Jumat, 12 April 2013
feminis radikal paling berbahaya
Inilah Mazhab Paling Liberal
Paling Berbahaya untuk Wanita..
Semoga kita masih punya akal fikiran yang
berfungsi normal...
Istilah mazhab Chicago mencuat saat saya mengikuti
seminar Feminisme dan Kesetaraan Gender pada
22/12/2011 lalu. Istilah ini dilontarkan oleh seorang
Doktor Sosiologi perempuan di perguruan tinggi Islam
negeri di Jakarta ketika ia menjadi salah satu pembicara
seminar. “Dulu saya ini memang bermazhab Syafi’i tapi
sekarang saya bermazhab Chicago”, ungkapnya saat
seminar.
Lahirnya istilah itu makin memperkuat asumsi bahwa
gerakan feminisme di Indonesia semakin mem-Barat.
Parahnya lagi, ideologi ini telah dimasukkan ke dalam
RUU Kesetaraan Gender yang saat ini sedang digodok
oleh DPR dan menjadi UU Prioritas di tahun 2012 (lihat
hidayatullah.com, RUU KG Ancam Keutuhan Keluarga,
20/02).
Gerakan feminisme selalu berkembang dengan
beragam mazhab. Tapi sikap-sikap radikal tampaknya
tidak bisa ditanggalkan. Contohnya seperti yang saya
temukan dalam sebuah blog milik seorang feminis yang
menulis pengalamannya selama hamil. Dalam
tulisannya yang berjudul, “Feminis, ASI dan Klas”, ia
seperti ingin memperlihatkan kebenciannya menjadi
seorang Ibu. “Dulu, saat hamil, saya sering sesumbar:
tidak mau menyusui anak. Saya hanya akan kasih susu
Sapi. Saya tidak mau menghabiskan waktu untuk
menyusui. Saya sangat paham hak anak, tapi my body
is my right! Enak saja semua tanggung jawab ini jadi
beban perempuan. Mulai dari hamil, melahirkan dan
menyusui. Rasanya tidak adil”, begitu ungkapnya.
Gaya feminis seperti di atas dapat disebut radikalisme
feminis mazhab Chicago, baik itu dengan menirukan
pemikiran feminis secara sebagian atau keseluruhan
dari Barat. Tentu gerakan seperti ini mengkhawatirkan,
karena gerakan ini dari tahun ke tahun semakin radikal,
tepatnya sejak Indonesia meratifikasi CEDAW atau
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Wanita.
Dari hasil ratifikasi tersebut, lahir UU No. 7 tahun 1984,
yang kemudian disusul dengan terbitnya UU. No. 23
tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, upaya legalisasi aborsi melalui UU
Kesehatan dan adanya upaya membuat Counter Legal
Draft-Kompilasi Hukum Islam tandingan yang dibuat
oleh Prof. Musdah Mulia bersama tim
pengarusutamaan gendernya pada tahun 2008 lalu.
Dalam bidang politik, aktivis feminis juga berada di
belakangnya keluarnya UU Pemilu tahun 2008 tentang
kuota Caleg perempuan sebanyak 30 persen. (Dinar
Kania, Isu Gender: Sejarah dan Perkembangannya,
Jurnal ISLAMIA Vol III No. 5, hlm. 27).
Sejarah Feminisme
Istilah feminisme sendiri sebenarnya berasal dari
bahasa Latin, femina, yang artinya perempuan. Konon
dari kata fides dan minus yang kemudian menjadi fe-
minus . Gerakan feminisme sendiri lahir dari Barat,
sekitar pada abad 18, dimana para wanitanya pada
masa itu, diperlakukan secara tidak manusiawi dan
menjadi korban inquisisi (penyiksaan atas kesalahan
dalam beragama). Bisa di pastikan bahwa gerakan
feminisme merupakan gerakan yang lahir dari
pemberontakan total terhadap segala sesuatu yang di
anggap telah mendiskriminasi/menindas perempuan.
(Hamid Fahmy Zarkasy, Problem Kesetaraan Gender
dalam Studi Islam , Jurnal ISLAMIA vol III, hlm. 3)
Bukti bahwa feminisme dan gender berasal dari Barat
dapat kita telusuri dari literatur mereka, menurut Mary
Wollstonecraft dalam bukunya yang berjudul A
Vindication of The Rights of Women, pada abad ke 18,
perempuan mulai bekerja di luar rumah karena
didorong oleh kapitalisme industry. Maka, tidak heran
jika perempuan Barat pada zaman industri saat itu
dibingungkan dengan dua pilihan: menjadi wanita karir
ataukah Ibu Rumah Tangga (lihat Taylor,
Enfranchisement of Women , 1851).
Dalam perkembangannya, aktivis feminis radikal
mengusik pembagian hak dan tanggung jawab seksual
serta reproduksi perempuan dan laki-laki yang dianggap
tidak adil. Sebab perempuan sering diposisikan sebagai
alat pemuas laki-laki. Feminisme pada akhirnya
mengakui keabsahan homoseks dan lesbianisme secara
religius, kemudian tanpa malu-malu lagi, para
penyokong feminis radikal juga mendeklarasikan bahwa
perempuan dapat hidup dan memenuhi kebutuhan
seksnya tanpa laki-laki. Itulah ide awal yang melahirkan
praktek seks menyimpang yang disebut lesbianisme di
Barat. (Hamid Fahmy Zarkasy, op. cit., hlm. 5).
Hal ini sejalan pula dengan tanggapan dari Rena
Herdiyani, selaku Direktur Eksekutif LSM Kalyanamitra
yang merupakan salah satu penggagas RUU Kesetaraan
Gender, saat saya tanyai tentang hak-hak transgender
dalam RUU Kesetaraan Gender via email, Jum’at 17/02
lalu, “Tidak secara spesifik memuat hak-hak
transgender, tetapi UU ini diharapkan dapat melindungi
perempuan dari segala bentuk kekerasan dan
diskriminasi berdasarkan apapun, termasuk jenis
kelamin, etnis, status perkawinan, kehamilan, usia,
kecacatan, penyakit atau kondisi kesehatan yang
menimbulkan stigma, orientasi seksual, identitas
gender, status sosial, status ekonomi, jenis pekerjaan,
atau status lainnya”.
Mengancam Keluarga
Salah satu pasal dalam RUU Kesetaraan Gender yang
bisa menimbulkan perdebatan adalah pasal 1 ayat 2.
Pasal itu berbunyi: “Kesetaraan Gender adalah kondisi
dan posisi yang menggambarkan kemitraan yang
selaras, serasi, dan seimbang antara perempuan dan
laki-laki dalam akses, partisipasi, kontrol dalam proses
pembangunan, dan penikmatan manfaat yang sama
dan adil di semua bidang kehidupan”.
Berdasarkan pasal di atas, pasal ini menganjurkan pada
perempuan Indonesia agar bisa setara posisi dan
kondisinya dengan laki-laki di semua bidang kehidupan,
termasuk ranah agama. Mengenai hal ini yang paling
sering dipersoalkan oleh aktivis Feminis adalah Hak
Waris antara laki-laki dan perempuan yang berbeda
dalam Hukum Waris Islam.
Selain itu, melalui RUU ini, para aktivis feminis
menggugat perempuan yang posisinya bekerja sebagai
Ibu Rumah Tangga dan kondisinya tidak diizinkan untuk
bekerja di luar rumah oleh suaminya. Mereka
menganggap bahwa suami yang tidak mengizinkan para
istrinya untuk bekerja di luar rumah sebagai salah satu
kekerasan dalam rumah tangga (lihat juga pasal 9 ayat
2 UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga).
Tentunya, kondisi semacam itu seharusnya disikapi
secara bijak oleh negara, atas dasar apa perempuan
tidak diizinkan bekerja oleh suaminya? Jikalau memang
istri tidak diizinkan bekerja karena tidak bisa membagi
waktunya antara pekerjaan dan keluarga atau lebih
memprioritaskan waktunya untuk pekerjaan, negara
tidak berhak untuk mengkriminalisasi dengan hukuman
penjara selama 3 tahun (lihat pasal 49 poin b UU. No.
23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah tangga).
Yang mengherankan, kenapa di negara mayoritas
Muslim justru perempuannya ingin menerapkan suatu
paham yang jelas sangat berbeda dengan kultur
bangsanya sendiri? Atau bahkan berbeda dengan nilai-
nilai agama yang dianutnya? Coba kita lihat agama lain,
Kristen misalnya, dari jauh-jauh hari, tepatnya sejak
tahun 2006, perempuan Kristen sudah diantisipasi
untuk menghindari gerakan feminism ini dan tidak
mengadopsinya (SHINE: Wanita Kristiani Harus Hindari
Gerakan Feminisme, 04 Oktober 2006). Bahkan gereja
Katolik Prancis juga sudah mewaspadai bahaya teori
gender ini karena teori gender yang diajarkan
bertentangan dengan ajaran Katolik ( Gereja Prancis
Waspadai Teori Gender, Indonesia Malah Bangga,
hidayatullah.com, 29 September 2011).
Sesuai dengan pasal 28J ayat 2 UUD 1946, atas dasar
apapun (baik itu berdasarkan CEDAW atau Kesetaraan
Gender), seseorang yang menjalankan hak dan
kebebasannya harus tunduk pada pembatasan yang
telah ditetapkan oleh undang-undang, termasuk tidak
boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Oleh karena itu, seharusnya feminisme mazhab
Chicago tidak bisa diterima di Indonesia, karena selain
mempunyai kultur yang berbeda, perempuan
Indonesia, khususnya perempuan muslimah tidak
punya pengalaman buruk seperti perempuan Barat.
Dengan demikian, tidak salah jika saya mengatakan
gerakan feminisme mazhab Chicago yang radikal dapat
mengancam keutuhan keluarga, khususnya keluarga
muslim.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Ada kutipan dari sebuah buku:".....misalnya Erin Pizzey dalam dokumentasi wawancara pada tayangan video youtube yang diberi judul: Feminism is a Terrorist in Organization (Terjemahan: Feminisme adalah teroris dalam organisasi).
BalasHapusErin Pizzey menyatakan bahwa feminisme yang diawali dengan pergerakan wanita, berubah menjadi sangat anarksi. Sedangkan, awal dari pergerakan feminis adalah pergerakan marxis, yakni para wanita yang berkolaborasi dengan politisi pria sayap kiri di Inggris, dan kemudian kelompok wanita ini menyatakan diri ‘cukup’ untuk bekerja bersama dengan para pria dan mereka kemudian membuat kelompok sendiri. Mereka muncul dari para akademia dan bukan bermunculan dari para wanita pekerja, mereka memiliki profesi sebagai dosen, juga mahasiswi, inilah yang menjadi formasi awal gerakan wanita. ..."Sumber: Awaken The Giant - Bangkitnya Revolusi Sosial Dunia. Sulianta, Feri. 2016.