Jumat, 01 Juni 2012

Hukum Isbal memanjangkan kain. .

hayatulislam.net – Soal: Ustadz yang terhormat, saya mau
nanya tentang hukum isbal. Ada sebagian orang yang
mengatakan bahwa isbal dianggap salah satu dosa besar
yang diancam dengan ancaman yang keras. Mohon
penjelasannya.
Jawab: Dari Ibnu ‘Umar diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw
bersabda:
“ Barangsiapa memanjangkan pakaiannya karena sombong,
maka Allah tidak akan melihatnya kelak di hari kiamat. ”
Kemudian Abu Bakar bertanya, “ Sesungguhnya sebagian dari
sisi sarungku melebihi mata kaki, kecuali aku
menyingsingkannya. ” Rasulullah Saw menjawab, “ Kamu
bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena
sombong. ” [ HR. Jama’ah, kecuali Imam Muslim dan Ibnu
Majah dan Tirmidizi tidak menyebutkan penuturan dari Abu
Bakar.]
Dari Ibnu ‘Umar dituturkan bahwa Rasulullah Saw telah
bersabda:
“ Isbal itu bisa terjadi pada sarung, sarung dan jubah. Siapa
saja yang memanjangkan pakaiannya karena sombong,
maka Allah swt tidak akan melihatnya kelak di hari
kiamat. ” [ HR. Abu Dawud, an-Nasa`i , dan Ibnu Majah ]
Kata khuyalaa’ berasal dari wazan fu’alaa’ . Kata al-khuyalaa’,
al-bathara, al-kibru, al-zahw, al-tabakhtur , bermakna sama,
yakni sombong dan takabur.
Mengomentari hadits ini, Ibnu Ruslan dari Syarah al-
Sunan menyatakan, “Dengan adanya taqyiid
“ khuyalaa’ ” (karena sombong) menunjukkan bahwa siapa
saja yang memanjangkan kainnya melebihi mata kaki tanpa
ada unsur kesombongan, maka dirinya tidak terjatuh dalam
perbuatan haram. Hanya saja, perbuatan semacam itu
tercela ( makruh ).”
Imam Nawawi berkata, “ Hukum isbal adalah makruh. Ini
adalah pendapat yang dipegang oleh Syafi’iy. ”
Imam al-Buwaithiy dari al-Syafi’iy dalam Mukhtasharnya
berkata, “ Isbal dalam sholat maupun di luar sholat karena
sombong dan karena sebab lainnya tidak diperbolehkan. Ini
didasarkan pada perkataan Rasulullah Saw kepada Abu
Bakar ra. ”
Namun demikian sebagian ‘ulama menyatakan bahwa
khuyala’ dalam hadits di atas bukanlah taqyiid . Atas dasar
itu, dalam kondisi apapun isbal terlarang dan harus dijauhi.
Dalam mengomentari hadits di atas, Ibnu al-‘Arabiy
berkata, “ Tidak diperbolehkan seorang laki-laki melabuhkan
kainnya melebihi mata kaki dan berkata tidak ada pahala jika
karena sombong. Sebab, larangan isbal telah terkandung di
dalam lafadz. Tidak seorangpun yang tercakup di dalam
lafadz boleh menyelisihinya dan menyatakan bahwa ia tidak
tercakup dalam lafadz tersebut; sebab, ‘illatnya sudah tidak
ada. Sesungguhnya, sanggahan semacam ini adalah
sanggahan yang tidak kuat. Sebab, isbal itu sendiri telah
menunjukkan kesombongan dirinya. Walhasil, isbal adalah
melabuhkan kain melebihi mata kaki, dan melabuhkan mata
kaki identik dengan kesombongan meskipun orang yang
melabuhkan kain tersebut tidak bermaksud sombong. ”
Mereka juga mengetengahkan riwayat-riwayat yang
melarang isbal tanpa ada taqyiid . Riwayat-riwayat itu
diantaranya adalah sebagai berikut:
“ Angkatlah sarungmu sampai setengah betis, jika engkau
tidak suka maka angkatlah hingga di atas kedua mata
kakimu. Perhatikanlah, sesungguhnya memanjangkan kain
melebihi mata kaki itu termasuk kesombongan. Sedangkan
Allah SWT tidak menyukai kesombongan. ” [HR. Abu
Dawud, an-Nasa’i , dan at-Tirmidzi dari haditsnya Jabir bin
Salim].
“Tatkala kami bersama Rasulullah Saw, datanglah ‘Amru bin
Zurarah al-Anshoriy dimana kain sarung dan jubahnya
dipanjangkannya melebihi mata kaki ( isbal). Selanjutnya,
Rasulullah Saw segera menyingsingkan sisi pakaiannya
(Amru bin Zurarah) dan merendahkan diri karena Allah SWT.
Kemudian beliau Saw bersabda, “ Budakmu, anak budakmu
dan budak perempuanmu”, hingga ‘Amru bin Zurarah
mendengarnya. Lalu, Amru Zurarah berkata, “ Ya Rasulullah
sesungguhnya saya telah melabuhkan pakaianku melebihi
mata kaki. ” Rasulullah Saw bersabda, “ Wahai ‘Amru,
sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu
dengan sebaik-baiknya. Wahai ‘Amru sesungguhnya Allah
SWT tidak menyukai orang yang melabuhkan kainnya
melebihi mata kaki. ” [ HR. ath-Thabarni dari haditsnya Abu
Umamah] Hadits ini rijalnya tsiqah. Dzahir hadits ini
menunjukkan bahwa ‘Amru Zurarah tidak bermaksud
sombong ketika melabuhkan kainnya melebihi mata kaki.
Riwayat-riwayat ini memberikan pengertian, bahwa isbal
yang dilakukan baik karena sombong atau tidak, hukumnya
haram. Akan tetapi, kita tidak boleh mencukupkan diri
dengan hadits-hadits seperti ini. Kita mesti
mengkompromikan riwayat-riwayat ini dengan riwayat-
riwayat lain yang di dalamnya terdapat taqyiid (pembatas)
“ khuyalaa’ ”. Kompromi ( jam’u ) ini harus dilakukan untuk
menghindari penelantaran terhadap hadits Rasulullah Saw.
Sebab, menelantarkan salah satu hadits Rasulullah bisa
dianggap mengabaikan sabda Rasulullah Saw. Tentunya,
perbuatan semacam ini adalah haram.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, yakni
perkataan Rasulullah Saw kepada Abu Bakar ra (“ Kamu
bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena
sombong. ”), menunjukkan bahwa manath (obyek)
pengharaman isbal adalah karena sombong. Sebab, isbal
kadang-kadang dilakukan karena sombong dan kadang-
kadang tidak karena sombong. Hadits yang diriwayatkan dari
Ibnu ‘Umar telah menunjukkan dengan jelas bahwa isbal
yang dilakukan tidak dengan sombong hukumnya tidak
haram.
Atas dasar itu, isbal yang diharamkan adalah isbal yang
dilakukan dengan kesombongan. Sedangkan isbal yang
dilakukan tidak karena sombong, tidaklah diharamkan.
Imam Syaukani berkata, “Oleh karena itu, sabda Rasulullah
Saw, ‘ Perhatikanlah, sesungguhnya memanjangkan kain
melebihi mata kaki itu termasuk kesombongan. ’ [ HR. Abu
Dawud, an-Nasa’i , dan at-Tirmidzi dari haditsnya Jabir bin
Salim], harus dipahami bahwa riwayat ini hanya berlaku bagi
orang yang melakukan isbal karena sombong. Hadits yang
menyatakan bahwa isbal adalah kesombongan itu sendiri —
yakni riwayat Jabir bin Salim—harus ditolak karena kondisi
yang mendesak. Sebab, semua orang memahami bahwa ada
sebagian orang yang melabuhkan pakaiannya melebihi mata
kaki memang bukan karena sombong. Selain itu, pengertian
hadits ini (riwayat Jabir bin Salim) harus ditaqyiid dengan
riwayat dari Ibnu ‘Umar yang terdapat dalam
shahihain….Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Umamah yang menyatakan bahwa Allah SWT tidak
menyukai orang-orang yang sombong hadir dalam bentuk
muthlaq, sedangkan hadits yang lain yang diriwayatkan Ibnu
‘Umar datang dalam bentuk muqayyad. Dalam kondisi
semacam ini, membawa muthlaq ke arah muqayyad adalah
wajib….”
Dari penjelasan Imam Syaukani di atas kita bisa
menyimpulkan, bahwa kesombongan adalah taqyiid atas
keharaman isbal. Atas dasar itu, hadits-hadits yang
me muthlaqkan keharaman isbal harus ditaqyiid dengan
hadits-hadits yang mengandung redaksi khuyalaa’ . Walhasil,
isbal yang dilakukan tidak karena sombong, tidak termasuk
perbuatan yang haram.
Tidak boleh dinyatakan di sini bahwa hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar tidak bisa men taqyiid
ke muthlak an hadits-hadits lain yang datang dalam bentuk
muthlaq dengan alasan, sebab dan hukumnya berbeda .
Tidak bisa dinyatakan demikian. Sebab, hadits-hadits
tersebut, sebab dan hukumnya adalah sama . Topik yang
dibicarakan dalam hadits tersebut juga sama, yakni sama-
sama berbicara tentang pakaian dan cara berpakaian. Atas
dasar itu, kaedah taqyiid dan muqayyad bisa diberlakukan
dalam konteks hadits-hadits di atas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar