Sabtu, 06 Februari 2010

Tuntutlah Ilmu Wahai Pemuda !

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata:
“Ilmuku selalu bersamaku mengikuti
hatikulah wadahnya, bukan perut tempatnya
Jika aku di rumah, ia pun tinggal di rumah
Jika aku ke pasar, ilmuku juga ikut bersamaku”

Imam Ar Razi rahimahullah berkata:
“Ilmu adalah milik Yang Maha Rahman
SelainNya tenggelam dalam kebodohan
Tanah dan ilmu tidak lain hanyalah
Berusaha mengetahui bahwa ia tidak mengetahui”

Begitulah para Imam umat ini menggambarkan kemuliaan ilmu. Memang demikian, bahkan lebih dari itu. Jika ditanya apa yang paling manusia butuhkan setelah taqwa kepada Allah Jalla wa ‘Ala, maka jawabnya adalah ilmu. Karena ilmu adalah petunjuk jalan dan motor penggerak generasi. Obat bagi kebodohan dan kebuntuan. Ia membuat mulia yang tadinya hina, memudahkan yang sulit, memberdayakan yang lemah, membuat berani yang penakut. Tidak boleh serakah kecuali pada masalah ilmu. Tidak ada kemuliaan kecuali bagi orang berilmu.

“Dan katakanlah, ‘Tuhanku, tambahkanlah aku ilmu.’ ” (QS. Thaha: 114)
“Katakanlah, ‘Apakah sama orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu?’ “ (QS. Az Zumar: 9)
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. “ (QS. Al Mujadilah: 11)

Dalam Shahihain diriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang Allah hendaki kebaikan bagi dirinya, Allah akan memberinya pemahaman yang baik dalam urusan agama.” (HR. Bukhari (71,3048, 7148) dan Muslim (2345,4912))

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dan barangsiapa yang menempuh perjalanan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya ke surga.” (HR. Muslim dan lainnya)

“Tidaklah seseorang keluar dari rumahnya dalam rangka menuntut ilmu, kecuali para malaikat meletakkan sayap-sayapnya kepedanya karena ridha terhadap apa yang ia perbuat.” (HR. Tirmidzi, menurutnya shahih, Ibnu Majah dan lafaz hadits ini adalah riwayatnya, Ibnu Hibban, dan Al Hakim berkata: shahih sanadnya, dan disepakati Adz Dzahabi. Syaikh al Albany menghasankannya)

Dari Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu tentang firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari Api neraka.” (QS. At Tahrim: 6), Ia berkata: “Ajarkanlah kebaikan kepada keluarga kalian.” (HR. Al Hakim, mauquf /hadits yang sanadnya terhenti sampai sahabat, Al Hakim berkata: shahih menurut standar Bukhari dan Muslim. Adz dzahabi menyepakatinya) Imam Nawawi al Bantani berkata, “jagalah dirimu dan keluargamu dengan ilmu.”

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila Anak Adam wafat maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal; ‘sedekah jariah, atau ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shalih yang mendoakannya.’ “ (HR. Muslim)

Imam al Mundziri berkata, “Penulis ilmu yang bermanfaat mendapatkan pahalanya dari pahala orang-orang yang membacanya atau menyalinnya atau mengamalkannya sesudahnya selama tulisannya masih ada dan diamalkannya, berdasarkan hadits ini dan hadits-hadits lain yang serupa. Sedangkan penulis ilmu yang tidak bermanfaat yang mengakibatkan dosa, maka baginya dosa, dari dosa yang membaca, menyalin, dan mengamalkan sesudahnya, selama tulisannya masih ada dan diamalkan.”

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dunia itu terlaknat, terlaknat apa yang ada padanya, kecuali mengingat Allah dan apa yang mendukungnya, dan orang berilmu dan orang yang menuntut ilmu.” (HR. Tirmidzi, katanya hasan. Juga Ibnu Majah dan al Baihaqy. Syaikh al Albany menghasankannya)

Berkata Syaikh al Qaradhawy, “Maksud terlaknatnya dunia adalah celanya, bukan tercela dzatnya, sebab ia merupakan ladang akhirat, tetapi dari segi bahwa dunia bisa melupakan seseorang dari Allah dan akhirat. Oleh sebab itu dikecualikan dari cela setiap hal yang mengingat kepada Allah, apa yang mendukungnya dan mencintainya seperti ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.”

Utamakan Al Qur’an dan As Sunnah
Wahai pemuda! Jadilah kita para keluarga Allah (ahlullah). Apakah menjadi ‘Keluarga Allah’ tidak menggiurkanmu? Allah Maha Bijaksana perbuatanNya terhadap keluargaNya.

Dari Anas radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah itu mempunyai keluarga dari kalangan manusia. “ Kata Anas selanjutnya, “Lalu Rasulullah ditanya, ‘Siapakah mereka wahai Rasulullah?’ “ Beliau menjawab, “Yaitu ahlul qur’an (orang yang membaca, menghafal, mengkaji, dan mengamalkannya). Mereka adalah keluarga Allah dan orang-orang istimewa bagiNya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ad Darimi, Al Hakim dan An Nasa’i, dengan sanad shahih)

Wahai Ikhwah! Jadilah kita sebagai ‘keluarga Rasulullah’. Menjadi sekelompok umat (thaifah) yang senantiasa bersama kebenaran hingga datang kiamat, tidak goyah sedikitpun. Rasulullah ‘Alaihi shallatu was salam bersabda: “Akan senantiasa ada di antara umatku sekelompok (thaifah) yang selalu menegakkan perintah Allah –dalam riwayat lain ‘selalu di atas kebenaran’-, tidak merugikan mereka orang yang membiarkan dan menyelisihi mereka, hingga datang urusan Allah (kiamat) mereka tetap demikian.” (HR. Bukhari, lafaz ini dari jalur Mughirah bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu (IV/187), dan Muslim (III/1523) )

Siapakah thaifah yang dimaksud? Berkata Imam Abdullah bin Mubarak, “Mereka adalah para pembawa hadits (ahli hadits).” Demikian pula yang dikatakan oleh Imam Bukhari, Imam Ali al Madini, Imam Ahmad bin Sinan dan Imam Ahmad bin Hambal. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Seandainya bukan ahli hadits, aku tidak tahu siapakah mereka?” (Lihat dalam Silsilah ash Shahihah-nya Syaikh al Albany pembahasan hadits no. 270)

Berkata seorang penyair Islam –jika tidak salah, Ahmad Syauqi:
Ahlul hadits … hum Ahlun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Fa in lam yash-habu nafsahu, anfasahu shahibuu
Ahli Hadits … mereka adalah keluarga Nabi. Walaupun mereka tidak bersahabat dengannya, namun mereka bersahabat dengan nafas-nafasnya.

Berkata Imam Sufyan ats Tsauri, “Saya tidak mengenal ilmu yang lebih utama bagi orang yang berhasrat menundukan wajahnya di hadapan Allah, selain dari pada ilmu hadits. Orang-orang sangat memerlukan ilmu ini, hingga soal-soal kecil sekalipun, seperti makan dan minum, memerlukan petunjuk dari hadits. Mempelajari hadits lebih utama dari shalat sunah dan puasa sunah, karena mempelajari ilmu ini adalah fardhu kifayah, sedangkan shalat sunah dan puasa sunah adalah sunah.”

Berkata Imam asy Syafi’I, “Demi umurku, ilmu hadits termasuk tiang agama yang paling pokok dan keyakinan yang paling kokoh. Tidak dianjurkan untuk menyiarkannya kecuali orang-orang jujur lagi bertaqwa, dan tidak dibenci untuk menyiarkannya kecuali orang munafik lagi celaka.”

Berkata Imam al Hakim, “Andai tidak banyak orang yang menghafal sanad hadits, niscaya menara Islam roboh dan para ahli bid’ah berkiprah membuat hadits-hadits palsu dan memutarbalikkan sanad.”

Berkata Imam Abdullah bin Mubarak, “Sanad itu bagian dari agama, seandainya tidak ada sanad maka setiap manusia akan bicara seenaknya saja.”

Ikhwah…, demikianlah keutamaan mengkaji Al Qur’an dan As Sunnah. Namun, hal ini tidak berarti mengkaji selain keduanya adalah kehinaan. mengkaji apapun yang bermanfaat bagi kehidupan agama dan dunia manusia adalah mulia. Bahkan diriwayatkan dari Imam asy Syafi’i bahwa ia mengatakan ilmu yang paling utama setelah ilmu agama adalah kedokteran! Kenapa? Wallahu A’lam. Imam mulia ini lebih tahu dari kita tentang ucapannya. Barangkali, karena ilmu agama adalah penyelamat hidup manusia di akhirat, sedangkan ilmu kedokteran adalah penyelamat hidup manusia di dunia. Hujjatul Islam Imam al Ghazaly mengkategorikan kedokteran sebagai fardhu kifayah, bahkan ia pernah mengkrirtik ulama masanya yang semuanya terjun dalam bidang fiqih dan perdebatannya. Mengerjakan fardhu kifayah, namun melupakan fardhu kifayah lainnya. Akhirnya, ilmu kedokteran dikuasai dan direbut orang-orang kafir, padahal dokter kafir tidak bisa diminta kesaksiannya ketika ada hal yang berkaitan dengan umat Islam. Allahu musta’an !

Setiap manusia punya kecenderungannya sendiri. Maka galilah dengan optimal. Mengkaji Al Qur’an dan As Sunnah tidaklah membunuh potensi lainnya. Biarlah ulama tetap menjadi ulama, jangan paksakan menjadi dokter. Dokter tetaplah jadi dokter, jangan paksakan menjadi ulama. Dan seterusnya. Paling tidak masing-masing spesialis mengetahui kewajiban dan larangan dalam agama, khususnya yang berkaitan dengan bidang dan profesinya.

Dengan cara inilah strategi kaum kuffar dalam menghancurkan kita. Mereka mendidik kader-kadernya secara khusus pada bidang tertentu agar mencapai puncak ilmu pengetahuan dan peradaban. Kita seharusnya demikian, bahkan umat ini lebih berhak demikian dibanding mereka. Masa kini adalah masanya spesialisasi dan pendalaman, bukan masa ensiklopedi. Masa kini bukanlah masanya Imam asy Syafi’i yang faqih, muhaddits, mufassir, dan penyair. Bukan pula masa Imam al Ghazaly yang faqih, sufi, sosiolog, dan ushuly. Rasulullah bersabda, “Jika urusan diberikan kepada yang bukan ahlinya (spesialis), maka tunggulah kehancurannya.” (HR. Bukhari). Ya, ide spesialisasi memang dari Islam, bukan dari luar.

Meneladani Semangat Salafus shalih
Mereka adalah generasi paling mengagumkan yang pernah ada di muka bumi. Segalanya mengagumkan, termasuk semangat mereka dalam mengejar dan menuntut ilmu. Padahal masa itu, belum ada kemudahan dan kecanggihan hidup seperti sekarang. Jarak jauh, mendaki gunung, menyeberang laut, dan melintasi gurun, berbulan-bulan, bukanlah apa-apa bagi mereka ketika berhasil mendapatkan satu buah hadits! Adapun saat ini, semua telah tersedia, tapi bagaimana kondisinya? Tanyakan dirimu!

Pada masa Abdul malik bin Marwan, khalifah umawy, masjidil haram sesak oleh para penuntut ilmu. Sampai khalifah meresa kagum. Tatkala beliau datang, beliau melihat jumlah yang tak terhitung, terdiri atas anak-anak dan penuntut ilmu umumnya. Beliau bertanya kepada guru-guru kelompok-kelompok kajian itu, di dalamnya ada Said bin Jubeir, ‘Atha’, Maimun bin Mihran, Mak-hul, Mujahid, dan lain-lain. Kemudian beliau menganjurkan kepada anak-anak quraisy untuk menuntut dan mempertahankan ilmu.

Diriwayatkan bahwa ketika Imam Abu Yusuf (murid sekaligus sahabat Imam Abu Hanifah) berada dalam majelis pengajaran Imam Abu Hanifah, ia didatangi utusan keluarganya yang memberitakan bahwa puteranya meninggal dunia. Tetapi Abu Yusuf tidak beranjak pulang, ia tetap di majelis itu lantaran merasa rugi meninggalkannya walau sesaat!

Sufyan bin ‘Uyainah (seorang ulama hadits masa tabi’ut tabi’in, pernah berguru kepada Imam Malik) bersama ayahnya pergi ke Mekkah. Tatkala mereka istirahat di Mesjid dan shalat zhuhur, tiba-tiba ada seorang guru yang mengendarai himar, dan berkata kepadanya: “Hai anak muda, tolong pegangkan himar ini, agar aku bisa masuk mesjid dan shalat zhuhur.” Sufyan berkata, “Aku tidak akan melakukannya, kecuali engkau berkenan meriwayatkan hadits kepadaku.” Sang guru bertanya, “Buat apa hadits itu untukmu?” Nampak ia meremehkan Sufyan muda. Sufyan berkata lagi, “Tolong riwayatkan hadits kepadaku.” Akhirnya guru itu berkata, “Telah meriwayatkan kepada kami Jabir bin Abdullah dan telah meriwayatkan kepada kami Ibnu Abbas …”, ia meriwayatkan delapan hadits kepada Sufyan, sementara Sufyan masih memegang himarnya sambil menghafalkan hadits-hadits tersebut. Seusai shalat dan keluar mesjid, guru itu berkata, “Tak ada gunanya hadits yang aku berikan kepadamu, apakah kamu masih menghalangiku?” Sufyan menjawab, “Engkau telah meriwayatkan kepadaku begini dan engkau telah meriwayatkan kepadaku begitu.“ Sufyan terus mengulang semua riwayat tersebut. Lalu Guru itu berkata, “Semoga Allah memberkatimu, besok datanglah ke majelisku. “ Ternyata beliau adalah ‘Amr bin Dinar (48-126H).

Demikianlah salaf. Maka, wahai ikhwah, mari kita kejar majelis-majelis ilmu, berkumpul bersama orang shalih dan alim, jika hal itu sulit bagi kita, carilah sumber mata air lain seperti buku-buku bermutu dari para ulama salaf atau kontemporer yang bisa dipercaya. Jauhkan sebisa mungkin apa-apa yang melalaikan dari dzikir dan ilmu. Nyanyian tak berguna (bahkan nasyid-nasyid ‘kosong ruh’ yang tengah menjamur) sebab hiburan bagi orang mu’min adalah Al Qur’an, majelis ghibah, buku-buku tidak bermanfaat yang hanya buang waktu, dan lain-lain. Wallahu A’lam bish Shawwab. Farid Nu’man

Tidak ada komentar:

Posting Komentar