris dengan pola 2:1 untuklaki-laki dan perempuan akan bisa dijatuhi hukuman pidana karena melakukandiskriminasi gender. Jika ada orang tua menolak mengawinkan anak perempuannyadengan laki-laki beragama lain, bisa-bisa di orang tua akan dijatuhi hukumanpula. Bagaimana jika kita membeda- bedakan jumlah kambing untuk aqidah antaraanak laki- laki dan perempuan? Alasan ketiga, RUU Gender ini sangat SEKULAR. RUU ini membuang dimensi akhiratdan dimensi ibadah dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan. Peradabansekular tidak memiliki konsep tanggung jawab akhirat. Bagi mereka segala urusanselesai di dunia ini saja. Karena itu, dalam perspektif sekular, ”keadilan”hanya diukur dari perspektif dunia. Bagi mereka tidaklah adil jika laki-lakiboleh poligami dan wanita tidak boleh poliandri. Bagi mereka, adalah tidakadil, jika istri keluar rumah harus seijin suami, sedangkan suami boleh keluarrumah tanpa izin istri. Bagi mereka, tidak adil jika laki-laki dalam shalatnya harus ditempatkan dishaf depan. Dan sebagainya. Jika seorang perempuan terkena pikiran seperti ini, maka pikiran itu yang perludiluruskan terlebih dulu. Biasanya ayat-ayat al-Quran dan hadits Rasulullah sawtidak mempan bagi mereka, karena ayat-ayat itu pun akan ditafsirkan dalamperspektif gender. Sebenarnya, perempuan yang kena paham ini patut dikasihani,karena mereka telah salah paham. Mereka hanya melihat aspek dunia. Hanyamelihat aspek hak, dan bukan aspek tanggung jawab dunia dan akhirat. Padahal, dalam perspektif Islam, justru Allah memberi karunia yang tinggikepada perempuan. Mereka dibebani tanggung jawab duniawi yang lebih kecilketimbang laki- laki. Tapi, dengan itu, mereka sudah bisa masuk sorga, samadengan laki-laki. Perempuan tidak perlu capek- capek jadi khatib Jumat, menjadisaksi dalam berbagai kasus, dan tidak wajib bersaing dengan laki- lakiberjejalan di kereta-kereta. Perempuan tidak diwajibkan mencari nafkah bagikeluarga. Dan sebagainya. Sementara itu, kaum laki-laki mendapatkan beban dan tanggung jawab yang berat.Kekuasaan yang besar juga sebuah tanggung jawab yang besar di akhirat. Jikadilihat dalam perspektif akhirat, maka suami yang memiliki istri lebih darisatu tentu tanggung jawabnya lebih berat, sebab dia harus menyiapkan laporanyang lebih banyak kepada Allah. Adalah keliru jika orang memandang bahwamenjadi kepala negara itu enak. Di dunia saja belum tentu enak, apalagi diakhirat. Sangat berat tanggung jawabnya. ”Dimensi akhirat” inilah yang hilang dalam berbagai pemikiran tentang ”gender”.Termasuk dalam RUU Gender yang sedang dibahas di DPR. Perspektif dari RUU inisangat sekuler. (saeculum=dunia); hanya menghitung aspek dunia semata. Jikadimensi akhirat dihilangkan, maka konsep perempuan dalam Islam akan tampaktimpang. Sebagai contoh, para aktivis gender sering mempersoalkan masalah”double burden” (beban ganda) yang dialami oleh seorang perempuan karir. Disamping bekerja di luar rumah, dia juga masih dibebani mengurus anak danberbagai urusan rumah tangga. Si perempuan akan sangat tertekan jiwanya, jikaia mengerjakan semua itu tanpa wawasan ibadah dan balasan di akhirat.Sebaliknya, si perempuan akan merasa bahagia saat dia menyadari bahwatindakannya adalah satu bentuk ibadah kepada Allah SWT. Karena itu, jika Allah tidak memberi kesempatan kepada perempuan untuk berkiprahdalam berbagai hal, bukan berarti Allah merendahkan martabat perempuan. Tapi,justru itulah satu bentuk kasih sayang Allah kepada perempuan. Denganberorientasi pada akhirat, maka berbagai bentuk amal perbuatan akan menjadiindah. Termasuk keridhaan menerima pembagian peran yang diberikan oleh Allahdan Rasul-Nya. Pada akhirnya, dalam menilai suatu konsep – seperti konsep Kesetaraan Gender –seorang harus memilih untuk menempatkan dirinya: apakah dia rela menerima AllahSWT sebagai Tuhan yang diakui kedaulatannya untuk mengatur hidupnya? SeorangMuslim, pasti tidak mau mengikuti jejak Iblis, yang hanya mengakui keberadaanAllah SWT sebagai Tuhan, tetapi menolak diatur oleh Allah SWT. Seolah-olah,manusia semacam ini berkata kepada Allah SWT: ”Ya Allah, benar Engkau memangTuhan, tetapi jangan coba-coba mengatur hidup saya! Karena saya tidak perlusegala macam aturan dari-Mu. Saya sudah mampu mengatur diri saya sendiri!”Na’dzubillahi min-dzalika. **** Tidak bisa dipungkiri, penyebaran paham ”kesetaraan gender” saat ini telahmenjadi program unggulan dalam proyek liberalisasi Islam di Indonesia. Banyakorganisasi Islam yang memanfaatkan dana-dana bantuan sejumlah LSM Barat untukmenggarap perempuan- perempuan muslimah agar memiliki paham kesetaraan genderini. Perempuan muslimah kini didorong untuk berebut dengan laki-laki di lahanpublik, dalam semua bidang. Mereka diberikan angan-angan kosong, seolah- olahmereka akan bahagia jika mampu bersaing dengan laki-laki. Kedepan, tuntutan semacam ini mungkin akan terus bertambah, di berbagai bidangkehidupan. Sesuai dengan tuntutan pelaksaan konsep Human Development Index(HDI), wanita dituntut berperan aktif dalam pembangunan, dengan cara terjun keberbagai sektor publik. Seorang wanita yang dengan tekun dan serius menjalankankegiatannya sebagai Ibu Rumah Tangga, mendidik anak-anaknya dengan baik, tidakdimasukkan ke dalam ketegori ”berpartisipasi dalam pembagunan”. Tentu, konsepsemacam ini sangatlah aneh dalam perspektif Islam dan nilai-nilai tradisi yangjuga sudah dipengaruhi Islam. Daripada bergelimang ketidakpastian dan dosa, mengapa pemerintah dan DPR tidakmengajukan saja ”RUU Keluarga Sakinah” yang jelas-jelas mengacu kepadanilai-nilai Islam? Buat apa RUU Gender diajukan dan dibahas? Dari tiga naskah akademikyang saya baca, tampak tidak ada dasar pemikiran yang kuat untuk mengajukan RUUKesetaraan Gender ini. RUU ini cenderung membesar-besarkan masalah, dan lebihmenambah masalah baru. Belum lagi jika RUU ini melanggar aturan Allah SWT,pasti akan mendatangkan kemurkaan Allah SWT. Tugas kita hanya mengingatkan! Wallahu a’lam bil- shawab.*/ Jakarta, 16 Maret2012

Kamis, 11 April 2013

keluarga bapak bapak

Oleh: Anis Byarwati, Penasihat Rumah Keluarga Indonesia “KENAPA ya, setiap acara pelatihan keluarga pasti yang datang ibu-ibu lagi. Bapak-bapaknya nggak ada. Padahal ibu-ibu kan sudah sering ikut acara ini. Kita- kita sih sudah tahu, sudah ngerti kewajiban-kewajiban kita. Bapak- bapaknya ikut dong, biar seimbang” Kita pernah mendengar komentar seperti di atas. Memang belum pernah dilakukan penelitian secara khusus, tapi dari pengamatan saya, acara-acara tentang pem- binaan keluarga dan pendidikan anak kelihatannya lebih sering ditujukan, diminati dan dihadiri oleh kaum perempuan. Pernah juga ada pihak yang membuat acara serupa dengan membuka peserta untuk umum, baik laki-laki maupun perempuan. Tetapi, agaknya tidak mendapat cukup respon dari kaum laki-laki sehingga tetap saja mayoritas peserta adalah kalangan perempuan. Untuk menyegarkan kembali ingatan kita akan materi itu, sasaran pertama yang hendak dicapai dakwah kita adalah binaa’ al-fardi al-muslim (terbentuknya pribadi muslim). Sasaran berikutnya adalah terbentuknya keluarga muslim (binaa’ al usrah al muslimah). Dua sasaran ini saling terkait dalam arti, berhasil atau tidaknya kita membentuk diri menjadi kader yang memiliki kepribadian islami, akan sangat mempengaruhi pencapaian sasaran kedua, yaitu terbentuknya keluarga islami (dengan segala karakteristiknya). Begitu pula, keberhasilan pencapaian sasaran kedua ini akan menentukan keberhasilan pencapaian sasaran ketiga, yaitu binaa’ al mujtama’ al- islami (terbentuknya masyarakat Islam), dan seterusnya. Jadi, jangan mimpi kita akan memiliki ad-daulah islamiyah dan al-khilafah al- islamiyah yang merupakan sasaran keempat dan kelima dari dakwah kita, jika dari sekarang tidak memberi perhatian sasaran-sasaran sebelumnya. Atau dengan kalimat lain, jika kita ingin memiliki daulah dan khilafah islamiyah, jangan pernah ‘meremehkan’ urusan pembinaan keluarga! Dalam manhaj dakwah kita, persoalan pembinaan keluarga dan pendidikan anak adalah persoalan yang sangat serius. Bersyukurlah kita berada dalam sebuah partai dakwah yang menjadikan dan memposisikan persoalan serius ini sebagai salah satu program struktur berskala nasional, yang berarti mengikat seluruh kader di manapun berada. Tetapi persoalan membina keluarga dan mendidik anak tentunya tidak boleh hanya sekedar menjadi program struktur. Yang lebih penting adalah memposisikan dua hal penting ini sebagai salah satu yang menjadi prioritas amal kita. Mengapa? Karena pembinaan keluarga dan pendidikan anak bukanlah semata terkait dengan amal atau target pribadi. Dalam pandangan saya, bagi kita kader dakwah, dua hal ini merupakan sebuah misi mulia yang harus kita laksanakan dengan penuh kesungguhan dan tanggung jawab sebagai bentuk kontribusi langsung dan nyata kita dalam rangka mencapai dan merealisasikan sasaran dakwah! Mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengajak kita semua, ikhwan dan akhwat, untuk ‘lebih serius lagi’ menata rumah tangga kita, membina keluarga kita, mendidik anak-anak kita, dengan menambahkan satu semangat: ”Ini adalah bagian penting dari misi, tugas dan kontribusi dakwah kita!” Bagaimana dengan kalangan kita? Se- pertinya tidak jauh berbeda. Jarang sekali acara tentang pembinaan ke- luarga samara (sakinah, mawaddah wa rahmah) penuh sesak oleh bapak-bapak sih yang hadir, tapi jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Dan fenomena ini hampir merata terjadi di semua wilayah dakwah. Kita tentu sepakat bahwa persoalan pembinaan keluarga dan tarbiyatul aulad bukan hanya milik akhwat dan ummahat. Terlebih dua persoalan ini merupakan salah satu indikator kesuksesan dakwah kita. Karena suksesnya dakwah bukan hanya ditandai munculnya figur-figur istimewa, tetapi juga keluarga-keluarga yang layak menjadi qudwah. Karena itu, dakwah ini serius melakukan serangkaian kajian-kajian yang berkaitan dengan manhaj pembinaan keluarga dan pendidikan anak. Hasilnya? Serangkaian arahan telah disosialisasikan melalui kegiatan rutin pekanan kita, mulai dari arahan tentang persiapan menikah, tentang pernak-pernik pernikahan dan kehidupan rumah tangga, sampai arahan tentang pendidikan anak. Disamping itu, dakwah kita memiliki sasaran-sasaran yang harus dicapai secara bertahap. Ada lima sasaran yang satu dengan lainnya saling terkait, saling mem- pengaruhi dan saling menentukan. Jika yang pertama gagal dicapai, yang kedua pun akan gagal. Jika sasaran kedua tercapai sangat lambat, maka sasaran ketigapun akan mengalami keterlambatan. Begitu seterusnya. []

nona

KETIKA suatu sore dalam sebuah perbincangan santai, istri saya bertanya, “Apa Ayah menyuruh Bunda kuliah lagi sekarang agar kelak lulus Bunda bisa bekerja?”, saya tercenung beberapa jenak dan lama tidak menjawab pertanyaan itu. Bukan karena pikiran tertuju kepada televisi yang tengah menyiarkan langsung pertandingan Persib dan Persija yang berjalan 0-0, tetapi karena pertanyaan itu tiba-tiba saja datang menggelayuti pikiran saya yang kentara benar tidak siap menerimanya. Alih-alih menjawab pertanyaan itu, saya balik bertanya, “memangnya kenapa kamu bertanya seperti itu?” “Ya nggak sih, banyak teman satu kuliah Bunda yang sepertinya bertujuan seperti itu. Kuliah untuk bekerja nanti kalau sudah lulus…” Saya kembali bertanya. Rasanya bertanya kembali adalah respon yang sangat tepat kita berikan manakala menemukan sesuatu yang benar-benar membuat kita terjebak dalam situasi yang tidak kita inginkan dan kita duga. “Kamu sendiri setelah kuliah nanti emangnya mau ngapain?” Gantian istri saya yang bengong sekarang. Ia memandang saya dengan bingung, atau entahlah apa saya juga tidak begitu mengerti. Atau tidak ingat. Kemudian, ia mulai mengatakan banyak hal bla-bla-bla yang membuat saya bengong. Bengong yang berjalan dalam beberapa hari. Ketika saya menulis tulisan ini, sudah hampir setahun istri saya studi di sebuah sekolah tinggi di kota kami. Untungnya, ia mengambil kelas karyawan, jadinya ia hanya masuk kampus hari Sabtu dan Ahad saja. Di kedua hari itu, kedua anak saya—yang satu tengah berada dalam usia mengesalkan kadang-kadang, karena banyak mangkir dan mulai bisa berargumen, dan yang satunya lagi banyak bertanya semisal “kenapa bulan munculnya tidak tiap hari?”, “kenapa kodok suaranya ‘grok-grok-grok?”, “kenapa nggak boleh makan es lilin?”, dan pertanyaan lain sejenisnya yang sering membuat saya jadi banyak mikir lagi—otomatis menjadi sepenuhnya berada dalam wilayah kekuasaan saya. Sabtu dan Ahad, teman saya menyebutnya “Father’s Days,” saya melakukan semua hal kecil dan aneh mulai dari pagi hari sampai sore. Mulai dari mencuci sehabis shubuh, mengantar si besar ke sekolahnya, masak siang hari dan kemudian mengondisikan kedua bocah itu untuk tidur siang, sampai kemudian malam harinya, atau sore jika lagi beruntung, maka istri saya akan pulang dan menceritakan semua hal yang ia alami di kampusnya. Bla- bla-bla, banyak sekali, dan saya diminta untuk selalu mendengarkannya. Sesuatu yang saya juga senang melakukannya. Namun, kemudian sering setelah itu, kali ini saya yang mulai merasa sendirian. Saya merasa bahwa istri saya mempunyai kehidupan yang lain itu sekarang. Ia bersosialiasi dengan dunia luar, melihat hal dan pandangan orang lain di sana, dan saya tercenung. Saya jadi teringat satu lagu jadul Bang Iwan Fals, “Nona.” Sudah cukup jauh Perjalanan ini Lewati duka lewati tawa Lewati segala persoalan Kucoba berkaca Pada jejak yang ada Ternyata aku sudah tertinggal Bahkan jauh tertinggal Ah, saya juga jadi pengen sekolah lagi…..[]