Selasa, 08 September 2009

I Didn‘t Mean To...

I Didn‘t Mean To...

Pernahkah suatu kali kita menemui bahwa ternyata
secara tak sengaja telah tersakiti hati orang-orang lain di sekitar kita. Kita melangkah memulai hari tanpa
mengerti bahwa kemarin, dua hari lalu, atau hari-hari
sebelumnya lagi, entah berapa banyak orang yang tak
berkenan dengan apa yang telah kita lakukan. Walau
tanpa sadar, walau tak bermaksud demikian, namun hati
yang terlanjur tersakiti, sulit tuk dipulihkan lagi.

Suatu kali, saat menjalani tingkat pertama perkuliahan,
seseorang pernah berkata pada saya, "Kamu galak banget
ya?" Ups! Saat itu saya benar-benar kaget. Galak? Ya,
mungkin juga sih. Rasanya saya memang tidak pernah
seperti si A, teman saya, yang bisa dengan ramainya
berkicau menyapa setiap orang yang ia lewati di lorong
kampus. Kemudian saya pun bertanya lebih lanjut,
mencoba memahami "complain" yang saya terima hari
itu.

Teringat waktu kelas dua SMU dulu. Saat saya dan
teman-teman lain menjadi pengurus Rohis SMU.
Berkutat dengan pelajaran, sekaligus aktivitas
kepengurusan, setiap hari rasanya ada saja bahan rapat
sepulang sekolah. Capek? Sudah pasti. Tapi entah
kenapa saya menyukai semua aktifitas itu. Sepertinya
bila hari belum gelap, belum waktunya untuk pulang ke
rumah. Tanpa sadar, aktifitas ini itu di sekolah serta
tuntutan harus mencapai nilai-nilai yang baik, plus
beberapa permasalahan yang juga saya hadapi di rumah,
membuat sedikit tekanan yang akhirnya terbawa pada
perilaku. Saya mungkin tak menyadari, tapi tidak dengan
yang lain.

Hari itu, saya dan teman-teman sedang duduk-duduk di
depan mushola sekolah. Tiba-tiba teman saya
memanggil, "Kamu dicariin tuh, sama anak kelas 1-5."
Saya menoleh ke belakang, rupanya sedari tadi sudah
berdiri dua orang anak kelas satu. Dua-duanya saya
kenal, mereka anak-anak kelas satu yang rajin
menghadiri acara Rohis tiap Jumat. "Kenapa, dek?" tegur
saya. Mereka mendekat, salah satunya menyodorkan
sebuah buku, "Ng... ini kak, mau kembaliin bukunya.
Maaf kelamaan minjemnya," katanya dengan suara
sangat pelan.

Saya mengangguk sambil tersenyum kecil,
dan mengambil buku tersebut. Mereka lantas lekas pergi
setelah mengucapkan salam. Kemudian seorang teman
saya yang lain berkata, "Eh, kemarin mereka nanya ke
aku, tentang kamu." Saya menatapnya heran, "Tanya
apa?" "mereka tanya, "Kakak yang itu, maksudnya
kamu, galak nggak sih?" Saya terhenyak. Pantas, tadi
tampaknya mereka menghampiri dengan raut takut-takut
dan suara nyaris tak terdengar. Saya berusaha keras
mengingat-ingat, apa sih yang sudah saya lakukan
sampai-sampai adik kelas takut kepada saya. Lalu saya
hanya bisa nyengir pahit, karena saya
tak berhasil mengingat apapun.

Pernahkah kita menyadari bahwa bisa jadi hari ini kita
telah mengecewakan banyak orang? Kita mengira bahwa
hari ini telah dilewati dengan lancar tanpa gangguan dan
kita akhiri hari dengan tidur nyenyak. Namun ternyata
tadi pagi, saat kita lupa mencium tangan orang tua untuk
pamit, terbersit sedikit kecewa di hati mereka. Tadi pagi,
saat membayar ongkos bis, kita memberikannya dengan
sodoran yang kasar hingga pak kondektur bis bertambah
lelah dan penatnya bahkan merasa terhina. Tadi pagi,
saat masuk ruangan kantor, kita lupa menyapa dan
memberi salam dan senyum pada pak satpam dan
beberapa teman yang sudah datang, hingga yang kita
suguhkan hanyalah wajah lelah sehabis turun naik bis
dan kerut kening pertanda banyak kerjaan kantor yang
harus diselesaikan hari itu.

Pernahkah terpikir oleh kita, bahwa sedikit kesan tak
enak yang orang lain tangkap dari tingkah laku kita,
dapat membekas begitu dalam tanpa kita menyadarinya.
Membuat mereka merasa sedih, kecewa, kesal, atau
bahkan marah pada kita. Tanpa kita menyadari, bahwa
hari itu telah kita lewati dengan menyakiti hati begitu
banyak orang. Dan saat hati-hati mereka telah luka,
rasanya tak lagi berarti permohonan maaf kita saat kita
ucapkan, "I didn't mean to..."


Seorang sahabat pada jaman Rasulullah SAW pernah
dijamin masuk surga sebab ia memiliki kebiasaan selalu
memaafkan dan melapangkan hati bagi setiap orang yang
mungkin telah menyakiti hatinya hari itu. Namun kita tak
pernah bisa memastikan, apakah memang kesalahan-
kesalahan kita -yang tak disadari itu- telah dimaafkan
oleh orang-orang yang telah sedih, kecewa, kesal, dan
marah pada kita. Kita tak pernah bisa memastikan,
sampai kita harus memohon pada mereka untuk memberi
maaf. Hingga tak lagi kesalahan-kesalahan itu
memberatkan diri kita di akhirat kelak. Walau kita pikir
itu kecil, walau sepertinya itu tak berarti banyak buat diri
kita.

Kesalahan yang tak disengaja, terkadang membuat kita
sendiri heran. Kapan ya saya melakukan hal itu? Benar
tidak ya, saya telah bersikap kasar padanya?
Ah, saya kan tidak bermaksud begitu.
I didn't mean to. Dan sekian
banyak pemaafan yang kita ukir untuk diri kita sendiri,
tanpa peduli apakah orang tersebut masih merasakan
sakitnya hingga kini.

Tak usahlah lagi alasan itu dicari. Mari mulai
memperbaiki, mulai saat ini. Sebab kita tak pernah
tahu kapan diri kita pernah menyakiti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar