Rabu, 30 Juni 2010

Mengelola Ketidaksempurnaan

Apalagi yang tersisa dari ketampanan setelah ia dibagi habis oleh Nabi
Yusuf dan Muhammad. Apalagi yang tersisa dari kecantikan setelah ia
dibagi habis oleh Sarah, istri Nabi Ibrahim, dan Khadijah, istri Nabi
Muhammad SAW? Apalagi yang tersisa dari pesona kebajikan setelah ia
direbut oleh Ustman bin Affan? Apalagi yang tersisa dari kehalusan budi
setelah ia direbut habis oleh Aisyah?

Kita hanya berbagi pada
sedikit yang tersisa dari pesona jiwa raga yang telah direguk habis
oleh para nabi dan orang shalih terdahulu. Karena itu persoalan cinta
selalu permanen begitu: jarang sekali pesona jiwa raga menyatu secara
utuh dan sempurna dalam diri kita. Pilihan-pilihan kita, dengan begitu,
selalu sulit. Ada lelaki ganteng atau perempuan cantik yang kurang
berbudi. Sebaliknya, ada lelaki shaleh yang tidak menawan atau
perempuan shalehah yang tidak cantik. Pesona kita selalu tunggal.
Padahal cinta membutuhkan dua kaki untuk bisa berdiri dan berjalan
dalam waktu yang lama. Maka tentang pesona fisik itu Imam Ghazali
mengatakan: “Pilihlah istri yang cantik agar kamu tidak bosan.” Tapi
tentang pesona jiwa itu Rasulullah SAW bersabda: “Tapi pilihlah calon
istri yang taat beragama niscaya kamu pasti beruntung.”

Persoalan
kita adalah ketidaksempurnaan. Seperti ketika dunia menyaksikan tragedi
cinta Puteri Diana dan Pangeran Charles. Dua setengah milyar manusia
menyaksikan pemakamannya di televisi. Semua sedih. Semua menangis.
Puteri yang pernah menjadi trendsetter kecantikan dunia dekade 80-an
itu rasanya terlalu cantik untuk disia-siakan oleh sang pangeran.
Apalagi Camila Parker yang menjadi kekasih gelap sang pangeran saat
itu, secara fisik sangat tidak sebanding dengan Diana. Tapi tidak ada
yang secara obyektif mau bertanya ketika itu. Kenapa akhirnya Charles
lebih memilih Camila, perempuan sederhana, tidak bisa dibilang cantik,
dan lebih tua ketimbang Diana, gadis cantik berwajah boneka itu?
Jawaban Charles mungkin memang terlalu sederhana. Tapi itu fakta,
“Karena saya lebih bisa bicara dengan Camila.”

Kekuatan budi
memang bertahan lebih lama. Tapi pesona fisik justru terkembang di
tahun-tahun awal pernikahan. Karena itu ia menentukan. Begitu masa uji
cinta selesai, biasanya lima sampai sepuluh tahun, kekuatan budi
akhirnya yang menentukan sukses tidaknya sebuah hubungan jangka
panjang. Dampak gelombang magnetik fisik berkurang Bukan karena
kecantikan atau ketampanan berkurang. atau hilang bersama waktu.
Yang
berkurang adalah pengaruhnya. Itu akibat sentuhan terus menerus yang
mengurangi kesadaran emosi tentang gelombang magnetik tersebut.

Apa
yang harus kita lakukan adalah mengelola ketidaksempurnaan melalui
proses pembelajaran. Belajar adalah proses berubah secara konstan untuk
menjadi lebih baik dan sempurna dari waktu ke waktu. Fisik mungkin
tidak bisa dirubah. Tapi pesona fisik bukan hanya tampang. Ia lebih
ditentukan oleh aura yang dibentuk dari gabungan antara kepribadian
bawaan, pengetahuan dan pengalaman hidup. Ketiga hal itu biasanya
termanifestasi pada garis-garis wajah, senyuman dan tatapan mata serta
gerakan refleks tubuh kita. Itu yang menjelaskan mengapa sering ada
lelaki yang tidak terlalu tampan tapi mempesona banyak wanita. Begitu
juga sebaliknya.

Itu jalan tengah yang bisa ditempuh semua orang
sebagai pecinta pembelajar. Karena pengetahuan dan pengalaman adalah
perolehan hidup yang membuat kita tampak matang. Dan kematangan itu
pesonanya. Sebab, setiap kali pengetahuan kita bertambah, kata Malik
bin Nabi, wajah kita akan tampak lebih baik dan bercahaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar