Selasa, 15 Mei 2012

Mempertanggungjawabkan Gelar aktivis dakwah


Menjadi Aktivis Dakwah berarti
menjadi pribadi yang siap – menanggung resiko –
menghabiskan waktunya demi kesibukan dakwah.
Dakwah adalah prioritas utamanya dan mendominasi
setiap aktivitasnya, sebagai cerminan dari komitmen
dan loyalitasnya. Ia senantiasa memiliki waktu untuk
dakwah, karena dakwah adalah kehidupannya.
Dakwah bukanlah pekerjaan sambilannya, bukan
aktivitasnya di waktu luang, dan bukan pula aktivitas
di sela-sela kesibukannya. Tapi justru dakwah itulah
kesibukannya! Ia sadar bahwa tidak layak apabila
‘sisa-sisa’ waktunya ia berikan untuk dakwah. Ia sadar
bahwa tidak sepatutnya ‘sisa-sisa’ tenaganya diberikan
untuk dakwah.
Demikianlah seharusnya pendakwah yang setiap
waktunya diisi dengan aktivitas dakwah… Namun
kenyataannya, seringkali aktivitas dakwah hanya
dilihat dari sudut pandang yang sempit. Dakwah
hanya ditafsirkan sebagai aktivitas ceramah agama
(mentoring/halaqah) yang -barangkali- tidak lebih
dari 2 jam setiap minggunya! Sungguh amat sedikit
waktu yang dialokasikan. Jika sudah demikian maka
gelar sebagai aktivis (dakwah) akan sama sekali tidak
layak untuk disematkan, karena “aktivis” adalah
sebutan bagi orang-orang yang disibukkan oleh suatu
aktivitas yang biasa menyertai gelar aktivis tersebut;
seperti halnya “aktivis dakwah”.
Penyebab lahirnya “fenomena ganjil” tersebut
setidaknya disebabkan oleh dua hal; Pertama,
kurangnya semangat dalam berdakwah. Kedua,
kurangnya pemahaman terhadap aktivitas dakwah
yang sebenarnya memiliki medan yang luas.
Semangat dan pemahaman adalah dua komponen
dakwah yang tentu saja harus dipenuhi ‘hak’nya.
Jangan sampai muncul kesalahpahaman terhadap
agama karena kurangnya pemahaman, dan jangan
sampai lemah dalam memperjuangkan agama karena
kurangnya semangat.
Namun -sejauh yang dipahami- tidak ada masalah -
yang berarti- dalam semangat dakwah para aktivis.
Masalahnya ada pada pemahaman, bahwa ‘aktivitas
dakwah hanya dianggap sebagai aktivitas ceramah’.
Mereka (para aktivis dakwah) tidak menyadari bahkan
dakwah yang paling bijak itu bukanlah melalui lisan,
tapi melalui perbuatan! Ketahuilah, segala pekerjaan
yang berkaitan dengan amalan (ibadah) adalah
dakwah! Segala aktivitas yang dapat menyokong
pergerakan dakwah adalah dakwah! Memelihara
shalat, rajin berpuasa, beribadah di akhir malam,
bersedekah, membaca buku-buku islami,
mentadabburi firman-Nya, menghafal al-Qur’an,
menjaga pendengaran, menjaga penglihatan dan
memelihara lisan, memperbagus akhlak, berhati-hati
terhadap hal yang mubah, menjauhi perkara yang
makruh -terlebih yang haram-, menjaga adab
interaksi – terlebih dengan lawan jenis -…
kesemuanya itu adalah dakwah! Bukankah menyeru
orang lain kepada yang ma’ruf dan mencegah dari
yang mungkar dapat dilakukan dengan menjadi
teladan dalam amalan?
Bahkan seorang aktivis dakwah yang berdakwah
dengan menerapkan kehidupan islami, mengisi
waktunya dengan hal-hal yang berfaedah untuk
kepentingan diri dan agamanya, akan dapat
mempengaruhi” umat hanya melalui interaksi
dengannya. Dengan -hanya- melihat kepribadiannya,
orang-orang akan teringat pada Allah, ingat pada
akhirat, dan tersadar akan keindahan dan kemuliaan
pribadi-pribadi yang ikhlas menghambakan diri pada-
Nya… Itulah dakwah!
***
Sudah seharusnya para aktivis dakwah menyadari
urgensi dakwah, betapa dakwah menjadi perkara yang
sangat dibutuhkan umat dan bahkan dirinya sendiri.
Maka, sudah saatnya untuk para aktivis dakwah
mengisi setiap waktunya dan memanfaatkan setiap
kesempatannya dengan aktivitas dakwah. Sudah
saatnya untuk para aktivis dakwah untuk
mempertimbangkan apa yang akan dikerjakannya,
apakah bermanfaat -untuk diri dan agama- atau
tidak? Sehingga waktunya benar-benar tercurah
untuk dakwah. Aktivitas dakwah haruslah menjadi
kesibukan dalam keseharian. Jika tidak… maka sekali
lagi sebutan sebagai aktivis dakwah tentu sama sekali
tidak layak…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar