Jumat, 02 Maret 2012

Mengurai kemiskinan

Setelah perjalanan panjang mengunjungi rakyatnya di lima benua, Sang Pemimpin merenung
memikirkan apa saja yang baru ditemuinya. Dalam hatinya ia bertanya-tanya, mengapa
dalam abad yang paling pesat kemajuannya sepanjang sejarah peradaban manusia – justru
jumlah orang miskin di dunia juga meningkat sangat pesat ?. Mengapa kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi tidak mampu meredam kemiskinan ?. Mengapa piramida
kemiskinan semakin membengkak kebawah, sementara kelompok makmur di paling atas
semakin kecil persentasenya tetapi semakin luar biasa kemakmurannya ?.
Dilihatnya system yang menimbulkan pemiskinan global ini seperti benang yang sangat kusut,
yang harus ditemukan ujung-ujung nya dahulu sebelum bisa diurai. Maka dipanggillah tujuh
orang menterinya untuk membantu memikirkan dan menemukan ujung-ujung dari benang
kusut ini.
Ujung pertama yang ditemukan adalah system uang kertas. Dalam banyak hal memang
system ini memberikan kemudahan, namun karena pencetakannya yang tidak terkendali
telah membuat hasil kerja keras rakyat di seluruh dunia menguap melalui proses yang
namanya inflasi. Bahkan pernah terjadi di abad yang lalu, nilai kekayaan 200 juta lebih
penduduk suatu negeri – lenyap ¾-nya dalam krisis yang mereka sebut sebagai krisis
moneter, yang membuat daya beli rata-rata uangnya tinggal seperempat dari daya belinya
sebelum krisis.
Untuk mengurai benang kusust pemiskinan yang disebabkan oleh uang kertas ini, maka uang
dikembalikan ke asal uang berabad-abad sebelumnya. Uang dikembalikan ke komoditi riil
yang membawa nilai intrinsik dan nilainya ditentukan berdasarkan mekanisme pembentukan
harga di pasar sempurna. Untuk mengatasi problem ketidak praktisannya, diberdayakan
teknologi informasi dan mobile media yang memang sudah sangat maju saat itu dan
terjangkau oleh nyaris seluruh penduduk bumi.
Ujung kedua yang ditemukannya adalah system pasar. Yang berkembang di abad lalu adalah
pasar-pasar yang berbasis kapitalisme, yang mempunyai modal yang menguasai pasar. Yang
kaya semakin kaya karena menguasai pasar, sebaliknya yang miskin tambah miskin karena
tidak memiliki akses pasar.
Hanya ada satu – dua negara di abad lalu yang pandai memperjuangkan pasar bagi rakyatnya,
maka rakyatnya menjadi makmur meskipun jumlahnya lebih dari satu milyar penduduk.
Sebaliknya negara-negara yang tidak memperjuangkan pasar bagi rakyatnya, rakyatnya jatuh
pada kemiskinan meskipun sumber daya yang dimilikinya melimpah.
Ujung ketiga adalah penguasaan sumber daya alam. Nyaris sumber-sumber daya alam paling
penting dan paling tinggi nilainya dikuasi oleh perusahaan-perusahaan besar dunia dengan
orientasi keuntungan maksimal bagi perusahaan tersebut. Banyak negara-negara yang
seharusnya mampu memakmurkan rakyatnya dengan kekayaan alam yang dimilikinya,
namun justru miskin karena nyaris segala bentuk kekayaan tersebut ‘tergadai’ dalam kontrak
yang sangat panjang dengan para kapitalis.
Ujung keempat adalah kapitalisme ilmu dan teknologi. Banyak sekali temuan-temuan baru
dibidang ilmu dan teknologi sepanjang abad lalu yang manfaatnya besar bagi peradaban
manusia. Namun sayangnya pengaturan property right, intellectual property , patent dlsb.
membuat masyarakat seluruh dunia harus membayar kemajuan jaman tersebut ke segelintir
orang saja di dunia.
Bahkan karya agung Sang Pencipta berupa siklus bercocok tanam yang sudah beribu tahun
dinikmati para petani ketika tanamannya memberikan hasil, sebagian dikonsumsi dan
sebagiannya ditanam kembali untuk menghasilkan panenan berikutnya – siklus ini-pun
diputus rantainya oleh patent kapitalisme, sehingga petani terpaksa membeli benih baru
setiap kali mau bertanam.
Untuk mengatasi system pemiskinan yang keempat ini, Sang Pemimpin menyerukan agar
seluruh rakyat yang berhasil menemukan hal-hal baru yang unggul dan bermanfaat bagi
rakyat di dunia – melaporkan temuannya ke pemerintahan negeri baru. Temuan mereka
akan dihargai dan dibayar sesuai tingkat kemaslahatannya, kemudian temuan tersebut
menjadi milik masyarakat untuk kesejahteraan mereka semua.
Ujung kelima adalah akses kapital. Sepanjang abad lalu yang tumbuh menjadi sangat besar
adalah institusi-institusi keuangan global seperti bank, asuransi, dana pensiun dlsb. Saking
besarnya institusi-institusi keuangan tersebut, banyak diantara mereka yang memiliki turn-
over melebihi anggaran belanja dan pendapatan negeri kecil di dunia.
Sayangnya akumulasi kapital yang bersumber dari bermilyar orang di dunia tersebut – hanya
bisa di akses oleh sebagian kecil saja rakyat di dunia. Segelintir orang-orang super kaya di
negeri tertentu bisa menguasai lahan beribu-ribu hektar dan membangun beberapa kota
dengan menggunakan uang masyarakat luas yang ada di bank, sementara mayoritas rakyat
tidak bisa mengakses modal yang terakumulasi tersebut karena konon mereka tidak
bankable .
Ketimpangan dalam akses modal ini telah ikut menjadi penyulut api kehancuran negeri
adikuasa ketika demonstran yang mewakili 99 % rakyat menduduki pusat bisnis kebanggaan
mereka, dan menyerukan untuk memindahkan uang-uang rakyat dari bank-bank besar dunia
ke koperasi atau credit union yang bisa mengelola uang rakyat untuk rakyat, bukan uang
rakyat untuk para konglomerat.
Berangkat dari lima ujung benang kusut yang berhasil ditemukan oleh Sang Pemimpin
bersama para menterinya ini, pemerintahan negeri baru mulai satu demi satu menguraikan
simpul-simpul kekusutannya dan memulai kerja keras yang panjang untuk memakmurkan
rakyatnya. Dalam perjalanannya kedepan, bisa jadi masih banyak ujung-ujung benang kusut
lainnya yang juga perlu diurai, tetapi memulai dengan jumlah sedikit yang dikerjakan dengan
konkrit dan sungguh-sungguh – akan lebih bermafaat dibandingkan dengan berjuta program
kerja yang tidak kunjung dikerjakan.geraidinar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar