Kamis, 22 Desember 2011

Mengapa harus meninggalkan RIBA?


Rasulullah telah memberikan tauladan khasanah dalam
berbisnis, dengan menempatkan
bisnis sebagai cara terbaik untuk mendapatkan harta. Oleh karena itu bisnis
harus dilakukan dengan cara-cara terbaik dengan tidak melakukan kecurangan,
riba, rekayasa harga, maupun penimbunan barang yang
hanya memberikan keuntungan sesaat, tetapi merugikan diri sendiri duniawi dan
ukhrawi dan Juga merugikan orang lain. Akibatnya kredibilitas hilang, pelanggan
lari, dan kesempatan berikutnya sempit, menyakiti orang lain, dan membuat kebangkrutan
orang lain.







Rasulullah tidak saja meletakkan dasar tradisi penciptaan
suatu lembaga, tetapi juga membangun sumber daya manusia dan akhlak lembaga
sebagai pendukung dan prasyarat dari lembaga itu sendiri. Misalnya, pasar tidak
akan berjalan dengan baik tanpa akhlak yang baik, langkah Rasulullah dalam
mempraktekkan keadilan adalah salah
satunya dengan penghapusan Riba (tambahan).







Keberadaan kaum Yahudi yang
suka melakukan riba membuat penduduk Madinah resah, karena riba tersebut
seringkali menyengsarakan mereka. Praktek riba Yahudi ini telah diketahui
beliau sejak di Mekkah karena ayat-ayat yang turun di Mekkah ada yang
menceritakan praktek kotor orang Yahudi tersebut. Allah berfirman:







“dan disebabkan mereka
memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan
karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang
pedih.” Opini umum menganggap bahwa dengan melakukan pinjaman uang kepada orang
lain dan menetapkan riba pada pinjaman itu maka pinjaman tersebut akan tumbuh.







Tetapi opini tersebut dijawab
langsung oleh al-Qur‟an bahwa
opini tersebut tidak benar







“Dan
sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka
(yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”







Namun teguran al-Qur‟an ini tidak dihiraukan oleh
beberapa sahabat yang terlanjur terlibat dalam praktek tersebut. Kemudian
datang teguran berikutnya agar dalam memberikan pinjaman jangan menetapkan riba
yang berlipat ganda.







“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu
kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”







Dengan teguran yang kedua ini
banyak para sahabat yang meninggalkan riba. Hanya orang Yahudi saja yang tetap
melakukan praktek itu dengan alasan bahwa tidak ada bedanya antara jual-beli
dengan riba, sebab keduanya sama-sama merupakan praktek mencari selisih dari
modal yang diputarkan. Tetapi al-Qur‟an juga membantah alasan
tersebut.







“Orang-orang yang makan
(mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual
beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”







Sementara para sahabat yang telah meninggalkan riba telah
bertaubat sebelum sempat mengatakan agar mereka hanya mengambil modalnya saja.
Dengan demikian, penghapusan riba ini telah terbukti berhasil menciptakan
kondisi yang memungkinkan untuk tumbuhnya ekonomi secara tepat dan cepat. Jika
pada masa hijrah, Madinah merupakan kota yang miskin, tetapi ketika Nabi meninggal,
Madinah merupakan kota baru yang tumbuh dan berkembang menghidupi kota-kota di
sekitarnya.







Dalam praktek riba seseorang berusaha memenuhi kebutuhan
orang yang ingin meminjam harta, tetapi di saat yang sama ia mengharuskan
kepada orang yang meminjam itu untuk memberi tambahan yang nanti akan
diambilnya, tanpa ada imbalan darinya berupa kerja dan tidak pula saling
memikirkan. Sehingga
di sini yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Pelaku riba
bagaikan segumpal darah yang menyerap darah orang-orang yang bekerja keras,
sedangkan ia tidak bekerja apa-apa, tetapi ia tetap memperoleh keuntungan yang
melimpah ruah. Dengan demikian semakin lebar jurang pemisah di bidang sosial
ekonomi antara kelompok-kelompok yang ada. Oleh karena itu Islam sangat keras
dalam mengharamkan riba dan memasukkannya di antara dosa besar yang merusak,
serta mengancam orang yang berbuat demikian dengan ancaman yang sangat berat.
Allah swt berfirman:







“Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”


Telah jelas Alqur’an membicarakan mata
ekonomi Islam dari sisi ekonomi mikro dan ekonomi makro. Allah melarang riba
karena jauh dari pedoman asas keadilan yang dijunjung tinggi Islam. Pedoman
perlindungan terhadap etika bisnis Islami ini bisa dibuktkan secara ilmiah dan
logis, seperti realita krisis global yang melanda dunia dari tahun 1930 hingga saat
ini karena prinsip teguh ribawinya.****Wallahua’lam Bissowab (dari berbagai

1 komentar: