Anak Umar bin Khathab banyak, akan tetapi yang paling
mirip dengannya adalah Abdullah. Abdullah bin Umar juga mmeiliki banyak anak,
bahkan lebih banyak daripada anak ayahnya, dan yang paling mirip dengan
Abdullah adalah Salim.
Salim bertempat tinggal di kota Thaibah Madinah
Al-Munawarah. Ketika itu kota tersebut dalam kondisi makmur dan kaya raya.
Rizki dan kenikmatan melimpah ruah dan belum pernah disaksikan yang seperti itu
sebelumnya. Rezeki datang dari segala penjuru, para khalifah Bani Umayah
membanjirinya dengan kekayaan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Namun hal itu tidaklah membuat Salim terpikat dengan
harta seperti yang lain, dan tidak pula menggandrungi keindahan-keindahan yang
sementara dan fana. Sebaliknya dia senantiasa berzuhud atas apa yang ada di
tangan manusia demi mengharapkan apa yang ada di sisi Allah. Beliau berpaling
dari hal-hal yang fana untuk menggapai kenikmatan yang abadi.
Tak terhitung seringnya khalifah Bani Umayah ingin
memberikan hadiah berbagai kenikmatan bagi beliau dan bagi yang lainnya, namun
beliau tetap berpegang pada kezuhudannya, tidak tamak terhadap apa yang ada di
tangan orang lain dan memandang rendah dunia beserta isinya.
Tahun itu, khalifah Sulaiman berkunjung ke Makkah
untuk berhaji. Pada saat melakukan thawaf, beliau melihat Salim bin Abdullah
bersimpuh di hadapan Ka’bah denga khusyu’. Sementara air matanya meleleh di
kedua pipinya. Seakan ada lautan air mata di balik kedua matanya.
Usai thawaf dan shalat dua raka’at, khalifah berusaha
menghampiri Salim. Orang-orang memberinya tempat, sehingga dia bisa duduk
bersimpuh hingga menyentuh kaki Salim. Namun Salim tidak menghiraukannya karena
asyik dengan bacaan dan dzikirnya.
Diam-diam khalifah memperhatikan Salim sambil menunggu
beliau berhenti sejenak dari bacaan dan tangisnya. Ketika ada peluang, khalifah
segera menyapa,
Khalifah, “Assalamu’alaika warahmatullah wahai Abu
Umar.”
Salim, “Wa’alaikum salam warahmatullah wabarakatuh.”
Khalifah, “Katakanlah apa yang menjadi kebutuhan Anda
wahai Abu Umar, saya akan memenuhinya.”
Salim tidak mengatakan apa-apa sehingga khalifah
menyangka dia tidak mendengar kata-katanya. Sambil merapat, khalifah mengulangi
permintaannya, “Saya ingin Anda mengatakan kebutuhan Anda agar saya bisa
memenuhinya.”
Salim, “Demi Allah, aku malu mengatakannya. Bagaimana
mungkin, aku sedang berada di rumah-Nya, tetapi meminta kepada selain Dia?”
Khalifah terdiam malu, tapi dia tak beranjak dari
tempat duduknya. Ketika shalat usai, Salim bangkit hendak pulang. Orang-orang
memburunya untuk bertanya tentang hadits, dan ada yang meminta fatwa tentang
urusan agama, dan adapula yang meminta untuk dido’akan. Khalifah Sulaiman
termasuk di antara kerumunan itu. Begitu mengetahui hal tersebut, orang-orang
menepi untuk memberinya jalan. Khalifah akhirnya bisa mendekati Salim, lalu
berkata, “Sekarang kita sudah berada di luar masjid, maka katakanlah kebutuhan
Anda agar saya dapat membantu Anda.”
Salim, “Dari kebutuhan dunia atau akhirat?”
Khalifah, “Tentunya dari kebutuhan dunia.”
Salim, “Saya tidak meminta kebutuhan dunia kepada Yang
Memilikinya, bagaimana pula saya akan meminta kepada yang bukan pemiliknya?”
Khalifah malu mendengar kata-kata Salim. Dia berlalu
sambil bergumam, “Alangkah mulianya kalian dengan zuhud dan takwa wahai
keturnan Al-Khathab, alangkah kayanya kalian dengan Allah. Semoga Allah
memberkahi kalian sekeluarga.”
Tahun sebelumnya, Al-Walid bin Abdul Malik juga
menunaikan ibadah haji. Ketika orang-orang telah turun dari Arafah, khalifah
menjumpai Salim bin Abdillah di Muzdalifah. Ketika itu Ibnu Abdillah mengenakan
pakaian ihram.
Al-Walid mengucapkan salam dan do’a, khalifah
memandangi tubuh Salim yang terbuka, tampak begitu sehat dan kekar bagaikan
sebuah bangunan yang kokoh.
Al-Walid, “Bentuk tubuh Anda bagus sekali, wahai Abu
Umar, apakah makanan Anda sehari-sehari?”
Salim, “Roti dan Zaitun dan terkadang daging jika saya
mendapatkannya.”
Al-Walid, “Hanya roti dan zaitun?”
Salim, “Benar.”
Al-Walid, “Apakah kamu berselera memakan itu?”
Salim, “Jika kebetulan aku tidak berselera maka aku
tinggalkan hingga lapar hingga saya berselera terhadapnya.”
Salim tak hanya mirip dengan kakeknya, Al-Faruq Umar
bin Khathab, dalam bentuk fisik dan kezuhudan terhadap dunia yang fana, namun
juga dalam keberaniannya menyampaikan kalimat yang benar meski berat resikonya.
Beliau pernah menemu Hajjaj bin Yusuf untuk
membicarakan tentang kebutuhan kaum muslimin. Hajjaj menyambutnya dengan baik,
dipersilakan duduk di sisinya dan dihormati secara berlebihan. Beberapa saat
kemudian beberapa orang dibawa ke hadapan Hajjaj, pakaiannya compang-camping,
wajahnya pucat dan semua dalam keadaan dibelenggu. Hajjaj menoleh kepada Salim
bin Abdullah dan menjelaskan, “Mereka adalah pembuat onar di muka bumi, menghalalkan
darah yang telah Allah haramkan.”
Dia mengambil pedang dan menyerahkannya kepada Salim
sekaligus memberi isyarat kepada orang pertama, dia berkata kepada Salim,
“Bangkitlah dan tebaslah lehernya!”
Pedang itu diterima oleh Salim, beliau menghampiri orang
yang dimaksud. Seluruh mata menghadap kepadanya untuk melihat apa yang hendak
beliau lakukan. Salim berdiri di depan orang tersebut lalu bertanya,
Salim, “Apakah Anda muslim?”
Tahanan, “Benar saya muslim. Tapi apa perlunya Anda
bertanya demikian? Lakukan saja apa yang diperintahkan kepada Anda!”
Salim, “Apakah Anda shalat shubuh?”
Tahanan, “Sudah saya katakan bahwa saya muslim.
Mengapa Anda bertanya apakah saya shalat shubuh? Adakah orang muslim yang tidak
melaksanakan shalat shubuh?”
Salim, “Saya bertanya, apakah Anda shalat shubuh hari
ini?”
Tahanan, “Semoga Allah memberikan hidayah kepada Anda.
Saya katakan “Ya.” Silakah Anda melaksanaka perintah orang zhalim itu, jika
tidak tentulah dia akan marah kepada Anda.”
Salim bin Abdullah kembali ke hadapan Hajjaj. Sambil
melemparkan pedang yang digenggamnya dia berkata, “Orang ini mengaku sebagai
seorang muslim dan berkata bahwa hari ini sudah shalat shubuh. Saya mendengar
Rasulullah saw bersabda, ‘Barangsiapa shalat shubuh, dia berada dalam naungan
Allah,’ maka saya tidak akan membunuh seseorang yang berada dalam perlindungan
Allah.”
Hajjaj marah mendengarnya dan berkata, “Kami akan
membunuhnya bukan karena meninggalkan shalat, melainkan karena ia membantu
pembunuhan atas khalifah Utsman bin Affan.” Salim berkata, “Padahal ada orang
yang lebih berhak untuk menuntut darah Utsman bin Affan daripada engkau.”
Hajjaj pun diam tak mampu bicara.
Di antara yang menyaksikan kejadian itu pergi di
Madinah dan menceritakan semua yang dilihatnya tentang Salim kepada ayahnya,
Abdullah bin Umar. Ibnu Umar tak sabar ingin segera mendengar cerita orang
tersebut sehingga bertanya mendesak. “Lalu apa yang dilakukan oleh Salim” orang
ini menjelaskan, “Dia melakukan ini dan itu.”
Alangkah gembiranya Abdullah bin Umar. Beliau berkata,
“Bagus! Bagus! Cerdas…cerdas..!”
Ketika khalifah beralih ke tangan Umar bin Abdul Aziz,
khalifah baru itu segera mengirim surat kepada Salim bin Abdullah:
“Amma ba’du, Saya telah menerima ujian dari Allah
untuk mengurusi permasalahan umat tanpa diminta atau dimusyawarahkan terlebih
dahulu dengan saya. Maka dengan ini saya memohon pertolongan Allah yang telah
mengujiku agar berkenan menolongku. Jika surat ini sampai ke tangan Anda, saya
minta agar Anda mengirimkan kepadaku buku-buku tentang Umar bin Khathab,
perilaku dan keputusan-keputusannya sebagai khalifah. Saya ingin sekali
mengikuti jejak beliau dan berjalan mengikuti jalan beliau, semoga Allah
memelihara saya untuk ini. Wassalam.”
Setelah membaca surat tersebut, Salim bin Abdullah
mengirim surat balasan:
“Telah sampai kepadaku surat Anda yang menyatakan
bahwa Allah telah menguji Anda dengan kewajiban mengurus kaum muslimin tanpa
Anda minta dan tanpa dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan Anda. Dan Anda
menginginkan jalan yang telah dilalui Umar bin Khathab. Yang perlu Anda
perhatikan dan ingat selalu bahwa Anda tidak hidup pada zaman Umar bin Khathab
dan tidak didampingi seperti orang-orang yang mendampingi Umar bin Khathab.
Tetapi ketahuilah, bila Anda mempunyai niat untuk berbuat baik dan benar-benar
menginginkannya, niscaya Allah akan membantu Anda bersama para pejabat yang
mendampingi Anda. Hal itu akan datang di luar perhitungan Anda, sebab
pertolongan kepada hamba-Nya didasarkan pada niatnya. Bila berkurang niatnya
pada kebaikan, maka akan berkurang pula pertolongan-Nya. Apabila nafsu Anda
mengajak kepada sesuatu yang tak diridhai allah, maka ingatlah apa yang dialami
oleh para penguasa sebelum Anda.
Maka perhatikanlah betapa rusaknya mata mereka karena
hanya digunakan untuk melihat kenikmatan, perut mereka pecah karena terlalu
kenyang dengan syahwat. Bayangkanlah seandainya jenazah mereka diletakkan di
samping rumah dan tidak dimasukkan ke liang lahat. Tentulah kita akan sengsara
karena baunya dan terkena penyakit karena bau busuknya. Wassalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh.”
Kehidupan Salim bin Abdullah bin Umar bin Khathab
penuh dengan taqwa, akrab dengan hidayah, menjauhi kesenangan dunia dan
godaannya, memperlakukannya sesuai dengan jalan yang diridhai Allah. Beliau
makan makanan yang keras dan mengenakan pakaian dari bahan yang kasar,
bergabung dengan pasukan muslimin untuk menghadapi Romawi, dan selalu berusaha
membantu menyelesaikan permasalahan kaum muslimin.
Ketika ajal menjemputnya pada tahun 106 H, duka cita
menyelimuti kota Madinah. Semua orang datang untuk mengantar jenazah dan
menyaksikan pemakamannya. Termasuk Hisyam bin Abdul Malik yang ketika itu
berada di Madinah turun menghadiri pemakaman beliau.
Takjub dengan banyaknya lautan manusia yang mengantar
jenazah Salim bin Abdillah, timbul rasa iri di hatinya sehingga dia bergumam,
“Nanti akan terbukti berapa banyak manusia yang akan menghadiri pemakaman
tatkala khalifah muslimin wafat di negeri mereka.” Kemudian dia berkata,
“Kirimkanlah empat ribu pemuda ke perbatasan.” Maka tahun tersebut dikenal
dengan tahun empat ribu. (Diadaptasi dari Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwaru
min Hayati at-Tabi’in, atau Mereka Adalah Para Tabi’in, terj. Abu
Umar Abdillah (Pustaka At-Tibyan, 2009), hlm. 318-326.)