Kamis, 11 April 2013
siap jadi istri kedua?
Pembaca, kami ini saya ingin mengajak Anda melihat
keluar. Ternyata, akhwat di Arab Saudi pun punya
masalah yang sama. Sulit menemukan jodoh yang
pas. Ukti Ain misalnya. Ia menuliskan problemnya
kepada Dr. Hannan Faruq. Dan, jawaban Dr. Hannan
sangat menarik untuk diketahui kita bersama. Karena
itu silakan simak secara lengkap salinan suratnya dan
jawaban Dr. Hannan berikut ini.
Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.
Saya terlambat mendapatkan jodoh. Namun saya
bersyukur kepada Allah swt., sebab, alhamdulillah, saya
merasa qana’ah secara sempurna atas kehendak Allah
swt. itu. Bagaimana tidak? Nikah tidak lain hanyalah
sarana untuk mencapai sasaran, sementara saya tidak
menjadikan pernikahan sebagai sasaran yang harus
dikejar, lalu menjadi bersedih manakala tidak terealisir.
Sekedar untuk diketahui, penyebab terlambatnya saya
menikah bukanlah karena saya banyak membuat syarata-
syarat dunia yang menyulitkan apalagi sampai membuat
kaum laki-laki tidak berdaya. Tetapi, saya memang cukup
keras dan ketat dalam mencari seseorang yang bisa
memahami tuntutan-tuntutan situasi dan kondisi umat
masa ini (tuntutan dakwah). Berupa keharusan
mempersiapkan diri secara baik dalam berbagai tingkatan.
Banyak memang yang datang melamar saya, bahkan
sebagian mereka lebih muda usianya. Saya pun menggali
informasi. Saya mendapati mereka orang-orang yang
hanif. Tetapi, begitu melihat realita dakwah dan harakah
mereka, saya berketetapan hati untuk menolak lamaran
mereka.
Benar jika dikatakan bahwa seorang wanita –dengan
taufiq dari Allah swt.– akan mampu mengkondisikan
suaminya dengan dakwah, tapi bukankah ikhtiar dari awal
juga merupakan sebuah tuntutan. Lalu, apa jadinya
seandainya sang suami yang hanif itu melarang saya untuk
berdakwah sebagai yang sering saya dengar? Bagaimana
juga seandainya antara saya dan “suami” tidak ada
kesepakatan dalam mentarbiyah anak dengan tarbiyah
jihadiyah? Dan banyak lagi seandainya-seandainya yang
lain. Bukankah ini realita?
Beberapa waktu lalu, datang kepada saya seorang
pemuda. Saya duga ia aktivs harakah yang punya
pemahaman mendalam. Ia juga punya sifat-sifat baik
(saya tidak bermaksud mendahului Allah swt. dalam
menjelaskan sifat-sifat ini). Hanya sayang, dia telah punya
istri dan hendak menjadikan saya sebagai istri kedua. Tapi,
dia tinggal jauh dari daerah tempat tinggal saya.Untuk
bisa menikah, dia siap pindah kerja ke daerah saya. Dia
sudah bicara dengan istrinya. Istrinya setuju.
Barangkali antum bertanya-tanya, lalu kelanjutannya
bagaimana? Secara pribadi, saya merasa lega. Sebab,
susah sekali mendapatkan orang yang punya kecocokan
pemikiran saat ini. Meski begitu, semua orang, termasuk
keluarga saya, menilai saya gila jika menerima lamaran
itu. Mereka mengulang-ulang perkataan, “Yang melamar
banyak. Masih muda-muda lagi. Eh… malahan menerima
orang yang sudah punya istri. Bukankah materi yang akan
kamu terima lebih rendah dibandingkan kekayaan
keluargamu?”
Saya tidak mencela dan menyalahkan sikap mereka itu.
Sebab, mereka melihatnya dari kacamata yang berbeda.
Dalam pandangan saya, kondisi umat yang menuntut para
dai adalah nomor satu, baru hal-hal lainnya.
Saya telah memperhitungkan positif-negatif penerimaan
saya itu. Betul, terasa sangat berat dan sulit. Tapi, jika saya
ukur dengan hasil yang akan diperoleh umat dan dakwah,
saya dapati hasilnya lebih besar dan lebih menarik.
Saya ingin mendengar pandangan antum yang bijaksana
dalam masalah ini. Terlebih lagi saya membaca, katanya,
istri pertama akan merasa sakit hati jika menemukan
suaminya menikah lagi, walaupun ia telah menyetujuinya.
Saya akui, saya sendiri tidak ingin menjadi penyebab hati
orang sakit.
Semoga Allah swt. memberikan ganjaran atas jihad,
dakwah, dan jawaban antum. Amin.
Ain, Saudi Arabia
Saudariku yang tercinta, pertama sekali saya ingin
mengucapkan selamat atas semangat ukhti dalam
menegakkan kalimat Allah swt. dan memperjuangkan
dakwah dan umat. Semoga Allah swt. membantu ukhti
untuk meraih ridha-Nya.
Shidiq (benar) terhadap Allah swt. adalah asas keimanan
dan juga asas jihad fi sabilillah. Karenanya, mohonlah
kepada Allah swt. agar Dia senantiasa memberikan taufiq
dan bimbingan kepada ukhti untuk ini.
Dari dulu jihad itu ada dua macam: jihad di medan laga
dan jihad di medan kehidupan. Orang-orang yang
mempunyai cita-cita tinggi dan siap memikul masalah-
masalah besar adalah orang-orang yang berjihad pada
lapangan kedua, dan saya memohon kepada Allah swt.
semoga ukhti termasuk salah satunya.
Dan keinginan ukhti untuk mendapatkan suami yang
menjadi pendorong dan penopang dalam perjalanan
dakwah merupakan kunci dan kendali segala kebaikan.
Bahkan saya menganggapnya sebagai kewajiban setiap
muslimah yang hendak mencari jodoh.
Mengingat betapa jauh dan panjangnya perjalanan
dakwah, maka persiapan berupa bekal yang lengkap dan
mantap serta teman perjalanan yang tabah dan handal,
adalah kunci sukses mengarungi perjalanan itu.
Hanya saja, saya melihat ada kelebihan semangat pada
diri ukhti. Kelebihan yang mengalahkan cara berpikir dan
sikap moderat ukhti. Meskipun takjub dengan semangat
ukhti itu, saya ingin mengajak ukhti memandang
permasalahan ini dari berbagai sudut pandang. Sebab,
kehidupan itu punya seribu satu wajah untuk dipandang.
Ukhti yang telah memikul semangat dan amanah, dakwah
adalah sesuatu yang indah. Hanya saja perlu ukhti pahami
bahwa dakwah dimulai dari rumah yang akan ukhti
bangun bersama suami ukhti. Karena inilah, saya meminta
ukhti untuk memandang masalah satu ini dengan
pandangan cermat dan general. Bukan pandangan silau
terhadap aktivitas dakwah dan semangatnya.
Hendaklah ukhti bertanya kepada diri sendiri seribu satu
kali: mampukah saya membangun rumah tangga,
dalamnya cinta, dan terungkapnya kasih sayang?
Mampukah saya berinteraksi dengan berbagai ganjalan
dengan kesadaran penuh, tenang, dan saling memahami?
Bisakah saya menundukkan ganjalan-ganjalan itu dan
menjadikannya sebagai alat kebahagiaan rumah tangga?
Sayang sekali ukhti, kita hidup di tengah masyarakat yang
“kadung” menilai poligami sebagai perbuatan “kriminal”.
Ukhti telah mengatakan bahwa istri pertama calon suami
anti telah setujui. Namun, ukhti masih perlu melihat dua
hal lain yang menjadi prasyarat poligami bagi seorang
lelaki, yaitu kemampuan material dan biologis.
Mengenai rasa sakit hati wanita yang suaminya menikah
lagi, perlu kita ketahui kita (dan juga dia) adalah manusia
biasa. Tidak ada seorang wanita pun yang merasa bahagia
melihat suaminya menikah lagi. Termasuk ummahatul
mukminin . Rasa cemburu itu tetap ada.
Karena itu, saya nasihatkan ukhti dua hal. Pertama,
usahakanlah untuk menjaga perasaan istri pertama.
Kedua, dorong “suami’ ukhti untuk berbuat adil
Masih ada satu hal lagi yang harus ukhti ingat. “Suami”
ukhti adalah seorang dai. Sangat bisa jadi ia akan sering
terlambat sampai ke rumah. Akan sering pergi
meninggalkan rumah. Artinya, ukhtilah yang akan
bertanggung jawab atas urusan rumah tangga saat itu.
Mulai dari A sampai Z.
Jika semua pertanyaan di atas ukhti jawab dengan “ya”,
saya katakan, “Semoga Allah swt. memberkati ukhti juga
‘suami’ ukhti”. Dan, jangan lupa, beristikharah!
Salam saya, Dr. Hannan Faruq.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar