Kamis, 10 September 2009

Apple for an Angel

"Pada berbagai tahap kehidupan kita, tanda-tanda
cinta yang kita temui itu beragam: ketergantungan,
daya tarik, kepuasan, kecemasan, kesetiaan, kesedihan,
tetapi di dalam hati, sumbernya selalu sama. Manusia
mempunyai sedikit sekali kemampuan untuk saling
berhubungan dengan sesamanya, mensyukuri apa
adanya."


Dia berjalan dengan mata menatap ke bawah,
kepala tertunduk. Ketika dia melihatku, dia bicara,
dan aku menangkap pandangannya. Dia lusuh dan kumal,
tak ada cahaya di matanya. Dia berkata, "Assalaamu
'Alaykum." Begitu sopannya dia.


Dengan lembut aku menjawab salamnya, "Wa
'Alaykum salaam." Aku terus berjalan dalam
kesunyian, pemuda ini -yang tak kuketahui siapa
namanya- telah membawa hatiku pergi jauh, entah ke
mana.

Aku menatap pada kedua matanya, mengamati sebuah
harapan yang pernah sirna, kataku dalam hati,
"Bagaimanakah perasaan ibu yang melahirkannya?
Bagaimanakah perasaan ibu yang telah menyaksikan
putranya tumbuh seperti ini?". Beberapa waktu
kemudian kudapati jawaban itu tak akan pernah ada,
ibunya telah meninggal -tidak beberapa lama setelah ia
lahir. Rupanya ia seorang piatu!

Kemudian, aku selalu dikejutkannya pada hari-hari
yang lain, dengan salamnya yang tulus dan dengan
ekspresi wajahnya yang malu-malu. Ketika sengaja
menatap ke dalam kedua bola matanya kali ini, aku
kembali dikejutkan dengan binar mata yang sekarang
hadir. Aku bersyukur, Semoga saja itu memang karena
aku tidak mengabaikannya meski hanya dengan sebuah
senyuman.


Aku ingat ketika aku pertama kali mengamatinya
dengan teliti. Pikiranku mengembara entah ke mana.
Antara terharu, iba dan rasa kasihan yang tak terkira.
Kupikir sudah seharusnya ada sisa-sisa penghargaan
pada seorang anak yang terlahir sebagai seorang
manusia dengan kerusakan mental yang parah. Tidak
hanya itu, ia juga memiliki mata yang jauh lebih besar
dari ukuran normal, tanpa naungan alis yang enggan
tumbuh di atasnya. Kulitnya kasar dan bersisik,
rambutnya merah seperti rambut jagung, giginya besar-
besar, hitam, jarang-jarang dan terlalu maju ke depan
pada rahang atas. Hal itu membuatnya tampak seperti
menyeringai jika tersenyum. Hal itu akan membuat
anak-anak kecil akan berlari-lari dan mengolok-
oloknya dari jauh.


"Assalaamu 'Alaykum wa RohmatuLlaahi wa
Barokaatuh." Suatu hari ia mengucapkan salam dengan
sempurna begitu aku lewat. Seingatku Ini pertama kali
ia mengucapkan salam dengan lengkap. Aku baru sadar
ia sangat bahagia hanya karena aku selalu menjawab
salamnya. Maka pagi itu, aku ikut-ikutan menjawab
salam tanpa kusingkat sedikitpun. Sejujurnya jawaban
salamku hanya sebetik rasa kasihan. Mengapa
Allah menciptakan makhluk yang jauh dari sempurna seperti
ini, tanyaku dalam hati. Biarlah, Allah Maha Tahu.
Tapi ya Allah, betapa pilu ketika aku melihat ia juga
mengucapkan salam pada setiap orang, tapi tak
seorangpun yang menanggapinya.

Rupanya ini alasannya. Rupanya ini yang membuatnya
bahagia jika bertemu denganku. Sebuah pengakuan.
Pengakuan sebagai manusia meskipun jauh dari
kesempurnaan fisik dan mental yang seharusnya
dimiliki.

Ini memang sangat menyedihkan. Aku menyelami
perasaannya, tapi aku juga tahu mengapa orang-orang
yang lewat mengacuhkannya. Apakah perlu menjawab
seorang pemuda cacat mental dengan kedewasaan
seperti anak-anak yang bahkan belum pantas terdaftar
pada sekolah dasar? Mungkin itu pikiran kebanyakan
orang. Tapi aku tidak.

Aku berusaha menjawab salamnya, selalu dan
sebisaku. Belakangan ini ia justru menyadarkanku
tentang hakikat salam yang seharusnya. Jika ia
mengucapkan salam padaku lebih dulu, aku
menjawabnya dengan lengkap dan tanpa sadar
membuatku berpikir. Berpikir tentang makna salam itu
sendiri. "Wa 'Alaykum Salaam wa Rohmatullaah wa
Barokaatuh" -Dan salam kesejahteraan juga bagimu
dengan Rahmat Allah dan Barokah Allah,
doaku dalam hati. sepanjang hidupku, telah banyak kulakukan
perbuatan tercela pada orang lain. Aku sadar mengapa
salam menjadi hak seorang muslim atas saudaranya.
Barangkali doa dalam salam itu berfungsi untuk
menghapuskan dosa-dosa yang ada. Ia adalah kebaikan
yang mudah diberikan kepada saudara-saudara kita.
Sebuah doa, bukan semata-mata ungkapan formalitas
tanpa makna.


Rupanya aku baru menyadari mengapa Allah
menciptakan pemuda cacat ini, kehadirannya bukan
tidak berguna seperti dugaanku. Tapi menyadarkan
orang-orang sepertiku tentang arti bersyukur pada
nikmat Allah yang mudah terlihat tapi sukar di lihat.
Nikmat kesempurnaan fisik, kesehatan mental, dan
kenikmatan iman.

Terima kasih Jo, kataku dalam hati. Jo adalah nama
pemuda itu. Akhirnya aku tahu ia tinggal di sebuah
kamar petak tidak jauh dari kost-kostanku. Ia rajin
pergi ke masjid sebelah rumah kostku, belajar mengaji
bersama anak-anak kecil dengan usia minimal 10 tahun
di bawah usianya. Aku diberi tahu anak-anak itu -yang
tak lain adalah murid-murid ngajiku dulu. Mereka
mengatakan bahwa Jo tidak pernah naik dari Iqro 4.
Meski begitu ia rajin sekali hadir. Aku sendiri belum
pernah melihatnya sewaktu mengajar, atau karena aku
tidak memperhatikan saja? Entahlah, kesibukan
kuliahku di tingkat akhir membuatku jarang lagi
mengajar anak-anak kecil itu. Semoga Allah
mengampuniku atas amanah yang telah kulalaikan.

Suatu hari aku terkejut mendapati Jo berdiri di depan
pintu rumah kostku. Gayanya malu-malu, kemudian ia
mengucap salam seperti biasa. Aku baru saja selesai
membenahi semua barang-barangku dan mengepaknya
dalam beberapa kardus besar. Hari ini aku pindah kost.

"Teteh mau pindah?" ia bertanya. Aku menjawab
dengan sebuah anggukan. Dalam sekejab tatapan
matanya menjadi sayu, seolah-olah sangat sedih
mendengar berita itu. Hatiku trenyuh.

"Teteh ..." ia berkata lagi. Dikeluarkannya sebutir apel
lusuh dari balik kantong bajunya yang kumal. Apel
besar berwarna hijau masih lengkap dengan tempelan
merk Switzerland. Itu apel yang hanya bisa di dapat di
departmen store, pikirku. Sungguh, Aku tidak bisa
menduga maksud ia menunjukkan apel itu padaku.


"Saya memecah celengan ayam saya buat beli apel ini,
ini buat teteh." Dia berkata. Diangsurkannya apel itu
padaku. Oh, Aku bertanya-tanya dalam hati "Apakah
ini tidak salah?"

Meski begitu, kuterima saja apel itu dengan tatapan
penuh tanya, ia hanya tersipu malu lalu berkata pelan-
pelan, "Ustadz bilang, di surga ada banyak bidadari
yang baik. Bidadari itu juga hanya makan makanan
yang baik-baik di surga, di sana banyak buah-
buahan..."

Aku menatapnya lebih dalam. Berusaha mencari
makna dibalik kata-kata yang belum kupahami.


"Kata ustadz lagi, bidadari surga itu juga ada di dunia
dalam bentuk wanita sholihah.." di sini kalimatnya
berhenti, ia tersenyum malu-malu dan menundukkan
kepalanya dalam-dalam, lalu melanjutkan "kata ustadz
juga, wanita sholihah itu salah satu cirinya baik hati
dan berjilbab rapih seperti teteh ..."

Aku terharu mendengar penjelasannya yang sederhana
namun sarat makna. Tanpa sadar meremas-remas ujung
jilbabku, kuingat Nabi Muhammad SAW bersabda :
"Jangan anggap remeh suatu perbuatan baik, bahkan
jikapun kamu bertemu saudaramu dengan muka
tersenyum (karena itu adalah perbuatan yang berat
timbangan kebaikannya)."


Kemudian, sewaktu aku menatap kembali ke dalam
bola matanya, aku tahu bahwa karena pemuda buruk
rupa yang cacat mental ini, aku tidak hanya telah diajak
ke dalam dunia perenungan dan kesunyian yang aneh –
aku telah diberi kesempatan untuk menghargai orang
secara terbuka untuk pertama kalinya dan untuk
'mengenang hal-hal yang baik dalam diri orang lain',
sekecil apapun itu.

Setelah hari itu, tampaknya jauh lebih mudah untuk
memuji dan meluhurkan Allah atas semua yang
kuterima dalam hidupku yang 'benar, mulia, dan adil' –
termasuk sebutir apel dari seorang pemuda cacat
mental seperti Jo. Mungkin baginya hadiah terbesar
yang bisa dipersembahkannya kepadaku adalah apel
itu.

Bukan masalah soal harganya, namun nilai makna yang
terkandung dalam apel itu membuatku terharu.
Pikirannya memang sangat sederhana, tapi itu justru
membuatnya mudah menyerap nilai-nilai kebaikan
yang diberikan orang kepadanya. Dengan seulas
senyum saja, ia telah memberiku predikat seseorang
yang baik-hati. Dengan hanya menjawab salamnya saja
ia telah mensejajarkanku dengan bidadari surga! Aku
sungguh terharu!

Tak akan kulupa dia, saat dia mengiringi kepindahanku
dengan tatapan matanya, karena dia telah memberiku
sesuatu yang tak akan pernah bisa kubayar. Dia berikan
padaku kesempatan untuk memberi yang kumampu,
kesempatan untuk menunjukkan cinta pada mereka
yang tersingkir --kesempatan untuk sekedar tersenyum
dan menjawab salam ketika tak seorang pun bersedia –
kesempatan untuk menjadi manusia istimewa,
kesempatan untuk melakukan kebaikan.


Aku akan selalu berterima kasih pada pemuda cacat
mental itu karena menunjukkan padaku cinta dalam
seuntai doa, untuk memberiku kesempatan menjadi
seseorang yang memiliki kepekaan hati lebih banyak,
untuk memberiku kesempatan menjawab ketukannya
di pintu kalbuku.

Kau tahu, aku bukanlah bidadari, meski aku ingin
sekali menjadi salah satunya. Aku telah melukai
banyak orang dengan menjadi diriku, dan orang ini,
orang yang cacat ini, yang tidak mengabaikan diriku,
untuk sejenak melepaskan seorang bidadari
untuk terbang bebas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar