Rabu, 23 November 2011

kau keterlaluan Hanung !!!

Kau keterlaluan: menggambarkan pesantren dan kyai begitu buruk
Wawancara dengan tokoh sastrawan Taufik Ismail.

Tampaknya bangsa ini tidak kapok-kapok dengan sepak terjang kaum Komunis
yang telah membunuh 100 juta manusia di 76 negara seluruh dunia selama 74
tahun kekuasaannya (1917-1991), atau 1,350 juta orang pertahun atau 3.702
orang perhari, sebagaimana disebutkan Taufiq Ismail dalam bukunya
"Katastrofi Mendunia, Marxisma, Leninisma, Stalinisma, Maoisma dan Narkoba".

Sementara di Indonesia kaum Komunis telah dua kali menggerakkan kudeta (1948
dan 1965) yang akhirnya gagal total.

Meski tindakannya selalu brutal dan menghalalkan segala cara, ternyata masih
ada manusia Indonesia yang menjadi pengagum Komunisme bahkan berusaha
memperjuangkannya melalui film-film yang selama ini dibuatnya, seperti yang
dilakukan sutradara muda, Hanung Bramantyo, suami aktris Zaskia Adya Mecca,
yang merupakan istri keduanya setelah ribut di Pengadilan Agama dengan istri
pertama. Adapun film garapan Hanung yang sangat kental bau Komunisnya
sekaligus Sepilis (Sekularis, Pluralis dan Liberalis) serta menghina Islam
adalah Perempuan Berkalung Sorban (PBS). Saking kagumnya dengan Komunis,
sampai-sampai ringtone hand phone Hanung bernada lagu khas Gerwani PKI,
Genjer-Genjer. Hanung juga pernah membuat film yang sangat kental bau
komunisnya, Lentera Merah, kalau diplesetkan menjadi Tentara Merah.

Film yang dibintangi aktris Revalina S Temat (Annisa) tersebut diambil dari
Novel PBS karya Abidah El Khaleqy. Novel PBS sebelumnya mendapat penghargaan
dari The Ford Foundation, sebuah NGO yang memperjuangkan faham Sepilis dan
dikendalikan kaum Zionis Yahudi AS. Film tersebut mengisahkan kebobrokan
pesantren dan kiyainya. Pesantren dan kiyainya dicitrakan kotor, sumber
penyakit, sangat bengis, mudah main pukul, mengekang perempuan, mengekang
hak berpendapat, menempatkan perempuan pada martabat yang rendah, suka main
bakar buku-buku komunisme, suka main hukuman rajam secara serampangan dan
sebagainya.

Dikisahkan, seorang santriwati yang juga putri kiyai pesantren, Annisa, dan
tinggal di kompleks pesantren, frustasi karena ulah suaminya yang juga anak
seorang kiyai yang sering melakukan kekerasan, akhirnya memutuskan untuk
kembali dalam pelukan mantan pacarnya, Khudori, seorang alumnus sebuah
perguruan tinggi di Kairo, Mesir. Bahkan Annisa yang sudah kebelet, mengajak
Khudori untuk melakukan adegan ranjang di sebuah kandang kuda di pesantren
tersebut, padahal kandang itu penuh dengan kotoran kuda. "Zinahi aku.Zinahi
aku.!", desak Annisa kepada Khudori sambil melepaskan jilbab dan pakaiannya
satu persatu.

Ketika kedua insan lain jenis dan bukan suami istri tersebut sedang
melakukan perzinahan, akhirnya datang rombongan santri dan suami Annisa
mengerebeknya. Lalu keduanya mendapat hukuman rajam dengan dilempari batu
oleh para santri. Lemparan batu baru berhenti setelah ibu Annisa berteriak
sambil mengatakan, " yang boleh melempar batu hanya orang yang tidak pernah
melakukan dosa!", padahal tidak ada orang yang tidak pernah melakukan dosa.
Kata-kata dari ibu Annisa ini jelas mengutip dari cerita Kristen dari Kitab
Injil, dimana dikisahkan seorang pelacur, Magdalena, dihukum rajam dengan
dilempari batu. Kemudian datang Nabi Isa (Yesus) untuk menyelamatkannya
dengan mengatakan, "yang boleh merajam hanya yang tidak punya dosa". Jadi
selain berbau Sepilis dan Komunis, film PBS juga beraroma Kristiani dan
berusaha menghancurkan Islam lewat pintu budaya melalui film.

Jelas dengan menampilkan hukuman rajam yang sebenarnya tidak ada dalam novel
aslinya, Karl "Hanung" Mark ingin mengajak masyarakat Indonesia untuk
membenci syariat Islam dan pesantren, sebab sejak dulu pesantren merupakan
basis terkemuka dalam melawan gerakan PKI di Indonesia. Padahal itu hanya
utopia dirinya sendiri, sebab selama ini belum pernah ada satupun pesantren
di Indonesia yang melakukan hukuman rajam kepada santrinya yang melakukan
perzinahan. Seolah-olah pesantren merupakan negara dalam negara dengan
menegakkan hukumnya sendiri. Jelas ini merupakan distorsi terhadap hukum
Islam dan upaya mengadu domba umat Islam dengan pemerintah. Dengan membuat
film PBS, sesungguhnya Karl "Hanung" Mark telah melakukan anarkhisme psikis,
yakni melakukan penyerangan secara psikis terhadap umat Islam dan pesantren
sebagai salah satu simbol Islam di Indonesia. Karena dendam terhadap
pesantren yang telah berjasa menghancurkan PKI, maka Hanung menyalurkan
perlawanannya lewat film PBS. Hanung dengan sengaja telah menebar virus
ganas Sepilis dalam film, tujuannya untuk menimbulkan citra buruk terhadap
Islam dan umatnya sambil menebalkan kantong koceknya.

Sebagaimana dalam film Lentera Merah, dalam film PBS Karl "Hanung" Mark
all-out mendukung Komunisme alias PKI isme. Terbukti dalam film PBS ada
adegan pembakaran buku-buku karya Karl Mark dan sastrawan kiri Pramoedya
Ananta Toer seperti Bumi Manusia, oleh para santri di lingkungan pesantren.
Padahal dalam novel aslinya, jalan cerita tersebut tidak ada sama sekali.
Bahkan buku-buku karangan Pramoedya seperti Bumi Manusia dan Anak Segala
Bangsa sepertinya dijadikan bacaan wajib bagi Annisa dan para santri
lainnya. Hal ini menunjukkan Hanung selain pengagum Karl Mark juga pengagum
Pramoedya. Padahal banyak sastrawan sekaliber Pramoedya dan karya-karyanya
malah lebih bermutu seperti Buya Hamka. Mengapa Hanung tidak menjadikan
buku-buku Buya Hamba sebagai bacaan wajib bagi Annisa dan para santri
lainnya, justru buku sastrawan yang pernah menghuni penjara di Pulau Buru
itu dijadikan bacaan wajib.

Dengan demikian, sudah sangat jelas dalam film PBS terdapat motif ideologi
Komunis yang dimaksudkan untuk memperjuangkan kembali tegaknya Komunisme di
Indonesia meski dalam bentuk lain. Hanung mafhum betul bahwa satu-satunya
jalan untuk mengembalikan ajaran Komunisme di Indonesia adalah
mendiskreditkan ajaran Islam dan umatnya, dimana sasaran pertamanya adalah
pondok pesantren yang selama ini menjadi basis kaum Nahdhiyyin dengan
memojokkan para kiyai NU.

Adapun sasaran berikutnya adalah mendiskreditkan para pemimpin Islam di
Muhammadiyah. Sebab kedua Ormas Islam ini mempunyai pengikut terbesar di
Indonesia. Maka tidaklah mengherankan jika Hanung akan meluncurkan film KH
Ahmad Dahlan "Sang Pencerah" tepat pada pelaksaan Muktamar Muhammadiyah ke
46 di Jogjakarta 2-8 Juli ini. Namun anehnya justru para pemimpin
Muhammadiyah tidak curiga sama sekali akan sepak terjang Hanung selama ini
yang selalu mendiskreditkan Islam dan para pemimpin Islam seperti dalam film
PBS. Sekarang sudah terbukti, pemeran utama sebagai KH Ahmad Dahlan dalam
film "Sang Pencerah" adalah Lukman Sardi, putra seorang komponis muslim dan
pemain biola kawakan Idris Sardi namun sekarang telah murtad dari Islam dan
menjadi Kristen. Bayangkan, seorang ulama besar pendiri Muhammadiyah KH
Ahmad Dahlan kok diperankan oleh seorang murtad, jelas ini suatu penghinaan
terang-terangan terhadap Islam dan Muhammadiyah itu sendiri. Apa Ketua Umum
dan 12 Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah yang terpilih dalam Muktamar
nanti tidak malu ketika melihat pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan
dilecehkan dan direndahkan pribadi dan martabatnya oleh Karl "Hanung" Mark ?

Berikut ini wawancara Tabloid Suara Islam dengan sastrawan, budayawan dan
penyair kawakan yang telah melahirkan banyak karya lagu Islami dari Bimbo
serta putra seorang ulama besar dari Pekalongan KH Ghofar Ismail, Taufiq
Ismail, seputar film Perempuan Berkalung Sorban (PBS).

Pak Taufiq, anda sudah menonton film Perempuan Berkalung Sorban ?

Saya sudah nonton PBS. Bagaimana kesan Pak Taufiq ?

Belum pernah selama saya ini menonton film, berapa puluh tahun lamanya,
berapa ratus judul banyaknya, kalau dihitung-hitung sejak masa kanak-kanak
dulu, berapa ya, sejak 63, 64 tahun lebih yang silam, belum pernah saya
merasa dihina dan dilecehkan seperti sesudah menonton film Hanung ini.

Lho, kok sampai begitu, ya Pak ? Dihina ?

Ya ! Di dalam film itu, semua pesantren dan semua Kiyai jelek. Situasi
pesantren kumuh, Kiyai-kiyai dengan keluarga digambarkan buruk. Kelakuan tak
terpuji. Terasa fikiran utama yang mendasari pembuat film ini adalah spirit
mencari cacat, membuka noda, memberi tahu penonton, ini lho yang
reyot-reyot, yang sakit-sakit, yang pincang-pincang dari ummat Islam,
tontonlah. Begitu.

Apakah ini film pertama yang Pak Taufiq tonton, yang terkesan menghina Islam
?

Tentu saja bukan yang pertama. Banyak film yang melecehkan ummat Islam,
langsung tidak langsung, kentara dan tidak kentara. Tapi film-film itu
dibuat di negeri lain, oleh orang-orang bukan Islam, dan memang dengan niat
culas. Nah, PBS ini dibuat di dalam negeri, oleh sutradara bangsa sendiri.
Ternyata niatnya sama juga. Culas.

Bagaimana kita bisa tahu bahwa niatnya culas ?

Kalau niat Hanung baik, misalkan terhadap yang buruk-buruk itu dia mau
mengeritik secara konstruktif, maka dia akan berikan perbandingan pesantren
yang rapi indah, tidak kumuh dan dia tonjolkan tokoh Kiyai yang berwibawa,
yang memancarkan sinar seperti lambang Muhammadiyah. Itu tak dilakukannya.

Pak Taufiq, bagaimana jalan cerita film Perempuan Berkalung Sorban itu, yang
novel aslinya ditulis Abidah El Khaliqy ?

Wah, saya tidak mau jadi petugas humas Hanung itu, menjelas-jelaskan jalan
cerita filmnya untuk pembaca. Buat apa? Itu bukan kerja saya. Anda sebagai
wartawan, tuliskan sendiri ringkasan ceritanya. Itu tugas anda. Mengingatnya
saja sudah muak saya.

Sudah sedemikian tidak nyamannya perasaan Pak Taufiq ?

Bukan saja tak nyaman. Muak. Mual. Anak muda ini mau menunjukkan dirinya
kreatif, super-liberal, berfikiran luas, tapi dengan mendedahkan
kekurangan-kekurangan dan cacat-cela ummat, yang dilakukannya dengan senang
hati. Bahkan mengarang-ngarang hal yang tidak ada.

Misalnya bagaimana ?

Misalnya diada-adakannya adegan rajam. Di pesantren tidak ada hukuman rajam
terhadap pelaku zina seperti fantasi dalam kepala Hanung itu. Kemudian tokoh
Nyai, isteri Kiyai lewat dialog memberi komentar tentang hal itu dengan
mengutip Injil tentang Maria Magdalena. Apa hubungannya itu? Kenapa harus
diambil dari khazanah Kristen? Pengambilan khazanah Kristen bisa saja, tapi
baru masuk akal kalau sebelumnya ada pendahuluan reasoning, ada pemaparan
logikanya. Ini tidak ada. Mendadak saja, ujug-ujug, kata orang Pekalongan.
Kentara betul Hanung mau tampak hebat, memperagakan luas horison
pandangannya. Sok betul. Sombong.

Apakah di novel aslinya ada adegan rajam itu ?

Mboten wonten, Mas. Tidak ada. Di sini terjadi improvisasi sutradara. Dan
ini improvisasi yang kurang ajar. Maaf keras betul kalimat saya. Maaf. Di
bagian ini Hanung tidak minta permisi pada novelis Abidah El Khaliqy, tidak
amit-amit. Dia main terjang saja. Dia tidak kenal etik.

Apakah penambahan jalan cerita atau improvisasi harus izin novelisnya ?

Tidak harus begitu. Tergantung bentuk kontrak juga. Tapi sebagai sesama
seniman dalam kreasi karya bersama begini, paling tidak harus ada diskusi.
Diskusi tersebut dalam hal ini tidak ada.

Tidak ada ? Bagaimana Pak Taufiq tahu ?

Saya pernah tanya Abidah. Mereka pernah ada diskusi tentang esensi cerita,
mengenai feminisme, tentang kehidupan pesantren, tetapi mengenai rajam tidak
ada. Lalu. Lalu bagaimana, Pak Taufiq ?

Lalu dia tabrak saja, jebret, bikin adegan rajam. Lantas fantasi dusta
berikutnya yang menyolok adalah adegan pembakaran buku di pesantren itu. Di
novel Abidah tak ada adegan pembakaran buku. Abidah lebih logis dan tidak
sok seperti Hanung.

Seingat saya pembakaran buku pengarang-pengarang anti komunis dilakukan PKI
dan ormas-ormasnya di tahun 1964 atau 1965, betul Pak ?

Betul sekali. Nah, di pesantren itu, di kelompok santri, ada diskusi buku.
Dibicarakan tentang pengarang yang tertindas, ditahan tanpa diadili, tapi
tetap kreatif, tetap menulis buku. Yang dimaksud adalah Pramudya Ananta Tur.
Diperlihatkan kulit buku novel Bumi Manusia, yang dilemparkan ke dalam
unggun. Adegan ini dibikin-bikin, dan bodoh betul.

Maksudnya ?

Pertama, adegan ini dalam novel tak ada. Jadi ini keluar dari otak Hanung
sendiri, tanpa permisi novelisnya. Kedua, kalau dia betul-betul anak
Muhammadiyah, maka pengarang yang tertindas, ditahan tanpa diadili 2,5
tahun, tapi tetap kreatif, menulis buku, maka pengarang itu adalah Buya
Hamka. Bukan Pramudya. Yang wajib disebut adalah Buya Hamka. Hanung ini,
yang mengaku-ngaku anak Muhammadiyah, ternyata buta sejarah perjuangan tokoh
besar Muhammadiyah ini. Karya luar biasa Buya Hamka tersebut adalah Tafsir
Al Qur'an Al-Azhar, yang dirampungkannya dalam tahanan, selesai 30 juz,
dikagumi seluruh dunia Islam.

Kalau begitu Hanung keliru besar, menokohkan Pram dalam hal ini ?

Sangat keliru ! Tapi memang pada dasarnya dia kekiri-kirian, mode anak muda
zaman kini, tidak sadar mengangkat diri sendiri jadi agen muda Palu Arit.
Lagi-lagi Hanung rabun sastra: Pramudya tahun 50-an 60-an dalam
karya-karyanya sinis terhadap orang sholat, benci kepada haji. Tokoh-tokoh
haji dalam novel-novelnya buruk semua: mindring, kaya, bakhil, membungakan
uang. Tapi di luar ini semua, menjelang meninggalnya, tanda-tanda
menunjukkan Pramudya khusnul khatimah. Alhamdulillah. Mudah-mudahanlah Pram
beroleh hidayah. Allah berbuat sekehendak-Nya.

Kembali kepada rasa tidak nyaman Pak Taufiq tadi.

Lebih dari tidak nyaman. Muak. Mual.

Silakan kalimat penutup, Pak.
Saya merasa dihina dan dilecehkan oleh film Perempuan Berkalung Sorban,
disutradarai Hanung Bramantyo, yang menistakan lembaga pesantren dan tokoh
Kyai, waratsatul anbiya, berlindung di balik topeng kebebasan kreasi dengan
sejumlah improvisasi yang bodoh dalam semangat super-liberal. Para aktivis
seni Marxis-Leninis-Stalinis-Maois saja di tahun 50-an 60-an tidak ada yang
bisa membuat film pelecehan pesantren dan Kiyai seperti yang dilakukan
Hanung di abad 21 ini. Kalau dia sudah beredar lima dasawarsa yang lalu,
maka Hanung Bramantyo bagus diusulkan mendapat Bintang Joseph Stalin atau
Anugerah Dipa Nusantara Aidit.

[Suara-Islam.Com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar