Minggu, 27 Desember 2009

5 Bekal Istri Aktivis Dakwah

Seorang aktivis dakwah membutuhkan istri yang ‘tidak biasa’. Kenapa? Karena mereka tidak hanya memerlukan istri yang pandai merawat tubuh, pandai memasak, pandai mengurus rumah, pandai mengelola keuangan, trampil dalam hal-hal seputar urusan kerumah-tanggaan dan piawai di tempat tidur. Maaf, tanpa bermaksud mengecilkan, berbagai kepandaian dan ketrampilan itu adalah bekalan ‘standar’ yang memang harus dimiliki oleh seorang istri, tanpa memandang apakah suaminya seorang aktivis atau bukan. Atau dengan kalimat lain, seorang perempuan dikatakan siap untuk menikah dan menjadi seorang istri jika dia memiliki berbagai bekalan yang standar itu. Lalu bagaimana jika sudah jadi istri, tapi tidak punya bekalan itu? Ya, jangan hanya diam, belajar dong. Istilah populernya learning by doing.
Kembali kepada pokok bahasan kita. Menjadi istri aktivis berarti bersedia untuk mempelajari dan memiliki bekalan ‘di atas standar’. Seperti apa? Berikut ini adalah bekalan yang diperlukan oleh istri aktivis atau yang ingin menikah dengan aktivis dakwah:
1. Bekalan Yang Bersifat Pemahaman (fikrah).
Hal penting yang harus dipahami oleh istri seorang aktivis dakwah, bahwa suaminya tak sama dengan ‘model’ suami pada umumnya. Seorang aktivis dakwah adalah orang yang mempersembahkan waktunya, gerak amalnya, getar hatinya, dan seluruh hidupnya demi tegaknya dakwah Islam dalam rangka meraih ridha Allah. Mendampingi seorang aktivis adalah mendampingi seorang prajurit Allah. Tak ada yang dicintai seorang aktivis dakwah melebihi cintanya kepada Allah, Rasul, dan berjihad di jalan-Nya. Jadi, siapkan dan ikhlaskan diri kita untuk menjadi cinta ‘kedua’ bagi suami kita, karena cinta pertamanya adalah untuk dakwah dan jihad!
2. Bekalan Yang Bersifat Ruhiyah.
Berusahalah untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Jadikan hanya Dia tempat bergantung semua harapan. Miliki keyakinan bahwa ada Kehendak, Qadha, dan Qadar Allah yang berlaku dan pasti terjadi, sehingga tak perlu takut atau khawatir melepas suami pergi berdakwah ke manapun. Miliki keyakinan bahwa Dialah Sang Pemilik dan Pemberi Rezeki, yang berkuasa melapangkan dan menyempitkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki. Bekalan ini akan sangat membantu kita untuk bersikap ikhlas dan qana’ah ketika harus menjalani hidup bersahaja tanpa limpahan materi. Dan tetap sadar diri, tak menjadi takabur dan lalai ketika Dia melapangkan rezeki-Nya untuk kita.
3. Bekalan Yang bersifat Ma’nawiyah (mentalitas).
Inilah di antara bekalan berupa sikap mental yang diperlukan untuk menjadi istri seorang aktivis: kuat, tegar, gigih, kokoh, sabar, tidak cengeng, tidak manja (kecuali dalam batasan tertentu) dan mandiri. Teman saya mengistilahkan semua sikap mental ini dengan ungkapan yang singkat: tahan banting!
4. Bekalan Yang bersifat Aqliyah (intelektualitas).
Ternyata, seorang aktivis tidak hanya butuh pendengar setia. Ia butuh istri yang ‘nyambung’ untuk diajak ngobrol, tukar pikiran, musyawarah, atau diskusi tentang kesibukan dan minatnya. Karena itu, banyaklah membaca, rajin mendatangi majelis-majelis ilmu supaya tidak ‘tulalit’!
5. Bekalan Yang Bersifat Jasadiyah (fisik).
Minimal sehat, bugar, dan tidak sakit-sakitan. Jika fisik kita sehat, kita bisa melakukan banyak hal, termasuk mengurusi suami yang sibuk berdakwah. Karena itu, penting bagi kita untuk menjaga kesehatan, membiasakan pola hidup sehat, rajin olah raga dan lain-lain. Selain itu, jangan lupakan masalah merawat wajah dan tubuh. Ingatlah, salah satu ciri istri shalihat adalah ‘menyenangkan ketika dipandang’.
Akhirnya, ada bekalan yang lain yang tak kalah penting. Itulah sikap mudah memaafkan dan melapangkan. Wahai Ibu, bukankah tak ada seorangpun manusia yang ma’shum di dunia ini selain Baginda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?
Bagaimanapun saleh dan taqwanya seorang suami yang aktivis, tak akan mengubah dia menjadi malaikat yang tak punya kesalahan. Seorang suami aktivis dakwah tetaplah manusia biasa yang bisa dan mungkin untuk melakukan kesalahan. Seorang suami aktivis dakwah terkadang menjadi ‘bayi besar’ yang serba kolokan, serba meminta pelayanan paling ‘mewah’ untuk dirinya (seringkali menyaingi manja si bayi kecil). Namun jangan lupa ! Jemari halus kita yang memanjakan sang ‘bayi besar’, kelembutan rayu tutur kata mengiringi lapangnya keshabaran hati kita itulah yang mampu menjadikannya sebagai petarung ulung di medan da’wah ! (Amiin yaa Mujibad_Du’aa.....) Prestasi dan prestise seorang suami aktivis da’wah sedemikian, bukankah itu akibat dari kemahiran kita sebagai koki di rumah ? Amat sulit ditemukan peradaban besar yang dihasilkan seorang lelaki yang tidak berasal dari kinerja unggul seorang isteri yang berkualitas !
Wahai Ibu, keringat dan keletihan seperti inilah yang suata saat kelak menjadi sesuatu yang layak kita bangga-banggakan di hadapan mahkamah Allah Al ‘Aziz Al Jabbar Al Mutakabbir.....
Wallaahu a’lamu bish_shawaab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar