Jumat, 12 April 2013
Wahai penjsjah jgn paksa kami untuk setara
Kejamnya Penjajahan Baru
Jangan Paksakan Kami Untuk Setara!
Oleh: Sarah Mantovani
USAHA kaum feminis Indonesia agar terciptanya
Kesetaraan Gender di Indonesia tidak berhenti pada
usaha pembuatan CLD-KHI (Counter Legal Draft-
Kompilasi Hukum Islam) saja tetapi sudah mencapai
pembentukan rancangan undang-undang tentang
Kesetaraan Gender.
Salah satu bunyi dari Pasal 1 Rancangan Undang-
Undang Kesetaraan Gender yang rencananya akan di
sahkan tahun ini adalah;
“Kesetaraan Gender adalah kondisi dan posisi yang
menggambarkan kemitraan yang selaras, serasi, dan
seimbang antara perempuan dan laki-laki dalam akses,
partisipasi, kontrol dalam proses pembangunan, dan
penikmatan manfaat yang sama dan adil di semua
bidang kehidupan” (Ps. 1 RUU Kesetaraan Gender)
Secara sekilas, memang kita tidak akan melihat
keganjilan atau sesuatu yang aneh dalam RUU
Kesetaraan Gender, tetapi saya baru menemukan
keganjilan saat membaca naskah akademik RUU
tersebut, terutama pada saat membaca asas-asas yang
di pergunakan dalam membuat RUU Kesetaraan
Gender pada halaman 23, yang salah satunya adalah
CEDAW ( Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women ). Karena di dalam
CEDAW, pada pasal 11 ayat (1) poin b menyebutkan
bahwa:
“Negara-negara peserta akan mengambil segala
tindakan yang pantas untuk menghapus diskriminasi
terhadap kaum wanita di bidang pekerjaan guna
menjamin, atas dasar persamaan kaum pria dan
wanita, hak yang sama, khususnya:
(b) Hak untuk memperoleh kesempatan-kesempatan
kerja yang sama, termasuk penerapan kriteria seleksi
yang samadalam masalah pekerjaan”.
Yang berarti dalam pasal tersebut, apabila wanita
masuk dalam akademi/sekolah militer, dia juga harus
menjalani tes fisik yang sama seperti yang diberlakukan
kepada kader pria.
Sedangkan, di Inggris saja, saat pemerintahnya
memberlakukan “Gender Free Aproach” pada tahun
1997 dalam merekrut tentaranya dan memberlakukan
ujian fisik yang sama kepada kader pria dan wanita
maka yang terjadi adalah tingkat cedera yang tinggi di
kalangan kader wanita.
Kemudian, dalam Perang Teluk, satu per 10 kru wanita
Kapal Perang Amerika USS Acadia dikembalikan karena
hamil di perjalanan menuju atau di medan perang,
sementara jumlah tentara pria yang dikembalikan: Nol.
Kapal itu kemudian diolok-olok dan diganti namanya
menjadi The Love Boat. (Santi Soekanto, “Gerakan
Feminisme Kembali ke Sunnatullah”, 22 April 2006,
www.hidayatullah.com .)
Nah, yang menjadi pertanyaannya adalah: Sanggupkah
jika kita-para perempuan mengalami seperti apa yang
di alami oleh kader tentara wanita Inggris di atas jika
hal tersebut juga di berlakukan di Negara kita?
Selain itu, apakah RUU Kesetaraan Gender memang
benar-benar sudah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan di negara kita? Dalam hal ini,
hak-hak yang diperjuangkan memang tidak
bertentangan dengan nilai-nilai agama yang di anut di
Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam pasal 28
J ayat (2) tentang Hak Asasi Manusia?.
Keganjilan lain pasal-pasal yang di adopsi dari CEDAW
ke dalam RUU Kesetaraan Gender, terutama pada pasal
1, pasal 9, pasal 11, pasal 13 dan pasal 16 CEDAW.
Sebagian pasal-pasal yang telah di adopsi dari CEDAW
tersebut juga akan membawa implikasi yang sangat
serius bagi kehidupan beragama umat Islam Indonesia
terutama dalam hal hukum keluarga. Karena dalam
pasal 16 ayat 1 huruf (b) dan (h), menyebutkan:
“Negara-negara peserta akan mengambil tindakan yang
tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap kaum
wanita dalam segala hal yang berkaitan dengan
perkawinan dan hubungan-hubungan keluarga dan
khususnya akan menjamin, atas dasar persamaan kaum
pria dan kaum wanita :
(h) Hak yang sama bagi kedua pasangan dalam hal
pemilikan, perolehan, pengelolaan, penguasaan,
penikmatan dan pembagian harta kekayaan, baik cuma-
cuma ataupun dengan pertimbangan nilai”.
Pasal di atas perlu diperhatikan, karena jika hal tersebut
di kaitkan dengan pembagian harta kekayaan dari
kedua pasangan untuk anak laki-laki dengan anak
perempuan dalam hak waris. Sebagaimana firman Allah
swt. dalam QS. An-Nisaa’ ayat 11;
"... bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian
dua orang anak perempuan [272]; dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua [273], maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika
anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh
separo harta..." [QS: An Nisaa':11]
Jika yang dimaksudkan adalah "kesetaraan" dalam hal-
hal yang tertulis dalam al-Quran menyangkut hubungan
perkawinan (sebagaimana kasus waris tadi), maka,
bukan tak mungkin para aktivis gender akan berusaha
mempertanyakan ulang atau setidaknya mengotak-atik
ketentuan nash dalam al-Quran.
Feminisme dan Krisis Identitas
Istilah feminisme sendiri berasal dari bahasa Latin
femina, perempuan. Konon dari kata fides dan minus
kemudian menjadi fe-minus . Gerakan feminisme
sendiri lahir dari Barat, sekitar pada abad 18, dimana
para wanitanya pada masa itu, diperlakukan secara
tidak manusiawi dan menjadi korban inquisisi
(penyiksaan atas kesalahan dalam beragama). Bisa di
pastikan bahwa gerakan feminisme merupakan gerakan
yang lahir dari pemberontakan total terhadap segala
sesuatu yang di anggap telah mendiskriminasi/
menindas wanita.
Dalam perkembangannya, feminisme pada akhirnya
mengakui keabsahan homoseks dan lesbianisme secara
religius, kemudian tanpa malu-malu lagi, para
penyokong feminis radikal mendeklarasikan bahwa
wanita dapat hidup dan memenuhi kebutuhan seksnya
tanpa laki-laki
.
Nah, yakinkah bahwa kita bisa hidup tanpa laki-laki?
Mungkin kasus Bella Abzug, bisa kita jadikan sebagai
cermin.
Bella merupakan icon feminisme dan perempuan aktivis
feminisme dari kalangan Yahudi yang ikut berperan
besar dalam penggodokan Plan of Action Konferensi
Beijing 1995.
Selama puluhan tahun Bella berada di garis depan
kaum feminisme yang menyuarakan kemandirian dan
kesamaan hak bagi perempuan di segala lini.
Ketika Bill Clinton berkuasa, dia menjadi salah satu
pendukung vokal Partai Demokrat. Di belakang wanita
yang tampak perkasa ini terdapat Martin, suaminya
yang pendiam yang selalu mendukung semua sepak
terjangnya. Dalam majalah Ms. 1990, Bella menulis
artikel “ Martin, What Should I Do Now?” (Martin, Apa
yang Harus Kulakukan Kini?) tentang betapa kematian
Martin membuatnya bagai kapal kehilangan kemudi.
Dan kaum muslimah Indonesia yang menyebarkan
maupun menganut paham semacam ini seperti sedang
di landa krisis identitas, karena mereka tak percaya
dengan hak, peran maupun kedudukan mereka sebagai
perempuan telah di jamin dan di atur oleh Islam,
sehingga mereka harus mengadopsi mentah-mentah
segala konvensi yang datang dari Barat tanpa harus
berkaca kembali pada nilai-nilai Islam.
Sebagai seorang muslimah, semestinya kita juga malu
pada penganut agama lain, karena sejak lima tahun
lalu, wanita Kristen Indonesia sudah di antisipasi untuk
menghindari gerakan feminisme. (SHINE: Wanita
Kristiani Harus Hindari Gerakan Feminisme, 04 October
2006), bahkan gereja Katolik Prancis juga sudah
mewaspadai bahayanya teori gender ini karena teori
Gender yang di ajarkan bertentangan dengan ajaran
Katolik. ( Gereja Prancis Waspadai Teori Gender,
Indonesia Malah Bangga, hidayatullah.com, 29
September 2011).
Di dalam Islam pun, hubungan antara laki-laki dan
perempuan sudah di atur sedemikian rupa. Laki-laki
berkewajiban mencari nafkah sedangkan perempuan
mengasuh dan mendidik anak-anaknya, meski memang
tak menutup kemungkinan perempuan juga ikut
membantu perekonomian keluarga tetapi tentunya
harus mendapatkan izin dan pertimbangan dari
suaminya.
Jika kesetaraan gender membawa dampak buruk
terhadap nilai-nilai agama, maka, jangan paksakan kami
untuk setara!.
Penulis sedang menempuh pendidikan di Fakultas
Hukum Universitas Pamulang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar