Kamis, 07 Juni 2012

Perseteruan dua Cinta

"Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
diantara istri-istri dan anak-anak kamu ada yang
menjadi musuh bagi kamu."
Bisakah anda membayangkan bahwa suatu saat,
istri dan anak-anak yang anda cintai justru
menjadi musuh bagi anda? Mungkin. Mungkin
sekali itu terjadi. Pada siapa saja. Karena cintanya
pada istri dan anak-anaknya tidak "turun" dari
cinta misi, dari cintanya pada Allah. Atau
sebaliknya. Jika cinta pada istri dan anak-anak
tidak berhasil membawa mereka ke dalam
lingkaran cinta misi.
Itulah tragedi dua orang nabi dan seorang
perempuan shalihah. Dengan segenap cinta dan
harapan jiwanya, Nabi Nuh masih terus berusaha
mempertahankan istri dan anak-anaknya ketika
tsunami itu datang. Tapi tidak! Cinta misinya tidak
tersambung dengan nasabnya. Begitu juga Nabi
Luth. Istrinya ada dalam daftar umatnya yang
dibinasakan oleh Allah. Dan perempuan shalihah
itu bernama Asia, istri seorang thagut terbesar
sepanjang sejarah, Fir'aun. Ketika cinta harus
memilih, ia memilih Tuhannya. Ia memilih cinta
misinya. Meskipun ia harus mengorbankan
nyawanya sendiri.
Itu saat yang getir. Ketika kita harus memilih dua
cinta yang bertarung dalam jiwa. Dan Allah
mengabadikan cerita pertarungan dua cinta itu
dalam jiwa Nuh, Luth dan Asia. Agar kita mengerti
bahwa pemisalan itu adalah takdir kehidupan,
bahwa siapapun mungkin mengalami itu: saat-
saat dimana kita harus memutuskan pilihan dari
dua cinta yang tidak dapat dipertemukan.
Tidak harus selalu begitu, memang. Sebab juga
ada cerita lain. Cerita tentang dua cinta yang
bertemu. Seperti cinta Muhammad dan Khadijah,
atau Yusuf dan Zulaikha, atau Adam dan Hawa.
Cerita tentang Adam yang memakan buah khuldi
yang terlarang adalah manifestasi cinta jiwa yang
tidak terangkai dalam cinta misi. Tapi mereka
segera bertaubat dan meluruskan arah cinta
mereka. Tapi ketegarn Yusuf menghadapi godaan
istri sang raja adalah pesona yang mengantarkan
hidayah ke dalam jiwa Zulaikha. Adapun
Muhammad dan Khadijah : itu kisah cinta yang
sejak awal tumbuh dan berkembang dalam bingkai
cinta misi.
Secara manusiawi perseteruan dua cinta ini lahir
dari kecenderungan jiwa yang tidak terbingkai
dengan nilai-nilai cinta misi. Itu cobaan hati yang
paling banyak menimpa orang shalih. Ketika
"bentuk" mengalahkan "makna", ketika "rupa"
mendahului "jiwa", itu pertanda awal datangnya
cobaan. Mereka yang memenangkan bentuk dan
rupa biasanya harus membayar harga kenikmatan
duniawi dengan ongkos makna dan jiwa yang
seringkali terlalu mahal. Itu sebabnya Rasulullah
saw menganjurkan kita mendahulukan agama
dalam memilih pasangan hidup.
Itu kalau harus memilih. Tapi masalah ini tentu
selesai dengan sendirinya kalau bentuk berpadu
dengan makna, rupa bertemu jiwa. Dan itu, kata
Ibnul Qoyyim, adalah puncak karunia dan
kenikmatan dunia akhirat: menikahi seorang
perempuan shalihah, cerdas dan cantik sekaligus.
Seperti Muhammad kepada Aisyah. Tidak mudah
memang. Tapi tetap saja mungkin. AM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar