Sabtu, 19 Januari 2013
belajar dari Kholid bin walid
Tak ada satu wilayah yang didatangi kecuali ia
taklukkan. Tak ada satu peperangan kecuali ia
menangkan. Tak ada satupun musuh kecuali ia
kalahkan. Ia-lah si pedang Allah yang selalu terhunus.
Kholid bin Walid RA. Saifullohi Al-Maslul . Dihormati dan
disegani kawan dan lawan. Menaklukkan imperium
Romawi dan Persia. Dan menguasai wilayah sangat
luasnya. Pahlawan pemberani dan panglima tak
terkalahkan. Bahkan dalam beberapa operasi
militernya, didapati daerah yang dituju sudah kosong
tak bertuan ditinggalkan penduduknya. Mereka
memilih ‘kabur’ mendengar komandan pasukannya
adalah Kholid. Sepertinya mereka meyakini betul
sebuah mitos, Tak ada peluang untuk menang jika
Kholid sebagai komandannya. Dan bukti kecilnya adalah
julukan sayyidul fatihin atau guru para penakluk
sebagai sebuah kehormatan bagi Kholid yang
disematkan para sejarawan padanya.
Adapun Muhammad Asad, salah seorang penulis dan
cendikiawan dari Pakistan, memberinya julukan 'Sang
Jenius Perang'. Tak berlebihan memang. Karena terlalu
banyak keistimewaan Kholid yang terkait dengan
peperangan; Kecedasannya mengatur strategi.
Kepiawaiannya dalam berkuda dan menggunakan
senjata. Kejeliannya memanfaatkan peluang dan
membaca kondisi lawan. Keberaniannya bertarung dan
menghadang musuh. Kecepatannya dalam
mengkoordinasi para komandan dan memobilisasi
pasukan. Juga ketepatannya mengarahkan serangan dan
kehebatannya saat bertahan.
Beragam strategi dikuasai dan mampu diterapkan.
Memadukan strategi konvensional versi Romawi dan
Persia dengan strategi lokal wilayah gurun jazirah. Baik
perang terbuka atau teknik gerilya. Saat menyerang
maupun bertahan. Di medan datar atau perbukitan.
Dengan jenis senjata tertentu. Dengan jumlah pasukan
tertentu. Dalam cuaca tertentu. Dan dalam kurun
waktu tertentu. Tak akan jadi masalah bagi Kholid. Sang
genius ini akan memenangkan pertempurannya.
Begitulah Kholid bin Walid. Sang Penakluk yang
dilahirkan 17 tahun sebelum kenabian. Tumbuh dalam
naungan keluarga para pahlawanan Quraisy, yakni Bani
Makhzum. Yang terkenal sebagai ‘sarang’-nya para
perwira ksatria dan pejuang yang tak kenal takut. Umar
bin Khottob termasuk bagian Bani Makhzum dan masih
berhubungan nasab dengan Kholid. Dengan Nabi SAW,
Kholid tak jauh pula hubungnan kekerabatannya.
Karena Maimunah RA, Istri Nabi SAW adalah Bibi
Kholid sendiri.
Membaca sejarah Kholid bin Walid, adalah membaca
sejarah peperangan. Membaca strategi militer yang
mumpuni. Juga membaca pribadi penakluk yang luar
biasa. Kehebatan Kholid bukan seperti kebanyakan
tokoh penakluk lainnya. Dimana pribadi yang keras dan
tegas tanpa batas menjadi sebuah pemakluman. Jiwa
yang kasar dan arogan seolah mendapat pembenaran.
Dan perilakunya yang sombong dan tak mau terikat
aturan seakan dibolehkan. Sangat jauh pribadi Kholid
dengan sifat dan sikap seperti itu. Karena pada
perakteknya, Kholid sudah menyiapkan dirinya menjadi
penakluk sejati. Dan esensi penaklukan bukanlah
mengalahkan musuh atau merebut wilayah yang luas.
Mendapat ghanimah maupun tawanan perang. Tetapi
ia memahami bahwa dasar penaklukan adalah
penaklukan diri sendiri. Karena itu, semua aktivitas dan
amal-amal adalah sebentuk ketundukan diri pada Ilahi.
Dilakukan karena-Nya dan untuk mendapat ridho-Nya.
Dan pribadi dengan kilau hati yang mentereng itu
terlihat jelas dalam peristiwa Yarmuk.
Perang Yarmuk adalah perang yang menentukan dalam
sejarah awal pertumbuhan Islam. Perang yang
menempatkan dawah Islam dan umatnya memasuki
fase baru sebagai penguasa dunia. Inilah perang yang
mengawali kebangkrutan imperium Romawi di Asia dan
Afrika. Namun perang Yarmuk disebut juga oleh para
sejarawan sebagai perang-nya Kholid. Perang yang
membuktikan kecerdasan dan kehebatan strategi
perangnya. Perang yang juga mengantarkannya ke
puncak kemuliaan dan ketinggian pribadinya. Antara
kecerdasan dan ketundukan. Antara kehebatan dan
kebersahajaan. Antara kekuatan dan kelembutan.
Antara menaklukkan musuh dan menaklukkan diri
sendiri. Inilah contoh ideal seorang penakluk. Itulah
Kholid bin Walid.
Seperti yang telah dicatat sejarah, Perang ini
mempertemukan Romawi dengan pasukan kaum
Muslimin. Reputasi Romawi sebagai super power Dunia
kala itu, tak disangsikan lagi dalam strategi perang,
kekuatan pasukan dan kelengkapan persenjataannya.
Adapun kaum Muslimin, adalah sekelompok pasukan
yang baru dikenal dengan prestasi belum seberapa.
Datang hanya dengan 46.000 tentara dan persenjataan
terbatas. Sementara Romawi mampu mengumpulkan
240.000 prajurit dengan persenjataan lengkap dan
akomodasi memadai. Adapun Kholid, yang menjadi
panglima tertinggi kaum Muslimin, Ia mampu
menerapkan strategi jitu dan akhirnya berhasil meraih
kemenangan gemilang dalam pertempuran dahsyat itu.
Yang menyempurnakan peristiwa itu adalah,
digantikannya posisi Kholid sebagai panglima tertinggi
menjadi prajurit biasa oleh Khalifah Umar bin Khotob.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Bagaimana mungkin
seorang panglima tertinggi yang memenangkan
pertempuran penting digantikan begitu saja? Bahkan
sebelum pertempuran itu sendiri usai. Apa alasan
dalam logika paling sederhana sekalipun yang membuat
posisinya digantikan? Tidakkah itu sebuah spekulasi atas
reaksi yang akan terjadi? Tidak adakah penghargaan
yang lebih memadai? Kesalahan besar apa dilakukannya
sebenarnya?
Tentu saja pertanyaan-pertanyaan seperti itu menjadi
wajar saja karena keputusan yang tidak semua orang
memahami. Hata di tataran para panglima bawahan
Kholid dari kalangan para sahabat sendiri. Tetapi tidak
bagi Kholid. Ia ternyata tidak berpikir seperti itu. Dan
itu-lah hebatnya. Itulah kualitas sesungguhnya dari
Kholid. Meski dalam kapasitasnya, Kholid punya
peluang besar mendapat dukungan dari para
prajuritnya untuk bisa bertahan pada posisinya. Atau
setidaknya mempertanyakan alasan penggantiannya.
Sikap legowo ini jauh lebih berkilau dari
kemenangannya di banyak medan pertempuran. Karena
musuh yang dihadapi adalah dirinya sendiri. Yang bisa
saja atas nama kehormatan, status dan harga diri Ia
memperalat ego dan hawa nafsunya untuk melakukan
penolakan atau pembangkangan. Atau memilih menjadi
oposan, agar harga diri dan statusnya tetap terjaga.
Dan sekali lagi, Kholid tidak memilih sikap itu. Terlalu
remeh dan kecil baginya mempersoalkan status,
pangkat dan jabatan dengan mengorbankan keyakinan
serta kemuliaan akhlaknya. Orientasi amal dan
hidupnya sudah full dihibahkan bagi dawah. Itulah
makna yang terkandung dalam ucapannya, “Aku
berjuang bukan karena Umar, dan aku hanyalah anak
panah yang siap dilontarkan kemana saja…”
Bukankah ini pelajaran luar biasa dari Kholid? Inilah
jiwa sejati dari Sang Penakluk, Pedang Allah yang
Terhunus. Ia mengajarkan kepada para pemimpin,
panglima, ketua dan kita semua. Pelajaran
meluluhlantakan ego dan hawa nafsu dalam keikhlasan
beramal. Pelajaran bagaimana menggilas persepsi dan
ambisi dengan kecerdasan ruhiyah agar tak mendapat
tempat sama sekali dalam diri. Pelajaran bagaimana
menggembok hawa nafsu dengan tsiqoh dan ketaatan
sempurna. Dan pelajaran bagaimana berlapang dada
dengan husnu dzon pada Allah atas apa-pun takdir
yang menimpa. Allahu a’lam bisshowab.
Subang, 18/01/13
(Buat Kholid-ku, tanjamkan terus pedangmu dan
lembutkan hatimu..!)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar