Selasa, 27 November 2012
Siang itu, di salah satu sudut Kota Madinah,
sejumlah anak sedang asyik bermain.
Semuanya mengenakan pakaian baru dan sangat gembira.
Hari itu bertepatan dengan Idul Fitri. Di belakangnya,
seorang anak tampak bersedih.
Seorang lelaki dengan penuh saksama memerhatikan
mereka, tak terkecuali anak yang bersedih itu. Lelaki ini pun
mendekatinya, kemudian bertanya, “Wahai ananda,
mengapa engkau tak bermain seperti teman-temanmu yang
lainnya?”
Dengan berurai air mata, ia menjawab, “Wahai tuan, saya
sangat sedih. Teman-teman saya gembira memakai pakaian
baru, dan saya tak punya siapa-siapa untuk membeli
pakaian baru.”
Lelaki ini kembali bertanya, “Kemanakah orang tuamu?”
Anak kecil ini menuturkan ayahnya telah syahid karena ikut
berperang bersama Rasulullah. Sedangkan ibunya menikah
lagi, sedangkan semua harta ayahnya dibawa serta, dan ayah
tirinya telah mengusirnya dari rumah.
Lelaki ini pun kemudian memeluk dan membelainya. “Wahai
ananda, mau engkau kalau saya menjadi ayahmu, Aisyah
sebagai ibumu, dan Fatimah jadi saudarimu?”
Anak kecil itu pun tampak sangat gembira. Lelaki itu lalu
membawa anak itu ke rumahnya, dan memberikan pakaian
yang layak untuknya.
Beberapa saat kemudian, anak itu kembali menemui teman-
temannya. Ia tampak sangat bahagia dengan pakaian yang
lebih baru. Menyaksikan hal itu, teman-teman sebaya heran
dan bertanya-tanya. “Kemarin aku lapar, haus, dan yatim.
Tetapi sekarang aku bahagia, karena Rasulullah SAW menjadi
ayahku. Aisyah ibuku, Ali adalah pamanku dan Fatimah
saudariku. Bagaimana aku tak bahagia,” ujarnya.
Setelah mendengarkan perubahan itu, giliran teman-
temannya yang bersedih. Mereka iri dengan anak itu, karena
kini lelaki yang membawanya telah menjadi orang tua
asuhnya yang tak lain adalah Rasulullah SAW.
Ketika Rasulullah SAW wafat, anak itu kembali menangis dan
bersimpuh di atas pusara Rasul SAW dengan berlinang air
mata. “Ya Allah, hari ini aku menjadi yatim yang sebenarnya.
Ayahku yang sangat mencintaiku sudah tiada. Apakah aku
harus hidup sebatangkara lagi?”
Mendengar hal itu, Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq
menghampirinya sambil membujuk dan memeluknya.
“Akulah yang akan menjadi pengganti ayahmu yang sudah
tiada.” (Diriwayatkan oleh Anas bin Malik RA).
Kisah ini memberikan pelajaran bahwa menyantuni,
memelihara, dan mengasuh anak yatim merupakan
tanggung jawab kita semua. Kita berkewajiban untuk
memberinya makanan, pakaian, dan tempat tinggal yang
layak, serta pendidikan yang memadai hingga mereka
dewasa.
Rasulullah SAW adalah teladan umat manusia. Beliau sangat
mengasihi dan menyayangi anak-anak yatim. Dalam salah
satu sabdanya, Rasul menjelaskan, bahwa kedudukan orang
yang memuliakan, menyantuni dan mengasihi anak yatim,
akan mendapatkan surga yang jaraknya bagaikan jari
telunjuk dan jari tengah.
Rasul SAW sangat membenci orang-orang yang
menelantarkan anak yatim. Dalam Alquran, Allah SWT
mengecam orang-orang yang suka menghardik anak yatim,
dan enggan memberi makan fakir miskin. Allah menyebut
mereka itu sebagai pendusta agama. (QS al-Ma’un [105]:
1-5). Wallahu a’lam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar