Senin, 17 September 2012

Kupas tuntas tas bid'ah

Dalam bahasa Arab,
bid’ah berarti suatu hal baru yang diciptakan
tanpa ada contoh sebelumnya.
Secara istilah, bid’ah berarti segala sesuatu yang diada-
adakan dalam agama tanpa ada dasar syariatnya.
Terdapat perbedaan antarulama dalam mendefinisikan
bid’ah. Imam Asy-Syafi‘i mengatakan, bid’ah ialah segala hal
baru yang terdapat setelah masa Rasulullah SAW dan
khalifah yang empat (Khulafaur Rasyidin).
Izzuddin bin Abdus Salam, ahli fikih Mazhab Syafi'i,
mendefinisikan bid’ah sebagai segala perbuatan yang belum
dikenal pada masa Rasulullah SAW.
Lain halnya dengan Ibnu Rajab Al-Hanbali (736 H/1335
M-795 H/1393 M), ahli fikih Mazhab Hanbali, ia mengatakan
bid’ah ialah segala hal baru yang tidak ada dasar syariatnya.
Imam Asy-Syatibi, ahli fikih Mazhab Maliki, mengatakan yang
disebut bid’ah ialah suatu tariqah (cara atau metode) yang
diciptakan menyerupai syariat dalam agama untuk dijalani
sebagai ibadah kepada Allah SWT.
Ulama sepakat bahwa bid’ah adalah perbuatan terlarang
dalam agama. Alasannya berdasarkan hadis Nabi SAW, di
antaranya dikatakan, "Barangsiapa yang mengada-adakan
(sesuatu) dalam urusan (agama) kami ini yang bukan
daripadanya, maka ia ditolak.” (HR. Bukhari, Muslim, dan
Abu Dawud).
Dalam hadis lain Nabi SAW bersabda, "Barangsiapa
mengamalkan suatu amal yang tidak ada perintah kami
atasnya, maka yang demikian itu ditolak.”(HR. Muslim) dan
“Jauhilah olehmu hal-hal yang diada-adakan, karena
sesungguhnya yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap
bid’ah adalah sesat, dan setiap yang sesat di dalam
neraka.” (HR. Abu Dawud).
Ulama berbeda pendapat dalam menentukan batas-batas
bid’ah. Berdasarkan definisi yang dikemukakan ulama
tersebut di atas, pengertian bid’ah dapat dibedakan antara
bid’ah yang lebih mengacu pada aspek kebahasaan (yang
dikemukakan oleh Imam Asy-Syafi‘i dan Izzuddin bin Abdus
Salam) dan bid’ah yang lebih mengacu pada aspek syariat
(oleh Ibnu Rajab dan Asy-Syatibi).

Abdullah Darraz (wafat
1351 H/1932 M, ulama fikih asal Mesir)
mengatakan, pemakaian kata bid’ah dalam
syariat lebih bersifat khusus dari
pemakaiannya dalam bahasa.
Dalam aspek kebahasaan, kata bid’ah dipakai untuk
menamai segala hal yang baru. Sedangkan dalam syariat,
kata bid’ah hanya dipakai untuk menjelaskan cara atau
metode baru yang tidak mempunyai dasar pada Alquran dan
sunah Nabi SAW.
Kelompok yang berpegang dalam pengertian pertama (aspek
kebahasaan), membagi bid’ah atas dua bentuk, yaitu bid’ah
hasanah (bid’ah yang baik) atau bid’ah mahmudah (bid’ah
yang terpuji) dan bid’ah sayyi'ah (bid’ah yang buruk) atau
bid’ah mazmumah (bid’ah yang tercela).
Bidah hasanah ialah bid’ah yang sesuai dengan tujuan
syarak, sekalipun tidak diperbuat oleh Rasulullah SAW,
seperti mengumpulkan dan menulis Alquran. Sedangkan
bid’ah sayyi'ah adalah bid’ah yang tidak sesuai dengan
tujuan syarak, misalnya melakukan shalat Dzuhur sebanyak
lima rakaat.
Selanjutnya mereka membagi bid’ah tersebut atas lima
bentuk, yaitu;
1. Bidah al-wajibah (bid’ah yang wajib), yaitu segala sesuatu
yang mendukung hal-hal yang wajib dan alasannya. Dalam
bid’ah bentuk ini tercakup segala yang dapat memelihara
agama dan dapat menjelaskan hukumnya, misalnya
mengumpulkan dan menyusun mushaf Alquran atau
menyebarkan ilmu yang dapat membantu memahami
Alquran.
2. Bidah al-mandubah (bid’ah yang terpuji, sunah), yaitu
segala sesuatu yang mendukung hal-hal yang sunah dan
dalil-dalilnya, seperti shalat tarawih berjamaah di masjid
atau membuat rambu-rambu jalan.
3. Bidah al-mubahah (bid’ah yang mubah), yaitu segala
sesuatu yang mendukung hal-hal yang dibolehkan dan dalil-
dalil syariatnya, seperti bersenang-senang dalam hal-hal
yang baik atau santai dalam perjalanan.
4. Bidah al-makruhah (bid’ah yang makruh), yaitu segala
sesuatu yang membawa kepada yang makruh, seperti
berlebihan mengerjakan hal-hal sunah yang telah ditentukan
batasnya oleh Rasulullah SAW. Misalnya, banyak melakukan
shalat rawatib sehingga shalat wajibnya tertunda.
5. Bidah al-muharramah (bid’ah yang haram), yaitu segala
sesuatu yang mendukung hal-hal yang haram. Bid’ah dalam
bentuk ini disebut juga bid’ah al-haqiqiyyah (bid’ah yang
hakiki), seperti mengerjakan sesuatu yang berlawanan
dengan Alquran dan sunah Nabi SAW.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar