Senin, 05 Maret 2012

Salah faham tentang Zuhud

Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi berbagai nikmat.
Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,
keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Sebagian orang salah paham dengan istilah zuhud.
Dikira zuhud adalah hidup tanpa harta. Dikira zuhud
adalah hidup miskin. Lalu apa yang dimaksud dengan
zuhud yang sebenarnya? Semoga tulisan berikut bisa
memberikan jawaban berarti.
Mengenai zuhud disebutkan dalam sebuah hadits,
ْﻦَﻋ ِﻞْﻬَﺳ ِﻦْﺑ ٍﺪْﻌَﺳ ِّﻯِﺪِﻋﺎَّﺴﻟﺍ َﻝﺎَﻗ ﻰَﺗَﺃ َّﻰِﺒَّﻨﻟﺍ ﻰﻠﺻ- ﻪﻠﻟﺍ
ﻪﻴﻠﻋ -ﻢﻠﺳﻭ ٌﻞُﺟَﺭ َﻝﺎَﻘَﻓ ﺎَﻳ َﻝﻮُﺳَﺭ ِﻪَّﻠﻟﺍ ﻰِﻨَّﻟُﺩ ﻰَﻠَﻋ ٍﻞَﻤَﻋ ﺍَﺫِﺇ ﺎَﻧَﺃ
ُﻪُﺘْﻠِﻤَﻋ َﻰِﻨَّﺒَﺣَﺃ ُﻪَّﻠﻟﺍ َﻰِﻨَّﺒَﺣَﺃَﻭ ُﺱﺎَّﻨﻟﺍ َﻝﺎَﻘَﻓ ُﻝﻮُﺳَﺭ ِﻪَّﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ-
ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ -ﻢﻠﺳﻭ » ْﺪَﻫْﺯﺍ ﻰِﻓ ﺎَﻴْﻧُّﺪﻟﺍ َﻚَّﺒِﺤُﻳ ُﻪَّﻠﻟﺍ ْﺪَﻫْﺯﺍَﻭ ﺎَﻤﻴِﻓ
ﻰِﻓ ﻯِﺪْﻳَﺃ ِﺱﺎَّﻨﻟﺍ َﻙﻮُّﺒِﺤُﻳ ».
Dari Sahl bin Sa’ad As Sa’idi, ia berkata ada
seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam lantas berkata, “Wahai Rasulullah,
tunjukkanlah padaku suatu amalan yang apabila aku
melakukannya, maka Allah akan mencintaiku dan
begitu pula manusia.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Zuhudlah pada dunia, Allah
akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada di
sisi manusia, manusia pun akan mencintaimu.” (HR.
Ibnu Majah dan selainnya. An Nawawi mengatakan
bahwa dikeluarkan dengan sanad yang hasan)
Dalam hadits di atas terdapat dua nasehat, yaitu
untuk zuhud pada dunia, ini akan membuahkan
kecintaan Allah, dan zuhud pada apa yang ada di sisi
manusia, ini akan mendatangkan kecintaan manusia.
[1]
Penyebutan Zuhud Terhadap Dunia dalam Al
Qur’an dan Hadits
Masalah zuhud telah disebutkan dalam beberapa ayat
dan hadits. Di antara ayat yang menyebutkan
masalah zuhud adalah firman Allah Ta’ala tentang
orang mukmin di kalangan keluarga Fir’aun yang
mengatakan,
َﻝﺎَﻗَﻭ ﻱِﺬَّﻟﺍ َﻦَﻣَﺁ ﺎَﻳ ِﻡْﻮَﻗ ِﻥﻮُﻌِﺒَّﺗﺍ ْﻢُﻛِﺪْﻫَﺃ َﻞﻴِﺒَﺳ ِﺩﺎَﺷَّﺮﻟﺍ (38) ﺎَﻳ
ِﻡْﻮَﻗ ﺎَﻤَّﻧِﺇ ِﻩِﺬَﻫ ُﺓﺎَﻴَﺤْﻟﺍ ﺎَﻴْﻧُّﺪﻟﺍ ٌﻉﺎَﺘَﻣ َّﻥِﺇَﻭ َﺓَﺮِﺧَﺂْﻟﺍ َﻲِﻫ ُﺭﺍَﺩ ِﺭﺍَﺮَﻘْﻟﺍ
39)
“Orang yang beriman itu berkata: “Hai kaumku,
ikutilah aku, aku akan menunjukkan kepadamu jalan
yang benar. Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan
dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan
sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (QS.
Ghafir: 38-39)
Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman,
ْﻞَﺑ َﻥﻭُﺮِﺛْﺆُﺗ َﺓﺎَﻴَﺤْﻟﺍ ﺎَﻴْﻧُّﺪﻟﺍ (16) ُﺓَﺮِﺧَﺂْﻟﺍَﻭ ٌﺮْﻴَﺧ ﻰَﻘْﺑَﺃَﻭ 17)
“Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan
duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik
dan lebih kekal.” (QS. Al A’laa: 16-17)
Mustaurid berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ِﻪَّﻠﻟﺍَﻭ ﺎَﻣ ﺎَﻴْﻧُّﺪﻟﺍ ﻰِﻓ ِﺓَﺮِﺧﻵﺍ َّﻻِﺇ ُﻞْﺜِﻣ ﺎَﻣ ُﻞَﻌْﺠَﻳ ْﻢُﻛُﺪَﺣَﺃ ُﻪَﻌَﺒْﺻِﺇ
ِﻩِﺬَﻫ – َﺭﺎَﺷَﺃَﻭ ﻰَﻴْﺤَﻳ ِﺔَﺑﺎَّﺒَّﺴﻟﺎِﺑ – ﻰِﻓ ِّﻢَﻴْﻟﺍ ْﺮُﻈْﻨَﻴْﻠَﻓ َﻢِﺑ ُﻊِﺟْﺮَﻳ
“Demi Allah, tidaklah dunia dibanding akhirat
melainkan seperti jari salah seorang dari kalian yang
dicelup -Yahya berisyarat dengan jari telunjuk- di
lautan, maka perhatikanlah apa yang dibawa.” (HR.
Muslim no. 2858)
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan,
“Dunia seperti air yang tersisa di jari ketika jari
tersebut dicelup di lautan sedangkan akhirat adalah
air yang masih tersisa di lautan.”[2] Bayangkanlah,
perbandingan yang amat jauh antara kenikmatan
dunia dan akhirat!
Dari Sahl bin Sa’ad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ْﻮَﻟ ِﺖَﻧﺎَﻛ ﺎَﻴْﻧُّﺪﻟﺍ ُﻝِﺪْﻌَﺗ َﺪْﻨِﻋ ِﻪَّﻠﻟﺍ َﺡﺎَﻨَﺟ ٍﺔَﺿﻮُﻌَﺑ ﺎَﻣ ﻰَﻘَﺳ ﺍًﺮِﻓﺎَﻛ
ﺎَﻬْﻨِﻣ َﺔَﺑْﺮَﺷ ٍﺀﺎَﻣ
“Seandainya harga dunia itu di sisi Allah sebanding
dengan sayap nyamuk tentu Allah tidak mau
memberi orang orang kafir walaupun hanya seteguk
air.” (HR. Tirmidzi no. 2320. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Tiga Makna Zuhud Terhadap Dunia
Yang dimaksud dengan zuhud pada sesuatu –
sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rajab Al Hambali-
adalah berpaling darinya dengan sedikit dalam
memilikinya, menghinakan diri darinya serta
membebaskan diri darinya.[3] Adapun mengenai
zuhud terhadap dunia para ulama menyampaikan
beberapa pengertian, di antaranya disampaikan oleh
sahabat Abu Dzar.
Abu Dzar mengatakan,
ُﺓَﺩﺎَﻫَّﺰﻟﺍ ﻰِﻓ ﺎَﻴْﻧُّﺪﻟﺍ ْﺖَﺴْﻴَﻟ ِﻢﻳِﺮْﺤَﺘِﺑ ِﻝَﻼَﺤْﻟﺍ َﻻَﻭ ِﺔَﻋﺎَﺿِﺇ ِﻝﺎَﻤْﻟﺍ
َّﻦِﻜَﻟَﻭ َﺓَﺩﺎَﻫَّﺰﻟﺍ ﻰِﻓ ﺎَﻴْﻧُّﺪﻟﺍ ْﻥَﺃ َﻻ َﻥﻮُﻜَﺗ ﺎَﻤِﺑ ﻰِﻓ َﻚْﻳَﺪَﻳ َﻖَﺛْﻭَﺃ
ﺎَّﻤِﻣ ﻰِﻓ ِﻯَﺪَﻳ ِﻪَّﻠﻟﺍ ْﻥَﺃَﻭ َﻥﻮُﻜَﺗ ﻰِﻓ ِﺏﺍَﻮَﺛ ِﺔَﺒﻴِﺼُﻤْﻟﺍ ﺍَﺫِﺇ َﺖْﻧَﺃ
َﺖْﺒِﺻُﺃ ﺎَﻬِﺑ َﺐَﻏْﺭَﺃ ﺎَﻬﻴِﻓ ْﻮَﻟ ﺎَﻬَّﻧَﺃ ْﺖَﻴِﻘْﺑُﺃ َﻚَﻟ
“Zuhud terhadap dunia bukan berarti
mengharamkan yang halal dan bukan juga
menyia-nyiakan harta. Akan tetapi zuhud
terhadap dunia adalah engkau begitu yakin
terhadap apa yang ada di tangan Allah daripada
apa yang ada di tanganmu. Zuhud juga berarti
ketika engkau tertimpa musibah, engkau lebih
mengharap pahala dari musibah tersebut
daripada kembalinya dunia itu lagi padamu.”[4]
Yunus bin Maysaroh menambahkan pengertian
zuhud yang disampaikan oleh Abu Dzar. Beliau
menambahkan bahwa yang termasuk zuhud adalah,
“Samanya pujian dan celaan ketika berada di atas
kebenaran.”[5]
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan,
“Zuhud terhadap dunia dalam riwayat di atas
ditafsirkan dengan tiga hal, yang kesemuanya adalah
amalan batin (amalan hati), bukan amalan lahiriyah
(jawarih/anggota badan). Abu Sulaiman menyatakan,
“Janganlah engkau mempersaksikan seorang pun
dengan zuhud, karena zuhud sebenarnya adalah
amalan hati.“[6]
Cobalah kita perhatikan penjelasan dari Ibnu Rajab Al
Hambali rahimahullah terhadap tiga unsur dari
pengertian zuhud yang telah disebutkan di atas.
Pertama: Zuhud adalah yakin bahwa apa yang ada di
sisi Allah itu lebih diharap-harap dari apa yang ada di
sisinya. Ini tentu saja dibangun di atas rasa yakin
yang kokoh pada Allah. Oleh karena itu, Al Hasan Al
Bashri menyatakan, “Yang menunjukkan lemahnya
keyakinanmu, apa yang ada di sisimu (berupa harta
dan lainnya –pen) lebih engkau harap dari apa yang
ada di sisi Allah.”
Abu Hazim –seorang yang dikenal begitu zuhud-
ditanya, “Apa saja hartamu?” Ia pun berkata, “Aku
memiliki dua harta berharga yang membuatku tidak
khawatir miskin: [1] rasa yakin pada Allah dan [2]
tidak mengharap-harap apa yang ada di sisi
manusia.”
Lanjut lagi, ada yang bertanya pada Abu Hazim,
“Tidakkah engkau takut miskin?” Ia memberikan
jawaban yang begitu mempesona, “Bagaimana aku
takut miskin sedangkan Allah sebagai penolongku
adalah pemilik segala apa yang ada di langit dan di
bumi, bahkan apa yang ada di bawah gundukan
tanah?!”
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Hakikat zuhud
adalah ridho pada Allah ‘azza wa jalla.” Ia pun
berkata, “Sifat qona’ah, itulah zuhud. Itulah jiwa
yang “ghoni”, yaitu selalu merasa cukup.”
Intinya, pengertian zuhud yang pertama adalah
begitu yakin kepada Allah.
Kedua: Di antara bentuk zuhud adalah jika seorang
hamba ditimpa musibah dalam hal dunia berupa
hilangnya harta, anak atau selainnya, maka ia lebih
mengharap pahala dari musibah tersebut daripada
dunia tadi tetap ada. Ini tentu saja dibangun di atas
rasa yakin yang sempurna.
Siapakah yang rela hartanya hilang, lalu ia lebih
harap pahala?! Yang diharap ketika harta itu hilang
adalah bagaimana bisa harta tersebut itu kembali,
itulah yang dialami sebagian manusia. Namun Abu
Dzar mengistilahkan zuhud dengan rasa yakin yang
kokoh. Orang yang zuhud lebih berharap pahala dari
musibah dunianya daripada mengharap dunia tadi
tetap ada. Sungguh ini tentu saja dibangun atas
dasar iman yang mantap.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini telah
mengajarkan do’a yang sangat bagus kandungannya,
yaitu berisi permintaan rasa yakin agar begitu ringan
menghadapi musibah. Do’a tersebut adalah,
َّﻢُﻬَّﻠﻟﺍ ْﻢِﺴْﻗﺍ ﺎَﻨَﻟ ْﻦِﻣ َﻚِﺘَﻴْﺸَﺧ ﺎَﻣ ُﻝﻮُﺤَﻳ ﺎَﻨَﻨْﻴَﺑ َﻦْﻴَﺑَﻭ َﻚﻴِﺻﺎَﻌَﻣ
ْﻦِﻣَﻭ َﻚِﺘَﻋﺎَﻃ ﺎَﻣ ﺎَﻨُﻐِّﻠَﺒُﺗ ِﻪِﺑ َﻚَﺘَّﻨَﺟ َﻦِﻣَﻭ ِﻦﻴِﻘَﻴْﻟﺍ ﺎَﻣ ُﻥِّﻮَﻬُﺗ ِﻪِﺑ
ﺎَﻨْﻴَﻠَﻋ ِﺕﺎَﺒﻴِﺼُﻣ ﺎَﻴْﻧُّﺪﻟﺍ
“Allaahummaqsim lanaa min khosy-yatika maa
yahuulu bihii bainanaa wa baina ma’aashiika, wa min
thoo’atika maa tuballighunaa bihi jannatak, wa minal
yaqiini maa tuhawwinu bihi ‘alainaa mushiibaatid
dunyaa” (Ya Allah, curahkanlah kepada kepada kami
rasa takut kepadaMu yang menghalangi kami dari
bermaksiat kepadaMu, dan ketaatan kepadaMu yang
mengantarkan kami kepada SurgaMu, dan
curahkanlah rasa yakin yang dapat meringankan
berbagai musibah di dunia) (HR. Tirmidzi no. 3502.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
hasan). Inilah di antara tanda zuhud, ia tidak begitu
berharap dunia tetap ada ketika ia tertimpa musibah.
Namun yang ia harap adalah pahala di sisi Allah.
‘Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan, “Siapa yang
zuhud terhadap dunia, maka ia akan semakin ringan
menghadapi musibah.” Tentu saja yang dimaksud
zuhud di sini adalah tidak mengharap dunia itu tetap
ada ketika musibah dunia itu datang. Sekali lagi, sikap
semacam ini tentu saja dimiliki oleh orang yang
begitu yakin akan janji Allah di balik musibah.
Ketiga: Zuhud adalah keadaan seseorang ketika
dipuji atau pun dicela dalam kebenaran itu sama
saja. Inilah tanda seseorang begitu zuhud pada
dunia, menganggap dunia hanya suatu yang
rendahan saja, ia pun sedikit berharap dengan
keistimewaan dunia. Sedangkan seseorang yang
menganggap dunia begitu luar biasa, ia begitu
mencari pujian dan benci pada celaan. Orang yang
kondisinya sama ketika dipuji dan dicela dalam
kebenaran, ini menunjukkan bahwa hatinya tidak
mengistimewakan satu pun makhluk. Yang ia cinta
adalah kebenaran dan yang ia cari adalah ridho Ar
Rahman.
Orang yang zuhud selalu mengharap ridho Ar
Rahman bukan mengharap-harap pujian manusia.
Sebagaimana kata Ibnu Mas’ud, “Rasa yakin adalah
seseorang tidak mencari ridho manusia, lalu
mendatangkan murka Allah. Allah sungguh memuji
orang yang berjuang di jalan Allah. Mereka sama
sekali tidaklah takut pada celaan manusia.”
Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang zuhud
adalah yang melihat orang lain, lantas ia katakan,
“Orang tersebut lebih baik dariku”. Ini menunjukkan
bahwa hakekat zuhud adalah ia tidak menganggap
dirinya lebih dari yang lain. Hal ini termasuk dalam
pengertian zuhud yang ketiga.
Pengertian zuhud yang biasa dipaparkan oleh ulama
salaf kembali kepada tiga pengertian di atas. Di
antaranya, Wahib bin Al Warod mengatakan, “Zuhud
terhadap dunia adalah seseorang tidak berputus asa
terhadap sesuatu yang luput darinya dan tidak begitu
berbangga dengan nikmat yang ia peroleh.”
Pengertian ini kembali pada pengertian zuhud yang
kedua. [7]
Pengertian Zuhud yang Amat Baik
Jika kita lihat pengertian zuhud yang lebih bagus dan
mencakup setiap pengertian zuhud yang disampaikan
oleh para ulama, maka pengertian yang sangat bagus
adalah yang disampaikan oleh Abu Sulaiman Ad
Daroni. Beliau mengatakan, “Para ulama berselisih
paham tentang makna zuhud di Irak. Di antara
mereka ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah
enggan bergaul dengan manusia. Ada pula yang
mengatakan, “Zuhud adalah meninggalkan berbagai
macam syahwat.” Ada pula yang memberikan
pengertian, “Zuhud adalah meninggalkan rasa
kenyang” Namun definisi-definisi ini saling
mendekati. Aku sendiri berpendapat,
َّﻥَﺃ َﺪْﻫُﺰﻟﺍ ﻲِﻓ ِﻙْﺮَﺗ ﺎَﻣ َﻚُﻠِﻐْﺸُﻳ ِﻦَﻋ ِﻪﻠﻟﺍ
“Zuhud adalah meninggalkan berbagai hal yang
dapat melalaikan dari mengingat Allah.”[8]
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Definisi zuhud
dari Abu Sulaiman ini amatlah bagus. Definisi telah
mencakup seluruh definisi, pembagian dan macam-
macam zuhud.”[9]
Jika bisnis yang dijalani malah lebih menyibukkan
pada dunia sehingga lalai dari kewajiban shalat, maka
sikap zuhud adalah meninggalkannya. Begitu pula
jika permainan yang menghibur diri begitu
berlebihan dan malah melalaikan dari Allah, maka
sikap zuhud adalah meninggalkannya. Demikian
pengertian zuhud yang amat luas cakupan
maknanya.
Dunia Tidak Tercela Secara Mutlak
Ada sebuah perkataan dari ‘Ali bin Abi Tholib namun
dengan sanad yang dikritisi. ‘Ali pernah mendengar
seseorang mencela-cela dunia, lantas beliau
mengatakan, “Dunia adalah negeri yang baik bagi
orang-orang yang memanfaatkannya dengan baik.
Dunia pun negeri keselamatan bagi orang yang
memahaminya. Dunia juga adalah negeri ghoni (yang
berkecukupan) bagi orang yang menjadikan dunia
sebagai bekal akhirat. …”[10]
Oleh karena itu, Ibnu Rajab mengatakan, “Dunia itu
tidak tercela secara mutlak, inilah yang dimaksudkan
oleh Amirul Mukminin –‘Ali bin Abi Tholib-. Dunia
bisa jadi terpuji bagi siapa saja yang menjadikan
dunia sebagai bekal untuk beramal sholih.”
Ingatlah baik-baik maksud dunia itu tercela agar kita
tidak salah memahami! Dunia itu jadi tercela jika
dunia tersebut tidak ditujukan untuk mencari ridho
Allah dan beramal sholih.
Zuhud Bukan Berarti Hidup Tanpa Harta
Sebagaimana sudah ditegaskan bahwa dunia itu tidak
tercela secara mutlak. Namun sebagian orang masih
salah paham dengan pengertian zuhud. Jika kita
perhatikan pengertian zuhud yang disampaikan di
atas, tidaklah kita temukan bahwa zuhud
dimaksudkan dengan hidup miskin, enggan mencari
nafkah dan hidup penuh menderita. Zuhud adalah
perbuatan hati. Oleh karenanya, tidak hanya sekedar
memperhatikan keadaan lahiriyah, lalu seseorang
bisa dinilai sebagai orang yang zuhud. Jika ada ciri-
ciri zuhud sebagaimana yang telah diutarakan di atas,
itulah zuhud yang sebenarnya. Berikut satu kisah
yang bisa jadi pelajaran bagi kita dalam memahami
arti zuhud.
Abul ‘Abbas As Siroj, ia berkata bahwa ia mendengar
Ibrahim bin Basyar, ia berkata bahwa ‘Ali bin Fudhail
berkata, ia berkata bahwa ayahnya (Fudhail bin
‘Iyadh) berkata pada Ibnul Mubarok,
ﺖﻧﺃ ﺎﻧﺮﻣﺄﺗ ﺪﻫﺰﻟﺎﺑ ،ﻞﻠﻘﺘﻟﺍﻭ ،ﺔﻐﻠﺒﻟﺍﻭ ﻙﺍﺮﻧﻭ ﻲﺗﺄﺗ ،ﻊﺋﺎﻀﺒﻟﺎﺑ
ﺍﺫ ﻒﻴﻛ ؟
“Engkau memerintahkan kami untuk zuhud,
sederhana dalam harta, hidup yang sepadan (tidak
kurang tidak lebih). Namun kami melihat engkau
memiliki banyak harta. Mengapa bisa begitu?”
Ibnul Mubarok mengatakan,
ﺎﻳ ﺎﺑﺃ ،ﻲﻠﻋ ﺎﻤﻧﺇ ﻞﻌﻓﺃ ﺍﺫ ﻥﻮﺻﻻ ،ﻲﻬﺟﻭ ﻡﺮﻛﺃﻭ ،ﻲﺿﺮﻋ
ﻦﻴﻌﺘﺳﺃﻭ ﻪﺑ ﻰﻠﻋ ﺔﻋﺎﻃ ﻲﺑﺭ .
“Wahai Abu ‘Ali (yaitu Fudhail bin ‘Iyadh).
Sesungguhnya hidupku seperti ini hanya untuk
menjaga wajahku dari ‘aib (meminta-minta). Juga aku
bekerja untuk memuliakan kehormatanku. Aku pun
bekerja agar bisa membantuku untuk taat pada
Rabbku”.[11]
Semoga pembahasan kami kali ini dapat
memahamkan arti zuhud yang sebenarnya. Raihlah
kecintaan Allah lewat sifat zuhud. Semoga Allah
menganugerahkan pada kita sekalian sifat yang mulia
ini.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
---
[1] Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al
Hambali, hal. 346, Darul Muayyid, cetakan pertama,
tahun 1424 H.
[2] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 11/232, Darul
Ma’rifah, Beirut, 1379.
[3] Idem.
[4] HR. Tirmidzi no. 2340 dan Ibnu Majah no. 4100.
Abu Isa berkata: Hadits ini gharib, kami tidak
mengetahuinya kecuali dari jalur sanad ini, adapun
Abu Idris Al Khaulani namanya adalah A’idzullah bin
‘Abdullah, sedangkan ‘Amru bin Waqid dia adalah
seorang yang munkar haditsnya. Ibnu Rajab Al
Hambali mengatakan, “Yang tepat riwayat ini mauquf
(hanya perkataan Abu Dzar) sebagaimana dikeluarkan
oleh Imam Ahmad dalam kitab Az Zuhd.” (Lihat
Jaami’ul Ulum wal Hikam, hal. 346)
[5] Dikeluarkan oleh Ibnu Abid Dunya dari riwayat
Muhammad bin Muhajir, dari Yunus bin Maysaroh.
(Lihat Jaami’ul Ulum wal Hikam, hal. 347)
[6] Jaami’ul Ulum, hal. 347.
[7] Kami sarikan point ini dengan sedikit perubahan
redaksi dari Jaami’ul Ulum, hal. 347-348.
[8] Disebutkan oleh Abu Nu’aim Al Ashbahani dalam
Hilyatul Awliya’, 9/258, Darul Kutub Al ‘Arobi, Beirut,
cetakan keempat, 1405 H.
[9] Jaami’ul Ulum, hal. 350.
[10] Jaami’ul Ulum, hal. 350
[11] Siyar A’lam An Nubala, Adz Dzahabi, 8/387,
Mawqi’ Ya’sub (penomoran halaman sesuai cetakan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar