Selasa, 31 Juli 2018

Hilful fudhul Dan koalisi umat

HILFUL FUDHUL dan KOALISI KEUMATAN

Ketika suasana kedzaliman merajalela di Kota Mekah. Kejujuran dinistakan. Banyak tokoh yang diam membisu tidak sanggup berbuat. Maka ketika itulah muncul gagasan Hilful Fudhul (kesepakatan) antara lima suku dari kabilah Quraisy. Mereka adalah Bani Hasyim, Bani Muthalib, Bani Asad, Bani Zuhrah, dan Bani Taim.

Kemudian suku-suku yang telah bersepakat ini mendatangi pejabat yg berbuat zalim karena merampas barang dagangan lalu meminta untuk mengembalikan kepada pemiliknya.

RASULULLAH IKUT KEPADA HILFUL FUDHUL

Rasulullah SAW menghadiri perjanjian ini bersama dengan paman-paman beliau. : “Sungguh aku mengikuti sebuah sumpah perjanjian di rumah Abdullah bin Jad’an dari sebuah perjanjian yang lebih aku cintai daripada aku memiliki unta merah dan seandainya aku diundang untuk mendatangi perjanjian yang seperti itu ketika aku telah mengenal Islam, maka sungguh aku akan memenuhi undangan tersebut” [Ibnu Hisyam 1/154-155]

PKS dan PERSATUAN KEUMATAN

Sejarah mencatat ketika PKS menginisiasi koalisi biasanya berjalan langgeng lebih awet dan mencapai banyak kesepakatan untuk kepentingan umat. Lihatlah Koalisi Poros Tengah, KMP (Koalisi Merah Putih) dan yang cukup langgeng adalah persekutuan antara Gerindra dan PKS yang mengantarkan Gerindra masuk pada persiapan atas. Padahal banyak pengamat meyakini umur koalisi antar parpol sesuatu yg seumur jagung, rentan diobok-obok pihak ketiga akhirnya bubar tanpa kesepakatan yag menguntungkan.

SIKAP PKS  BERADA DI KUBU KEUMATAN.

Pimpinan PKS memandang persatuan umat adalah asset yg mahal. Sesuatu yg sudah lama diidamkan. Selain itu pimpinan meyakini jalan ini sebagai  perwujudan bekerjasama dalam kebaikan dan ketaqwaan.

Kejelian membaca kebutuhan ummat muncul dalam seruan  #2019gantipresiden disambut masyarakat dari berbagai lapisan masyarakat. Mengalahkan isu2 lain. Mardani alisera DPP PKS  mampu menjadi faktor perekat berbagai kepentingan umat.

PKS dan FUNGSI PEREKAT

Soliditas PKS Yang  "menakutkan" demikian pengamat menilai setelah perolehan PKS di PILGUB Jawa barat mematahkan angka yg disajikan lembaga survey. Pengamat menilai gerak kader dan mesin organisasi efektif bergerak di akar rumput.

Gelagat PKS bergabung ke kubu keummatan diyakini bisa menjadi tulangpunggung yang efektif. Tentu saja gelagat direspon dengan kekhawatiran banyak pihak.  Karena umat islam sering ditafsirkan sebagai ancaman bisnis mereka. 

PKS DAN UJIAN SOLIDITAS

Alhamdulillah "gerakan" pengundurkan diri secara mendadak sebagian BCAD (Bakal Calon Anggota Dewan) PKS tidak berhasil "menggagalkan pendaftaran PKS sebagai peserta pemilu 2019".

Gerakan pengunduran diri secara tiba2 adalah manuver melawan disiplin organisasi partai manapun. Apalagi langsung dipublish. Sebuah manuver politik yg dinilai banyak orang sebagai respon kekanak-kanakan.

Apakah ada kaitannya pelemahan PKS dengan manuver para cukong politik. Apakah dengan gencarnya postingan yang mendiskreditkam PKS di medsos sebagai bentuk progres report laporan kepada para cukong tersebut?

Biarkan analisa sebagai bentuk kewaspadaan. Asalkan ukhuwah tetap terjaga.

Memudahkan dimudahkan. sahabat Wanita Keadilan Hi.Iin Caleg PKS Kabupaten.Bgr 2019


DOA untuk Lombok


Minggu, 22 Juli 2018

SONY AFIHANDONO,SE CAD DPRD KAB.BOGOR 2019

Songsong Kemenangan 2019, Fraksi PKS Kokohkan Barisan

Jakarta (20/07) -- Sekretaris Fraksi PKS DPR RI, Sukamta mengajak kepada seluruh Anggota Dewan Pusat dan Daerah yang berasal dari Fraksi PKS untuk semakin meningkatkan kualitas dalam menjalankan peran-perannya. Hal ini disampaikan oleh Sukamta dalam pembukaan acara rapat kerja, konsolidasi dan Halal Bi Halal yang digelar oleh Fraksi PKS DPR, Kamis 19 Juli 2019.

"Hari ini kita kokohkan kembali komitmen fraksi PKS untuk memperjuangkan tiga isu besar garis perjuangan fraksi PKS, yaitu kerakyatan, keumatan dan pengokohan nasionalisme Indonesia. Kita pastikan, fraksi PKS dari Pusat dan daerah selalu menjadi yang terdepan dalam memperjuangkan kepentingan rakyat dan umat," ungkap wakil rakyat yang berasal dari Dapil Jogjakarta ini.

Sukamta menyebutkan, kinerja baik yang ditunjukan oleh Anggota Dewan dapat menjadi salah satu faktor kemenangan PKS pada Pemilu 2019 mendatang.

"Fraksi Pusat dan daerah memiliki peran yang signifikan dalam pemenangan 2019. Penting fraksi secara nasional memiliki kesamaan arah dan strategi. Sehingga manfaat dan dampaknya benar-benar dirasakan oleh rakyat yang akan menghasilkan kekuatan yang dahsayat untuk pemenangan 2019," terang Sukamta.

Meskipun memiliki jumlah anggota dewan yang tidak terlalu besar, Sukamta percaya bahwa dengan 1200 anggota dewan yang dimiliki oleh PKS dapat memberikan kebermanfatan yang nyata kepada masyarakat dan umat.

"Jumlah aleg saat ini di pusat ada 40 orang, namun jika digabung (dengan) daerah, jumlah mencapai kurang lebih 1200 orang. Jumlah ini belum besar jika dibandingkan dengan jumlah keseluruhan anggota dewan pusat dan daerah. Namun, kita menegaskan bahwa 1200 orang ini memiliki kapasitas nasional dan jama'i, sehingga kehadirannya dirasakan oleh rakyat," ungkap Sukamta.

Kegiatan yang digelar selama dua hari ini, Sukamta berharap dapat memberikan sumbangsih yang nyata kepada masyarakat dan kemenangan PKS mendatang.

Sumber : pks.id

Minggu, 16 Oktober 2016

Belajar dari Kisah Salim bin Abdullah bin Umar bin Khathab

Anak Umar bin Khathab banyak, akan tetapi yang paling mirip dengannya adalah Abdullah. Abdullah bin Umar juga mmeiliki banyak anak, bahkan lebih banyak daripada anak ayahnya, dan yang paling mirip dengan Abdullah adalah Salim.
Salim bertempat tinggal di kota Thaibah Madinah Al-Munawarah. Ketika itu kota tersebut dalam kondisi makmur dan kaya raya. Rizki dan kenikmatan melimpah ruah dan belum pernah disaksikan yang seperti itu sebelumnya. Rezeki datang dari segala penjuru, para khalifah Bani Umayah membanjirinya dengan kekayaan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Namun hal itu tidaklah membuat Salim terpikat dengan harta seperti yang lain, dan tidak pula menggandrungi keindahan-keindahan yang sementara dan fana. Sebaliknya dia senantiasa berzuhud atas apa yang ada di tangan manusia demi mengharapkan apa yang ada di sisi Allah. Beliau berpaling dari hal-hal yang fana untuk menggapai kenikmatan yang abadi.
Tak terhitung seringnya khalifah Bani Umayah ingin memberikan hadiah berbagai kenikmatan bagi beliau dan bagi yang lainnya, namun beliau tetap berpegang pada kezuhudannya, tidak tamak terhadap apa yang ada di tangan orang lain dan memandang rendah dunia beserta isinya.
Tahun itu, khalifah Sulaiman berkunjung ke Makkah untuk berhaji. Pada saat melakukan thawaf, beliau melihat Salim bin Abdullah bersimpuh di hadapan Ka’bah denga khusyu’. Sementara air matanya meleleh di kedua pipinya. Seakan ada lautan air mata di balik kedua matanya.
Usai thawaf dan shalat dua raka’at, khalifah berusaha menghampiri Salim. Orang-orang memberinya tempat, sehingga dia bisa duduk bersimpuh hingga menyentuh kaki Salim. Namun Salim tidak menghiraukannya karena asyik dengan bacaan dan dzikirnya.
Diam-diam khalifah memperhatikan Salim sambil menunggu beliau berhenti sejenak dari bacaan dan tangisnya. Ketika ada peluang, khalifah segera menyapa,
Khalifah, “Assalamu’alaika warahmatullah wahai Abu Umar.”
Salim, “Wa’alaikum salam warahmatullah wabarakatuh.”
Khalifah, “Katakanlah apa yang menjadi kebutuhan Anda wahai Abu Umar, saya akan memenuhinya.”
Salim tidak mengatakan apa-apa sehingga khalifah menyangka dia tidak mendengar kata-katanya. Sambil merapat, khalifah mengulangi permintaannya, “Saya ingin Anda mengatakan kebutuhan Anda agar saya bisa memenuhinya.”
Salim, “Demi Allah, aku malu mengatakannya. Bagaimana mungkin, aku sedang berada di rumah-Nya, tetapi meminta kepada selain Dia?”
Khalifah terdiam malu, tapi dia tak beranjak dari tempat duduknya. Ketika shalat usai, Salim bangkit hendak pulang. Orang-orang memburunya untuk bertanya tentang hadits, dan ada yang meminta fatwa tentang urusan agama, dan adapula yang meminta untuk dido’akan. Khalifah Sulaiman termasuk di antara kerumunan itu. Begitu mengetahui hal tersebut, orang-orang menepi untuk memberinya jalan. Khalifah akhirnya bisa mendekati Salim, lalu berkata, “Sekarang kita sudah berada di luar masjid, maka katakanlah kebutuhan Anda agar saya dapat membantu Anda.”
Salim, “Dari kebutuhan dunia atau akhirat?”
Khalifah, “Tentunya dari kebutuhan dunia.”
Salim, “Saya tidak meminta kebutuhan dunia kepada Yang Memilikinya, bagaimana pula saya akan meminta kepada yang bukan pemiliknya?”
Khalifah malu mendengar kata-kata Salim. Dia berlalu sambil bergumam, “Alangkah mulianya kalian dengan zuhud dan takwa wahai keturnan Al-Khathab, alangkah kayanya kalian dengan Allah. Semoga Allah memberkahi kalian sekeluarga.”
Tahun sebelumnya, Al-Walid bin Abdul Malik juga menunaikan ibadah haji. Ketika orang-orang telah turun dari Arafah, khalifah menjumpai Salim bin Abdillah di Muzdalifah. Ketika itu Ibnu Abdillah mengenakan pakaian ihram.
Al-Walid mengucapkan salam dan do’a, khalifah memandangi tubuh Salim yang terbuka, tampak begitu sehat dan kekar bagaikan sebuah bangunan yang kokoh.
Al-Walid, “Bentuk tubuh Anda bagus sekali, wahai Abu Umar, apakah makanan Anda sehari-sehari?”
Salim, “Roti dan Zaitun dan terkadang daging jika saya mendapatkannya.”
Al-Walid, “Hanya roti dan zaitun?”
Salim, “Benar.”
Al-Walid, “Apakah kamu berselera memakan itu?”
Salim, “Jika kebetulan aku tidak berselera maka aku tinggalkan hingga lapar hingga saya berselera terhadapnya.”
Salim tak hanya mirip dengan kakeknya, Al-Faruq Umar bin Khathab, dalam bentuk fisik dan kezuhudan terhadap dunia yang fana, namun juga dalam keberaniannya menyampaikan kalimat yang benar meski berat resikonya.
Beliau pernah menemu Hajjaj bin Yusuf untuk membicarakan tentang kebutuhan kaum muslimin. Hajjaj menyambutnya dengan baik, dipersilakan duduk di sisinya dan dihormati secara berlebihan. Beberapa saat kemudian beberapa orang dibawa ke hadapan Hajjaj, pakaiannya compang-camping, wajahnya pucat dan semua dalam keadaan dibelenggu. Hajjaj menoleh kepada Salim bin Abdullah dan menjelaskan, “Mereka adalah pembuat onar di muka bumi, menghalalkan darah yang telah Allah haramkan.”
Dia mengambil pedang dan menyerahkannya kepada Salim sekaligus memberi isyarat kepada orang pertama, dia berkata kepada Salim, “Bangkitlah dan tebaslah lehernya!”
Pedang itu diterima oleh Salim, beliau menghampiri orang yang dimaksud. Seluruh mata menghadap kepadanya untuk melihat apa yang hendak beliau lakukan. Salim berdiri di depan orang tersebut lalu bertanya,
Salim, “Apakah Anda muslim?”
Tahanan, “Benar saya muslim. Tapi apa perlunya Anda bertanya demikian? Lakukan saja apa yang diperintahkan kepada Anda!”
Salim, “Apakah Anda shalat shubuh?”
Tahanan, “Sudah saya katakan bahwa saya muslim. Mengapa Anda bertanya apakah saya shalat shubuh? Adakah orang muslim yang tidak melaksanakan shalat shubuh?”
Salim, “Saya bertanya, apakah Anda shalat shubuh hari ini?”
Tahanan, “Semoga Allah memberikan hidayah kepada Anda. Saya katakan “Ya.” Silakah Anda melaksanaka perintah orang zhalim itu, jika tidak tentulah dia akan marah kepada Anda.”
Salim bin Abdullah kembali ke hadapan Hajjaj. Sambil melemparkan pedang yang digenggamnya dia berkata, “Orang ini mengaku sebagai seorang muslim dan berkata bahwa hari ini sudah shalat shubuh. Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Barangsiapa shalat shubuh, dia berada dalam naungan Allah,’ maka saya tidak akan membunuh seseorang yang berada dalam perlindungan Allah.”
Hajjaj marah mendengarnya dan berkata, “Kami akan membunuhnya bukan karena meninggalkan shalat, melainkan karena ia membantu pembunuhan atas khalifah Utsman bin Affan.” Salim berkata, “Padahal ada orang yang lebih berhak untuk menuntut darah Utsman bin Affan daripada engkau.” Hajjaj pun diam tak mampu bicara.
Di antara yang menyaksikan kejadian itu pergi di Madinah dan menceritakan semua yang dilihatnya tentang Salim kepada ayahnya, Abdullah bin Umar. Ibnu Umar tak sabar ingin segera mendengar cerita orang tersebut sehingga bertanya mendesak. “Lalu apa yang dilakukan oleh Salim” orang ini menjelaskan, “Dia melakukan ini dan itu.”
Alangkah gembiranya Abdullah bin Umar. Beliau berkata, “Bagus! Bagus! Cerdas…cerdas..!”
Ketika khalifah beralih ke tangan Umar bin Abdul Aziz, khalifah baru itu segera mengirim surat kepada Salim bin Abdullah:
“Amma ba’du, Saya telah menerima ujian dari Allah untuk mengurusi permasalahan umat tanpa diminta atau dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan saya. Maka dengan ini saya memohon pertolongan Allah yang telah mengujiku agar berkenan menolongku. Jika surat ini sampai ke tangan Anda, saya minta agar Anda mengirimkan kepadaku buku-buku tentang Umar bin Khathab, perilaku dan keputusan-keputusannya sebagai khalifah. Saya ingin sekali mengikuti jejak beliau dan berjalan mengikuti jalan beliau, semoga Allah memelihara saya untuk ini. Wassalam.”
Setelah membaca surat tersebut, Salim bin Abdullah mengirim surat balasan:
“Telah sampai kepadaku surat Anda yang menyatakan bahwa Allah telah menguji Anda dengan kewajiban mengurus kaum muslimin tanpa Anda minta dan tanpa dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan Anda. Dan Anda menginginkan jalan yang telah dilalui Umar bin Khathab. Yang perlu Anda perhatikan dan ingat selalu bahwa Anda tidak hidup pada zaman Umar bin Khathab dan tidak didampingi seperti orang-orang yang mendampingi Umar bin Khathab. Tetapi ketahuilah, bila Anda mempunyai niat untuk berbuat baik dan benar-benar menginginkannya, niscaya Allah akan membantu Anda bersama para pejabat yang mendampingi Anda. Hal itu akan datang di luar perhitungan Anda, sebab pertolongan kepada hamba-Nya didasarkan pada niatnya. Bila berkurang niatnya pada kebaikan, maka akan berkurang pula pertolongan-Nya. Apabila nafsu Anda mengajak kepada sesuatu yang tak diridhai allah, maka ingatlah apa yang dialami oleh para penguasa sebelum Anda.
Maka perhatikanlah betapa rusaknya mata mereka karena hanya digunakan untuk melihat kenikmatan, perut mereka pecah karena terlalu kenyang dengan syahwat. Bayangkanlah seandainya jenazah mereka diletakkan di samping rumah dan tidak dimasukkan ke liang lahat. Tentulah kita akan sengsara karena baunya dan terkena penyakit karena bau busuknya. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
Kehidupan Salim bin Abdullah bin Umar bin Khathab penuh dengan taqwa, akrab dengan hidayah, menjauhi kesenangan dunia dan godaannya, memperlakukannya sesuai dengan jalan yang diridhai Allah. Beliau makan makanan yang keras dan mengenakan pakaian dari bahan yang kasar, bergabung dengan pasukan muslimin untuk menghadapi Romawi, dan selalu berusaha membantu menyelesaikan permasalahan kaum muslimin.
Ketika ajal menjemputnya pada tahun 106 H, duka cita menyelimuti kota Madinah. Semua orang datang untuk mengantar jenazah dan menyaksikan pemakamannya. Termasuk Hisyam bin Abdul Malik yang ketika itu berada di Madinah turun menghadiri pemakaman beliau.

Takjub dengan banyaknya lautan manusia yang mengantar jenazah Salim bin Abdillah, timbul rasa iri di hatinya sehingga dia bergumam, “Nanti akan terbukti berapa banyak manusia yang akan menghadiri pemakaman tatkala khalifah muslimin wafat di negeri mereka.” Kemudian dia berkata, “Kirimkanlah empat ribu pemuda ke perbatasan.” Maka tahun tersebut dikenal dengan tahun empat ribu. (Diadaptasi dari Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwaru min Hayati at-Tabi’in, atau Mereka Adalah Para Tabi’in, terj. Abu Umar Abdillah (Pustaka At-Tibyan, 2009), hlm. 318-326.)