Jumat, 12 April 2013
Feminisme senjata penjajahan baru
Orang Cerdas Tak akan Tertipu..
KIta tidak Mau dijajah Lagi...
Hanya orang Bodoh yang mau jadi Jongos
Penjajah...
Setelah Perang Dunia II, penjajahan tidak lagi melalui
fisik, tetapi melalui pemikiran, yaitu menyebarkan ide
sekularisme dan liberalisme. Ide ini melandasi seluruh
aspek kehidupan. Untuk mengokohkan penjajahannya
maka ide tersebut dijadikan konvensi internasional.
Melalui PBB, konvensi berhasil mengikat negara-negara
anggota PBB. Konvensi yang dimaksud antara lain
Konvensi PBB yang berkaitan dengan HAM dan tentang
perempuan yang bertujuan memajukan perempuan;
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan (CEDAW); Deklarasi Universal
HAM (1948); Kovenan Internasional tentang hak-hak
sipil dan politik (1966); Konferensi Internasional
Kependudukan dan Pembangunan (International
Conference Population and Development – ICPD) di
Kairo tahun 1994 dan konferensi PBB tentang
perempuan; Konvensi PBB tentang hak-hak politik
perempuan yang telah diratifikasi dengan UU no. 68
tahun 1958 dan UU no. 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia dengan bab khusus tentang hak-hak
perempuan.
Selama puluhan tahun terakhir PBB telah banyak
menyelenggarakan konferensi untuk kemajuan wanita
(baca: kebebasan wanita dari hukum Islam), mulai dari
yang pertama di Mexico City tahun 1975 hingga yang
keempat tahun 1995.
Konferensi PBB keempat kalinya tentang perempuan
1995 di Beijing sangat besar pengaruhnya terhadap
derasnya arus liberalisasi melalui ide feminisme.
Pelaksanaan hasil konferensi tersebut
diimplementasikan oleh para feminis, baik melalui
lembaga pemerintah (semisal Tim Pengarusutamaan
Gender DEPAG, Departemen Pemberdayaan
Perempuan) maupun LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat)/NGOs (Non Goverment Organization–
Organisasi Non Pemerintah).
CLDKHI merupakan implementasi konvensi tersebut
oleh Tim Pengarusutamaan Gender yang diketuai
Musdah Mulia. Dalam menentukan isi CLDKHI (Caunter
Legal Draft Kompilasi Hukum Islam), mereka merujuk
pada “kitab suci”-nya, yaitu Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
(CEDAW); Deklarasi Universal HAM(1948) serta Kovensi
Internasional tentang hak-hak sipil dan politik (1966).
Pemerintah harus melaksanakan norma-norma dan
instrumen-instrumen HAM internasional yang terkait
dengan kekerasan dan perlakuan diskriminatif terhadap
perempuan. Pemerintah juga harus melaksanakan
CEDAW. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi isi
CEDAW ( Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Againts Women ) ini dengan
dikeluarkannya UU no. 7 tahun 1984. Karenanya,
Pemerintah telah mengesahkan undang-undang nomor
23 Tahun 2004 tentang PKDRT (Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga), UU Perlindungan
Anak dan upaya melegalisasi aborsi melalui
amandemen UU Kesehatan.
Sosialisasi ide Gender Eguality atau Keadilan dan
Kesetaraan Gender (KKG) sangat massif baik melalui
swasta semisal LSM, Ormas, Lembaga Pendidikan
maupun Pemerintah. Bidang garapan yang
dipengaruhinya mulai dari kebijakan sampai hal yang
teknis. Wilayah kerjanya pun sejak dari tingkat nasional
sampai dengan kelurahan, bahkan RT dan institusi
paling kecil, yaitu keluarga.
Ide ini dimasukkan dalam 12 bidang kritis yang ada,
yaitu: perempuan dan kemiskinan; pendidikan dan
pelatihan bagi perempuan; perempuan dan kesehatan;
kekerasan terhadap perempuan; perempuan dan konflik
bersenjata; perempuan dan ekonomi; perempuan
dalam pengambilan kekuasaan; mekanisme institusional
untuk kemajuan perempuan; hak asasi perempuan;
perempuan dan media; perempuan dan lingkungan
serta anak perempuan.
Sosialisasi feminisme juga melalui lembaga pendidikan
dan media, baik melalui lembaga pendidikan formal
(misal: masuk salah satu mata pelajaran sampai pada
kurikulum berbasis gender) maupun melalui pendidikan
non-formal (misal: seminar-seminar, diskusi, diklat dan
training). Media cetak pun tak ketinggalan semisal
jurnal, majalah, koran dan buku; juga media elektronik,
internet, televisi dan radio.
Serangan Terhadap Islam
Agar ide Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG)
diadopsi masyarakat, maka ide ini dibungkus dengan
ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Dalam
penyajiannya mereka ’melogikakan’ liberalisasi hukum
Islam. Inilah racun-racun yang mereka sebar dan
dibungkus dengan madu untuk menyerang Islam.
Dalam laporan tentang pelaksanaan konvensi, para
feminis menyebutkan bahwa kekerasan dan adanya
diskriminasi terhadap perempuan merupakan
hambatan untuk mencapai keadilan dan kesetaraan
gender. Mereka menggambarkan bahwa kekerasan
terhadap perempuan adalah manifestasi dari hubungan
kekuasaan antara pria dan wanita yang tidak seimbang
sepanjang sejarah sehingga menyebabkan dominasi dan
diskriminasi terhadap perempuan serta menghalangi
kemajuan perempuan.
Dalam mencari penyebab timbulnya kekerasan dan
diskriminasi terhadap perempuan, mereka melihat
adanya pola-pola budaya; khususnya efek yang
merugikan dari praktik-praktik tradisionil atau adat
serta semua tindakan ekstrimis yang berkaitan dengan
ras, jenis kelamin, bahasa atau agama yang telah
mengabadikan kedudukan perempuan lebih rendah
dalam keluarga, kelompok kerja dan masyarakat
(kepemimpinan ada pada pihak laki-laki).
Mereka mengemukakan fakta kepemimpinan dalam
masyarakat yang menerapkan ajaran Islam ada pada
pihak laki-laki. Dari sinilah mereka mulai menggugat
hukum Islam dan berusaha mengubahnya dengan dalih
bias gender. Menurut mereka, harus ada rekontruksi
dan reinterpretasi hukum-hukum Islam yang dinilai
bias gender.
Inilah logika yang dibangun kaum feminis. Karenanya,
mereka memposisikan Islam sebagai hambatan bagi
tercapainya Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG).
Mereka menyimpulkan bahwa Islam menghambat
kemajuan wanita. Karena itulah mereka berupaya
mengubah hukum Islam. Mereka juga menanamkan
keraguan kepada umat Islam terhadap kebenaran
ajarannya, khususnya dengan mempertanyakan
keadilan Islam dalam memperlakukan perempuan.
Mereka mengatakan, hukum-hukum agama (Islam)
telah memasung kebebasan perempuan, membuat
perempuan tidak maju karena hanya beraktivitas pada
sektor domestik (rumah tangga). Disebabkan posisi
tersubordinasi inilah perempuan rentan mengalami
kekerasan. Dari sudut pandang inilah mereka
membahas bagaimana upaya menyelesaikan masalah
kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan.
Berangkat dari landasan ideologi liberalis, kaum feminis
mengusung ide semangat pembebasan perempuan dan
kesetaraannya dengan laki-laki (ide keadilan dan
kesetaraan gender). Agenda gerakan feminisme ini
hakikatnya adalah agenda liberalisasi hukum Islam.
Agenda yang sama juga diusung kaum liberal. Di dalam
bukunya, Fakta dan Data Yahudi di Indonesia, Ridwan
Saidi menulis bahwa Lutfi asy-Syaukani
memperkenalkan empat agenda JIL, salah satunya
adalah emansipasi (feminisme). Artinya, salah satu
upaya liberalisasi di Dunia Islam adalah melalui
gerakan feminis ini
Racun bagi Perempuan dan Umat
Nyatalah bahwa propaganda liberalisme dan feminisme
tidak lebih merupakan alat musuh-musuh Islam untuk
menghancurkan Islam dan umatnya. Feminisme
mengajak kaum Muslim beramai-ramai meninggalkan
aturan agama yang dianggap sebagai penghalang
kemandirian dan kebebasan perempuan.
Ide ini hanya akan membawa kerusakan pada tatanan
individu, keluarga dan masyarakat yang telah mapan
dengan nilai-nilai Islam. Ide ini hanya akan menularkan
kerusakan dan kebobrokan masyarakat Barat yang
kapitalis dan sekularis.
Demikianlah para feminis mempropa-gandakan ide-ide
sesatnya secara massif. Mereka berupaya menyeret
sedikit demi sedikit kaum Muslimah untuk
meninggalkan kewajiban utamanya sebagai ummu wa
rabah al-bayt (sebagai ibu dan pengatur rumah
tangga ), lalu menjadi feminis sejati yang betul-betul
membebaskan diri dari hukum Islam dengan sukarela
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar