Jumat, 08 Juni 2012

masih punya ayah ibu?

Usia ayah telah mencapai 70 tahun, namun tubuhnya
masih kuat. Dia mampu mengendarai sepeda ke pasar
yang jauhnya lebih kurang 2 kilometer untuk belanja
keperluan sehari-hari. Sejak meninggalnya ibu pada 6
tahun lalu, ayah sendirian di kampung. Oleh karena itu
kami kakak-beradik 5 orang bergiliran menjenguknya.
Kami semua sudah berkeluarga dan tinggal jauh dari
kampung halaman di Teluk Intan. Sebagai anak sulung,
saya memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Setiap
kali saya menjenguknya, setiap kali itulah istri saya
mengajaknya tinggal bersama kami di Kuala Lumpur.
"Nggak usah. lain kali saja.!"jawab ayah. Jawaban itu
yang selalu diberikan kepada kami saat mengajaknya
pindah. Kadang-kadang ayah mengalah dan mau
menginap bersama kami, namun 2 hari kemudian dia
minta diantar balik. Ada-ada saja alasannya.
Suatu hari Januari lalu, ayah mau ikut saya ke Kuala
Lumpur. Kebetulan sekolah masih libur, maka anak-
anak saya sering bermain dan bersenda-gurau dengan
kakek mereka. Memasuki hari ketiga, ia mulai minta
pulang. Seperti biasa, ada-ada saja alasan yang
diberikannya. "Saya sibuk, ayah. tak boleh ambil cuti.
Tunggulah sebentar lagi. akhir minggu ini saya akan
antar ayah," balas saya. Anak-anak saya ikut membujuk
kakek mereka. "Biarlah ayah pulang sendiri jika kamu
sibuk. Tolong belikan tiket bus saja yah." katanya yang
membuat saya bertambah kesal. Memang ayah pernah
berkali-kali pulang naik bus sendirian.
"Nggak usah saja yah." bujuk saya saat makan malam.
Ayah diam dan lalu masuk ke kamar bersama cucu-
cucunya. Esok paginya saat saya hendak berangkat ke
kantor, ayah sekali lagi minta saya untuk
membelikannya tiket bus. "Ayah ini benar-benar nggak
mau mengerti yah. saya sedang sibuk, sibuuukkkk!!!"
balas saya terus keluar menghidupkan mobil.
Saya tinggalkan ayah terdiam di muka pintu. Sedih hati
saya melihat mukanya. Di dalam mobil, istri saya lalu
berkata, "Mengapa bersikap kasar kepada ayah?
Bicaralah baik-baik! Kasihan khan dia.!" Saya terus
membisu.
Sebelum istri saya turun setibanya di kantor, dia
berpesan agar saya penuhi permintaan ayah. "Jangan
lupa, Pa.. belikan tiket buat ayah," katanya singkat. Di
kantor saya termenung cukup lama. Lalu saya meminta
ijin untuk keluar kantor membeli tiket bus buat ayah.
Pk. 11.00 pagi saya tiba di rumah dan minta ayah
untuk bersiap. "Bus berangkat pk. 14.00," kata saya
singkat. Saya memang saat itu bersikap agak kasar
karena didorong rasa marah akibat sikap keras kepala
ayah. Ayah tanpa banyak bicara lalu segera berbenah.
Dia masukkan baju-bajunya kedalam tas dan kami
berangkat. Selama dalam perjalanan, kami tak
berbicara sepatah kata pun.
Saat itu ayah tahu bahwa saya sedang marah. Ia pun
enggan menyapa saya.! Setibanya di stasiun, saya lalu
mengantarnya ke bus. Setelah itu saya Pamit dan terus
turun dari bus. Ayah tidak mau melihat saya, matanya
memandang keluar jendela. Setelah bus berangkat,
saya lalu kembali ke mobil. Saat melewati halaman
stasiun, saya melihat tumpukan kue pisang di atas meja
dagangan dekat stasiun. Langkah saya lalu terhenti dan
teringat ayah yang sangat menyukai kue itu. Setiap kali
ia pulang ke kampung, ia selalu minta dibelikan kue itu.
Tapi hari itu ayah tidak minta apa pun.
Saya lalu segera pulang. Tiba di rumah, perasaan
menjadi tak menentu. Ingat pekerjaan di kantor, ingat
ayah yang sedang dalam perjalanan, ingat Istri yang
berada di kantornya. Malam itu sekali lagi saya
mempertahankan ego saya saat istri meminta saya
menelpon ayah di kampung seperti yang biasa saya
lakukan setiap kali ayah pulang dengan bus. Malam
berikutnya, istri bertanya lagi apakah ayah sudah saya
hubungi. "Nggak mungkin belum tiba," jawab saya
sambil meninggikan suara.
oOo
Dini hari itu, saya menerima telepon dari rumah sakit
Teluk Intan. "Ayah sudah tiada." kata sepupu saya
disana. "Beliau meninggal 5 menit yang lalu setelah
mengalami sesak nafas saat Maghrib tadi." Ia lalu
meminta saya agar segera pulang. Saya lalu jatuh
terduduk di lantai dengan gagang telepon masih di
tangan. Istri lalu segera datang dan bertanya, "Ada apa,
bang?" Saya hanya menggeleng-geleng dan setelah
agak lama baru bisa berkata, "Ayah sudah tiada!!"
Setibanya di kampung, saya tak henti-hentinya
menangis. Barulah saat Itu saya sadar betapa
berharganya seorang ayah dalam hidup ini. Kue pisang,
kata-kata saya kepada ayah, sikapnya sewaktu di
rumah, kata-kata istri mengenai ayah silih berganti
menyerbu pikiran.
Hanya Tuhan yang tahu betapa luluhnya hati saya jika
teringat hal itu. Saya sangat merasa kehilangan ayah
yang pernah menjadi tempat saya mencurahkan
perasaan, seorang teman yang sangat pengertian dan
ayah yang sangat mengerti akan anak-anaknya.
Mengapa saya tidak dapat merasakan perasaan seorang
tua yang merindukan belaian kasih sayang anak-
anaknya sebelum meninggalkannya buat selama-
lamanya.
Sekarang 5 tahun telah berlalu. Setiap kali pulang ke
kampung, hati saya bagai terobek-robek saat
memandang nisan di atas pusara ayah. Saya tidak
dapat menahan air mata jika teringat semua peristiwa
pada saat-saat akhir saya bersamanya. Saya merasa
sangat bersalah dan tidak dapat memaafkan diri ini.
oOo
Benar kata orang, kalau hendak berbakti sebaiknya
sewaktu ayah dan ibu masih hidup. Jika sudah tiada,
menangis airmata darah sekalipun tidak berarti lagi.
Kepada pembaca yang masih memiliki orangtua,
jagalah perasaan mereka.Kasihilah mereka
sebagaimana mereka merawat kita sewaktu kecil dulu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar