Jumat, 12 April 2013
wajib tolak UU KKG
Selamatkan Keluarga Indonesia...
Selamatkan Wanita Indeonesia..
Selamatkan Anak Bangsa...
Tolak RUU KG
Upaya legalisasi RUU KG tidak lepas dari ratifikasi
Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women (CEDAW) yang disahkan
Indonesia menjadi UU No. 7/1984. Kemudian UU No.
39/1999 tentang Hak Asasi Manusia menguatkan
keseriusan Pemerintah dalam menjamin pemenuhan
hak perempuan. Pasal 45 UU itu menyatakan: Hak
wanita dalam Undang-Undang ini adalah hak asasi
manusia.
Selain alasan yuridis, tinjauan sosiologis juga menjadi
aspek yang melatarbelakangi RUU ini. Dalih klasik yang
acap dilontarkan pegiat jender adalah perempuan
masih mengalami diskriminasi dalam keluarga,
masyarakat dan negara. Merekalah obyek penderita
akibat pembedaan, pengucilan, pembatasan, dan segala
bentuk kekerasan berdasar jenis kelamin. Akibatnya,
kebebasan menikmati hak politik, ekonomi, sosial,
budaya, sipil atau lainnya berkurang, bahkan terhapus.
Walaupun Indonesia telah memiliki beberapa UU
berbasis jender, ternyata semua itu tak cukup kuat
menjadi landasan gerakan pengarusutamaan jender.
Inpres No.9/2000 tentang Pengarus Utamaan Gender
(PUG) yang lahir pada masa Abdurrahman Wahid
belum mampu menjadi undang-undang payung
( umbrella act ). Maka dari itu, melegalkan UU yang
mengatur hak warga negara dan kewajiban negara
untuk mewujudkan kesetaraan jender adalah ambisi
yang harus direalisasi.
Sesi ke-39 Sidang Komite CEDAW PBB pada 23 Juli-10
Agustus 2007 secara khusus memberi beberapa catatan
pelaksanaan agenda CEDAW di Indonesia. Komite
memuji komitmen Indonesia terhadap mekanisme PUG
dalam pembangunan nasional. Demi memastikan
pemberlakuan konvensi itu, Komite meminta
Pemerintah segera menuangkannya dalam hukum
nasional. Bahkan dengan terus-terang Indonesia
didorong untuk melakukan studi banding tentang
kodifikasi dan penerapan tafsir progresif terhadap
hukum Islam. Karena itulah mereka memerlukan
dukungan bagi reformasi hukum, termasuk menjalin
kemitraan dengan lembaga penelitian yurisprudensi
Islam, masyarakat sipil, organisasi non-Pemerintah dan
tokoh masyarakat yang mendukung kesetaraan
perempuan.
Dokumen itu sengaja diminta untuk dipublikaskan tentu
dengan maksud untuk memberikan petunjuk bahwa
beginilah seharusnya arah pembangunan jender di
Indonesia. Bukankah bisa kita simpulkan bahwa
keislaman mayoritas penduduk Indonesia hanya
menjadi obyek perubahan agenda internasional? Karena
itulah, sejak pembukaan, RUU ini telah mengundang
kontroversi paradigmatis. Kewajiban meratifikasi dan
mengimplementasikan konvensi internasional yang
bahkan diikuti dengan sanksi menunjukkan bahwa
Indonesia tidak cukup berdaulat untuk memperhatikan
kepentingan rakyat yang mayoritas Muslim.
Menohok Ideologi Islam
Selain CEDAW , RUU ini juga merujuk pada Beijing
Platform For Action (BPFA) sebagai landasan aksi.
Secara lebih khusus perspektif jender diintegrasikan
dalam pencapaian Millenium Developments Goals .
Semuanya adalah permufakatan yang didasari dogma
sekularisme dalam memandang persoalan perempuan.
Bila dibiarkan, PUG akan menjadi bola liar yang
mengarahkan perempuan menuju liberalisme yang
makin liar. Karena itu, upaya mengkritisi RUU ini harus
dilakukan secara paradigmatis, Islam versus
Kapitalisme.
1. Ketentuan umum.
Ketentuan umum pada RUU ini diawali dengan definisi
jender, kesetaraan jender, diskriminasi,
pengarusutamaan jender dan perangkat pelaksananya.
Tentu diskriminasi menjadi pemicu utama kelahiran
RUU ini. Diskriminasi didefinisikan sebagai segala
bentuk pembedaan dan kekerasan berdasar jenis
kelamin yang berpengaruh untuk mengurangi atau
menghapuskan pengakuan, penikmatan manfaat/
penggunaan HAM dan kebebasan di segala bidang.
Islam, bagi Barat, adalah diskriminan kelas wahid
terhadap perempuan. Aturan syariah seperti batasan
aurat, pakaian ( hijab), pemimpin negara, tanggung
jawab keibuan, relasi suami-istri, perkawinan, dan
perwalian dianggap kontradiktif terhadap konsepsi
jender. Islam lekat dengan idiom patriarkis (memihak
laki-laki), bahkan banyak ayat dan hadis yang dituduh
memiliki muatan misogynist (membenci perempuan).
Semangat RUU ini untuk membebaskan perempuan
dari diskriminasi adalah dengan memberikan kemitraan
seimbang antara perempuan dan laki-laki, termasuk
dalam perkawinan dan peran kenegaraan. Karena itu,
hal itu akan diterjemahkan sebagai gugatan terhadap
hukum-hukum Islam yang dinilai mensubordinasi
(merendahkan) perempuan seperti masalah izin istri
kepada suami/wali, nusyuz , poligami, kepala keluarga,
juga keharaman perempuan menjadi kepala negara/
pemerintahan.
2. Tujuan penyelenggaraan KG.
Mewujudkan keadilan di segala bidang kehidupan bagi
perempuan dan laki-laki adalah tujuan umum yang
terangkum dalam RUU ini. Membedakan hak dan
kebebasan seseorang karena jenis kelamin adalah
ketidakadilan. Tidak boleh membedakan perempuan
karena pandangan tertentu—apalagi agama, terutama
Islam—terhadap peran dan fungsinya dalam
kehidupan. Dengan jelas poin f Pasal 3 menyatakan
akan menghapus segala praktik yang didasarkan atas
inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin.
Artinya, peran khas laki-laki sebagai qowwam ‘ala an-
nisa’ dan perempuan sebagai umm[un] wa rabbah al-
bayt adalah pembedaan yang layak untuk dihapuskan.
3. Hak dan kewajiban warganegara
Pasal 8-b menyatakan setiap warga negara berhak
mendapatkan perlindungan melalui peraturan yang
tidak diskriminatif jender. Peraturan diskriminatif—yang
mereka kategorikan sebagai perundang-undangan yang
tidak jelas rumusannya—jelas menyasar pada
peraturan bernuansa syariah. Data yang dihimpun
Komnas Perempuan sampai akhir September 2010
menunjukkan ada 189 Perda diskriminatif. Di antaranya
mengenai khalwat di Aceh, pemberantasan pelacuran
di Jawa Barat, keharusan berpakaian Muslim dan
Muslimah di Bulukumba, serta pelarangan keluar
malam bagi perempuan di Tanggerang. Komite CEDAW
memberikan catatan khusus agar Pemerintah
mengidentifikasi dan melakukan revisi terhadap Perda
tersebut. Selain desentralisasi yang mengakibatkan
diskriminasi perempuan, Komite juga mengkhwatirkan
kebangkitan kelompok agama fundamentalis.
Selanjutnya Pasal 9 ayat (1) menyatakan kesempatan
yang sama dan perlakuan yang adil dalam pemenuhan
hak kesehatan reproduksi, hak pendidikan, hak ekonomi
dan ketenagakerjaan, keterwakilan perempuan,
perkawinan dan hubungan keluarga.
Keadilan pada hak ekonomi mencakup peniadaan izin
perempuan dari keluarganya sebelum bekerja pada
malam hari. Terpenuhinya hak reproduksi mencakup
ketidakharusan izin suami soal sterilisasi dan aborsi.
Komite juga menganjurkan jaminan agar perempuan/
anak perempuan mendapatkan informasi dan
pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk
kemudahan mendapatkan kontrasepsi bagi remaja
untuk mengurangi tingkat aborsi tidak aman dan
kehamilan. UU Perkawinan No. 1/1974 disebut Komite
CEDAW mengabadikan pandangan diskeiminatif.
Undang-undang itu juga dianggap tidak melindungi
perempuan karena melegalkan poligami dan
perkawinan dini pada perempuan berusia 16 tahun.
Demi memperbesar keterwakilan perempuan, Komite
mendesak Indonesia untuk memperkuat sistem kuota
30 persen bagi calon perempuan sebagai syarat wajib
dalam UU Pemilu, dengan memastikan sanksi apabila
syarat itu tidak dipenuhi.
4. PUG: Partisipasi masyarakat, penghargaan dan
sanksi.
Pengarusutamaan jender adalah strategi untuk
mengintegrasikan perspektif jender atas kebijakan dan
program pembangunan nasional, termasuk
penghapusan segala bentuk diskriminasi dan
perlindungan terhadap perempuan. Pemberdayaan
masyarakat menjadi kata kunci PUG, termasuk
meminta keterlibatan dunia usaha dan swasta. Pasal 20
RUU ini mencantumkan sanksi administratif atau
pemberian disinsentif bagi pihak yang mencedarai
komitmen PUG. Bahkan Pasal 21 ayat (2) menentukan
bila terjadi tindak pidana yang dilatarbelakangi
diskriminasi jender. Pidananya dapat ditambah
sepertiga dari ancaman maksimum pidana yang
diancamkan dalam KUHP dan UU lainnya. Jelas, ini
adalah upaya untuk mendudukkan hukum positif di
atas hukum syariah ciptaan Allah yang Mahatinggi!
Islam Tak Memerlukan PUG
Sebagaimana Kapitalisme, kelahiran ide jender
berangkat dari pandangan absurd yang meniadakan
penghargaan bagi perempuan. Karena itulah
perempuan di luar Dunia Islam perlu berjuang untuk
mendapatkan keadilan. Pada tahun 1777 perempuan di
beberapa negara bagian Amerika Serikat belum
mendapatkan hak pilih dalam Pemilu. Baru tahun 1920
mereka boleh memilih. Adapun di Dunia Islam, sejak
abad ke-7 M Rasulullah saw. telah memberi
kesempatan pada Ummu Imarah dan Ummu Mani’
untuk menjadi naqibah (wakil kelompok) bagi delegasi
Baiat ‘Aqabah II. Hak mendapatkan pendidikan medis
pun baru dirasakan perempuan AS saat tahun 1850
saat didirikan Female Medical College of Pennsylvania .
Adapun Khilafah Utsmaniyah pada tahun 1470 telah
memiliki sekolah kedokteran di RS Al-Fatih dan
membolehkan perempuan menjadi mahasiswanya.
Sebuah risalah abad 15 M berjudul Cerrahiyet Ul Haniye
of Sabuncuoglu menunjukkan dokter perempuan pada
masa Utsmaniyah terlibat dalam operasi pasien
perempuan.
Setiap aturan yang diberlakukan Allah SWT menjamin
keadilan bagi seluruh manusia. Melaksanakan Islam
kaffah bukan berarti mengancam kebebasan, bahkan
justru menyelamatkan masyarakat khususnya generasi
muda dari kebebasan yang tidak bertanggung jawab.
Hakikat kedudukan perempuan dan laki-laki secara
syariah adalah setara. Pelaksanaan hak dan kewajiban
berlaku seimbang di antara keduanya. Namun, secara
fitrah penciptaan, Allah telah membedakan keduanya
dalam rangka mengemban misi kehidupan.Perbedaan
tersebut diciptakan bukan untuk mendiskri-minasikan
perempuan, tetapi demi harmonisasi peran masing-
masing. Hikmah pembedaan hukum yang berkaitan
dengan erempuan sejatinya adalah perlindungan
terhadap kehormatan dan kesucian perempuan,
sesuatu yang tidak disadari dan dipahami kaum
feminis. Maka dari itu, Islamlah jaminan kelestarian
generasi yang tangguh, bebas dari krisis keyakinan dan
moralitas
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar