Senin, 05 Maret 2012

adab generasi salaf thd ulama

Sungguh luar biasa adab yang dicontohkan oleh
generasi salaf terhadap para ulama di antara mereka,
meski berbeda mazhab dan berlainan pendapat
dalam banyak masalah. Nyaris sudah tidak kita
temukan lagi di masa sekarang ini, meski pun banyak
yang mengaku-ngaku sebagai orang salaf.
Lihatlah apa yang dilakukan oleh Al-Imam Ahmad bin
Hanbal kepada gurunya, Al-Imam Asy-Syafi'i
rahimahumallah. Meski Al-Imam Ahmad bin Hanbal
akhirnya bisa menjadi mujtahid mutlak dan
mendirikan mazhab fiqih tersendiri yang terpisah dari
mazhab gurunya, namun sikap beliau kepada
gurunya tidak pernah berubah sedikit pun. Malah
beliau semakin tambah hormat dan ta'dzhim kepada
sang guru.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal punya anak namanya
Abdullah. Suatu hari Abdullah ini bertanya kepada
Ayahya,"Siapa sih Asy-Syafi'i itu wahai Ayah? Ananda
tiap hari mendengar Ayahanda selalu berdoa
untuknya?". Al-Imam Ahmad menjawab,"Anakku, Al-
Imam Asy-Syafi'i itu ibarat matahari bagi dunia ini
dan ibarat kesehatan bagi manusia. Adakah yang
orang yang sanggup hidup tanpa matahari dan tanpa
kesehatan atau adakah yang bisa menggantikan
keduanya?"
Adakah hari ini orang yang mengaku ulama tetapi
tiap hari mendoakan ulama lain, padahal mereka
berbeda pendapat dalam banyak hal?
Alih-alih mendoakan, yang kita lihat malah
menghujat, memaki, mencemooh dan menuduh
sesat, dan seterusnya. Dimana kita dibandingkan
dengan generasi salaf dulu?
Anak Al-Imam Ahmad yang lain bernama Shalih. Dia
bercerita bahwa pada suatu hari bertemu dengan
Yahya bin Muin dan mempertanyakan, "Tidakkah
Ayahmu itu malu atas yang dilakukannya?" Aku
bertanya,"Memangnya Ayahku mengerjakan apa?".
Yahya bin Muin berkata,"Aku melihat ayahmu
berjalan bersama Al-Imam Asy-Syafi'i yang
menungggang unta tapi Ayahmu berjalan kaki sambil
memegang tali kekang untanya". Shalih pun
menyampaikan hal itu kepada Ayahnya (Al-Imam
Ahmad). Dan Ayahnya menjawab,"Kalau kamu
bertemu lagi dengan Yahya, katakan kepadanya,"Bila
kamu ingin menjadi seorang faqih, datanglah kemari
dan berjalanlah bersama kita dan pegang tali kekang
dari sisi yang lain".
Buat orang Arab, menuntun unta yang ditunggangi
orang lain adalah salah satu bentuk penghormatan
yang tinggi kepada orang tersebut. Kalau di masa
sekarang, kira-kira posisinya jadi sopir, ajudan atau
pembantu pribadi. Itulah yang dilakukan Al-Imam
Ahmad bin Hanbal kepada gurunya, Al-Imam Asy-
Syafi'i.
Mari kita renungkan, ada dimana posisi kita sekarang
ini dibandingkan akhlaq para ulama di zaman salaf
dahulu?
Suatu hari ada orang mendatangi Al-Imam Ahmad
dan menyampaikan pandangannya,"Wahai Abu
Abdillah, hadits dalam masalah itu tidak shahih". Al-
Imam Ahmad menjawab,"Kalau pun hadits itu tidak
shahih, namun hal itu merupakan pendapat Al-Imam
Asy-syafi'i. Beliau adalah orang yang paling kuat
(tsabit) pendapatnya".
Meski pun seorang muhaddits, namun Al-Imam
Ahmad juga ahli fiqih. Beliau tidak main jatuhkan
vonis bid'ah dan sesat begitu saja atas suatu masalah
yang dianggap haditsnya tidak shahih. Sebab beliau
sadar, di atas beliau masih ada orang yang jauh lebih
tinggi ilmunya dan juga seorang muhaddits handal,
yaitu Al-Imam Asy-Syafi'i. Dimanakah kedudukan
orang itu dalam masalah hadits dibandingkan
dengan Al-Imam Asy-Syafi'i?
Al-Imam Ahmad pernah berkata: "Bila aku ditanya
sesuatu hal yang aku tidak tahu khabar atas
jawabannya, maka Aku berkata, 'Al-Imam Asy-Syafi'i
berkata begini dan begini'. Karena sesungguhnya
beliau adalah imam yang alim asli dari keturunan
Quraisy."
Apa yang dilakukan oleh Al-Imam Ahmad bin Hanbal
itu mungkin dianggap oleh sebagian kalangan
keterlaluan. Atau mugkin tidak sedikit yang berpikir,
ah mana mungkin seorang muhaddits dan juga
mujtahid besar selevel Al-Imam Ahmad bisa bersikap
'bodoh, dan 'bertaqlid' buta seperti itu?
Kalau kita pun bersikap yang kurang lebih sama,
maka ada baiknya kita baca lagi kisah-kisah teladan
para ulama salafus-shalih, dari sumber yang
muktamad. Kita akan terheran-heran, betapa mereka
amat tawadhu', rendah hati, dan berkepribadian yang
luhur, khususnya kepada para ulama.
Kalau mau yang sudah terkumpul dengan mudah
dan enak dibaca, silahkan buka kitab Adab Ikhtilaf
fil-Islam karya Taha Jabir Al-Alawani.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar