Rabu, 02 Mei 2012

bemper korupsi? so what gituloh!

Usiaku masih 23 tahun. Sudah 3 tahun berjalan aku menjadi
sekretaris dan asisten personal seorang anggota “Dewan
Terhormat”. Dengan lingkungan yang ada dan
membesarkan aku, aku hanya belajar melihat, mendengar
dan menikmati. Menikmati proses, menikmati peranan,
menikmati tanggung jawab, dan menikmati harga sebuah
“LOYALITAS”. Kadang aku masih belum bisa mengkotak-
kotakkan apa yang namanya Loyalitas, Job Description dan
NURANI. Hingga...
Kejadian itu terjadi tepat sebelum Hari Raya Idhul Fitri tahun
lalu. Staf seorang Dirjen di Kementrian Sosial di lantai 6 itu
meneleponku, menanyakan laporan pertanggungjawaban
dana sosial kongres sebuah lembaga yang sudah ada jauh
sebelum Indonesia ini merdeka. Ini adalah jawaban atas
kebingunganku saat sehari yang lalu rombongan orang
datang ke rumahku untuk mencariku. Mereka berbekal surat
pernyataan tertulis dan foto kopi KTP-ku. Masih ingat
rasanya wajah khawatir mama menatapku dan bertanya,
“Apa yang terjadi?”
Aku meminta penjelasan duduk perkara kepada atasanku
saat tidak henti-hentinya mereka (yang mengatasnamakan
lembaga) terus menelepon ku. Mulai dari tim kuasa hukum,
wakil ketua, bendahara, bahkan sekretaris lembaga. Mereka
menuntut pertanggungjawabanku atas dana yang diberikan
Dirjen Kementrian Sosial yang tidak sampai di mereka.
Padahal dana tersebut dipergunakan untuk mensponsori
acara kongres, tepat 2 tahun lalu.
Aku tertegun, karena saat menorehkan tanda tanganku di
Surat Pernyataan, tertera aku sebagai wakil lembaga untuk
menerima dana sponsorship dan bersedia membuat laporan
ke Kementrian dan BPK.
Mencoba menghubungi atasanku percuma, dia terburu-buru
terbang ke Solo untuk beberapa hari ke depan, dan aku
tidak tahu kapan dia kembali. Percakapan singkat dengannya
hanya memberiku “Win Solution” hanya untuknya, dengan
mengatakan, “Acuhkan saja, nanti saya akan ancam mereka
balik dan menculik anak-anak mereka”. Dan aku di Jakarta
sendiri, harus terus menghadapi puluhan SMS yang
mengancam dan alihan telepon dari atasanku ke nomor ku.
“Apa yang harus aku lakukan??” pikirku yang kalut.
Aku bersumpah, aku hanya menerima Rp 1.000.000 dari
jumlah cek yang aku cairkan di Bank BNI/BRI. Rp
162.000.000 aku tarik tunai Rp 52.000.000. Rp
50.000.000 aku beri tunai kepada kolega Bapak yang
merupakan salah satu panitia kongres, Rp 2.000.000 aku
masukkan ke dompetku. Dan sisanya aku transfer ke
Rekening Mandiri atasanku dan mengantarkan bukti
transferannya usai kegiatan itu dan bertemu sambil makan
siang.
Sikap tidak “gentle man” atasanku membuatku merasa
benar-benar sendiri. Apa yang harus aku lakukan saat
mereka mengancamku ke Polda Metro Jaya? Aku tidak
peduli dengan diriku, tapi aku takut terhadap hal-hal yang
akan membuat mama dan keluarga besarku shock.
Akhirnya sore itu, aku menemui seorang rekan LSM dan
menceritakannya semua dan aku memutuskan untuk
menemui Tim Kuasa Hukum Lembaga di Restoran Nona
Bola Menteng. Dengan ditemani rekanku yang masih sibuk
mencari parkiran mobil, aku melenggang memasuki
restoran.
Mereka yang berjumlah 9 orang menatapku dari ujung kaki
sampai ujung rambut. Kami (2 orang dari lembaga dan aku)
memilih tempat duduk terpisah dari mereka yang telah
menungguku. Jabatan tangan dan saling memperkenalkan
diri tidak kami lakukan. Dia yang aku kenal sebagai
Sekretaris Lembaga yang terus mengirimkan SMS ancaman
membuka percakapan saat itu, “Jadi bagaimana ini mbak?
Kita bagi sajalah” ujarnya. Dan aku katakan “Maaf...? Apa
maksudnya?” Mereka hanya tertawa.
Aku hanya “user” yang disuruh atasanku untuk
mengantarkan proposal, memulai komunikasi, dan
menerima dana sponsor dari Kementran untuk kegiatan
Kongres Lembaga. Dan aku hanya menerima Rp. 1.000.000
yang diperuntukkan untuk transportasiku dari kantorku yang
berlantai 23 itu menuju ke Kementrian Sosial. Dan aku siap
mengembalikan uang yang aku terima dan membuat
kronologis tertulis. Bahkan aku siap jika masalah ini mau
diselesaikan ke Polda Metro Jaya dan dinyatakan sebagai
tersangka penggelapan dana yang mengatasnamakan
Lembaga.
Wajah mereka berubah saat aku berjanji akan
memediasikan mereka dengan atasanku. Niat ku tidak
disambut baik mereka. Mereka melemparkan Surat dari
Kementrian Sosial yang dikirimkan ke kantor Sekretariat
Lembaga perihal “Laporan Pertanggungjawaban
Pelaksanaan Kegiatan Kongres” dan mereka pun berlalu
pergi.
Aku tersenyum simpul, tapi ini tidak sampai di sini. Aku pun
harus membuat laporan Fiktif tentang pelaksanaan Kongres,
menandatangani kwitansi dengan tertempel materai 6000
dengan stempel-stempel nama masjid, majlis taklim, dan
pondok pesantren yang tidak aku ketahui keberadaannya.
Laporan itu pun aku serahkan ke Staf Dirjen yang wajahnya
sudah terlihat benci sekali kepadaku karena dia telah terima
omelan atasannya. Apa yang aku lakukan adalah bentuk
penyelamatan untuk diriku sendiri, walaupun aku tahu
tindakan ini tidak benar. Lain halnya jika ini dilakukan dan
dana yang diberikan Kementrian Sosial itu dibagai dua
atasanku dengan aku. Aku akan senang hati menyelesaikan
dengan baik dan menjadi “user” penuh hingga bola yang
ditendang ke gawang dan menghasilkan gol itu tidak akan
tampak oleh siapa pun. Siapa yang menikmati, siapa pula
yang mengakhiri..
Tapi aku yakin... aku mungkin diberi kesempatan untuk
menikmati ceceran receh mereka dan menjadi “bemper”
otomatis tiap mereka tidak rapih memainkannya. Lebih baik
aku terkena kasus dan tenar dengan puluhan milyar saldo
hasil dana korupsi di rekeningku, dibandingkan dengan hal
yang aku alami ini. Aku masih tersenyum saat mengingatnya
kembali, dan ini hanya satu kejadian dari banyak hal yang
aku alami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar