Kamis, 03 September 2009

Merindukan Sosok Umar bin Abdul Aziz

Ketika diangkat menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz
mendatangi beberapa ulama untuk meminta nasehat.
Salah satu ulama tersebut, Hasan Al Bashri,
menasehatinya seperti ini : Anggaplah rakyat seperti
ayahmu, saudaramu, dan anakmu. Berbaktilah kepada
mereka seperti engkau berbakti pada ayahmu,
peliharalah hubungan baik dengan mereka seperti dengan
saudaramu, dan sayangilah mereka seperti engkau
menyayangi anakmu" Nasehat ini diingat dan dijalankan
dengan baik oleh Umar bin Abdul Aziz.

Umar bin Abdul khalifah yang kita kenal dengan
kezuhudannya, yang terkenal dengan kehati-hatiannya
dalam mengggunakan harta milik rakyatnya, sampai-
sampai beliau pernah menutup hidung saat melintas di
Baitul Mal yang kala itu sedang merebak bau harum
kesturi di sana.

Seorang petugas Baitul Mal terheran-heran dan bertanya,
"Wahai khalifah, kenapa engkau menutup hidungmu?"
Umar bin Abdul Aziz menjawab, "Aku tak mau
memakan harta rakyatku sedikit pun, walau hanya
dengan menghirup harum kesturi ini"

Ialah khalifah yang dijuluki oleh para ulama sebagai
Khulafaur Rasyidin ke-5, saking akhlaknya yang
mendekati para Khulafaur Rasyidin yang empat itu.

Sekarang? susah rasanya berharap, hanya sekedar
berharap pemimpin-pemimpin kita mau meniru Khalifah
Umar bin Abdul Aziz apalagi kita selalu mengingat dan
menjalankan nasehat dari Hasan Al Bashri. Kita, rakyat,
seperti kata Goenawan Muhamad, bahkan cuma
dianggap ada 5 tahun sekali, ketika masa pemilu tiba dan
masa kampanye mulai digelar. Kita, rakyat, cuma
diingat, diperhatikan, didatangi, dan didengarkan 5 tahun
sekali. Kita, rakyat, cuma dianggap sebagai ayah,
saudara, dan anak 5 tahun sekali.

Dan jika masa pemilu lewat, lewat pulalah masa-masa
'bulan madu' antara rakyat dan pemimpin itu. Lupalah
para pemimpin kita dengan janji-janjinya, dengan
program-programnya, Kalau orang Jawa bilang, "Masih
untung bisa ingat rakyat 5 tahun sekali, daripada tidak
sama sekali" Ya, memang masih untung bisa ingat rakyat
5 tahun sekali, tapi sayangnya dalam 'masa ingat rakyat'
yang cuma sekali-kalinya dalam 5 tahun itu pun, masih
saja pemimpin-pemimpin kita tega merendahkan dan
menghina harga diri rakyatnya.


Suara kita, hak pilih kita yang tak ternilai itu, konon
dalam demokrasi kedudukannya setara dengan suara
Tuhan, tega mereka beli dan hargai hanya dengan
beberapa ratus atau bahkan puluh ribu rupiah. Dan kita,
yang lebih sering berpikir pendek dan hanya bisa
berpikir besok makan apa dengan senang hati
menggadaikan masa depan negeri ini yang sebenarnya
adalah juga masa depan kita bersama di tangan
pemimpin-pemimpin yang sebenarnya tak lebih dari
sekedar tukang sogok, demi uang yang tak seberapa itu.

Sungguh luar biasa negeri ini. Yang tak pernah berkaca
dari kesalahan-kesalahan masa lalu hingga selalu
terperosok ke dalam lubang kedzaliman, yang tak pernah
mengambil teladan dari sikap orang-orang besar di masa
lalu, yang selalu salah memilih pemimpin-pemimpinnya.
Sungguh luar biasa negeri ini yang hanya untuk
menangani anak-anaknya yang protes dengan kebijakan-
kebijakan aneh yang kerap diambil ibunya, merasa perlu
untuk menurunkan puluhan bahkan ratusan aparat
bersenjata pentungan dan peluru karet, menjewer anak-
anak nakal itu dengan mendoakan mereka bahkan kalau
perlu menjebloskan mereka ke penjara dengan tuduhan
ini dan itu.

Sungguh luar biasa negeri ini, yang ketika rakyatnya di
daerah sampai harus mengorbankan nyawa demi
kehormatan dan harga diri partainya, pemimpinnya di
atas malah sibuk menjual aset-aset negara.

Sungguh, kita hidup di sebuah negeri yang luar biasa.
Sebuah negeri yang menyamakan kejujuran dengan
barang antik yang hanya pantas ditaruh di museum.
Hanya bisa dilihat, dibayangkan, dan dikenang, meski
kadang bisa disentuh. Ketika seorang anggota dewan
mengembalikan uang suap yang ratusan juta jumlahnya,
ketika ada yang menolak dana kadeudeuh ia malah
dianggap sebagai pengkhianat atau pencari simpati
rakyat. Sebagian lain menganggapnya bodoh dan
munafik.

Ketika ada anggota dewan yang mengaku pada wartawan
bahwa ia disodori amplop yang tak jelas maksud
pemberiannya dan ia mengembalikannya, ia malah
dimusuhi rekan-rekannya, dituduh mengumbar aib partai
atau fraksi, dan ujung-ujungnya di-recall atau dipecat.

Dan sekarang, masa ingat rakyat itu hampir tiba.
Saksikan saja, betapa sebentar lagi (atau mungkin
sudah?) suara kita akan didengar, betapa pertanyaan-
pertanyaan kita akan dijawab meski tak jelas, dan
betapa-betapa yang lain.


Dan sekarang, ketika harus memilih wakil kita yang akan
duduk di dewan, ketika presiden dan wakil presiden akan
dipilih langsung oleh rakyat, sosok Khalifah Umar bin
Abdul Aziz menjadi sangat kita rindukan untuk menjadi
sosok yang akan kita pilih.

Sebuah kerinduan yang mungkin akan ditertawakan oleh sebagian orang, sebagai buah dari rasa pesimis yang
sebenarnya wajar karena dikecewakan terus-menerus,
kekecewaan rakyat kecil kepada pemimpinnya.

Sebuah kerinduan yang harus kita yakini akan dijawab
oleh Allah. Pasti ada, walau segelintir, orang-orang yang
dianggap aneh, bodoh, munafik, pengkhianat, atau
apalah karena keteguhan mereka memegang kebenaran
di antara berbagai kebobrokan yang menyergap tanpa
ampun, menyusup di segala lini kehidupan.

Pasti ada, segelintir orang yang ingin dan berusaha
meneladani kezuhudan, kehati-hatian, dan keberpihakan
pada rakyat kecil seperti yang telah dicontohkan oleh
Umar bin Abdul Aziz. Ya, kita semua rakyat yang bisa
memupus kerinduan ini. Kitalah yang akan memilih
Umar-Umar baru sebagai wakil kita, sebagai pemimpin
kita. Pada akhirnya, kita jualah yang menentukan masa
depan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar