Senin, 03 Desember 2012
hidup tanpa uang. bisa?
the Preppers,
yaitu sekelompok orang di Amerika yang telah
mempersiapkan diri dalam menghadapi ‘kiamat’ –
antara lain oleh karena hancurnya nilai mata uang. Saya
sendiri berpendapat dunia belum akan kiamat hanya
karena kehancuran mata uang, orang tetap bisa hidup
tanpa uang sekalipun – bahkan mungkin lebih baik.
Bagaimana caranya ?
Uang memang merupakan temuan yang luar biasa dari
peradaban manusia selama lebih dari 3,000 tahun terakhir
ini. Uang memudahkan manusia untuk saling
mempertukarkan kebutuhannya, itulah sebabnya uang juga
disebut alat tukar atau medium of exchange .
Hanya saja perkembangan mata uang dunia seabad
terakhir bukannya tanpa masalah. Uang bisa menjadi alat
eksploitasi satu bangsa terhadap bangsa yang lain, uang
menjadi instrumen untuk mengeruk kekayaan negara lain,
uang bisa memiskinkan para pemiliknya.
Bila suatau negara yang kaya akan sumber alamnya,
kemudian sumber alam tersebut dikeruk dan ditukar
dengan uang kertas menjadi cadangan devisa - yang
menyusut terus daya belinya sebelum digunakan – maka
disitulah proses eksploitasi melalui mata uang satu negara
terhadap negara lain terjadi.
Dalam skala individu di masyarakat hal yang sama juga
terjadi. Para pekerja mengumpulkan hasil jerih payahnya
bekerja keras berpuluh tahun, sebagian hasilnya
dikonsumsi dan sebagian lainnya dipakai untuk kebutuhan
masa depan. Untuk kebutuhan hari tua, untuk biaya
kesehatan, untuk sekolah anak dlsb.
Hanya saja hasil jerih payah yang tidak segera digunakan
tersebut dari waktu ke waktu juga terus menyusut nilainya
oleh apa yang disebut inflasi. Inflasi menggerogoti hasil
kerja masyarakat – seperti membawa air dalam ember
bocor, habis airnya ketika sampai tujuan (pensiun).
Lantas apakah ada solusi agar negera yang kaya tidak
dieksplotasi negara lain dengan uangnya ? atau hasil jerih
payah pekerja yang tidak segera digunakan tidak bocor di
tengah jalan ?. InsyaAllah ada, yaitu menyimpan asset tidak
dalam bentuk uang tetapi dalam bentuk barang.
Negara tidak menjual hasil sumber daya alamnya untuk
ditukar dengan mata uang kertas, tetapi boleh ditukar
dengan komoditi lain yang diutuhkan yang tidak bisa
diproduksi sendiri.
Masyarakat pekerja menyimpan tabungannya tidak juga
harus dalam bentuk mata uang kertas, tetapi dalam bentuk
asset-asset yang terjaga nilainya – yang akan dia
butuhkannya di kemudian hari.
Lantas bagaimana kalau dibutuhkan likwiditas atau uang
untuk kebutuhan lainnya ? Bisa dijual saat dibutuhkannya,
atau ditukar langsung dengan barang yang dibutuhkan –
tanpa melalui medium of exchange berupa uang, sehingga
tidak ada yang bocor oleh inflasi.
Pertukaran barang dengan barang atau dengan jasa atau
yang disebut barter, sudah dilakukan sejak manusia pra
sejarah mengenal jual beli. Dengan bantuan teknologi kini,
segala persoalan yang terkait dengan barter lebih mudah
diselesaikan.
Kendala utama barter yang disebut coincidence of wants –
kebutuhan yang secara kebetulan saling sesuai, bisa
dipertemukan dengan mudah melalui teknologi informasi
yang tidak ada di era barter dulu.
Kendala utama berikutnya adalah terkait system penilaian
atas barang-barang dan jasa yang dibutuhkan manusia.
Berapa kilogram beras untuk dapat ditukar dengan seekor
kambing, berapa liter susu untuk upah tenaga kerja sehari
dst –problem-problem semacam ini lagi-lagi mudah
dipecahkan di jaman ini.
Bila ulama dahulu seperti Imam Ghazali mengingatkan
hanya emas dan peraklah timbangan atau hakim yang adil,
penentu harga barang-barang kebutuhan manusia, maka
neraca itu di era teknologi sekarang ini mudah untuk
dimunculkan kembali.
Lho emas kan nilainya tinggi ? apa praktis untuk mengukur
upah tenaga kerja sehari ?, harga sayur mayur di pasar
dlsb ?. Tidak masalah pula, di era digital ini emas bisa
dipecah menjadi satuan yang sangat kecil untuk dapat
menimbang secara akurat harga barang atau jasa yang
bernilai kecil sekalipun.
Untuk infrastruktur system barter yang saat ini kami
persiapkan – timbangan yang adil berbasis emas itu telah
kami pecah menjadi sangat kecil dengan apa yang kami
sebut Point.
Satu Point setara dengan 1 ¢¢ Dinar atau 1/10,000 Dinar
atau 0.000425 gram. Berapa nilai 1 point atau 1 ¢¢ Dinar
ini sekarang ?, Pagi ini nilainya setara dengan Rp 227,- atau
$ 2.37 ¢ atau ¥ 1.95 atau Riyal 8.88 ¢ dst. Konversi ini
berubah setiap 6 jam dan dapat dilihat update-nya di
www.indobarter.com .
Mengapa repot-repot menciptakan satuan nilai baru ?,
pertama satuan nilai atau units of account memang
dibutuhkan agar barter menjadi mudah. Kedua satuan nilai
Rupiah, Dollar dan mata uang kertas lainnya nilainya
tergerus inflasi. Dan ketiga sama sekali tidak repot, justru
satuan niai yang saya sebut Point ini karena berbasis emas
– nilai daya belinya berlaku universal – di negara manapun
kurang lebih sama.
Misalnya Anda akan membayar dam untuk seekor kambing
pada saat melaksanakan ibadah haji, berapa harganya yang
pantas dalam Riyal ? berapa kalau di-Rupiahkan ?. Atau
Anda membeli satu kg daging steak untuk masak di
apartment Anda di Singapore, berapa harga yang pantas
untuk ini dengan Sing Dollar ? berapa kalau di-Rupiahkan ?.
Tidak mudah bukan ?
Kita menjadi mudah mengalami disorientasi nilai bila
melakukan perjalanan dari satu negara ke negara lain
karena bergantinya mata uang. Dengan system Point
berbasis emas yang saya perkenalkan di situs tersebut,
disorientasi ini tidak perlu terjadi.
Seekor kambing yang seharga 10,000 Point di Indonesia,
harusnya juga tidak jauh dari angka ini di Arab Saudi. Satu
kilogram daging yang seharga 330 Point di Indonesia,
mestinya juga tidak jauh dari angka ini di Singapore.
Satu kg beras standar nilainya sekitar 33 Point, perlu sekitar
300 kg beras untuk dapat ditukar dengan kambing. UMR di
Jakarta sekitar 9,690 Point – belum cukup untuk membeli
satu ekor kambing yang baik.
Idealnya UMR negeri yang makmur adalah sekitar 16,700
Point per bulan – agar para pekerja tersebut
berpenghasilan melampaui nishab zakat yang 20 Dinar per
tahun atau 200,000 Point.
Makan siang di kantor berada di kisaran 50 – 80 Point.
Satu kg singkong di kisaran 3 – 5 Point. Satu liter susu sapi
20 Point, tetapi satu liter susu kambing 180 Point dst.
Masyarakat yang terbiasa dengan satuan nilai baku yang
tidak bias oleh inflasi dan nilai tukar antar mata uang
negara-negara di dunia, akan lebih mudah memahami
kewajaran harga-harga, kelayakan upah tenaga kerja dlsb
di manapun di dunia.
Kelak kalau sudah terbiasa, bahkan nilai Point Exchange
Rates yang saya perkenalkan di indobarter tersebut
menjadi tidak lagi terlalu dibutuhkan – saat itu masyarakat
sudah akan hafal diluar kepala harga kambing yang baik
10,000 Point, beras sedang 33 Point dst.
Saat itu tidak lagi relevan apakah Amerika akan terus men-
devaluasi nilai mata uangnya dengan infinity quantitative
easing-nya, atau negeri ini mengimplementasikan rencana
redenominasi mata uangnya – yang seharusnya sudah
dilakukan sekian tahun lalu dlsb.
Namun satu hal perlu diingatkan di dunia barter dengan
timbangan yang paling adil sekalipun, yaitu harga barang-
barang bisa naik dan bisa turun. Harga kambing bisa
bergerak naik atau turun dari 10,000 Point, harga beras
bisa naik atau turun dari 33 Point dst.
Bedanya adalah fluktuasi harga di era mata uang adalah
didorong oleh dua hal yaitu supply and demand dan
penurunan daya beli mata uang (inflasi). Supply and
demand mendorong harga barang berosilasi di sekitar
sumbu yang stabil, sumbu inilah yang nilainya 10,000 Point
untuk kambing dan 33 Point untuk beras dst.
Sedangkan inflasi mendorong harga untuk secara gradual
naik – dan tidak balik turun lagi. Inflasilah yang
menyebabkan harga kambing qurban naik dari 33 tahun
lalu di kisaran antara Rp 25,000 – Rp 80,000 , sekarang
menjadi berkisar antara Rp 1,000,000 – Rp 3,000,000,-.
Kenaikan harga kambing yang sangat significant dalam
jangka panjang tersebut bukan karena supply and
demand !
Factor supply and demand akan mendorong harga stabil
karena ketika barang mahal produsen terdorong untuk
memproduksi lebih, kalau barang terlalu murah produsen
mengurangi produksi.
Harga yang murni terbentuk oleh mekanisme pasar –
supply and demand tersebutlah – yang dalam Islam
penguasa sekalipun dilarang untuk mempengaruhinya.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah menolak
permintaan umatnya untuk menurunkan harga barang-
barang ketika harga tersebut naik tinggi.
Di jaman sekarang – era mata uang kertas ini, kita tidak
mudah untuk bisa tahu apakah suatu barang naik karena
mekanisme pasar supply and demand atau karena inflasi.
Bila karena inflasi, itu menyengsarakan rakyat dan harus
dicegah. Tetapi kalau murni karena mekanisme pasar, dia
justru tidak boleh dicampuri oleh penguasa sekalipun.
Artinya dengan teknik barter yang menggunakan satuan
nilai Point – yang bebas dari inflasi, insyaAllah kita akan
dapat melihat kewajaran harga-harga barang yang
sesungguhnya.
Bila kelak system yang sedang kami kembangkan ini benar-
benar siap digunakan, insyaAllah kita akan bisa hidup tanpa
uang sekalipun !, insyaAllah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar