Senin, 05 Maret 2012

Ruhiyah seorang Istri

Seorang personil elemen tarbiyah daerah, sempat
membacakan SMS yang dikirimkan oleh seorang ibu.
Begini kira-kira bunyinya, "Tolong bapak cek,
bagaimana keadaan ruhiyah bapak-bapak lewat
pengajiannya. Karena saya merasa, suami saya sudah
kehilangan sholat malam, tilawah Al Qur’an, sholat
dhuha dan ma’tsurat. Yang tersisa hanya yang wajib
saja!"
....
Seorang istri, bagaimanapun, adalah teman setia
suami. Ia ibarat teman seiring sejalan yang harus
siap mendampingi dalam kondisi suka dan duka,
dalam keadaan suami sedang stabil atau labil.
Termasuk siap pula menghadapi kondisi keimanan
dan kekuatan ruhiyah yang naik dan turun.
Memang, Dr. Yusuf Qorodhowi dalam salah satu
tulisannya memuji kita, para wanita. "Menurut
pengalaman saya dalam dakwah, dari pertanyaan-
pertanyaan para wanita, baik tertulis atau lisan atau
melalui telepon; wanita itu lebih berhati lembut,
lebih taat beragama dan tunduk terhadap laki-laki."
Itu sebabnya, seorang ummahat, sempat bercerita.
"Setiap kali ada seorang akhwat yang hendak
menikah dan minta nasehat, yang sering saya ungkap
adalah, jangan kaget dengan kondisi ruhiyah suami.
Barangkali ia sulit dibangunkan untuk shalat malam,
tilawahnya tak melampaui target satu juz sehari atau
hal-hal lain yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Inilah lahan baru dakwah anti."
Sekali lagi, ini hanyalah kasus, tak semuanya mesti
begini. Saya yakin banyak di antara ikhwah yang
ibadah kesehariannya jauh melampaui target. Tapi,
bila ternyata yang kita hadapi hampir mirip dengan
ini, jangan menyerah! Pengalaman seorang ibu
mungkin bisa kita jadikan masukan. Setiap kali
suaminya menonton TV usai pulang kerja, ia duduk
di sampingnya, seraya tilawah Al Qur’an. Atau
pengalaman yang lain, tentang seorang bapak yang
gemar menonton bola. Sang ibu dengan setia
mendampinginya, tidak ikut mensuporteri tim
kesayangan suami, tapi ia menggelar sajadah dan
melakukan shalat malam di dekat TV sang bapak.
Mereka memilih untuk melakukan aksi nyata daripada
memperbanyak percakapan.
Banyak sebab mengapa seorang bapak, tak setekun
ibu melakukan amal ruhiyah. Mungkin ia terlalu
banyak melakukan aktivitas: pagi mencari nafkah,
malam untuk kepentingan dakwah. Belum lagi kalau
atas kesadarannya membantu istrinya menangani
pekerjaan rumah tangga. Ia merasa lelah. Atau
memang tak ada asupan yang mengingatkannya
bahwa kedekatannya dengan Allah dibantu oleh
kualitas sekaligus kuantitasnya melakukan ibadah.
Bagaimanapun, menjadi istri dan sekaligus ibu,
adalah pekerjaan yang sambung menyambung.
Tak ada berhentinya, baik fisik maupun psikis.
Tentu saja ia memerlukan ruhaniyah yang kuat,
karena tanpa itu, kita hanya akan dapat capek,
lelah, jenuh dan bosan. Jadi, bila suami yang kita
hadapi kebetulan sedang mengalami kefuturan
ruhiyah, jangan sekali-kali tertular meski
kemungkinan itu terbuka lebar. Kebangkitan
ruhiyah kita, insyaallah, akan menimbulkan
kondisi yang menentramkan dalam rumah
tangga kita. Sesuatu yang sangat kita idam-
idamkan.
Ibu yang lain pernah menyampaikan
permasalahannya. Suaminya sama sekali tak mau
menerima amplop seusai ia mengisi dauroh, khutbah
Jum’at atau kajian internal yang sering diisinya dari
masjid ke masjid atau kampus ke kampus. "Kapan
saya berinfaq kalau saya menerima amplop itu.
Biarlah itu menjadi infaq dakwah saya," begitu alasan
sang suami. Menurut istrinya, mereka sendiri dalam
kondisi kekurangan, "Sudah lebih dari sebulan anak-
anak tak minum susu, tak makan ikan apalagi daging.
Kami benar-benar mengetatkan ikat pinggang."
Tetapi begitulah, itu pilihan hidup yang mereka
jalani, dan Allah selalu tahu kepada siapa barokahNya
diletakkanNya. Tanpa kekuatan ruhiyah sang istri,
rumah tangga mereka akan berjalan dengan
timpang, karena pilihan hidup sang suami mendapat
penentangan dari istrinya.
Memang komunikasi suami istri dalam masalah ini
adalah sesuatu yang harus dan wajib diusahakan dan
dibuat seefektif mungkin. Tetapi, tanpa back up
ruhiyah, kondisi ini akan membuat kita manja,
kehilangan orientasi dan menuntut ganti rugi dari
kesibukan suami.
Para ibunda yang dicintai Allah, di luar kita banyak
sekali tantangan serta ancaman yang akan
menggerogoti keistiqomahan kita, baik secara halus
maupun terang-terangan. Baik melalui sindiran,
ajakan atau paksaan agar kita condong menjauhi
pilihan dakwah yang sudah kita azzamkan dari awal.
Mestilah kita sadari bekalan kita tak mungkin
selamanya terisi penuh. Adakalanya ia menetes pelan
tanpa kita sadari bahwa gentong kita sudah harus
diisi.
Oleh karenanya, berkhalwat dan menyambung
hubungan yang kuat dengan Allah adalah sesuatu
yang paling utama dalam mengawal langkah-langkah
kecil kita menapaki jalan dakwah. Semoga kekuatan
ruhiyah itu senantiasa menyertai langkah kita,
amiin…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar