Selasa, 26 Juni 2012

Khianat dan dusta Akan Piagam jakarta

JAKARTA (salam-online.com): Tanggal 22 Juni adalah hari
yang bersejarah. Piagam Jakarta ditandatangani. Inti dari
Piagam Jakarta adalah pelaksanaan syariah Islam bagi kaum
Muslimin—sebagai ganti republik ini belum menjadikan
Islam sebagai Dasar Negara.
Tetapi, setelah itu kenyataan berbicara lain. Tanggal 17
Agustus 1945 yang merupakan hari gembira bagi bangsa
Indonesia karena diproklamirkannya kemerdekaan, namun
sehari setelah proklamasi, 18 agustus 1945, adalah hari
kelam bagi Umat Islam Indonesia. Pada hari itu kesepakatan
antara umat Islam dengan kelompok nasionalis dan Non-
Muslim dikhianati.
Tujuh kata yang menjamin penegakan syariat Islam di
Indonesia dihapus. “ Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya ”
berganti menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Dengan penghapusan ini, pembukaan konstitusi yang tadinya
disebut sebagai Piagam Jakarta pun berubah drastis.
Sebelumnya, para wakil kelompok Islam yang menjadi
anggota Dokuritsu Zyumbi Tyioosaki atau Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) berusaha
keras menjadikan Islam sebagai Dasar Negara.
Perdebatan alot terjadi sehingga lahirlah kompromi berupa
Piagam Jakarta. Islam tidak menjadi dasar Negara, namun
kewajiban bagi para pemeluknya diatur dalam kontitusi.
BPUPKI kemudiaan menetapkan Piagam Jakarta pada
tanggal 22 Juni 1945. Naskah tersebut di tetapkan sebagai
Mukaddimah UUD.
Pada tanggal 7 Agustus BPUPKI berubah menjadi PPKI
(Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang di ketuai
oleh Soekarno. Piagam Jakarta bertahan sebagai
Mukaddimah UUD hingga 17 Agustus 1945, karena selang
sehari kemudian dipersoalkan oleh golongan Kristen, yang
selanjutnya dibantu para pengkhianat. Padahal A.A
Maramis yang menjadi wakil Kristen di PPKI sudah setuju
dengan piagam tersebut dan ikut menandatangani.
Rekayasa Politik
Kronologi penghapusan Piagam Jakarta
cukup misterius. Pada tanggal 18
Agustus Moh. Hatta mengaku ditemui
oleh seorang perwira angkatan laut
jepang. Katanya, opsir itu
menyampaikan pesan berisi
“ancaman” dari tokoh Kristen di
Indonesia timur. Jika tujuh kata dalam
Sila Pertama pembukaan ( Ketuhanan,
dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya) tidak dihapus, mereka
akan memisahkan diri dari Indonesia
merdeka.
Hatta dan Soekarno, yang memang
termasuk kelompok sekuler,
kemudian membujuk anggota PPKI
dari kelompok Muslim untuk
menyetujui penghapusan tujuh kata
itu. Di antara mereka hanya Ki Bagus Hadi Kusumo yang
bersikeras tak mau. Menurut Ki Bagus, itu berarti
mencederai gentlemen agreement ( Kesepakatan di antara
para pria terhormat ) yang sudah mereka sepakati
bersama. Soekarno dan Hatta kemudian menyuruh Tengku
Moh. Hassan (anggota PPKI dari Aceh) dan Kasman
Singodimedjo (Anggota Muhammadiyah seperti Ki Bagus)
untuk membujuk Ki Bagus. Kasman-lah yang berhasil
meyakinkan, terutama dengan janji syariat Islam akan masuk
kembali dalam dalam konstitusi daerah setelah MPR
terbentuk enam bulan kemudian. Dan, kenyataannya,
Soekarno ingkar janji. Para pemimpin Islam kena tipu mulut
manisnya Soekarno. Jadi, kelak, itulah salah satu alasan
utama yang melatarbelakangi timbulnya perjuangan DI-TII
pimpinan Kartosuwirjo.
Kelak Kasman sangat menyesali peran dalam
penghapusan tujuh kata tersebut. Ternyata hal tersebut
berujung pada nasib tragis umat Islam di Indonesia yang
mayoritas tetapi tidak boleh menjalankan syariat di dalam
negeri sendiri. Kabarnya, Kasman Singodimedjo, selalu
menangis jika teringat perannya membujuk Ki Bagus.
Misteri Opsir Jepang
Pertanyaan pertama dan kedua agak sulit dijawab. Sampai
wafatnya, Hatta tak pernah membuka mulut siapa pemberi
dan penyampai pesan itu. Ia mengaku lupa (atau pura-pura
lupa, ada juga dugaan itu fiktif, red ) siapa nama opsir jepang
tersebut. Ada beberapa spekulasi yang menyebut bahwa
pemberi pesan itu adalah dr. Sam Ratulangi, tokoh krsten
dari Sulawesi utara. Kini namanya diabadikaan sebagai nama
universitas di Manado.
Artawijaya , dalam Peristiwa 18 Agustus 1945:
“Pengkhianatan Kelompok Sekuler Menghapus Piagam
Jakarta” , menguraikan beberapa teori yang mungkin bisa
menjawab pertanyaan di atas. Pertama, soal Opsir Jepang,
Artawijaya mengambil teori Ridwan Saidi, seperti dikutip
dari Dr Sujono Martoesewojo dkk, dalam bukunya
“ Mahasiswa ’45 Prapatan 10” . Menurut Ridwan, anggapan
bahwa ada opsir jepang yang datang ke rumah Hatta pada
petang hari tanggal 18 Agustus 1945 kemungkinan karena
kesalahpahaman saja. Iman Slamet, mahasiswa kedokteran
yang menemani Piet Mamahit menemui Hatta memang
berpostur tinggi, rambut pendek, mata sipit, dan suka
berpakaian putih-putih. Iman Slamet inilah yang
kemungkinan dikira Opsir Jepang oleh Hatta. (Ini aneh. Jika
betul Hatta mengira Slamet sebagai opsir Jepang, apa dia,
Hatta, tidak bertanya tentang Slamet, kenapa bisa langsung
menyimpulkan sebagai opsir Jepang?)
Lalu untuk apa para mahasiswa itu mendatangi Hatta?
Menurut penelitian Artawijaya, pada saat proklamasi 17
agustus 1945 dibacakan di jalan Pegangsaan 56, Jakarta, tak
ada satu pun tokoh Kristen yang hadir dalam peristiwa
bersejarah itu. Seharusnya, dalam suasana kemerdekaan
dan untuk menunjukkan rasa persatuan, mereka hadir
dalam acara tersebut.
Kenapa tokoh Kristen tak menghadiri acara penting
dan sangat bersejarah itu?
Menurut Artawijaya, para aktivis Kristen tengah sibuk kasak-
kusuk melakukan konsolidasi dan lobi lobi politik untuk
meminta penghapusan tujuh kata dalam piagam Jakarta.
Kesimpulan ini didasarkan pada pernyataan Soekarno yang
mengatakan bahwa malam hari usai proklamasi
kemerdekaan RI, ia mendapat telepon dari sekelompok
mahasiswa Prapatan 10, yang mengatakan bahwa siang hari
pukul 12.00 WIB (tanggal 17 Agustus), tiga orang anggota
PPKI asal Indonesia timur, dr Sam Ratulangi, Latuharhary,
dan I Gusti Ketut Pudja mendatangi asrama mereka dengan
ditemani dua orang aktivis mahasiswa. Mereka keberatan
dengan isi Piagam Jakarta. Kalimat dalam Piagam Jakarta,
bagi mereka, sangat menusuk perasaan golongan Kristen.
Pada saat itu Latuharhaary sengaja mengajak dr. Sam
Ratulangi, I Gusti ketut Pudja, dan dua aktivis asal
Kalimantan timur, agar seolah-olah suara mereka mewakili
masyarakat Indonesia wilayah timur. Mereka juga sengaja
melempar isu ini ke kelompok mahasiswa yang memang
mempunyai kekuatan menekan, dan mengharap isu ini juga
menjadi tanggung jawab mahasiswa.
Kelompok mahasiswa lalu menghubungi Hatta, yang
kemudian mengundang para mahasiswa untuk datang
menemuinnya pukul 17.00 WIB. Hadir dalam pertemuan itu
aktivis Prapatan 10, Piet Mamahit dan Iman Slamet.
Setelah berdialog Hatta kemudian menyetujui usul
perubahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Setelah dari
Hatta malam itu juga para mahasiswa menelpon Soekarno
untuk menyatakan keberatan dari tokoh Kristen Indonesia
timur.
Tokoh dimaksud adalah dr. Sam Ratulangi yang sebelumnya
mendatangi kelompok mahasiswa Prapatan pada pukul
12.00 WIB, tanggal 17 agustus 1945. Ratulangi meminta
mereka untuk terlibat dalam penghapusan tujuh kata dalam
Piagam Jakarta. Kemudian mahasiswa itu menghubungi
Hatta, dan Hatta mengatur pertemuan pada sore harinya.
Berdasarkan fakta tadi maka keterangan Hatta soal adanya
pertemuan dengan Opsir Jepang, yang ia lupa namanya,
diragukan. Karena itu dalam sebuah diskusi tentang piagam
Jakarata, Ridwan Saidi mengatakan, “ Dengan segala
hormat saya pada Bung Hatta, dia seorang yang
bersahaja, tapi dalam kasus piagam Jakarta saya harus
mengatakan bahwa ia berdusta. ”
Penelitian Ridwan Saidi dikuatkan dengan sebuah buku
yang diterbitkan di Cornell University AS, yang
mengatakan bahwa dalang di balik sosok misterius opsir
Jepang adalah dr. Sam Ratulangi, yang disebut dalam
buku itu sebagai an astune Christian politician from
Manado, north Sulawesi (Seorang politisi Kristen yang
licik dari Manado, Sulawesi Utara).
Jadi, menurut teori Ridwan Saidi, Hatta menyembunyikan
fakta bahwa yang ia temui bukanlah seorang opsir
Jepang. Bisa jadi yang ia temui dan disangka Opsir
Jepang adalah mahasiswa, Iman Slamet, yang fisik dan
pakaiannya mirip orang jepang. Sementara tokoh
Indonesia timur yang membawa pesan itu adalah dr.
Sam Ratulangi. (Tapi andai pun benar opsir Jepang,
memangnya kenapa, tetap tak ada juga alasan untuk
berkhianat, red).
Kaum Islamfobia
Pendek cerita, tujuh kata itu dihapus. Namun tak hanya itu,
beberapa perubahan terkait peran Islam dalam
kontitusi juga danulir. Terkait pertanyaan ketiga,
benarkah Indonesia Timur yang mayoritas Kristen tak akan
melepaskan diri setelah penghapusan tujuh kata Piagam
Jakarta?
Sejarah kemudian membuktikan, kawasan yang menjadi
modal klaim kelompok Kristen itu ternyata tetap
berusaha melepaskan diri dari naungan NKRI—
meskipun tujuh kata sebagai pengorbanan umat Islam
itu sudah dihapus. Tapi, walaupun umat Islam (khususnya
para pimpinan dan toloh Islam) kala itu sudah dikhianati,
dikadalin dan ditipu, berikutnya tak jua mengambil pelajaran
dari pengalaman pahit ini!
Pemberontakan RMS di Maluku dan Permesta di Sulawesi
Utara membuktikan, tanpa tujuh kata tentang Syariat Islam
pun, kelompok Kristen memang tak betah bernaung di
bawah NKRI. Kelak kebencian itu menggelora lagi di
kawasan yang sama. Sekian abad dimanja Belanda sebagai
warga kelas satu membuat kelompok Kristen tak sudi
dipimpin oleh Muslim.
Faktanya lagi, pada saat bangsa Indonesia masih berpegang
teguh pada UUD 1945 (hasil perubahan yang memenuhi
aspirasi kelompok Kristen), toh orang-orang Kristen dan
Katolik dari Timur itu ternyata tetap sangat kuat
keinginannya untuk melepaskan diri dari Indonesia.
Munculnya gerakan RMS, FKM, Kongres Papua, Papua
Merdeka, adalah sebagai bukti. Demikian pula, peristiwa
Ambon dan Poso yang dilatarbelakangi rebutan posisi politik
lokal menunjukkan sinyalemen tersebut.
Yang terjadi pada tanggal 18 Agustus 1945 betul-betul
tragedi hitam bagi umat Islam yang berbuntut panjang di
masa depan. Umat Islam tertipu atau ditipu, dikhianati dan
dibohongi! Tapi, sayangnya, dalam banyak peristiwa umat
Islam negeri ini masih juga tak mengambil pelajaran dari
pengalaman sebelumnya. Kerap gagap, kegigit lidah dan
mudah jadi pecundang! Atau mengalah demi toleransi yang
padahal golongan lain (yang minoritas) itu pun tak pernah
mau bertoleransi dengan umat yang mayoritas ini.
Sebagai contoh, umat Islam ingin melaksanakan ajarannya
sendiri yang diatur melalui Piagam Jakarta, lantas apa
urusannya kelompok lain keberatan? Kenapa mereka
menolak umat Islam untuk melaksanakan syariat yang diatur
dengan aturan yang dibuat sendiri oleh umat Islam? Begitu
pula dengan sejumlah Perda yang mengatur umat Islam,
kenapa harus sewot jika kaum Muslimin melaksanakan
ajarannya sesuai ketentuan dalam Perda itu?
Belakangan, ketika sejumlah Perda yang mengatur
pelaksanaan syariah untuk umat Islam muncul, kelompok
yang dulu menolak Piagam Jakarta, termasuk kaum sekuler
dan liberal saat ini, kembali sewot! Padahal, Soekarno sendiri
dalam dekritnya, 5 Juli 1959, jelas-jelas menyatakan bahwa
Piagam Jakarta menjiwai UUD ’45. Jadi, jika sekarang umat
Islam mengatur dirinya melalui Perda Syariah, itu sah-sah
saja, dan sangat sesuai dengan UUD ’45, karena Piagam
Jakarta itu menjiwai UUD.
Itu, baru segitu, kelompok yang sebenarnya tidak benar-
benar berjuang untuk Indonesia merdeka (karena mereka
lebih suka dipimpin penjajah yang ideologinya sama),
mereka sudah sewot dan menusuk dari belakang.
Nah, bagaimana jika umat Islam negeri ini
menggugat dan menagih janji diberlakukannya
Piagam Jakarta atau Dasar Negara yang
berdasarkan Islam, sebagaimana janji Soekarno?
Sebab, walau bagaimanapun, umat mayoritas ini
berhak merealisasikan Piagam Jakarta—lantaran
penghapusan tujuh kata dan pengebirian
kesepakatan lainnya dalam UUD 45 itu adalah
tidak sah. Piagam Jakarta itu sudah disepakati
dan disahkan pada 22 Juni 1945, dan golongan
Kristen, AA Maramis pun sudah tanda tangan!
Jadi, jika Perda-perda Syariah itu dijalankan, sah-sah saja dan
merupakan hak umat Islam sebagai bagian pelaksanaan
Piagam Jakarta. Sedang penghapusan tujuh kata itu
dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan wakil-wakil Islam
yang bersama-sama kelompok nasionalis-sekuler dan wakil
dari golongan Kristen menandatangani Piagam Jakarta pada
22 Juni 1945.
Karenanya, sekali lagi, penghapusan tujuh kata itu tidak sah.
Dengan demikian, Piagam Jakarta itu sampai sekarang tetap
berlaku. Apalagi disebutkan, UUD 45 itu dijiwai oleh Piagam
Jakarta. Sementara Dasar Negara Islam yang dijanjikan
belum jua diberlakukan, karena pengkhianatan,
pembohongan dan penipuan yang dilakukan terhadap umat
Islam.
(Disunting dan diperbarui kembali oleh salam-online.com
dari Majalah An-Naja h Edisi 72) .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar