Jumat, 12 April 2013

mengapa kita menolak RUU KKG

oleh DR. Adian Husaini* Harian Republika (Jumat, 16/3/2012), memberitakan, bahwa RancanganUndang-undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) sudah mulai dibahassecara terbuka di DPR. Suara pro-kontra mulai bermunculan. Apakah kita –sebagai Muslim – harus menerima atau menolak RUU KKG tersebut? Jika menelaah Draf RUU KKG/Timja/24/agustus/2011 -- selanjutnya kita sebut RUUKKG – maka sepatutnya umat Muslim MENOLAK draf RUU ini. Sebab, secara mendasarberbagai konsep dalam RUU tersebut bertentangan dengan konsep-konsep dasarajaran Islam. Ada sejumlah alasan yang mengharuskan kita – sebagai Muslim dansebagai orang Indonesia – menolak RUU KKG ini. Pertama, definisi “gender” dalam RUU ini sudah bertentangan dengan konsep Islamtentang peran dan kedudukan perempuan dalam Islam. RUU ini mendefinisikan gendersebagai berikut: “Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-lakidan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidaktetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat,dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.” (pasal1:1) Definisi gender seperti itu adalah sangat keliru. Sebab, menurut konsep Islam,tugas, peran, dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki baik dalam keluarga (ruang domestik) maupun di masyarakat (ruang publik) didasarkan pada wahyuAllah, dan tidak semuanya merupakan produk budaya. Tanggung jawab laki-laki sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah keluargaadalah berdasarkan wahyu (al- Quran dan Sunnah Rasul). Sepanjang sejarah Islam,di belahan dunia mana saja, tanggung jawab laki-laki sebagai kepala keluargasudah dipahami, merupakan perkara yang lazim dalam agama Islam (ma’lumun minaddin bid-dharurah). Bahwa yang menjadi wali dan saksi dalam pernikahan adalahlaki-laki dan bukan perempuan. Ini juga sudah mafhum. Karena berdasarkan pada wahyu, maka konsep Islam tentang pembagian peranlaki-laki dan perempuan itu bersifat abadi, lintas zaman dan lintas budaya. Karena itu, dalam tataran keimanan, merombak konsep baku yang berasal dariAllah SWT ini sangat riskan. Jika dilakukan dengan sadar, bisa berujung kepadatindakan pembangkangan kepada Allah SWT. Bahkan, sama saja ini satu bentukkeangkuhan, karena merasa diri berhak menyaingi Tuhan dalam pembuatan hukum.(QS at- Taubah: 31). Jadi, cara pandang yang meletakkan pembagian peran laki-laki dan perempuan(gender) sebagai budaya ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab,sifat syariat Nabi Muhammad saw – sebagai nabi terakhir dan diutus untukseluruh manusia sampai akhir zaman – adalah universal dan final. Zina haram,sampai kiamat. Khamr haram di mana pun dan kapan pun. Begitu juga suap adalahharam. Babi haram, di mana saja dan kapan saja. Konsep syariat seperti inibersifat lintas zaman dan lintas budaya. Syariat Islam jelas bukan konsep budaya Arab. Saat Nabi Muhammad sawmemerintahkan seorang istri untuk taat kepada suaminya – dalam hal-hal yangbaik – maka perintah Nabi itu berlaku universal, bukan hanya untuk perempuanArab abad ke-7 saja. Umat Islam sepanjang zaman menerima konsep batas auratyang universal; bukan tergantung budaya. Sebab, fakta menunjukkan, di mana sajadan kapan saja, perempuan memang sama. Sudah ribuan tahun perempuan hidup dibumi, tanpa mengalami evolusi. Matanya dua, hidung satu, payudaranya dua, danjuga mengalami menstruasi. Perempuan juga sama saja, dimana-mana. Hanya warnakulit dan mungkin ukuran tubuhnya berbeda- beda. Karena sifatnya yang universal,maka konsep syariat Islam untuk perempuan pun bersifat universal. Memang, tidak dapat dipungkiri, dalam aplikasinya, ada unsur-unsur budaya yangmasuk. Misalnya, konsep Islam tentang perkawinan pada intinya di belahan duniamana saja tetaplah sama: ada calon suami, calon istri, saksi, wali dan ijabqabul. Tetapi, dalam aplikasinya, bisa saja unsur budaya masuk, seperti bisa kitalihat dalam pelaksaan berbagai upacara perkawinan di berbagai daerah diIndonesia. Alasan kedua untuk menolak RUU Gender sangat western-oriented. Para pegiatkesetaraan gender biasanya berpikir, bahwa apa yang mereka terima dari Barat –termasuk konsep gender WHO dan UNDP – harus ditelan begitu saja, karenabersifat universal. Mereka kurang kritis dalam melihat fakta sejarah perempuandi Barat dan lahirnya gerakan feminisme serta kesetaraan gender yang berakarpada ”trauma sejarah” penindasan perempuan di era Yunani kuno dan era dominasiKristen abad pertengahan. Konsep-konsep kehidupan di Barat cenderung bersifat ekstrim. Dulu merekamenindas perempuan sebebas- bebasnya, sekarang mereka membebaskan perempuansebebas-bebasnya. Dulu, mereka menerapkan hukuman gergaji hidup-hidup bagipelaku homoseksual. Kini, mereka berikan hak seluas-luasnya bagi kaum homo danlesbi untuk menikah dan bahkan memimpin geraja. Lihatlah, kini konsep keluarga ala kesetaraan gender yang memberikan kebebasandan kesetaraan secara total antara laki-laki dan perempuan telah berujungkepada problematika sosial yang sangat pelik. Di Jerman, tahun 2004, sebuahsurvei menunjukkan, pertumbuhan penduduknya minus 1,9. Jadi, bayi yang lahirlebih sedikit dari pada jumlah yang mati. Peradaban Barat juga memandang perempuan sebagai makhluk individual. SementaraIslam meletakkan perempuan sebagai bagian dari keluarga. Karena itulah, dalamIslam ada konsep perwalian. Saat menikah, wali si perempuan yang menikahkan;bukan perempuan yang menikahkan dirinya sendiri. Ini satu bentuk pernyerahantanggung jawab kepada suami. Di Barat, konsep semacam ini tidak dikenal. Karenaitu jangan heran, jika para pegiat gender biasanya sangat aktif menyoal konsepperwalian ini. Sampai-sampai ada yang menyatakan bahwa dalam pernikahan Islam,yang menikah adalah antara laki-laki (wali) dengan laki-laki (mempelailaki-laki). Simaklah bagaimana kuatnya pengaruh cara pandang Barat dalam konsep ”kesetaraangender” seperti tercantum dalam pasal 1:2 RUU Gender yang sedang dibahas saatini: “Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan danlaki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol,dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan.” (pasal 1:2). Renungkanlah konsep semacam ini. Betapa individualistiknya. Laki-laki danperempuan harus disamakan dalam semua bidang kehidupan. Lalu, didefinsikanjuga: “Diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan, dansegala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu, yangmempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan,penikmatan manfaat atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya terlepasdari status perkawinan, atas dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki.”(pasal 1:4). Jika RUU Gender ini akan menjadi Undang-undang dan memiliki kekuatan hukum yangtetap, maka akan menimbulkan penindasan yang sangat kejam kepada umat Muslim –atau agama lain – yang menjalankan konsep agamanya, yang kebetulan berbedadengan konsep Kesetaraan Gender. Misalnya, suatu ketika, orang Muslim yangmenerapkan hukum waris Islam; membagi harta waris dengan pola 2:1 untuklaki-laki dan perempuan akan bisa dijatuhi hukuman pidana karena melakukandiskriminasi gender. Jika ada orang tua menolak mengawinkan anak perempuannyadengan laki-laki beragama lain, bisa-bisa di orang tua akan dijatuhi hukumanpula. Bagaimana jika kita membeda- bedakan jumlah kambing untuk aqidah antaraanak laki- laki dan perempuan? Alasan ketiga, RUU Gender ini sangat SEKULAR. RUU ini membuang dimensi akhiratdan dimensi ibadah dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan. Peradabansekular tidak memiliki konsep tanggung jawab akhirat. Bagi mereka segala urusanselesai di dunia ini saja. Karena itu, dalam perspektif sekular, ”keadilan”hanya diukur dari perspektif dunia. Bagi mereka tidaklah adil jika laki-lakiboleh poligami dan wanita tidak boleh poliandri. Bagi mereka, adalah tidakadil, jika istri keluar rumah harus seijin suami, sedangkan suami boleh keluarrumah tanpa izin istri. Bagi mereka, tidak adil jika laki-laki dalam shalatnya harus ditempatkan dishaf depan. Dan sebagainya. Jika seorang perempuan terkena pikiran seperti ini, maka pikiran itu yang perludiluruskan terlebih dulu. Biasanya ayat-ayat al-Quran dan hadits Rasulullah sawtidak mempan bagi mereka, karena ayat-ayat itu pun akan ditafsirkan dalamperspektif gender. Sebenarnya, perempuan yang kena paham ini patut dikasihani,karena mereka telah salah paham. Mereka hanya melihat aspek dunia. Hanyamelihat aspek hak, dan bukan aspek tanggung jawab dunia dan akhirat. Padahal, dalam perspektif Islam, justru Allah memberi karunia yang tinggikepada perempuan. Mereka dibebani tanggung jawab duniawi yang lebih kecilketimbang laki- laki. Tapi, dengan itu, mereka sudah bisa masuk sorga, samadengan laki-laki. Perempuan tidak perlu capek- capek jadi khatib Jumat, menjadisaksi dalam berbagai kasus, dan tidak wajib bersaing dengan laki- lakiberjejalan di kereta-kereta. Perempuan tidak diwajibkan mencari nafkah bagikeluarga. Dan sebagainya. Sementara itu, kaum laki-laki mendapatkan beban dan tanggung jawab yang berat.Kekuasaan yang besar juga sebuah tanggung jawab yang besar di akhirat. Jikadilihat dalam perspektif akhirat, maka suami yang memiliki istri lebih darisatu tentu tanggung jawabnya lebih berat, sebab dia harus menyiapkan laporanyang lebih banyak kepada Allah. Adalah keliru jika orang memandang bahwamenjadi kepala negara itu enak. Di dunia saja belum tentu enak, apalagi diakhirat. Sangat berat tanggung jawabnya. ”Dimensi akhirat” inilah yang hilang dalam berbagai pemikiran tentang ”gender”.Termasuk dalam RUU Gender yang sedang dibahas di DPR. Perspektif dari RUU inisangat sekuler. (saeculum=dunia); hanya menghitung aspek dunia semata. Jikadimensi akhirat dihilangkan, maka konsep perempuan dalam Islam akan tampaktimpang. Sebagai contoh, para aktivis gender sering mempersoalkan masalah”double burden” (beban ganda) yang dialami oleh seorang perempuan karir. Disamping bekerja di luar rumah, dia juga masih dibebani mengurus anak danberbagai urusan rumah tangga. Si perempuan akan sangat tertekan jiwanya, jikaia mengerjakan semua itu tanpa wawasan ibadah dan balasan di akhirat.Sebaliknya, si perempuan akan merasa bahagia saat dia menyadari bahwatindakannya adalah satu bentuk ibadah kepada Allah SWT. Karena itu, jika Allah tidak memberi kesempatan kepada perempuan untuk berkiprahdalam berbagai hal, bukan berarti Allah merendahkan martabat perempuan. Tapi,justru itulah satu bentuk kasih sayang Allah kepada perempuan. Denganberorientasi pada akhirat, maka berbagai bentuk amal perbuatan akan menjadiindah. Termasuk keridhaan menerima pembagian peran yang diberikan oleh Allahdan Rasul-Nya. Pada akhirnya, dalam menilai suatu konsep – seperti konsep Kesetaraan Gender –seorang harus memilih untuk menempatkan dirinya: apakah dia rela menerima AllahSWT sebagai Tuhan yang diakui kedaulatannya untuk mengatur hidupnya? SeorangMuslim, pasti tidak mau mengikuti jejak Iblis, yang hanya mengakui keberadaanAllah SWT sebagai Tuhan, tetapi menolak diatur oleh Allah SWT. Seolah-olah,manusia semacam ini berkata kepada Allah SWT: ”Ya Allah, benar Engkau memangTuhan, tetapi jangan coba-coba mengatur hidup saya! Karena saya tidak perlusegala macam aturan dari-Mu. Saya sudah mampu mengatur diri saya sendiri!”Na’dzubillahi min-dzalika. **** Tidak bisa dipungkiri, penyebaran paham ”kesetaraan gender” saat ini telahmenjadi program unggulan dalam proyek liberalisasi Islam di Indonesia. Banyakorganisasi Islam yang memanfaatkan dana-dana bantuan sejumlah LSM Barat untukmenggarap perempuan- perempuan muslimah agar memiliki paham kesetaraan genderini. Perempuan muslimah kini didorong untuk berebut dengan laki-laki di lahanpublik, dalam semua bidang. Mereka diberikan angan-angan kosong, seolah- olahmereka akan bahagia jika mampu bersaing dengan laki-laki. Kedepan, tuntutan semacam ini mungkin akan terus bertambah, di berbagai bidangkehidupan. Sesuai dengan tuntutan pelaksaan konsep Human Development Index(HDI), wanita dituntut berperan aktif dalam pembangunan, dengan cara terjun keberbagai sektor publik. Seorang wanita yang dengan tekun dan serius menjalankankegiatannya sebagai Ibu Rumah Tangga, mendidik anak-anaknya dengan baik, tidakdimasukkan ke dalam ketegori ”berpartisipasi dalam pembagunan”. Tentu, konsepsemacam ini sangatlah aneh dalam perspektif Islam dan nilai-nilai tradisi yangjuga sudah dipengaruhi Islam. Daripada bergelimang ketidakpastian dan dosa, mengapa pemerintah dan DPR tidakmengajukan saja ”RUU Keluarga Sakinah” yang jelas-jelas mengacu kepadanilai-nilai Islam? Buat apa RUU Gender diajukan dan dibahas? Dari tiga naskah akademikyang saya baca, tampak tidak ada dasar pemikiran yang kuat untuk mengajukan RUUKesetaraan Gender ini. RUU ini cenderung membesar-besarkan masalah, dan lebihmenambah masalah baru. Belum lagi jika RUU ini melanggar aturan Allah SWT,pasti akan mendatangkan kemurkaan Allah SWT. Tugas kita hanya mengingatkan! Wallahu a’lam bil- shawab.*/ Jakarta, 16 Maret2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar