Sabtu, 17 Maret 2012

Cinta seorang suami. . .

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan
dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami.
Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar
menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena
paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku
sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah
menunjukkan sikap benciku. Meskipun
membencinya, setiap hari aku melayaninya
sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan
semuanya karena aku tak punya pegangan lain.
Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya
tapi aku tak punya kemampuan finansial dan
dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat
menyayangi suamiku karena menurut mereka,
suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri
satu-satunya mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat
manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku
juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah
benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri.
Aku selalu bergantung padanya karena aku
menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa
yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan
hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku
bahagia dengan menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun
yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah,
aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka
handuknya yang basah yang diletakkan di tempat
tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa
mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas
lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku
meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Aku marah kalau ia menggantung bajunya di
kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai
pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku
marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali
ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-
temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak.
Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus
anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB
dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan
keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku
lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia
membiarkannya. Akupun hamil dan baru
menyadarinya setelah lebih dari empat bulan,
dokterpun menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan
semakin bertambah ketika aku mengandung
sepasang anak kembar dan harus mengalami
kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan
tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan
patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku
mengancam akan meninggalkannya bersama kedua
anak kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang
tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi
sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan
anak-anak sudah menungguku di meja makan.
Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi
dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia
mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang
tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan
tanpa mempedulikan kata-katanya yang
mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu
aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu.
Yaah, karena merasa terjebak dengan perkimpoianku,
aku juga membenci kedua orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium
pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia
juga memelukku sehingga anak-anak menggoda
ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan
melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut
tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium
hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan
berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke
salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku.
Aku tiba di salon langgananku beberapa jam
kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku
sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol
dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan
kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan
salon, namun betapa terkejutnya aku ketika
menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah.
Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku
tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha
mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku
tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan
bertanya.
“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan
dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari
dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu,
kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.”
Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar.
Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara.
Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi
dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya
dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil
dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang
ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku
menutup telepon kembali. Aku menyebut nama
salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku
kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan
kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang
membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang
sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi
dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau
aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku
juga ikut mendengarku ketinggalan dompet
membuatku gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap
mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi
jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai
menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban
meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal
biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah
diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan
marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba.
Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar
suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam
beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu
memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu
istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu
segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia
memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan
dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit
kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya
menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku
berjongkok dengan bingung. Tanganku
menggenggam erat handphone yang kupegang dan
beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap
bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat
seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah
sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh
keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya
diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan
ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan
apa karena selama ini dialah yang melakukan
segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah
menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang
adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan
menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia
pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan
stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai
mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk
menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya
yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun
keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan
ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul
memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka
sama sekali tak mampu membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di
hadapannya, aku termangu menatap wajah itu.
Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap
wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati
wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat
itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah
ia berikan padaku selama sepuluh tahun
kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya
yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama
kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi
senyum hangat. Airmata merebak dimataku,
mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha
mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan
terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua
bagian wajahnya agar kenangan manis tentang
suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya
berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua
pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur
prosesi pemakaman tidak mampu membuatku
berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi
dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat
padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan
kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur
makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang
kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang
harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan
setelah melahirkan. Ia tak pernah absen
mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang
menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak
pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak
pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia
sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga
tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant
dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena
aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant
karena aku hampir tak pernah memasak untuknya.
Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku
sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum
ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya
kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari
karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak
pernah mau menanggapi permintaannya untuk
pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau
jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi.
Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang
bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak
tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur
besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi
rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku
dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu
mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya
bukanlah kebebasan seperti yang selama ini
kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam
keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal
kepergiannya, aku duduk termangu memandangi
piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku
membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah
saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang
mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk
saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa
dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok
menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang
datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali
aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah,
membuat teman kerjanya kebingungan menjawab
teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar
tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan
sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara
dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering
terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu
aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur
kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa
kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia
melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di
laptopku tanpa me-log out, sekarang aku
memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya
berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana.
Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa
alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di
sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus.
Remote televisi yang biasa disembunyikannya,
sekarang dengan mudah kutemukan meski aku
berharap bisa mengganti kehilangannya dengan
kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan
karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku
dan aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah
karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah
tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di
sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu.
Aku marah karena tak bisa menghentikan semua
penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang
membujukku agar tenang, tak ada lagi yang
mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan
dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta
maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-
nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta
ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik
pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang
mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit.
Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu
banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-
anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain,
hampir tak pernah menunjukkan batang hidung
mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga
mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan.
Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi.
Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku
tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan
suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku
tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah
rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai
untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu
hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya
bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta
kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam
tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke
rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah
sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah
tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain
untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena
aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku
tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku
takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan
kompensasi bonusnya takkan cukup untuk
menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku
hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali.
Semuanya selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian.
Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia
membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris
memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami
bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku
dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat
tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata
apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu,
sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung
jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku
tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi.
Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena
mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang
pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang
selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan
kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah
menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan
kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku
pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku
berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk
membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang
terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan
banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang
percuma selama ini. Aku memberi kebebasan
padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak
sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku
menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu
jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena
ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik
seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah
Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan
selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan
disana melihatnya. Oke, Buddy!
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun
dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas
suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku
memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito
dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku
membuat beberapa usaha dari hasil deposito
tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil
meskipun dimanajerin oleh orang-orang
kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu
mengetahui betapa besar cintanya pada kami,
sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap
membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi.
Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus
sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku.
Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku.
Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu
meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun
meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat
suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga
tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang
pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya,
“Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi
istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci,
gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang,
cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah
apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan
segalanya. Karena cinta, kau akan belajar
menyenangkan hatinya, akan belajar menerima
kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun
persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama
cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah?
Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah
sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah
suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti
ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah
karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan
kalian berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat
menunjukkan cintaku pada suamiku.
Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk
membencinya, tetapi menghabiskan hampir
sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku
bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah
bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar