Jumat, 08 Juni 2012

Encourage!!!

15tahun lalu saya pernah mengajukan protes
pada guru sebuah sekolah
tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. *
Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis
anak saya seadanya itu
telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna,
hebat,bagus sekali.
Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai
belajar bahasa.
Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah
ditunjukkan kepada saya
dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang
terbatas. Menurut saya tulisan
itu buruk, logikanya sangat sederhana. *
Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia
menyerah.
Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya
kepada gurunya dan bukan
diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak
salah memberi nilai?
Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau
begini saja sudah diberi
nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.
Sewaktu saya protes,
ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat.
"Maaf Bapak dari mana?"
"Dari Indonesia," jawab saya. Dia pun tersenyum.*
*Budaya Menghukum *
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang
penting bagi hidup saya.
Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik
dan membangun masyarakat.
"Saya mengerti," jawab ibu guru yang wajahnya mulai
berkerut, namun tetap
simpatik itu. "Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari
Indonesia yang
anakanaknya dididik di sini,"lanjutnya. "Di negeri Anda,
guru sangat sulit
memberi nilai.Filosofi kami mendidik di sini bukan
untuk menghukum,
melainkan untuk merangsang orang agar maju.
Encouragement!" Dia pun
melanjutkan argumentasinya.
"Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak
berbedabeda. Namun untuk anak
sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya
bukan bahasa Inggris,
saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,"
ujarnya menunjuk karangan
berbahasa Inggris yang dibuat anak saya. Dari diskusi
itu saya mendapat
pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi
orang lain menurut
ukuran kita.
Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan
study saya yang bergelimang
nilai "A", dari program master hingga doktor.
Sementara di Indonesia, saya
harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai
ancaman drop out dan para
penguji yang siap menerkam. Saat ujian program
doktor saya pun dapat
melewatinya dengan mudah.
Pertanyaan mereka memang sangat serius dan
membuat saya harus benar-benar
siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat.
Seorang penguji bertanya
dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan
ikut membantu memberikan
jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka
menunjukkan grafikgrafik yang
saya buat dan menerangkan seterang-terangnya
sehingga kami makin mengerti.
Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan
dan mendiskusikan
kekurangan penuh keterbukaan. Pada saat kembali ke
Tanah Air, banyak hal
sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan
saling menolong, malah
ikut "menelan" mahasiswanya yang duduk di bangku
ujian. *
Etika seseorang penguji atau promotor membela atau
meluruskan pertanyaan,
penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan
berita tidak sedap
seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya.
Saya sempat mengalami
frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para
dosen menguji, yang
maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.
Mereka bukan melakukan
encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya
pun bisa diduga, kelulusan
rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak
hebat-hebat betul. Orang
yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga
menguji dengan cara
menekan.
Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat
betul bagaimana
guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya
berpikir pantaslah
anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya
ilmiah yang hebat,
bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka
punya guru yang pintar
secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat:
karakter yang membangun,
bukan merusak. Kembali ke pengalaman anak saya di
atas, ibu guru
mengingatkan saya. "Janganlah kita mengukur kualitas
anak-anak kita dengan
kemampuan kita yang sudah jauh di depan," ujarnya
dengan penuh kesungguhan.
Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika
yang ditulis dalam
bentuk verbal.
Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya
mengalami kesulitan, namun
rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi
kalimat yang
mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti
berikut. "Sarah telah
memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan
sungguh-sungguh. Namun Sarah
telah menunjukkan kemajuan yang berarti." Malam itu
saya mendatangi anak
saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya.
Saya ingin memeluknya di
tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang
tidak objektif. Dia
pernah protes saat menerima nilai E yang berarti
excellent (sempurna),tetapi
saya mengatakan "gurunya salah". Kini saya melihatnya
dengan kacamata yang
berbeda.
*Melahirkan Kehebatan *
Bisakah kita mencetak orangorang hebat dengan cara
menciptakan hambatan dan
rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi
yang dibentuk oleh
sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan
bercincin batu akik, kapur,
dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh
guru,sundutan rokok, dan
seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-
kata ancaman: Awas...;
Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarna
merah menyala di atas
kertas ujian dan rapor di sekolah.
Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin
telah membuat kita menjadi
lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa
mematikan inisiatif dan
mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam
ilmu otak ternyata
menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan
dapat mengerucut (mengecil)
atau sebaliknya,dapat tumbuh.
Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau
dukungan (dorongan) yang
didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan
demikian kecerdasan manusia
dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang
sering saya katakan,
ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar
atau bodoh.*
Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada
orang yang tambah bodoh.
Mari kita renungkan dan mulailah mendorong
kemajuan, bukan menaburkan
ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk
maju, bukan dengan
menghina atau memberi ancaman yang menakut-
nakuti.(*) *
*RHENALD KASALI *
*Ketua Program MM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar