Minggu, 24 Juni 2012

Mereka Adalah Pintu Surga yang(Mungkin) Sedang Tersia-Sia

Tubuhnya gemuk, seringkali
marah-marah. Tak pernah menyangka awalnya bahwa
ummi abinya tertarbiyah, karena melihat sikapnya
yang tak pernah terlihat disiplin, saya pikir anak ini
lahir di keluarga (maaf jika saya sebut) biasa.
Bukan apa, sampai satu kali terbesit ragu, benarkah
kedua orang tuanya siap memiliki anak, hingga ia
terbiarkan seakan liar tanpa aturan.
Bu, dia merebut makanan aku…
Bu, Si Ini nangis di dorong dia…
–laporan tentang dia.
***
Pagi tadi dia menangis. Seperti kebiasaannya saat
menangis, meraung dan mengamuk. Padahal lima
menit sebelumnya, saya asyik memandanginya
menggerakkan tubuh untuk senam, berlenggak-
lenggok menirukan gerakan bebek. Sampai terpingkal,
dan di tegur orang karena terlalu asyik tertawa.
Namun, tentu saja setelahnya, saya harus
mendiamkan dia yang menangis karena terjungkal di
dorong temannya yang sebelumnya di dorong dia.
Mau marah, tapi selalu saja luluh. Melihat tubuhnya
yang gempal, ingin sekali memanggilnya “ndut-ndut”.
Seandainya hubungan kami bukan dalam posisi
formal dunia pendidikan, tentu panggilan itu yang
akan sering saya sebut.
Di siang hari, di berguling sepanjang aula, berbolak
dan berbalik, berguling-guling, nampak ingin
bergulung, menikmati dunianya sendiri. Satu hal lucu
saat dia mendapatkan dua kotak kacang yang
membuatnya menangis raung. Saat itu kelasnya
mengadakan tukar kado, incaran dia adalah sebuah
bey blade, padahal modalnya hanyalah sepasang kaos
kaki. Itupun dengan ia dapatkan dari uang dua ribu
rupiah miliknya, ditambah empat ribu rupiah
meminta pada teman-temannya, serta tambahan
korting dua ribu rupiah dari penjual kaos kaki. Tapi
apanyana, dasar nasib dia hanya dapatkan dua kotak
kacang.
Akhirnya dia menangis dan tak mau pulang,
mengusak di lantai koridor, membuat saya harus
mengangkatnya. Belum lagi bila ingat sikap joroknya
dengan (maaf) mengambil kotoran hidung dan
ditempelkannya di celana. Ya Allah, jika saja ingat itu,
maka saya akan sangat segan mengangkatnya dan
menempelkan diri padanya.
***
Selalu tertempeli label “anak nakal” menjadikannya
bercerita bahwa dirinya adalah matahari yang panas
dan menyengat, mengganggu dan menyiksa orang
lain, dalam pertemuan konseling saya dengannya.
Sikapnya yang tidak peduli, tangan jahilnya,
teriakannya, dorongannya, sikap joroknya, benar-
benar tidak disiplin, pura-pura lupa. Ah, kalau saja
sabar itu berbatas, tentu saya akan memilih berteriak
“dasar anak nakal!”
Tapi seperti di awal saya katakan, hati saya selalu
luluh, apalagi saat memandang matanya. Hati saya
ingin mengatakan, “dia hanyalah korban kesibukan.”
Namun, mungkin itulah kekalahan. Karena
pendisiplinan tetap saja butuh ketegasan.
***
Bukankah seorang anak adalah anugerah? Berapa
banyak pasangan yang ingin memiliki anak. Namun,
banyak juga pasangan yang telah memilikinya tanpa
sadar malah menyia-nyiakan keberadaannya. Tidak
sedikit anak yang merasakan ketidaknyamanan karena
memiliki ibu yang sangat sibuk bekerja dan ayah yang
senin hingga Jum’at berangkat saat mereka belum
bangun dan pulang saat mereka akan tidur, pun hari
libur yang diisi oleh waktu istirahat orang tua, yang
tentu saja membuat mereka tidak ke mana-mana.
Kita semua memahami bahwa pekerjaan dan
kesibukan yang dipilih orang tua memang dilakukan
untuk menunjang keamanan perekonomian keluarga.
Paling mendasar agar anak-anak bisa sekolah. Pun
sebenarnya bisa menjadi sebuah aktualisasi diri bagi
seseorang yang masih terus berada dalam tahap
perkembangan, ketika memiliki karir dan
mengembangkan potensinya. Tapi, bukankah anak
adalah amanah utama? Dan yang harus mengalah
adalah mereka yang telah dewasa.
Kekecewaan saya kembali merebak ketika dalam
pertemuan dengan orang tua dia, tersebut kata
“trauma”. Ingin sekali saya katakan “halloooo…
apakah dalam membahagiakan anak Anda, pantas
terucap kata trauma?” tentu saja saya memilih tidak
mengatakannya, karena saya masih menjunjung etika
dan perasaan mereka sebagai orang tua.
Namun, juga menjadi sebuah perih, saat para orang
tua seakan menyerahkan mahar berupa uang SPP per
bulannya dengan seakan menyebutkan ijab: “saya
serahkan pendidikan anak saya dengan mahar SPP
sekian ratus ribu rupiah, di bayar tuuunnnnaaaai…”
Ya, saya tahu mendidik anak itu berat… maka itulah
surga berada di bawah telapak kaki ibu, dan seorang
ayah pun di janjikan surga jika berhasil menjaga
anak-anaknya. Namun anak tetaplah anak,
tanggungjawab, yang akan menjadi bahan pertanyaan
di akhirat. Yang jika saja mereka shalih, akan menjadi
bekal untuk tiap kita memasuki surga milik Allah.
Tidakkah kita tanamkan itu betul-betul?
Siapa pun, entah mereka yang biasa saja, apalagi
yang telah menisbatkan diri menjadi seorang yang
tertarbiyah, tak pernah salah sekali-kali membuka
kembali buku mengenai orang tua atau pengasuhan
anak, tak salah mencari hadits-hadits tentang
bagaimana Rasulullah mendidik putra putrinya. Tak
pernah salah meluangkan waktu untuk mereka yang
seharusnya menjadi yang tercinta setelah Tuhan kita.
Bisa jadi mereka adalah pintu surga, yang sekarang
(mungkin) sedang tersia-sia.
***
Ayah… bunda… kami di sini, menunggu kasih
sayangmu, menunggu waktu-waktu yang habis
karena bersama denganmu, menunggu dibelai oleh
mu saat akan tidur, diceritakan olehmu tentang
dunia, walau mungkin hanya tentang duniamu atau
dunia keluarga kecil kita. Ayah bunda, aku anakmu,
yang rindu.
special thanks to writter Mbak Nuram Mubina.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar