Kamis, 20 Juni 2013
Kisah tsa la bah, benarkah?
Kisah Tsa’labah bin Haathib Al Anshari
Radhiallahu ‘Anhu, Shahihkah?
Sewaktu kami kecil, sering para penceramah
mengkisahkan sahabat nabi bernama Tsa’labah.
Mereka menceritakan bahwa Tsa’labah dulunya
seorang yang miskin dan taat ibadah, tapi ketika
Allah Ta’ala memberikannya kekayaaan dengan
banyaknya ternak peliharaannya akhirnya dia
durhaka kepada Allah Ta’ala hingga wafatnya.
Banyak orang menceritakan dari mulut ke mulut,
juga disebarkan dalam buku-buku, dan situs-
situs Islam. Tetapi, benarkah kisah ini?
Berikut ini selengkapnya kisah Tsa’labah bin
Haathib:
ﺎﻨﺛﺩ ﻮﺑﺃ ﺪﻳﺰﻳ ﻲﺴﻴﻃﺍﺮﻘﻟﺍ ﺎﻨﺛ ﺪﺳﺃ ﻦﺑ ﻰﺳﻮﻣ ﺎﻨﺛ ﺪﻴﻟﻮﻟﺍ ﻦﺑ
ﺎﻨﺛ ﻢﻠﺴﻣ ﻥﺎﻌﻣ ﻦﺑ ﺔﻋﺎﻓﺭ ﻦﻋ ﻲﻠﻋ ﻦﺑ ﺪﻳﺰﻳ ﻦﻋ ﻢﺳﺎﻘﻟﺍ ﻦﻋ
ﻲﺑﺃ ﺔﻣﺎﻣﺃ ﻥﺃ ﺔﺒﻠﻌﺛ ﻦﺑ ﺐﻃﺎﺣ ﻱﺭﺎﺼﻧﻷﺍ : ﻰﺗﺃ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ
ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻭ ﻢﻠﺳ ﻝﺎﻘﻓ ﺎﻳ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﻉﺩﺃ ﻪﻠﻟﺍ ﻥﺃ
ﻲﻨﻗﺯﺮﻳ ﻪﻠﻟﺍ ﻝﺎﻗ : ﻚﺤﻳﻭ ﺎﻳ ﺔﺒﻠﻌﺛ ﻞﻴﻠﻗ ﻱﺩﺆﺗ ﻩﺮﻜﺷ ﺮﻴﺧ ﻦﻣ
ﺮﻴﺜﻛ ﻻ ﻪﻘﻴﻄﺗ ﻢﺛ ﻊﺟﺭ ﻪﻴﻟﺇ ﻝﺎﻘﻓ : ﺎﻳ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﻉﺩﺃ ﻪﻠﻟﺍ ﻥﺃ
ﻲﻨﻗﺯﺮﻳ ﻻﺎﻣ ﻝﺎﻗ ﻚﺤﻳﻭ ﺎﻳ ﺔﺒﻠﻌﺛ ﺎﻣﺃ ﺪﻳﺮﺗ ﻥﺃ ﻥﻮﻜﺗ ﻞﺜﻣ ﻝﻮﺳﺭ
ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻭ ﻢﻠﺳ ؟ ﻪﻠﻟﺍﻭ ﺖﻟﺄﺳ ﻮﻟ ﻥﺃ ﻞﻴﺴﻳ ﻲﻟ
ﻝﺎﺒﺠﻟﺍ ﺎﺒﻫﺫ ﺔﻀﻓﻭ ﺖﻟﺎﺴﻟ ﻢﺛ ﻊﺟﺭ ﻪﻴﻟﺇ ﻝﺎﻘﻓ : ﺎﻳ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ
ﻉﺩﺃ ﻪﻠﻟﺍ ﻥﺃ ﻲﻨﻗﺯﺮﻳ ﻻﺎﻣ ﻪﻠﻟﺍﻭ ﻦﺌﻟ ﻲﻧﺎﺗﺃ ﻪﻠﻟﺍ ﻻﺎﻣ ﻦﻴﺗﻭﻷ ﻞﻛ
ﻱﺫ ﻖﺣ ﻪﻘﺣ ﻝﺎﻘﻓ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻭ ﻢﻠﺳ :
ﻢﻬﻠﻟﺍ ﻕﺯﺭﺍ ﺔﺒﻠﻌﺛ ﻻﺎﻣ ﺬﺨﺗﺎﻓ ﺎﻤﻨﻏ ﺖﻤﻨﻓ ﺎﻤﻛ ﻮﻤﻨﻳ ﺩﻭﺪﻟﺍ
ﻰﺘﺣ ﺖﻗﺎﺿ ﺎﻬﻨﻋ ﺔﻗﺯﺃ ﺔﻨﻳﺪﻤﻟﺍ ﻰﺤﻨﺘﻓ ﺎﻬﺑ ﻥﺎﻛﻭ ﺪﻬﺸﻳ
ﺓﻼﺼﻟﺍ ﻊﻣ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻭ ﻢﻠﺳ ﻢﺛ ﺝﺮﺨﻳ ﺎﻬﻴﻟﺇ
ﻢﺛ ﺖﻤﻧ ﻰﺘﺣ ﺕﺭﺬﻌﺗ ﻪﻴﻠﻋ ﻲﻋﺍﺮﻣ ﺔﻨﻳﺪﻤﻟﺍ ﻰﺤﻨﺘﻓ ﺎﻬﺑ ﻥﺎﻜﻓ
ﺪﻬﺸﻳ ﺔﻌﻤﺠﻟﺍ ﻊﻣ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻭ ﻢﻠﺳ ﻢﺛ
ﺝﺮﺨﻳ ﺎﻬﻴﻟﺇ ﻢﺛ ﺖﻤﻧ ﻰﺤﻨﺘﻓ ﺎﻬﺑ ﻙﺮﺘﻓ ﺔﻌﻤﺠﻟﺍ ﺕﺎﻋﺎﻤﺠﻟﺍﻭ
ﻰﻘﻠﺘﻴﻓ ﻥﺎﺒﻛﺮﻟﺍ ﻝﻮﻘﻳﻭ ﺍﺫﺎﻣ ﻢﻛﺪﻨﻋ ﻦﻣ ﺮﺒﺨﻟﺍ ؟ ﺎﻣﻭ ﻥﺎﻛ ﻦﻣ
ﺮﻣﺃ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﻝﺰﻧﺄﻓ ؟ ﻪﻠﻟﺍ ﺰﻋ ﻭ ﻞﺟ ﻰﻠﻋ ﻪﻟﻮﺳﺭ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ
ﻭ ﻢﻠﺳ } ﺬﺧ ﻦﻣ ﻢﻬﻟﺍﻮﻣﺃ ﺔﻗﺪﺻ ﻢﻫﺮﻬﻄﺗ ﻢﻬﻴﻛﺰﺗﻭ ﺎﻬﺑ {
ﻝﺎﻗ : ﻞﻤﻌﺘﺳﺎﻓ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻭ ﻢﻠﺳ ﻰﻠﻋ
ﺕﺎﻗﺪﺼﻟﺍ ﻦﻴﻠﺟﺭ ﻞﺟﺭ ﻦﻣ ﺭﺎﺼﻧﻷﺍ ﻞﺟﺭﻭ ﻦﻣ ﻲﻨﺑ ﻢﻴﻠﺳ ﺐﺘﻛﻭ
ﺎﻤﻬﻟ ﺔﻨﺳ ﺔﻗﺪﺼﻟﺍ ﺎﻬﻧﺎﻨﺳﺃﻭ ﺎﻤﻫﺮﻣﺃﻭ ﻥﺃ ﺎﻗﺪﺼﻳ ﻥﺇﻭ ﺱﺎﻨﻟﺍ
ﺍﺮﻤﻳ ﺔﺒﻠﻌﺜﺑ ﺍﺬﺧﺄﻴﻓ ﻦﻣ ﺔﻗﺪﺻ ﻪﻟﺎﻣ ﻼﻌﻔﻓ ﻰﺘﺣ ﺎﺒﻫﺫ ﻰﻟﺇ
ﺔﺒﻠﻌﺛ ﻩﺁﺮﻗﺄﻓ ﺏﺎﺘﻛ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻭ ﻢﻠﺳ
ﻝﺎﻘﻓ : ﺎﻗﺪﺻ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﺍﺫﺈﻓ ﺎﻤﺘﻏﺮﻓ ﺍﺮﻤﻓ ﻲﺑ ﻼﻌﻔﻓ ﻝﺎﻘﻓ :
ﻪﻠﻟﺍﻭ ﺎﻣ ﻩﺬﻫ ﻻﺇ ﺔﻴﺧﺃ ﺔﻳﺰﺠﻟﺍ ﺎﻘﻠﻄﻧﺎﻓ ﻰﺘﺣ ﺎﻘﺤﻟ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ
ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻭ ﻢﻠﺳ ﻝﺰﻧﺃﻭ ﻪﻠﻟﺍ ﺰﻋ ﻭ ﻞﺟ ﻰﻠﻋ ﻪﻟﻮﺳﺭ
ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻭ ﻢﻠﺳ } ﻢﻬﻨﻣﻭ ﻦﻣ ﺪﻫﺎﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻦﺌﻟ ﺎﻧﺎﺗﺁ ﻦﻣ
ﻪﻠﻀﻓ { ﻰﻟﺇ ﻪﻟﻮﻗ } ﻥﻮﺑﺬﻜﻳ { ﻝﺎﻗ : ﺐﻛﺮﻓ ﻞﺟﺭ ﻦﻣ ﺭﺎﺼﻧﻷﺍ
ﺐﻳﺮﻗ ﺔﺒﻠﻌﺜﻟ ﺔﻠﺣﺍﺭ ﻰﺘﺣ ﻰﺗﺃ ﺔﺒﻠﻌﺛ ﻝﺎﻘﻓ ﻚﺤﻳﻭ ﺔﺒﻠﻌﺛ ﺎﻳ
ﺖﻜﻠﻫ ﻝﺰﻧﺃ ﻪﻠﻟﺍ ﺰﻋ ﻭ ﻞﺟ ﻚﻴﻓ ﻥﺁﺮﻘﻟﺍ ﺍﺬﻛ ﻞﺒﻗﺄﻓ ﻊﺿﻭﻭ ﺔﺒﻠﻌﺛ
ﺏﺍﺮﺘﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﻪﺳﺃﺭ ﻮﻫﻭ ﻲﻜﺒﻳ ﻝﻮﻘﻳﻭ : ﺎﻳ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﺎﻳ ﻝﻮﺳﺭ
ﻪﻠﻟﺍ ﻢﻠﻓ ﻞﺒﻘﻳ ﻪﻨﻣ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻭ ﻢﻠﺳ
ﻪﺘﻗﺪﺻ ﻰﺘﺣ ﺾﺒﻗ ﻪﻠﻟﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻭ ﻢﻠﺳ
ﻢﺛ ﻰﺗﺃ ﺎﺑﺃ ﺮﻜﺑ ﻲﺿﺭ ﻪﻨﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﺪﻌﺑ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ
ﻭ ﻢﻠﺳ ﻝﺎﻘﻓ : ﺎﻳ ﺎﺑﺃ ﺮﻜﺑ ﺪﻗ ﺖﻓﺮﻋ ﻲﻌﻗﻮﻣ ﻦﻣ ﻲﻣﻮﻗ
ﻲﻧﺎﻜﻣﻭ ﻦﻣ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻭ ﻢﻠﺳ ﻞﺒﻗﺎﻓ ﻲﻨﻣ
ﻰﺑﺄﻓ ﻥﺃ ﻪﻠﺒﻘﻳ ﻢﺛ ﻰﺗﺃ ﺮﻤﻋ ﻲﺿﺭ ﻪﻨﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﺑﺄﻓ ﻥﺃ ﻞﺒﻘﻳ
ﻪﻨﻣ ﻢﺛ ﻰﺗﺃ ﻥﺎﻤﺜﻋ ﻲﺿﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻨﻋ ﻰﺑﺄﻓ ﻥﺃ ﻞﺒﻘﻳ ﻪﻨﻣ ﻢﺛ
ﺕﺎﻣ ﺔﺒﻠﻌﺛ ﻲﻓ ﺔﻓﻼﺧ ﻥﺎﻤﺜﻋ ﻲﺿﺭ ﻪﻨﻋ ﻪﻠﻟﺍ
Telah bercerita kepada kami Abu Yazid Al
Qarathisy, bercerita kepada kami Asad bin Musa,
bercerita kepada kami Al Walid bin Muslim,
bercerita kepada kami Mu’aan bin Rifa’ah, dari Ali
bin Yazid, dari Al Qasim, dari Abu Umamah,
bahwa Tsa’labah bin Hathib Al Anshari mendatangi
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata:
“Ya Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar aku
diberikan harta.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alahi
wa Sallam bersabda: “Celaka engkau wahai
Tsa’labah! Sedikit yang engkau syukuri itu lebih
baik dari harta banyak yang engkau tidak sanggup
mensyukurinya.” Kemudian Tsa’labah kembali
kepadanya, dan berkata: “Wahai Rasulullah,
berdoalah kepada Allah agar saya diberikan harta.”
Nabi bersabda: “Apakah engkau tidak suka menjadi
seperti Nabi Allah? Demi yang diriku di tangan-
Nya, seandainya aku mau gunung-gunung
mengalirkan perak dan emas, niscaya akan
mengalir untukku. ” Kemudian ia (Tsa’labah)
berkata: “Demi Dzat yang mengutusmu dengan
benar, seandainya engkau meminta kepada Allah
agar aku dikaruniai harta (yang banyak) sungguh
aku akan memberikan haknya kepada yang berhak
menerimanya.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam berdo’a: “Ya Allah, berikankanlah harta
kepada Tsa’labah.” Kemudian ia mendapatkan
seekor kambing, lalu kambing itu tumbuh beranak,
sebagaimana tumbuhnya ulat. Kota Madinah
terasa sempit baginya. Sesudah itu, Tsa’labah
menjauh dari Madinah dan tinggal di satu lembah.
Karena kesibukannya, ia hanya berjama’ah pada
shalat zhuhur dan ‘ashar saja, dan tidak pada
shalat-shalat lainnya. Kemudian kambing itu
semakin banyak, maka mulailah ia meninggalkan
shalat berjama’ah sampai shalat Jum’at juga ia
tinggalkan. Suatu saat Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bertanya kepada para Shahabat:
“Apa yang dilakukan Tsa’labah?” Mereka
menjawab: “Ia mendapatkan seekor kambing, lalu
kambingnya bertambah banyak sehingga kota
Madinah terasa sempit baginya.” Maka Rasulullah
Shallallahu ‘Alahi wa Sallam mengutus dua orang
untuk mengambil zakatnya seraya bersabda:
“Pergilah kalian ke tempat Tsa’labah dan tempat
fulan dari Bani Sulaiman, ambillah zakat mereka
berdua.” Lalu keduanya pergi mendatangi
Tsa’labah untuk meminta zakatnya. Sesampainya
disana dibacakan surat dari Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Dengan serta merta Tsa’labah
berkata: “Apakah yang kalian minta dari saya ini,
pajak atau semisalnya? Aku mengerti apa
sebenarnya yang kalian minta ini!” Lalu keduanya
pulang dan menghadap Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Tatkala beliau melihat kedua-
nya (pulang tidak membawa hasil), sebelum
mereka berbicara, beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Celaka engkau, wahai Tsa’labah!
Lalu turun ayat: “Dan di antara mereka ada yang
telah berikrar kepada Allah: ‘Sesungguhnya jika
Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada
kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah
kami termasuk orang-orang yang shalih.’ Maka,
setelah Allah mem-berikan kepada mereka
sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan
karunia itu dan berpaling, dan mereka memanglah
orang-orang yang selalu membelakangi
(kebenaran).” (QS. At Taubah (9): 75-76) Setelah
ayat ini turun, Tsa’labah datang kepada Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ia mohon agar
diterima zakatnya. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam langsung menjawab: “Allah telah
melarangku menerima zakatmu.” Hingga Rasul
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat, beliau tidak
mau menerima sedikit pun dari zakatnya. Dan Abu
Bakar, ‘Umar, serta ‘Utsman pun tidak menerima
zakatnya di masa kekhilafahan mereka. Tsa’labah
wafat pada masa kekhilafahan Utsman bin ‘Affan.
* * * * *
Kisah ini diriwayatkan oleh:
- Imam Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush Shahabah
No. 1310
- Imam Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 4357
- Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir
No. 7873
- Imam Abu Bakar Asy Syaibani dalam Al Aahad
wal Matsani No. 687
- Imam Ibnu Jarir Ath Thabari dalam Jami’ul
Bayan, No. 16987
- Imam Ibnu Abi Hatim Ar Razi dalam Tafsirnya
No. 10638
- Imam Al Qurthubi dalam Al Jami’ Li Ahkam Al
Quran, 8/208
- Imam Al Baghawi dalam Ma’alim At Tanzil, 4/76
- Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al Quran Al
‘Azhim, 4/183-184
- Imam Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 11/207-208
- Imam Abul Husein Abdul Baqi bin Qani’,
Mu’jam Ash Shahabah, No. 127
- Dan lainnya.
Kisah ini tidak sah dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam. Sebab diriwayatkan oleh beberapa
rawi yang dhaif, yakni:
1. Mu’aan bin Rifa’ah As Sulami
Mayoritas imam jarh wa ta’dil mendhaifkannya.
Yahya mengatakan: dhaif. Ar Razi dan As Sa’di
mengatakan: laisa bihujjah (bukan hujjah). Ibnu
Hibban mengatakan: “haditsnya tidak serupa
dengan hadits-hadits yang kuat maka mesti
ditinggalkan.” Al Azdi mengatakan: “haditsnya
tidak bisa dijadikan hujjah.” (Imam Ibnul Jauzi,
Adh Dhu’afa wal Matrukin, No. 3353. Lihat juga
Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 3/36)
Al Jauzajaani mengatakan: bukan hujjah. Ya’qub
bin Sufyan mengatakan: layyinul hadits – lemah
haditsnya. Imam Ibnu Hibban mengatakan:
munkarul hadits. Ibnu ‘Adi mengatakan:
“kebanyakan hadits darinya tidak bisa
diikuti.” (Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib,
10/182)
Imam Ibnu Hajar mengatakan: “Saya telah
membaca tulisan Adz Dzahabi, bahwa Mu’aan
wafat sekitar bersamaan dengan Al Auza’i, dan
dia (Mu’aan) adalah pemilik hadits yang tidak
teliti (mutqin).” (Ibid. Lihat juga Imam Adz
Dzahabi, Mizanul I’tidal, No. 8619)
Abu Hatim mengatakan: haditsnya boleh ditulis
tapi tidak bisa dijadikan hujjah. Yahya
mengatakan: dhaif. (Imam Adz Dzahabi, Al
Kasyif No. 5513)
Hanya sedikit yang mentsiqahkan, Duhaim
mengatakan: tsiqah. (Ibid), begitu pula Ali bin Al
Madini. (Imam Adz Dzahabi, Al Mughni fi Adh
Dhuafa, No. 6309), Imam Ahmad mengatakan:
laa ba’sa bihi – tidak apa-apa. (Imam Ibnu Al
Mubarrad, Bahr Ad Dam, Hal. 152), Muhammad
bin ‘Auf dan Abu Daud mengatakan: tidak apa-
apa. (Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahzib,
10/182)
Lalu bagaimana menilai Mu’aan bin Rifa’ah ini?
Di tengah badai kritikan baginya namun ada pula
yang memujinya. Kaidahnya adalah: jarh
mufassar muqaddamun ‘ala ta’dilil ‘aam –
kritikan yang terperinci lebih diutamakan
dibanding pujian yang masih umum. Maka, dia
tetap seorang perawi yang dhaif, sebab kritikan
(jarh) yang diterimanya telah dirinci
sebagaimana rincian Ibnu Hibban,ada pun
pujiannya (ta’dil) masih bersifat umum. Wallahu
A’lam
2. Ali bin Yazid Abu Abdul Malik
Imam An Nasa’i mengatakan: matrul hadits –
haditsnya ditinggalkan. Imam Bukhari
mengatakan: munkarul hadits – haditsnya
munkar. (Imam Al Muqrizi, Al Mukhtashar Al
Kamil fi Adh Dhuafa, No. 1338, Lihat juga Al
‘Uqaili dalam Adh Dhuafa, No. 1259)
Imam Ad Daruquthni memasukannya dalam
kitabnya Adh Dhuafa wa Matrukin. (No. 408),
selain itu beliau juga didhaifkan oleh Imam
Ahmad, Imam Abu Hatim, dan Imam Abu
Zur’ah. (Imam Abdurrahman bin Abi Hatim, Al
Jarh wa At Ta’dil, No. 1142)
Imam Ibnu Hazm mengatakan: “Mu’aan bin
Rifa’ah, Al Qasim bin Abdurrahman, dan Ali bin
Yazid, semuanya adalah dhaif.” (Al Muhalla,
11/208)
Oleh karena itu, segenap para ulama pun telah
mendhaifkan hadits ini.
Imam Ibnu Hazm mengatakan: “Hadza Baathil, li
anna tsa’labah badriy ma’ruuf- hadits ini batil,
karena Tsa’labah adalah dikenal sebagai Ahli
Badar. ” (Lihat Al Muhalla, 11/208)
Imam Ibnu Hajar mengatakan: “Dhaif jiddan –
lemah sekali.” (Takhrij Ahadits Al Kasyaaf, Hal.
77), juga didhaifkan oleh Imam As Suyuthi.
(Asbabun Nuzul, Hal. 121), Imam Al ‘Iraqi.
(Takhrij Ahadits Al Ihya’, 3/338), Imam Al
Qurthubi. (Al Jami’ Li Ahkamil Quran, 8/210)
Syaikh Ali Hasyisy mengatakan dhaif jiddan.
(Lihat Silsilah Al Ahadits Al Wahiyah, Hal. 248,
No. 158), Syaikh Al Albani juga mengatakan:
dhaif jiddan. (As Silsilah Adh Dhaifah No. 1607)
Catatan:
Hadits ini selain dhaif riwayatnya, tapi juga
buruk secara makna, yakni telah menjadikan
salah satu sahabat nabi yang mulia, bernama
Tsa’labah bin Haathib seorang Ahli Badar dan
golongan Anshar, sebagai sosok yang durhaka.
Hal ini merupakan tuduhan yang berat
kepadanya, dan dusta terhadapnya. Padahal Ahli
Badar telah Allah Ta’ala maafkan dan diampuni
dosa-dosanya, dan dijamin masuk surga,
sebagaimana diriwayatkan oleh hadits-hadits
shahih.
Dari Jabir Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ْﻦَﻟ َﻞُﺧْﺪَﻳ َﺭﺎَّﻨﻟﺍ ٌﻞُﺟَﺭ َﺪِﻬَﺷ ﺍًﺭْﺪَﺑ َﺔَﻴِﺒْﻳَﺪُﺤْﻟﺍَﻭ
Tidak akan pernah masuk ke neraka seorang
yang ikut perang Badar dan Hudaibiyah. (HR.
Ahmad No. 15297, Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan: hasan. Lihat Tahqiq Musnad
Ahmad No. 15297. Alauddin Al Muttaqi Al Hindi
dalam Kanzul ‘Ummal No. 33894, Syaikh Al
Albani mengatakan: shahih. Lihat As Silsilah Ash
Shahihah No. 2160)
Dahulu ada sahabat nabi, Hatib bin Abi Baltha’ah
Radhiallahu ‘Anhu dan dia seorang Ahli Badar,
yang telah membocorkan rahasia negara ketika
menjelang penaklukan kota Mekkah (Fathul
Makkah). Beliau mengirim utusan seorang
wanita untuk membawa surat ke Mekkah kepada
sanak familinya perihal penaklukan itu. Namun
Rasulullah mengetahui rencana Hatib ini, Beliau
mengutus Ali, Az Zubeir, dan Miqdad untuk
mengejar utusan tersebut, dan akhirnya terkejar.
Para sahabat pun marah kepada Hatib bin Abi
Baltha’ah, bahkan Umar mengatakan: “Ya
Rasulullah, Da’ni adhribu ‘unuqa haadzal
munaafiq – Ya Rasulullah, biarkan saya
memenggal leher si munafiq ini.”
Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
ُﻪَّﻧِﺇ ْﺪَﻗ ﺍًﺭْﺪَﺑ َﺪِﻬَﺷ ﺎَﻣَﻭ َﻚﻳِﺭْﺪُﻳ َّﻞَﻌَﻟ َﻪَّﻠﻟﺍ ْﻥَﺃ َﻥﻮُﻜَﻳ ْﺪَﻗ َﻊَﻠَّﻃﺍ
ﻰَﻠَﻋ ِﻞْﻫَﺃ ٍﺭْﺪَﺑ َﻝﺎَﻘَﻓ ﺍﻮُﻠَﻤْﻋﺍ ﺎَﻣ ْﻢُﺘْﺌِﺷ ْﺪَﻘَﻓ ُﺕْﺮَﻔَﻏ
Dia telah ikut perang Badar, apakah engkau tidak
tahu bahwa barang kali Allah Ta’ala telah
memandang Ahli Badar, lalu Dia berkata:
lakukan apa yang kalian mau, kalian telah Aku
ampuni. (HR. Bukhari No. 3007 dan Muslim No.
2494)
Demikian mulia kedudukan Ahli Badar, dan
Tsa’labah bin Haathib juga termasuk Ahli Badar.
Selain itu, kisah dalam riwayat ini menunjukkan
bahwa Allah Ta’ala menolak amal shalih dan
maaf hambaNya. Ini juga bertentangan dengan
sifat Allah Ta’ala sebagai Al Ghafur (Maha
Pengampun) dan Ar Rahim (Maha Penyayang).
Kemudian riwayat ini juga mengandung makna
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
tidak memaafkan Tsa’labah sampai dirinya
wafat. Ini jelas bertentangan dengan akhlak
Beliau yang asyidda’u ‘alal kuffar wa ruhama’u
bainahum – keras terhadap orang kafir dan
berkasih sayang terhadap mereka (orang-orang
mukmin/para sahabatnya).
Maka, hendaknya kita –khususnya para
penceramah- hati-hati menyebarkan kisah ini,
sebab akan membawa dampak pembunuhan
karakter terhadap sahabat Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, dan itu pun menjadi dusta
atas nama sahabat nabi dan merupakan celaan
terhadap mereka. Dan, mencela sahabat nabi
tidaklah sama dengan mencela manusia
kebanyakan. Wal ‘Iyadzu billah.
Wallahu A’lam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar