Minggu, 23 September 2012
Karunia kegagalan
Kehidupan ini, sebenarnya lebih mirip pelangi ketimbang
sebuah foto hitam putih. Setiap manusia akan merasakan
begitu banyak warna kehidupan. la mungkin mencintai
sebagian warna tersebut. Tapi yang pasti ia tidak akan
mencintai semua warna itu.
Demikian pula dengan perasaan kita. Semua warna
kehidupan yang kita alami, akan klta respon dengan
berbagai jenis perasaan yang berbeda-beda. Maka ada
duka di depan suka, ada cinta di depan benci, ada
harapan di depan cemas, ada gembra di depan sedih.
Kita merasakan semua warna perasaan itu, sebagai
respon kita terhadap berbagai peristiwa kehidupan yang
kita hadapi.
Seseorang menjadi pahlawan, sebenarnya disebabkan
sebagiannya oleh kemampuannya mensiasati perasaan-
perasaannya sedemikian rupa, sehingga ia tetap berada
dalam kondisi kejiwaan yang mendukung proses
produktivitasnya.
Misalnya ketika kita menghadapi kegagalan. Banyak orang
yang lebih suka mengutuk kegagalan, dan
menganggapnya sebagai musibah dan cobaan hidup. Kita
mungkin tidak akan melakukan itu seandainya di dalam
diri kita ada kebiasaan untuk memandang berbagai
peristiwa kehidupan secara objektif, ada tradisi jiwa besar,
ada kelapangan dada serta pemahaman akan takdir yang
mendalam.
Kegagalan, dalam berbagai aspek kehidupan, terkadang
diperlukan untuk mencapai sebuah sukses. Bahkan dalam
banyak cerita kehidupan yang pernah klta dengar atau
baca dari orang-orang sukses, kegagalan menjadi
semacam faktor pembeda dengan sukses, yang
diturunkan guna menguatkan dorongan untuk sukses
dalam diri seseorang. Di sela-sela itu semua, kita juga
membaca sebuah cerita, tentang bagaimana kegagalan
telah mengalihkan perhatian seseorang kepada
kompetensi inti, atau pusat keunggulan, yang semula
tidak ia ketahui sama sekali.
ltulah misalnya yang dialami oleh Ibnu Khaldun. Kita
semua mengenal nama ini sebagai seorang sejarawan
dan filosof sejarah. la telah menulis sebuah buku sejarah
bangsa-bangsa dunia dengan sangat cemerlang. Tapi
yang jauh lebih cemerlang dari buku sejarah itu adalah
tulisan pengantarnya yang memuat kaidah-kaidah
pergerakan sejarah, hukum-hukum kejatuhan dan
kebangunan bangsa-bangsa. Tulisan pengantar itulah
yang kemudian dikenal sebagai Muqoddimah Ibnu
Khaldun. Di negeri kita “muqoddimah” buku sejarah ini
bahkan sudah diterjemahkan, sementara buku sejarahnya
sendiri belum dlterjemahkan.
Buku Muqoddimah itulah yang mengantarkan Ibnu
Khaldun untuk men–duduki posisi sebagal filosof sejarah
yang abadi dalam sejarah. Tapi mungkin jarang diantara
kita yang tahu kalau sesungguhnya buku itu merupakan
hasil perenungan selama kurang lebih empat bulan, atas
kegagalannya sebagal praktisi politik.
Takdirnya adalah menjadi filosof sejarah. Bukan sebagal
politisi ulung. Tapi mungkinkah ia menemukan takdir itu
seandainya ia tidak melewati deretan kegagalan yang
membuatnya bosan dengan politik, dan membawanya
kedalam perenungan-perenungan panjang diluar pentas
politik, tapi justru yang kemudian melahirkan karya
monumental?
Oleh: Anis Matta Lc.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar