Kamis, 11 April 2013
nona
KETIKA suatu sore dalam sebuah perbincangan santai, istri
saya bertanya, “Apa Ayah menyuruh Bunda kuliah lagi
sekarang agar kelak lulus Bunda bisa bekerja?”, saya
tercenung beberapa jenak dan lama tidak menjawab
pertanyaan itu.
Bukan karena pikiran tertuju kepada televisi yang tengah
menyiarkan langsung pertandingan Persib dan Persija yang
berjalan 0-0, tetapi karena pertanyaan itu tiba-tiba saja
datang menggelayuti pikiran saya yang kentara benar tidak
siap menerimanya.
Alih-alih menjawab pertanyaan itu, saya balik bertanya,
“memangnya kenapa kamu bertanya seperti itu?”
“Ya nggak sih, banyak teman satu kuliah Bunda yang
sepertinya bertujuan seperti itu. Kuliah untuk bekerja nanti
kalau sudah lulus…”
Saya kembali bertanya. Rasanya bertanya kembali adalah
respon yang sangat tepat kita berikan manakala
menemukan sesuatu yang benar-benar membuat kita
terjebak dalam situasi yang tidak kita inginkan dan kita
duga. “Kamu sendiri setelah kuliah nanti emangnya mau
ngapain?”
Gantian istri saya yang bengong sekarang. Ia memandang
saya dengan bingung, atau entahlah apa saya juga tidak
begitu mengerti. Atau tidak ingat. Kemudian, ia mulai
mengatakan banyak hal bla-bla-bla yang membuat saya
bengong. Bengong yang berjalan dalam beberapa hari.
Ketika saya menulis tulisan ini, sudah hampir setahun istri
saya studi di sebuah sekolah tinggi di kota kami.
Untungnya, ia mengambil kelas karyawan, jadinya ia hanya
masuk kampus hari Sabtu dan Ahad saja. Di kedua hari
itu, kedua anak saya—yang satu tengah berada dalam usia
mengesalkan kadang-kadang, karena banyak mangkir dan
mulai bisa berargumen, dan yang satunya lagi banyak
bertanya semisal “kenapa bulan munculnya tidak tiap
hari?”, “kenapa kodok suaranya ‘grok-grok-grok?”,
“kenapa nggak boleh makan es lilin?”, dan pertanyaan lain
sejenisnya yang sering membuat saya jadi banyak mikir
lagi—otomatis menjadi sepenuhnya berada dalam wilayah
kekuasaan saya.
Sabtu dan Ahad, teman saya menyebutnya “Father’s
Days,” saya melakukan semua hal kecil dan aneh mulai
dari pagi hari sampai sore. Mulai dari mencuci sehabis
shubuh, mengantar si besar ke sekolahnya, masak siang
hari dan kemudian mengondisikan kedua bocah itu untuk
tidur siang, sampai kemudian malam harinya, atau sore
jika lagi beruntung, maka istri saya akan pulang dan
menceritakan semua hal yang ia alami di kampusnya. Bla-
bla-bla, banyak sekali, dan saya diminta untuk selalu
mendengarkannya. Sesuatu yang saya juga senang
melakukannya.
Namun, kemudian sering setelah itu, kali ini saya yang
mulai merasa sendirian. Saya merasa bahwa istri saya
mempunyai kehidupan yang lain itu sekarang. Ia
bersosialiasi dengan dunia luar, melihat hal dan
pandangan orang lain di sana, dan saya tercenung. Saya
jadi teringat satu lagu jadul Bang Iwan Fals, “Nona.”
Sudah cukup jauh
Perjalanan ini
Lewati duka lewati tawa
Lewati segala persoalan
Kucoba berkaca
Pada jejak yang ada
Ternyata aku sudah tertinggal
Bahkan jauh tertinggal
Ah, saya juga jadi pengen sekolah lagi…..[]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar