Jumat, 12 April 2013
pencerahan buat para wanita
Wahai wanita...
Jangan Mau dikibulin...
Pasang akal fikiran yang tajam...
Siapkah hati yang Bersih dan Jernih...
Jangan Mau ditipu lagi....
Ragam Aliran Feminisme dan Definisinya
Kita perlu memahami gerakan feminisme, mengingat
gerakan tersebut menyatakan dirinya berjuang untuk
mewujudkan emansipasi dan kesejahteraan kaum
perempuan pada masa sekarang ini. Gerakan
feminisme sendiri mempunyai banyak aliran. Di
antaranya:
Pertama, gerakan feminisme Marxis (sosialis).
Doktrinnya, setiap perempuan, baik dari kalangan
proletar maupun borjuis, harus memahami bahwa
penindasan terhadap kaum perempuan bukan semata-
mata karena perbuatan sengaja individu-individu, tetapi
lebih merupakan produk struktur politik, sosial, dan
ekonomi yang disebabkan oleh Kapitalisme.
Kedua, feminisme liberal. Paham ini berjuang untuk
menghapuskan berbagai perbedaan seksual sebagai
langkah awal menuju kesetaraan sejati. Gerakan ini
meyakini, untuk mewujudkan kedudukan yang setara
antara kaum laki-laki dan perempuan maka segala
bentuk stereotip trentang peran sosial bagi laki-laki dan
perempuan harus dihapuskan.
Ketiga, feminisme radikal. The New York Feminist
Manifesto tahun 1971 menyatakan:
Feminisme radikal memandang bahwa penindasan
terhadap kaum perempuan merupakan suatu bentuk
penindasan politik yang mendasar; kaum perempuan
dianggap sebagai suatu kelompok yang berkedudukan
lebih rendah semata-mata karena jenis kelaminnya.
Tujuan feminisme radikal adalah melakukan
pengorganisasian secara politik untuk meruntuhkan
sistem yang mengelompokkan warga masyarakat
berdasarkan jenis kelamin ini.
Sebagai kelompok feminis radikal, kami menyadari,
bahwa kami tengah melakukan pertarungan kekuatan
dengan kaum laki-laki, dan bahwa pelaku penindasan
terhadap kaum perempuan adalah semua laki-laki yang
mengidentifikasi diri sebagai makhluk yang unggul dan
istimewa serta mengemban konsep keunggulan dan
keistimewaan peran laki-laki….
Feminisme radikal atau feminisme ekstrem
menganggap laki-laki sebagai penjahat, yang
menggunakan kekuatannya untuk menarik manfaat
dari kaum perempuan; mulai dari pemuasan ego,
eksploitasi ekonomi dan domestik, dominasi seksual,
hingga klan kekuasaan politik.
Walaupun sudah ada aliran dalam gerakan feminisme,
istilah “feminisme” sendiri masih bersifat sangat
subyektif dan sering digunakan secara sembarangan.
Akibatnya, sering muncul kebingungan dan berbagai
definisi tentang feminisme.
Di antara berbagai definisi feminisme yang berkembang
pada saat ini adalah:
(1) Kelompok-kelompok yang berjuang untuk
mengubah kedudukan kaum perempuan atau berbagai
pemikiran tentang kaum perempuan, mendapatkan
julukan kaum feminis.
(2) Sebuah doktrin yang menyerukan kesetaraan hak-
hak sosial dan politik kaum perempuan dengan kaum
laki-laki.
(3) Feminisme juga bermakna, segala upaya untuk
membuat kaum perempuan mempunyai kesempatan
dan hak-hak istimewa sebagaimana yang diberikan
masyarakat kepada kaum laki-laki, atau penegasan
tentang adanya nilai-nilai keperempuanan yang spesifik,
yang berbeda dengan anggapan negatif kaum laki-laki
selama ini. Sekalipun tidak berarti bahwa kedudukan
perempuan harus bersifat eksklusif, ada kecenderungan
kuat untuk membuat demikian. Persoalannya adalah:
apakah kaum perempuan seperti laki-laki atau tidak.
(4) Kaum feminis tidak berjuang hanya untuk
menghapuskan hak-hak istimewa kaum laki-laki, tetapi
juga menghilangkan perbedaan jenis kelamin.
Perbedaan jenis kelamin di antara manusia semestinya
tidak menjadi permasalahan lagi. Konsep keluarga
biologis yang tidak adil harus dipatahkan, demikian pula
konsep kekuatan psikologis yang selama ini menjadi
dalih superioritas kaum laki-laki.
Pandangan ‘Hina’ Berbagai Peradaban Terhadap
Perempuan
Perempuan menurut doktrin berbagai peradaban—
selain Islam—sejak dari awalnya memang dipandang
tidak lebih sebagai komoditas, alat pemuas nafsu yang
diperjualbelikan secara murahan. Sebagai contoh,
dalam doktrin peradaban Yunani, menurut penuturan
Prof. Will Durant:
Di Roma, hanya kaum lelaki saja yang memiliki hak-hak
di depan hukum pada masa-masa awal negara
Republik. Kaum lelaki saja yang berhak membeli,
memiliki, atau menjual sesuatu, atau membuat
perjanjian bisnis. Bahkan mas kawin istrinya—pada
masa-masa tersebut—menjadi miliknya
pribadi….Proses kelahiran menjadi suatu perkara yang
mendebarkan di Roma. Jika anak yang dilahirkan dalam
keadaan cacat atau berjenis kelamin perempuan, sang
ayah diperbolehkan oleh adat untuk membunuhnya.
Bahkan para filosof Yunani sendiri pun menyamakan
perempuan dengan para budak yang hina dan ‘patut’
ditindas. Aristoteles mengatakan:
Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa
menurut hukum alam, harus ada unsur yang secara
alamiah memerintah dan harus ada unsur yang secara
alamiah diperintah….Kekuasaan orang-orang yang
bebas terhadap para budak adalah salah satu bentuk
hukum alam; demikian pula kekuasaan kaum lelaki atas
kaum perempuan….
Orang-orang Yunani juga memposisikan kaum
perempuan pada kasta ketiga (kasta yang paling bawah)
dari masyarakat. Apabila seorang perempuan
melahirkan anak yang cacat, biasanya ia akan dihukum
mati. Masyarakat Sparta, yang dikenal sebagai kelompok
elit, memberlakukan hukuman mati bagi seorang
perempuan yang tidak lagi mampu mengasuh anak.
Orang-orang Sparta juga biasa mengambil kaum
perempuan dari suaminya untuk dihamili oleh laki-laki
yang “pemberani dan perkasa” dari masyarakat lain.
Pandangan yang lebih menghinakan lagi dapat kita
dapati dalam peradaban Yahudi. Kaum Yahudi ortodoks
yang mempelajari ajaran klasik Yahudi akan mendapati,
bahwa ada di antara ajaran dan aturan Yahudi yang
menindas kaum perempuan. Talmud, sebuah kitab
yang berisi aturan-aturan dalam kehidupan pribadi dan
peribadatan menyatakan: Mustahil ada sebuah dunia
yang tanpa keberadaan kaum lelaki dan perempuan.
Namun demikian, berbahagialah orang-orang yang
mempunyai anak laki-laki, dan celakalah orang-orang
yang mempunyai anak perempuan.
Pandangan yang tak jauh berbeda juga dilontarkan oleh
peradaban Hindu. Sebuah buku yang berisi aturan-
aturan keagamaan Sansekerta kuno, Draramasastra,
memuat satu bab tentang “kedudukan klan kewajiban
agama kaum perempuan” atau stridharmapaddhati.
Pengarang (atau lebih tepatnya penyusun) buku ini,
Tryambaka, adalah seorang pandit (pendeta) ortodoks
yang tinggal di Thanjavur, yang sekarang terletak di
bagian selatan negara bagian Tamil Nadu, India. Aturan
tentang kaum perempuan dalam buku tersebut secara
umum menempatkan kaum perempuan pada golongan
warga negara kelas dua. Sebagai contoh, seorang istri
tidak mempunyai hak atas harta kekayaan suaminya.
Harta kekayaan yang dimiliki bersama oleh suami dan
istri hanya boleh dikeluarkan oleh sang suami; boleh
dikeluarkan oleh istri, tetapi harus seizin suaminya. Ada
tiga pesan yang dapat diambil dari buku Pandit
Tryambaka ini. Pertama: seorang istri tidak perlu
memperhatikan kehidupan pribadinya. Kedua: seorang
istri bahkan harus rela untuk dijual apabila suaminya
menghendaki. Ketiga: kepatuhan kepada suaminya
harus diutamakan ketimbang kewajiban-kewajiban
lainnya, termasuk kewajiban-kewajiban agama
sekalipun.
Agama Nasrani pun tak luput dalam melecehkan
perempuan. Menurut Encyclopedia Britannica, “Sejak
awal, lembaga gereja telah menempatkan kaum
perempuan dalam posisi yang amat rendah.”
Barat pun ‘Melecehkan’ Perempuan
Saat ini, di Barat ketika kaum perempuan merasa
bertanggung jawab atas segala urusannya sendiri,
apakah mereka telah mencapai puncak kesetaraan
jender? Apakah “perempuan baru” yang ada di Barat
telah mampu membebaskan diri sepenuhnya dari
berbagai penindasan sebagaimana yang mereka
perjuangkan? Apakah kemunculan gerakan
“pembebasan” mereka itu menandakan datangnya
kehidupan dunia yang baru dan lebih bermoral? Apakah
gerakan “pembebasan” itu telah mampu mewujudkan
emansipasi kaum perempuan yang hakiki, dan
membebaskan mereka dari ketidakadilan?
Menurut mereka (kaum feminis), jawaban yang
diberikan pastilah, “Ya.” Namun, sayangnya kita
terpaksa menjawab, “Tidak!”
Mereka mengklaim telah mempunyai peradaban
modern dan beradab. Namun sejatinya, peradaban
mereka penuh dengan nuansa bar-bar dan kembali
pada kebodohan. Tingginya angka pembunuhan bayi,
prostitusi, pemerkosaan, perceraian, dan single parent
(yang paling umum adalah single mother) adalah
menjadi pertanda bahwa adat kebiasaan mereka sama
dengan adat kebiasaan yang dipraktikkan oleh “bangsa-
bangsa biadab” Romawi Kuno, Persia, Arab Jahiliah, dan
Yahudi.
Salah satu fakta yang menunjukkan bagaimana di mata
Barat perempuan sangat dilecehkan adalah kasus
aborsi. Pada abad modern ini, di Barat, membunuh
bayi perempuan tidak berdosa yang baru lahir boleh
jadi sangat jarang kita temui. Akan tetapi,
menggugurkan mereka ketika masih berbentuk janin,
kemudian mengeluarkan jasad mereka dari rahim
dalam keadaan terpotong-potong seperti sampah,
semakin umum dilihat dan dipraktikkan. Teknik aborsi
yang terbaru, yang diberi nama “partial birth-abortion”,
dilakukan dengan mengeluarkan janin dari dalam rahim
sepotong demi sepotong sehingga tinggal kepala bayi
yang masih tersisa di dalam rahim. Kemudian para
praktisi aborsi (apakah orang-orang seperti ini layak
diberi gelar dokter?), melubangi tengkorak bayi dengan
sebuah alat yang taham, memasukkan kateter ke
dalamnya, dan menyedot otak bayi sampai habis.
Setelah isinya disedot habis, maka kepala bayi berikut
sisa-sisa tubuh lainnya dapat dikeluarkan semuanya
dengan mudah. Inikah sebuah peradaban modern yang
menjunjung nilai-nilai kemanusiaan?
Fakta kedua tentang pelecehan Barat terhadap
perempuan adalah industri pornografi. Pesatnya
pertumbuhan industri pornografi sejak tahun 1950-an,
sekali lagi, dipandang mencerminkan kemajuan
“kesetaraan jender” di Barat. Dunia pornografi sama
sekali tidak mempertimbangkan kaum perempuan
sebagai manusia yang mempunyai perasaan dan
kebutuhan, namun hanya sekadar sebagai komoditas
yang layak dimanfaatkan dan segera disingkirkan
apabila tak lagi dapat dijual. Kaum perempuan
diyakinkan bahwa dengan menjual tubuh, mereka akan
mampu meraih “kesetaraan”. Padahal kenyataannya,
kaum perempuan hanya menjadi obyek kaum laki-laki
yang memanfaatkan kedok “kesetaraan” untuk dapat
mengeksploitasi kaum perempuan semata-mata demi
kepentingan hawa nafsu mereka dan untuk
mendapatkan keuntungan ekonomi.
Pada tahun 1980-an, sebuah “langkah maju” dalam hal
manipulasi perempuan kembali terjadi. Sheila Jeffreys,
seorang feminis, menulis:
Kaum perempuan telah diberitahu oleh para
pengusung ide kebebasan, bahwa karena sekarang
kaum perempuan telah “setara” dengan kaum laki-laki,
maka tidak ada salahnya kaum perempuan ikut
menikmati pornografi. Ideologi ini justru telah
menggagalkan gerakan emansipasi perempuan, bukan
mendukungnya. Gagasan untuk menjual produk-produk
pornografi kepada kaum perempuan sejak tahun 1980-
an telah menjadi sebuah strategi yang canggih dan
efektif dalam memperkuat kekuasaan kaum laki-laki.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar