Jumat, 15 Juni 2012

Cinta (tak) harus memiliki

Cinta. Hanya satu kata, tersusun
dari lima huruf yang berbeda. Sangat sederhana. Kata
yang sama sekali bukan kata sulit untuk dituliskan,
pun untuk diucapkan. Namun kata sederhana ini
menjadi jutaan tema dalam kehidupan. Tema dalam
kisah bahagia, kisah sedih yang tak ada habis-
habisnya, kisah lucu yang menyegarkan, kisah
kegalauan remaja zaman sekarang, kisah sukses
penuh semangat, dan kisah-kisah lainnya.
Kali ini aku ingin berbagi tentang cinta antar
manusia. Teringat akan sebuah kalimat, “cinta tak
harus memiliki”. Kalimat yang cukup populer dan
sering dijadikan alasan atau sekadar kalimat
penghibur bagi mereka yang sedang dilanda kisah
cinta episode kesedihan. Kalimat populer ini jelas
ditujukan untuk kisah cinta antar manusia. Cinta
pada seseorang yang diharapkan dapat menjadi
pasangan hidup, namun tak berujung pada
pernikahan. Kasihan. Ah, mereka bukan orang-orang
yang perlu untuk dikasihani. Karena rasa kasihan
hanya akan menambah kesedihan bagi yang
mengalami. Malang. Sejatinya orang-orang yang
mengalami episode ini bukanlah orang yang malang.
Jika disikapi secara baik, hal ini justru dapat melatih
yang bersangkutan untuk menjadi lebih sabar, lebih
dewasa, lebih bijaksana, dan selalu yakin serta
bersyukur akan pemberian-pemberian dari Allah.
Karena yakinlah, bahwa Allah akan memberikan yang
terbaik yang kita butuhkan, bukan yang terbaik
(menurut kita) seperti yang kita inginkan.
Cinta tak harus memiliki. Sedikit terasa mengganjal
dalam hati mencermati kalimat ini. Konon kabarnya,
fitrah manusia untuk mencintai. Ya, baiklah kalau
begitu . Tapi yang mengganjal di sini adalah seseorang
mencintai seorang manusia lainnya sebelum
dinyatakan sah dan halal. Apakah salah? Entahlah.
Suka pada seseorang sebelum menikah, sepertinya
tak ada masalah. Tak ada masalah jika hanya sebatas
rasa kagum, simpati, suka karena terdapat teladan
yang baik dalam diri seseorang. Tapi apakah harus
mencintainya? Mengharapkan seseorang tersebut
untuk menjadi pasangan hidup, sepertinya itu juga
bukan suatu kesalahan. Sangat wajar jika seseorang
mengharapkan pasangannya adalah orang yang baik,
shalih/shalihah, mengagumkan, dan terdapat suri
teladan yang baik dalam dirinya. Wajar, sangat wajar
dan manusiawi. Tapi apakah harus mencintainya?
Dan apakah harus “dia”?
Kawan, aku bukanlah orang yang penuh kebaikan
sehingga aku pantas untuk menggurui dan
menasihatimu. Maaf, sekali lagi, maaf. Tugas kita
sesama muslim adalah saling mengingatkan pada
saudaranya. Dan kali ini, sejatinya aku ingin
mengingatkan diriku sendiri, dan ingin berbagi
padamu. Mohon ingatkan aku jika ada yang salah,
kawan.
Wajar-wajar saja jika kita suka pada seseorang,
mengaguminya, itu hal yang manusiawi. Tapi
mencintainya, wajarkah? Teringat seorang teman
mengatakan kalimat yang juga cukup populer tentang
cinta. “Cintai apa yang dimiliki, bukan miliki apa yang
dicintai.” Begitu pula kurasa dengan kekasih,
pasangan hidup, seorang manusia yang menjadi
pendamping dunia akhirat. Sayang sekali jika kita
mencintai seseorang yang belum tentu akan menjadi
pasangan hidup kita nantinya. Iya kalau jodoh kita
adalah dia. Tapi jika bukan, betapa kasihan jodoh kita
yang sebenarnya. Ia yang seharusnya mendapatkan
cinta seutuhnya, namun sebagian hati telah tertawan
pada hati yang lain. Ia yang seharusnya kita cintai,
tapi nyatanya hanya mendapatkan sisa-sisa cinta dari
sekeping hati kita yang rapuh ini.
“Jodoh itu tak akan tertukar”, begitu celoteh temanku
yang lain. Yakinlah bahwa seseorang yang berjodoh
dengan kita nantinya adalah yang terbaik. Jadi tak
perlu menyibukkan diri untuk mencintai hati yang
belum tentu akan mencintai seperti kita
mencintainya. Kalaupun ia juga cinta, belum tentu
kan berjodoh. Tak sampai hati rasanya bila menyakiti
pasangan yang sebenarnya nanti. Dialah yang
seharusnya dicintai dengan sepenuhnya. Bukan
dengan sisa-sisa cinta, apalagi hanya sebagai pelarian
semata. Ada baiknya jika sekarang kita
mempersiapkan diri dan menjaga hati untuknya. Tak
ingin hati ini ternoda oleh cinta yang salah alamat.
Cintaku hanya akan kuberikan setelah akad nikah.
Ijab qobul yang begitu sakral terucap, menggetarkan
hati begitu dahsyat sehingga cinta itu kan tumbuh
secara alami. Aku hanya ingin mencintainya setelah ia
halal bagiku. Sepenuhnya, tanpa terbagi.
Kembali pada dua kalimat cinta yang cukup populer
tadi. “cinta tak harus memiliki” dan “cintai apa yang
dimiliki, bukan miliki apa yang dicintai”. Dua kalimat
ini terasa bertolak belakang dari satu sudut pandang
tertentu. Kalimat pertama menyiratkan makna bahwa
cintailah apa saja, siapa saja. Tapi ingat, mencintainya
bukan berarti harus memilikinya.
Sedangkan kalimat kedua, cukup lugas. Memberikan
pandangan dan pilihan yang sedikit berbeda. Ada
perbedaan antara mencintai apa yang dimiliki dengan
memiliki apa yang dicintai. Dalam konteks pasangan
hidup, Mencintai apa yang dimiliki, ini berarti cinta
itu tumbuh setelah seseorang sah dan halal bagi kita.
Sedangkan memiliki apa yang dicintai, ini berarti cinta
itu telah bersemi indah sebelum seseorang tersebut
sah dan halal baginya. Jika kita ingin “memiliki apa
yang kita cintai”, maka kalimat “cinta tak harus
memiliki” berlaku di sini. Namun tak kan berlaku jika
kita “mencintai apa yang kita miliki”. Yang berlaku
adalah “cinta harus memiliki”. Karena kita sudah
memiliki terlebih dulu sebelum mencintainya. Dan
hal ini menyiratkan sebuah isyarat rasa syukur yang
begitu besar atas apa yang telah ditetapkan oleh Allah
untuk kita. Kalaupun ternyata pasangan kita nantinya
tak sesuai harapan, itu artinya Allah ingin kita belajar
untuk bersabar. Dan ingatlah, Allah itu bersama
orang-orang yang sabar. Di sisi lain, Allah akan
menambah nikmatnya bagi yang selalu bersyukur.
Sungguh dahsyat rasanya jika kita mencintai apa yang
kita miliki. Hidup dalam bingkai cinta yang tulus
berhiaskan kesyukuran dan kesabaran. Kebahagiaan
bukanlah hal yang sulit diwujudkan. Kedamaian dan
ketenangan pun akan terus mengiringi dalam setiap
degup jantung. Bukankah ini begitu indah, kawan?
Satu hal yang perlu diingat, kawan. Cinta pada
manusia bukanlah yang abadi. Jadikan cinta itu
sebagai media mengalirnya cinta menuju muara cinta
yang paling agung. Cinta pada Allah. Cinta inilah yang
hakiki. Mencintai pasangan merupakan salah satu
perwujudan cinta pada Rabb yang menguasai jiwa ini.
Sebesar apapun cinta itu, tetap tujuan akhirnya
adalah cinta pada Sang penguasa cinta. Dialah yang
memiliki cinta terluas, cinta tak berbatas. Dialah yang
berhak untuk dicintai sepenuhnya. Karena setiap
detail kehidupan kita tak bisa lepas dari cinta-Nya.
Kawan, andai dirimu kebingungan melabuhkan cinta
karena belum ada seseorang yang halal bagimu, tak
perlu merasa galau. Kegelisahan hanya membuat kita
terus merasa risau. Ada Allah yang kita miliki dan
yang memiliki kita sepenuhnya. Cintailah dengan
cinta terbaik yang kita punya. Yakinlah Dia tak akan
menyia-nyiakan cinta kita yang seadanya ini. Jika yang
kita dapatkan tak sesuai keinginan, bukan Allah tak
mencintai kita. Tapi Allah ingin kita belajar menjadi
orang yang sabar sehingga kita bisa terus merasa
dekat dengan-Nya. Karena Allah bersama orang-
orang yang sabar. Namun jangan lupa untuk
bersyukur ketika yang kita dapatkan sesuai keinginan.
Karena rasa syukur itulah yang menjadikan nikmat
Allah terus bertambah. Tidak pernah rugi, bukan?
Ibarat berdagang, perdagangan yang selalu
menguntungkan hanyalah perdagangan dengan Allah,
Rabb penguasa semesta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar