Rabu, 06 Februari 2013
konspirasi? so what gituh?
Tiga bulan sebelum
Letjen TNI (Purn) ZA Maulani meninggal dunia pada
2007, Kepala BIN (BAKIN) di era Presiden Habibie ini
memberi informasi dan catatan penting dalam
sebuah pertemuan.
Kepada yang hadir Maulani mengungkap bahwa
intelijen asing yang berkomplot dengan pihak internal
(dalam negeri) tengah intens “menggarap” ormas/
partai Islam tertentu yang dianggap radikal atau
dinilai memiliki pengaruh besar dan diprediksi
menjadi partai masa depan.
“Operasi intelijen” ini, menurut Maulani, bertujuan
untuk melemahkan ormas/partai Islam tertentu. Ada
tiga ormas Islam yang dibidik kala itu dan satu partai
Islam yang dinilai ke depannya memiliki pengaruh
besar sebagai kekuatan politik Islam alternatif, jika tak
segera dikebiri.
Menurut Maulani yang juga sangat dibenci Amerika,
partai Islam yang dia maksud menjadi perhatian AS
dan sekutunya. Rupanya Barat sangat khawatir
dengan perkembangan partai yang pernah disebut
fenomenal ini. Karena itu, bagaimana caranya agar
partai ini dilemahkan, dibonsai dan dikerdilkan.
Menurut Maulani kala itu, ada tiga modus yang
bertujuan melemahkan kekuatan ormas/partasi Islam
tersebut. Pertama, membikin konflik internal yang
target akhirnya menjadi pecah belah. Kedua,
membuat citra/imej ormas/partai Islam tersebut
menjadi buruk di mata publik. Ketiga, mengarahkan
oknum pengurus/petingginya menjadi tergoda
dengan dunia.
Maulani menjelaskan, sesungguhnya tak ada ormas/
lembaga/partai Islam yang steril—khususnya yang
dianggap radikal. Umumnya disusupi. Penyusupan ini
tentu untuk lebih memudahkan pelemahan ormas/
partai Islam yang dimaksud.
Modus pertama, membuat konflik di internal ormas
Islam tertentu. Setidaknya ada 3 ormas Islam—
setelah 2007—yang dengan tajam dilanda konflik
internal. Satu ormas Islam akhirnya harus merelakan
sejumlah pengurus dan anggotanya bedol desa alias
keluar dari organisasi. Sedang ormas Islam lainnya
pecah dan pecahannya melahirkan organisasi baru.
Modus kedua, membuat ormas Islam satunya lagi
menjadi bulan-bulanan yang terus dicitrakan buruk.
Sementara terhadap partai islam yang dibidik,
“operasi intelijen” agak sulit membuat konflik atau
menciptakan imej buruk. Pertama, partai ini dinilai
solid, tidak mudah mengacak-acaknya. Kedua, partai
yang dimaksud selama ini pertahanannya cukup kuat,
segenap pengurus dan kadernya sangat menjaga citra
baiknya di hadapan publik.
Walhasil, dari sisi mengarahkan partai ini ke dalam
konflik internal dan merusak imejnya tak semudah
mengacak-acak dua ormas Islam seperti tersebut di
atas. Karenanya, modus ketiga, mengarahkan oknum
pengurus tertentu dalam partai Islam ini untuk
“silau” dengan dunia dengan cara memberi proyek,
misalnya, ternyata cukup jitu.
“Operasi” ini meyakinkan bahwa pasti orang punya
kebutuhan dalam hidup. Orang-orang yang lemah
dan lebih cenderung pada dunia akan lebih mudah
untuk dirasuki—disadari atau tidak—akhirnya berada
dalam kubangan pragmatisme. Jalan “operasi” seperti
ini dengan mudahnya dilakukan oleh musuh-musuh
Islam.
Oknum atau orang-orang tertentu yang di hati dan
jiwanya memiliki penyakit yang disebut dalam hadits
Nabi sebagai “al-wahn”—cinta dunia benci mati—
ternyata bukan saja menggiring pelakunya menjadi
mabuk dunia, tetapi bahkan bisa membuat imej
buruk dan distrust (hilangnya kepercayaan) publik
secara bertahap terhadap partai dan petingginya—
yang ujung-ujungnya melahirkan konflik.
Benar, akhirnya partai ini pun tak lepas dari konflik
internal. Ada yang dipecat, ada yang mundur. Ada
yang tak terima dipecat sehingga menuntut dan
berujung ke pengadilan. Dua kubu berseteru, baik
secara langsung maupun lewat SMS dan bahkan via
media sosial.
Akhirnya partai yang selama ini dianggap solid, tak
mudah dipecah belah, jebol juga pertahanannya.
Selesaikah “operasi” ini? Belum. Meski dalam
sejumlah survei dinyatakan suara partai ini anjlok,
lantaran berkurangnya kepercayaan, namun
kelompok Islamfobia yang turut cawe-cawe dalam
“proyek” ini masih belum puas.
Ocehan-ocehan 1 atau 2 petingginya yang dinilai tak
mencerminkan Islam makin menambah deret banyak
pihak, kader atau simpatisan, yang angkat kaki dari
partai ini.
Kini, dengan kasus terbaru yang menimpa Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) ini, masih belum puas
juakah “operasi intelijen” yang telah “berhasil”
membuat hasil survei memelorotkan suaranya?
Nyatanya “operasi” ini tak berhenti sampai di sini.
Bahwa orang-orang partai ini tak jua tersentuh
korupsi, agaknya mengundang rasa penasaran.
Selama cap koruptor belum menempel pada partai ini
sebagaimana partai lainnya, “operasi” ini dianggap
belum sempurna.
“Operasi” ini harus “menggarap” orang-orang tertentu
dalam partai dan yang terkait dengan partai untuk
dipancing. Hanya orang-orang atau figur yang
memiliki potensi dan kecenderungan hubbud dun-ya
wakarahiyatul maut (cinta dunia benci mati) yang
bisa digoda dengan dunia dan isinya. Tak tanggung-
tanggung, orang kedua di partai ini, yakni
presidennya, terjerembab dalam tudingan suap izin
quota daging sapi impor.
Umumnya para petinggi dan pengurus serta kader-
kader partai ini baik, lurus, dengan ghirah dan gairah
Islam yang tinggi, tetapi segelintir orang telah
membuat partai dakwah ini menjadi terpuruk tanpa
ada sanksi terhadap mereka.
Inilah yang dijadikan bibit dan bahan “operasi”
berikutnya. Sudah lama perangkap dan jebakan
dipasang. Tapi rupanya selama ini belum bisa
“dieksekusi” untuk memerangkapnya. Padahal
vokalitas dan kritik tajam yang dianggap tak sejalan
dengan yang namanya Setgab Koalisi kian
menyebabkan partai ini harus segera dibonsai.
Lalu, sejumlah kasus yang menimpa beberapa
pesohor dan petinggi negeri ini, dari Century,
Hambalang, BLBI, dan lainnya, terakhir kasus
manipulasi pajak keluarga SBY yang diungkap
pertama kali oleh The Jakarta Post, Rabu
(30/1/2013), memaksa kasus suap daging sapi impor
yang sudah lama disiapkan untuk dimunculkan,
sebagaimana dikatakan Prof Dr Tjipta Lesmana.
Menurut pengamat politik ini, kasus suap daging
impor ini disinyalir untuk menutupi sederet kasus
yang tadi disebutkan—terutama kasus terakhir:
manipulasi pajak keluarga SBY.
Hanya, memang, entah lantaran digarap terburu-
buru karena mengejar waktu atau seperti dikatakan
mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Dr Jimly
Ash-Shiddiqie adanya faktor kebodohan (rakyat
merdeka online, 31/1/2013), proses penetapan
tersangka hingga penangkapan dan penahanannya
pun tampak janggal di mata publik.
Jimly khawatir keberanian KPK ini karena didasari atas
kebodohan. Kalau sampai pedang keadilan diserahkan
kepada orang bodoh, menurutnya, itu sangat
berbahaya.
“Jangan sampai begitu. Menegakkan keadilan itu kan
sebagian juga seni. (Luthfi) belum diperiksa kok
dijadikan sebagai tersangka. Mbok ditunggu seminggu
kalau memang ada alat bukti. Ini kan soal kecerdikan.
Jadi ini penegak hukumnya agak bodoh. Bisa karena
bodoh, bisa karena goblok…,” tandasnya.
Ya, seperti disebut tadi, entah karena diburu waktu
yang mengharuskan skenarionya seperti itu atau
faktor kebodohan seperti dikatakan Prof Jimly, yang
terang ada beberapa hal yang janggal.
Pertama, KPK mengaku sebelumnya sudah mendapat
informasi bahwa akan ada transaski (suap) pada
Selasa (29/1/2013) siang di kantor PT Indoguna
Utama.
Pertanyaannya, kenapa kemudian KPK tidak
menangkap langsung saat transaksi suap terjadi?
Bukankah ini lebih meyakinkan? KPK malah
melakukan penangkapan pada malam hari di saat
penerima suap (AF) tengah berada di sebuah hotel
bersama seorang wanita yang belakangan diketahui
mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta.
Kedua, ada penilaian publik, bahwa skenario yang
mengandung unsur cewek cantiknya dalam “operasi”
ini harus dimunculkan. Andai KPK menangkap saat
transaksi suap berlangsung, maka dipastikan tak ada
berita AF ditangkap saat berdua dengan seorang
wanita cantik di dalam kamar hotel dengan busana
minim.
Beberapa satsiun televisi berulang-ulang memutar
dan memberitakan soal perempuan cantik ini.
Bisakah kita menepis dugaan bahwa unsur
perempuan cantik ini dalam rangka makin
mendramatisir beginilah partai Islam! Citranya makin
hancur. Ada pesan yang ingin diblowup dalam
episode di bagian cerita ini, yakni: lha, partai dakwah,
sudah kena kasus suap, eh malah ada unsur
ceweknya pula. Imej tentu kian buruk. Itu pesan
khususnya.
Jadi, kembali pada pertanyaan, mengapa
ditangkapnya harus di hotel, bukan pada saat
transaksi suap berlangsung, sebagaimana dilakukan
KPK selama ini (tertangkap tangan)?
Ketiga, ini juga jadi pertanyaan banyak pihak, Luthfi
Hasan tidak tertangkap tangan, tapi kenapa langsung
dijadikan tersangka? Yang sudah-sudah langsung jadi
tersangka saat tertangkap tangan memberi dan
menerima suap, sementara Luthfi Hasan tidak ada
saat transaksi suap terjadi.
Keempat, siapa sebenarnya AF penerima suap dari
pimpinan perusahaan pengimpor daging sapi itu? AF
disebut-sebut kurir dan orang dekatnya Luthfi. Tentu
agak risih mendengar partai Islam kok kadernya mau
disuguhi cewek yang kini disebut sebagai gratifikasi
seks?
Namun Hidayat Nur Wahid menyebut AF bukan
anggota atau kader PKS. Mantan Presiden PKS ini
juga menyebut ada konspirasi terhadap PKS. Sumber
lainnya menyebut AF bukanlah asisten Luthfi seperti
diberitakan. Lantas, siapa yang menskenariokan AF
dekat dan sebagai orang kepercayaan Luthfi? Sejak
kapan penggarapan ini berlangsung?
Dan sepertinya “operasi intelijen” sebagaimana
diinformasikan Alm ZA Maulani itu sejak 2007 sampai
sekarang “berhasil” melemahkan, membonsai dan
mengerdilkan partai ini, sehingga urung menjadi
partai Islam yang memiliki pengaruh dan harapan
umat, setidaknya untuk saat ini, wallahu a’lam ke Tiga bulan sebelum
Letjen TNI (Purn) ZA Maulani meninggal dunia pada
2007, Kepala BIN (BAKIN) di era Presiden Habibie ini
memberi informasi dan catatan penting dalam
sebuah pertemuan.
Kepada yang hadir Maulani mengungkap bahwa
intelijen asing yang berkomplot dengan pihak internal
(dalam negeri) tengah intens “menggarap” ormas/
partai Islam tertentu yang dianggap radikal atau
dinilai memiliki pengaruh besar dan diprediksi
menjadi partai masa depan.
“Operasi intelijen” ini, menurut Maulani, bertujuan
untuk melemahkan ormas/partai Islam tertentu. Ada
tiga ormas Islam yang dibidik kala itu dan satu partai
Islam yang dinilai ke depannya memiliki pengaruh
besar sebagai kekuatan politik Islam alternatif, jika tak
segera dikebiri.
Menurut Maulani yang juga sangat dibenci Amerika,
partai Islam yang dia maksud menjadi perhatian AS
dan sekutunya. Rupanya Barat sangat khawatir
dengan perkembangan partai yang pernah disebut
fenomenal ini. Karena itu, bagaimana caranya agar
partai ini dilemahkan, dibonsai dan dikerdilkan.
Menurut Maulani kala itu, ada tiga modus yang
bertujuan melemahkan kekuatan ormas/partasi Islam
tersebut. Pertama, membikin konflik internal yang
target akhirnya menjadi pecah belah. Kedua,
membuat citra/imej ormas/partai Islam tersebut
menjadi buruk di mata publik. Ketiga, mengarahkan
oknum pengurus/petingginya menjadi tergoda
dengan dunia.
Maulani menjelaskan, sesungguhnya tak ada ormas/
lembaga/partai Islam yang steril—khususnya yang
dianggap radikal. Umumnya disusupi. Penyusupan ini
tentu untuk lebih memudahkan pelemahan ormas/
partai Islam yang dimaksud.
Modus pertama, membuat konflik di internal ormas
Islam tertentu. Setidaknya ada 3 ormas Islam—
setelah 2007—yang dengan tajam dilanda konflik
internal. Satu ormas Islam akhirnya harus merelakan
sejumlah pengurus dan anggotanya bedol desa alias
keluar dari organisasi. Sedang ormas Islam lainnya
pecah dan pecahannya melahirkan organisasi baru.
Modus kedua, membuat ormas Islam satunya lagi
menjadi bulan-bulanan yang terus dicitrakan buruk.
Sementara terhadap partai islam yang dibidik,
“operasi intelijen” agak sulit membuat konflik atau
menciptakan imej buruk. Pertama, partai ini dinilai
solid, tidak mudah mengacak-acaknya. Kedua, partai
yang dimaksud selama ini pertahanannya cukup kuat,
segenap pengurus dan kadernya sangat menjaga citra
baiknya di hadapan publik.
Walhasil, dari sisi mengarahkan partai ini ke dalam
konflik internal dan merusak imejnya tak semudah
mengacak-acak dua ormas Islam seperti tersebut di
atas. Karenanya, modus ketiga, mengarahkan oknum
pengurus tertentu dalam partai Islam ini untuk
“silau” dengan dunia dengan cara memberi proyek,
misalnya, ternyata cukup jitu.
“Operasi” ini meyakinkan bahwa pasti orang punya
kebutuhan dalam hidup. Orang-orang yang lemah
dan lebih cenderung pada dunia akan lebih mudah
untuk dirasuki—disadari atau tidak—akhirnya berada
dalam kubangan pragmatisme. Jalan “operasi” seperti
ini dengan mudahnya dilakukan oleh musuh-musuh
Islam.
Oknum atau orang-orang tertentu yang di hati dan
jiwanya memiliki penyakit yang disebut dalam hadits
Nabi sebagai “al-wahn”—cinta dunia benci mati—
ternyata bukan saja menggiring pelakunya menjadi
mabuk dunia, tetapi bahkan bisa membuat imej
buruk dan distrust (hilangnya kepercayaan) publik
secara bertahap terhadap partai dan petingginya—
yang ujung-ujungnya melahirkan konflik.
Benar, akhirnya partai ini pun tak lepas dari konflik
internal. Ada yang dipecat, ada yang mundur. Ada
yang tak terima dipecat sehingga menuntut dan
berujung ke pengadilan. Dua kubu berseteru, baik
secara langsung maupun lewat SMS dan bahkan via
media sosial.
Akhirnya partai yang selama ini dianggap solid, tak
mudah dipecah belah, jebol juga pertahanannya.
Selesaikah “operasi” ini? Belum. Meski dalam
sejumlah survei dinyatakan suara partai ini anjlok,
lantaran berkurangnya kepercayaan, namun
kelompok Islamfobia yang turut cawe-cawe dalam
“proyek” ini masih belum puas.
Ocehan-ocehan 1 atau 2 petingginya yang dinilai tak
mencerminkan Islam makin menambah deret banyak
pihak, kader atau simpatisan, yang angkat kaki dari
partai ini.
Kini, dengan kasus terbaru yang menimpa Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) ini, masih belum puas
juakah “operasi intelijen” yang telah “berhasil”
membuat hasil survei memelorotkan suaranya?
Nyatanya “operasi” ini tak berhenti sampai di sini.
Bahwa orang-orang partai ini tak jua tersentuh
korupsi, agaknya mengundang rasa penasaran.
Selama cap koruptor belum menempel pada partai ini
sebagaimana partai lainnya, “operasi” ini dianggap
belum sempurna.
“Operasi” ini harus “menggarap” orang-orang tertentu
dalam partai dan yang terkait dengan partai untuk
dipancing. Hanya orang-orang atau figur yang
memiliki potensi dan kecenderungan hubbud dun-ya
wakarahiyatul maut (cinta dunia benci mati) yang
bisa digoda dengan dunia dan isinya. Tak tanggung-
tanggung, orang kedua di partai ini, yakni
presidennya, terjerembab dalam tudingan suap izin
quota daging sapi impor.
Umumnya para petinggi dan pengurus serta kader-
kader partai ini baik, lurus, dengan ghirah dan gairah
Islam yang tinggi, tetapi segelintir orang telah
membuat partai dakwah ini menjadi terpuruk tanpa
ada sanksi terhadap mereka.
Inilah yang dijadikan bibit dan bahan “operasi”
berikutnya. Sudah lama perangkap dan jebakan
dipasang. Tapi rupanya selama ini belum bisa
“dieksekusi” untuk memerangkapnya. Padahal
vokalitas dan kritik tajam yang dianggap tak sejalan
dengan yang namanya Setgab Koalisi kian
menyebabkan partai ini harus segera dibonsai.
Lalu, sejumlah kasus yang menimpa beberapa
pesohor dan petinggi negeri ini, dari Century,
Hambalang, BLBI, dan lainnya, terakhir kasus
manipulasi pajak keluarga SBY yang diungkap
pertama kali oleh The Jakarta Post, Rabu
(30/1/2013), memaksa kasus suap daging sapi impor
yang sudah lama disiapkan untuk dimunculkan,
sebagaimana dikatakan Prof Dr Tjipta Lesmana.
Menurut pengamat politik ini, kasus suap daging
impor ini disinyalir untuk menutupi sederet kasus
yang tadi disebutkan—terutama kasus terakhir:
manipulasi pajak keluarga SBY.
Hanya, memang, entah lantaran digarap terburu-
buru karena mengejar waktu atau seperti dikatakan
mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Dr Jimly
Ash-Shiddiqie adanya faktor kebodohan (rakyat
merdeka online, 31/1/2013), proses penetapan
tersangka hingga penangkapan dan penahanannya
pun tampak janggal di mata publik.
Jimly khawatir keberanian KPK ini karena didasari atas
kebodohan. Kalau sampai pedang keadilan diserahkan
kepada orang bodoh, menurutnya, itu sangat
berbahaya.
“Jangan sampai begitu. Menegakkan keadilan itu kan
sebagian juga seni. (Luthfi) belum diperiksa kok
dijadikan sebagai tersangka. Mbok ditunggu seminggu
kalau memang ada alat bukti. Ini kan soal kecerdikan.
Jadi ini penegak hukumnya agak bodoh. Bisa karena
bodoh, bisa karena goblok…,” tandasnya.
Ya, seperti disebut tadi, entah karena diburu waktu
yang mengharuskan skenarionya seperti itu atau
faktor kebodohan seperti dikatakan Prof Jimly, yang
terang ada beberapa hal yang janggal.
Pertama, KPK mengaku sebelumnya sudah mendapat
informasi bahwa akan ada transaski (suap) pada
Selasa (29/1/2013) siang di kantor PT Indoguna
Utama.
Pertanyaannya, kenapa kemudian KPK tidak
menangkap langsung saat transaksi suap terjadi?
Bukankah ini lebih meyakinkan? KPK malah
melakukan penangkapan pada malam hari di saat
penerima suap (AF) tengah berada di sebuah hotel
bersama seorang wanita yang belakangan diketahui
mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta.
Kedua, ada penilaian publik, bahwa skenario yang
mengandung unsur cewek cantiknya dalam “operasi”
ini harus dimunculkan. Andai KPK menangkap saat
transaksi suap berlangsung, maka dipastikan tak ada
berita AF ditangkap saat berdua dengan seorang
wanita cantik di dalam kamar hotel dengan busana
minim.
Beberapa satsiun televisi berulang-ulang memutar
dan memberitakan soal perempuan cantik ini.
Bisakah kita menepis dugaan bahwa unsur
perempuan cantik ini dalam rangka makin
mendramatisir beginilah partai Islam! Citranya makin
hancur. Ada pesan yang ingin diblowup dalam
episode di bagian cerita ini, yakni: lha, partai dakwah,
sudah kena kasus suap, eh malah ada unsur
ceweknya pula. Imej tentu kian buruk. Itu pesan
khususnya.
Jadi, kembali pada pertanyaan, mengapa
ditangkapnya harus di hotel, bukan pada saat
transaksi suap berlangsung, sebagaimana dilakukan
KPK selama ini (tertangkap tangan)?
Ketiga, ini juga jadi pertanyaan banyak pihak, Luthfi
Hasan tidak tertangkap tangan, tapi kenapa langsung
dijadikan tersangka? Yang sudah-sudah langsung jadi
tersangka saat tertangkap tangan memberi dan
menerima suap, sementara Luthfi Hasan tidak ada
saat transaksi suap terjadi.
Keempat, siapa sebenarnya AF penerima suap dari
pimpinan perusahaan pengimpor daging sapi itu? AF
disebut-sebut kurir dan orang dekatnya Luthfi. Tentu
agak risih mendengar partai Islam kok kadernya mau
disuguhi cewek yang kini disebut sebagai gratifikasi
seks?
Namun Hidayat Nur Wahid menyebut AF bukan
anggota atau kader PKS. Mantan Presiden PKS ini
juga menyebut ada konspirasi terhadap PKS. Sumber
lainnya menyebut AF bukanlah asisten Luthfi seperti
diberitakan. Lantas, siapa yang menskenariokan AF
dekat dan sebagai orang kepercayaan Luthfi? Sejak
kapan penggarapan ini berlangsung?
Dan sepertinya “operasi intelijen” sebagaimana
diinformasikan Alm ZA Maulani itu sejak 2007 sampai
sekarang “berhasil” melemahkan, membonsai dan
mengerdilkan partai ini, sehingga urung menjadi
partai Islam yang memiliki pengaruh dan harapan
umat, setidaknya untuk saat ini, wallahu a’lam ke
depannya.
Namun seburuk apapun partai ini, ia pernah menjadi
harapan banyak umat Islam. Ia pernah menjadi
alternatif dalam politik keumatan di tengah penilaian
bobroknya partai-partai sebelumnya.
Maka, badai pahit yang tengah melanda partai ini
sudah seharusnya dijadikan pelajaran, introspeksi dan
evaluasi untuk perjalanan ke depan yang lebih baik.
Mampukah partai ini mengembalikan trust publik
seperti sebelumnya? Tentu, itu kembali pada Tiga bulan sebelum
Letjen TNI (Purn) ZA Maulani meninggal dunia pada
2007, Kepala BIN (BAKIN) di era Presiden Habibie ini
memberi informasi dan catatan penting dalam
sebuah pertemuan.
Kepada yang hadir Maulani mengungkap bahwa
intelijen asing yang berkomplot dengan pihak internal
(dalam negeri) tengah intens “menggarap” ormas/
partai Islam tertentu yang dianggap radikal atau
dinilai memiliki pengaruh besar dan diprediksi
menjadi partai masa depan.
“Operasi intelijen” ini, menurut Maulani, bertujuan
untuk melemahkan ormas/partai Islam tertentu. Ada
tiga ormas Islam yang dibidik kala itu dan satu partai
Islam yang dinilai ke depannya memiliki pengaruh
besar sebagai kekuatan politik Islam alternatif, jika tak
segera dikebiri.
Menurut Maulani yang juga sangat dibenci Amerika,
partai Islam yang dia maksud menjadi perhatian AS
dan sekutunya. Rupanya Barat sangat khawatir
dengan perkembangan partai yang pernah disebut
fenomenal ini. Karena itu, bagaimana caranya agar
partai ini dilemahkan, dibonsai dan dikerdilkan.
Menurut Maulani kala itu, ada tiga modus yang
bertujuan melemahkan kekuatan ormas/partasi Islam
tersebut. Pertama, membikin konflik internal yang
target akhirnya menjadi pecah belah. Kedua,
membuat citra/imej ormas/partai Islam tersebut
menjadi buruk di mata publik. Ketiga, mengarahkan
oknum pengurus/petingginya menjadi tergoda
dengan dunia.
Maulani menjelaskan, sesungguhnya tak ada ormas/
lembaga/partai Islam yang steril—khususnya yang
dianggap radikal. Umumnya disusupi. Penyusupan ini
tentu untuk lebih memudahkan pelemahan ormas/
partai Islam yang dimaksud.
Modus pertama, membuat konflik di internal ormas
Islam tertentu. Setidaknya ada 3 ormas Islam—
setelah 2007—yang dengan tajam dilanda konflik
internal. Satu ormas Islam akhirnya harus merelakan
sejumlah pengurus dan anggotanya bedol desa alias
keluar dari organisasi. Sedang ormas Islam lainnya
pecah dan pecahannya melahirkan organisasi baru.
Modus kedua, membuat ormas Islam satunya lagi
menjadi bulan-bulanan yang terus dicitrakan buruk.
Sementara terhadap partai islam yang dibidik,
“operasi intelijen” agak sulit membuat konflik atau
menciptakan imej buruk. Pertama, partai ini dinilai
solid, tidak mudah mengacak-acaknya. Kedua, partai
yang dimaksud selama ini pertahanannya cukup kuat,
segenap pengurus dan kadernya sangat menjaga citra
baiknya di hadapan publik.
Walhasil, dari sisi mengarahkan partai ini ke dalam
konflik internal dan merusak imejnya tak semudah
mengacak-acak dua ormas Islam seperti tersebut di
atas. Karenanya, modus ketiga, mengarahkan oknum
pengurus tertentu dalam partai Islam ini untuk
“silau” dengan dunia dengan cara memberi proyek,
misalnya, ternyata cukup jitu.
“Operasi” ini meyakinkan bahwa pasti orang punya
kebutuhan dalam hidup. Orang-orang yang lemah
dan lebih cenderung pada dunia akan lebih mudah
untuk dirasuki—disadari atau tidak—akhirnya berada
dalam kubangan pragmatisme. Jalan “operasi” seperti
ini dengan mudahnya dilakukan oleh musuh-musuh
Islam.
Oknum atau orang-orang tertentu yang di hati dan
jiwanya memiliki penyakit yang disebut dalam hadits
Nabi sebagai “al-wahn”—cinta dunia benci mati—
ternyata bukan saja menggiring pelakunya menjadi
mabuk dunia, tetapi bahkan bisa membuat imej
buruk dan distrust (hilangnya kepercayaan) publik
secara bertahap terhadap partai dan petingginya—
yang ujung-ujungnya melahirkan konflik.
Benar, akhirnya partai ini pun tak lepas dari konflik
internal. Ada yang dipecat, ada yang mundur. Ada
yang tak terima dipecat sehingga menuntut dan
berujung ke pengadilan. Dua kubu berseteru, baik
secara langsung maupun lewat SMS dan bahkan via
media sosial.
Akhirnya partai yang selama ini dianggap solid, tak
mudah dipecah belah, jebol juga pertahanannya.
Selesaikah “operasi” ini? Belum. Meski dalam
sejumlah survei dinyatakan suara partai ini anjlok,
lantaran berkurangnya kepercayaan, namun
kelompok Islamfobia yang turut cawe-cawe dalam
“proyek” ini masih belum puas.
Ocehan-ocehan 1 atau 2 petingginya yang dinilai tak
mencerminkan Islam makin menambah deret banyak
pihak, kader atau simpatisan, yang angkat kaki dari
partai ini.
Kini, dengan kasus terbaru yang menimpa Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) ini, masih belum puas
juakah “operasi intelijen” yang telah “berhasil”
membuat hasil survei memelorotkan suaranya?
Nyatanya “operasi” ini tak berhenti sampai di sini.
Bahwa orang-orang partai ini tak jua tersentuh
korupsi, agaknya mengundang rasa penasaran.
Selama cap koruptor belum menempel pada partai ini
sebagaimana partai lainnya, “operasi” ini dianggap
belum sempurna.
“Operasi” ini harus “menggarap” orang-orang tertentu
dalam partai dan yang terkait dengan partai untuk
dipancing. Hanya orang-orang atau figur yang
memiliki potensi dan kecenderungan hubbud dun-ya
wakarahiyatul maut (cinta dunia benci mati) yang
bisa digoda dengan dunia dan isinya. Tak tanggung-
tanggung, orang kedua di partai ini, yakni
presidennya, terjerembab dalam tudingan suap izin
quota daging sapi impor.
Umumnya para petinggi dan pengurus serta kader-
kader partai ini baik, lurus, dengan ghirah dan gairah
Islam yang tinggi, tetapi segelintir orang telah
membuat partai dakwah ini menjadi terpuruk tanpa
ada sanksi terhadap mereka.
Inilah yang dijadikan bibit dan bahan “operasi”
berikutnya. Sudah lama perangkap dan jebakan
dipasang. Tapi rupanya selama ini belum bisa
“dieksekusi” untuk memerangkapnya. Padahal
vokalitas dan kritik tajam yang dianggap tak sejalan
dengan yang namanya Setgab Koalisi kian
menyebabkan partai ini harus segera dibonsai.
Lalu, sejumlah kasus yang menimpa beberapa
pesohor dan petinggi negeri ini, dari Century,
Hambalang, BLBI, dan lainnya, terakhir kasus
manipulasi pajak keluarga SBY yang diungkap
pertama kali oleh The Jakarta Post, Rabu
(30/1/2013), memaksa kasus suap daging sapi impor
yang sudah lama disiapkan untuk dimunculkan,
sebagaimana dikatakan Prof Dr Tjipta Lesmana.
Menurut pengamat politik ini, kasus suap daging
impor ini disinyalir untuk menutupi sederet kasus
yang tadi disebutkan—terutama kasus terakhir:
manipulasi pajak keluarga SBY.
Hanya, memang, entah lantaran digarap terburu-
buru karena mengejar waktu atau seperti dikatakan
mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Dr Jimly
Ash-Shiddiqie adanya faktor kebodohan (rakyat
merdeka online, 31/1/2013), proses penetapan
tersangka hingga penangkapan dan penahanannya
pun tampak janggal di mata publik.
Jimly khawatir keberanian KPK ini karena didasari atas
kebodohan. Kalau sampai pedang keadilan diserahkan
kepada orang bodoh, menurutnya, itu sangat
berbahaya.
“Jangan sampai begitu. Menegakkan keadilan itu kan
sebagian juga seni. (Luthfi) belum diperiksa kok
dijadikan sebagai tersangka. Mbok ditunggu seminggu
kalau memang ada alat bukti. Ini kan soal kecerdikan.
Jadi ini penegak hukumnya agak bodoh. Bisa karena
bodoh, bisa karena goblok…,” tandasnya.
Ya, seperti disebut tadi, entah karena diburu waktu
yang mengharuskan skenarionya seperti itu atau
faktor kebodohan seperti dikatakan Prof Jimly, yang
terang ada beberapa hal yang janggal.
Pertama, KPK mengaku sebelumnya sudah mendapat
informasi bahwa akan ada transaski (suap) pada
Selasa (29/1/2013) siang di kantor PT Indoguna
Utama.
Pertanyaannya, kenapa kemudian KPK tidak
menangkap langsung saat transaksi suap terjadi?
Bukankah ini lebih meyakinkan? KPK malah
melakukan penangkapan pada malam hari di saat
penerima suap (AF) tengah berada di sebuah hotel
bersama seorang wanita yang belakangan diketahui
mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta.
Kedua, ada penilaian publik, bahwa skenario yang
mengandung unsur cewek cantiknya dalam “operasi”
ini harus dimunculkan. Andai KPK menangkap saat
transaksi suap berlangsung, maka dipastikan tak ada
berita AF ditangkap saat berdua dengan seorang
wanita cantik di dalam kamar hotel dengan busana
minim.
Beberapa satsiun televisi berulang-ulang memutar
dan memberitakan soal perempuan cantik ini.
Bisakah kita menepis dugaan bahwa unsur
perempuan cantik ini dalam rangka makin
mendramatisir beginilah partai Islam! Citranya makin
hancur. Ada pesan yang ingin diblowup dalam
episode di bagian cerita ini, yakni: lha, partai dakwah,
sudah kena kasus suap, eh malah ada unsur
ceweknya pula. Imej tentu kian buruk. Itu pesan
khususnya.
Jadi, kembali pada pertanyaan, mengapa
ditangkapnya harus di hotel, bukan pada saat
transaksi suap berlangsung, sebagaimana dilakukan
KPK selama ini (tertangkap tangan)?
Ketiga, ini juga jadi pertanyaan banyak pihak, Luthfi
Hasan tidak tertangkap tangan, tapi kenapa langsung
dijadikan tersangka? Yang sudah-sudah langsung jadi
tersangka saat tertangkap tangan memberi dan
menerima suap, sementara Luthfi Hasan tidak ada
saat transaksi suap terjadi.
Keempat, siapa sebenarnya AF penerima suap dari
pimpinan perusahaan pengimpor daging sapi itu? AF
disebut-sebut kurir dan orang dekatnya Luthfi. Tentu
agak risih mendengar partai Islam kok kadernya mau
disuguhi cewek yang kini disebut sebagai gratifikasi
seks?
Namun Hidayat Nur Wahid menyebut AF bukan
anggota atau kader PKS. Mantan Presiden PKS ini
juga menyebut ada konspirasi terhadap PKS. Sumber
lainnya menyebut AF bukanlah asisten Luthfi seperti
diberitakan. Lantas, siapa yang menskenariokan AF
dekat dan sebagai orang kepercayaan Luthfi? Sejak
kapan penggarapan ini berlangsung?
Dan sepertinya “operasi intelijen” sebagaimana
diinformasikan Alm ZA Maulani itu sejak 2007 sampai
sekarang “berhasil” melemahkan, membonsai dan
mengerdilkan partai ini, sehingga urung menjadi
partai Islam yang memiliki pengaruh dan harapan
umat, setidaknya untuk saat ini, wallahu a’lam ke
depannya.
Namun seburuk apapun partai ini, ia pernah menjadi
harapan banyak umat Islam. Ia pernah menjadi
alternatif dalam politik keumatan di tengah penilaian
bobroknya partai-partai sebelumnya.
Maka, badai pahit yang tengah melanda partai ini
sudah seharusnya dijadikan pelajaran, introspeksi dan
evaluasi untuk perjalanan ke depan yang lebih baik.
Mampukah partai ini mengembalikan trust publik
seperti sebelumnya? Tentu, itu kembali pada
pengelola partai ini, sejauh mana komitmen ke-Islam-
an itu merasuki jiwa dan relung-relung mereka dan
menjadikannya sebagai benteng kehidupan yang
menghantarkan para kader dan simpatisannya ke
dalam gerbang Indonesia yang lebih luas.
Dan, sejauh mana pula keberpihakan pada umat dan
bangsa mayoritas Muslim ini sungguh-sungguh
dirasakan, dan akhirnya dengan Visi Islamnya
memiliki komitmen menegakkan Islam dan
memperjuangkan Islam sebagai sistem dalam
kehidupan bernegara, pemerintahan, bermasyarakat,
meninggalkan sistem kufur! (isa/ salam-online )
pengelola partai ini, sejauh mana komitmen ke-Islam-
an itu merasuki jiwa dan relung-relung mereka dan
menjadikannya sebagai benteng kehidupan yang
menghantarkan para kader dan simpatisannya ke
dalam gerbang Indonesia yang lebih luas.
Dan, sejauh mana pula keberpihakan pada umat dan
bangsa mayoritas Muslim ini sungguh-sungguh
dirasakan, dan akhirnya dengan Visi Islamnya
memiliki komitmen menegakkan Islam dan
memperjuangkan Islam sebagai sistem dalam
kehidupan bernegara, pemerintahan, bermasyarakat,
meninggalkan sistem kufur! (isa/ salam-online )
depannya.
Namun seburuk apapun partai ini, ia pernah menjadi
harapan banyak umat Islam. Ia pernah menjadi
alternatif dalam politik keumatan di tengah penilaian
bobroknya partai-partai sebelumnya.
Maka, badai pahit yang tengah melanda partai ini
sudah seharusnya dijadikan pelajaran, introspeksi dan
evaluasi untuk perjalanan ke depan yang lebih baik.
Mampukah partai ini mengembalikan trust publik
seperti sebelumnya? Tentu, itu kembali pada
pengelola partai ini, sejauh mana komitmen ke-Islam-
an itu merasuki jiwa dan relung-relung mereka dan
menjadikannya sebagai benteng kehidupan yang
menghantarkan para kader dan simpatisannya ke
dalam gerbang Indonesia yang lebih luas.
Dan, sejauh mana pula keberpihakan pada umat dan
bangsa mayoritas Muslim ini sungguh-sungguh
dirasakan, dan akhirnya dengan Visi Islamnya
memiliki komitmen menegakkan Islam dan
memperjuangkan Islam sebagai sistem dalam
kehidupan bernegara, pemerintahan, bermasyarakat,
meninggalkan sistem kufur! (isa/ salam-online )
Langganan:
Postingan (Atom)