Rabu, 16 Mei 2012

HARAKI Unemployment!?




Syeikh Muhammad Ghazali Rahimahullah berkata,
“Dalam suasana pengangguran terlahir ribuan
keburukan dan menetas berbagai bakteri kebinasaan,
jika kerja merupakan message kehidupan, maka para
penganggur adalah orang-orang yang mati, dan jika
dunia ini merupakan efek dari tanaman kehidupan
yang lebih besar, maka para penganggur adalah
sekumpulan manusia yang paling pantas dikumpulkan
dalam keadaan bangkrut, tidak ada panen bagi mereka
selain kehancuran dan kerugian.”
Ada beragam penyakit tarbawi yang sangat berbahaya,
jika ia tersebar dalam barisan dakwah, dan
mendapatkan tempat dalam jiwa personelnya, maka
pasti yang terjadi adalah keterpurukan, keguguran,
menarik diri dan meninggalkan kancah dakwah secara
diam-diam, kemudian kebangkrutan dalam arti yang
luas dan menyeluruh
Di antara penyakit tersebut dan utamanya adalah al-
bithalah ad-da’awiyah (pengangguran da’awi) atau al-
kasal al-haraki (kemalasan haraki) atau futur, al-faragh
(tidak ada pekerjaan), al-qu’ud ‘anil ‘amal (berpangku
tangan), at-taqa’us ‘an ada’ al-wajib (tidak menunaikan
kewajiban), at-tanashshul minal qiyam bil maham ad-
da’awiyah (tidak menjalankan tugas-tugas da’wah) yang
sangat beragam, istimra’ halat ar-rahah (terbiasa
menikmati suasana santai), at-taharrur min tahammul
at-tabi’ah wal mas-uliyyah (berlepas diri dari upaya
memikul beban dan tanggung jawab).
Semua tadi merupakan gejala satu penyakit yang jika
menimpa para aktivis di medan dakwah dan harakah,
niscaya menimpa pada posisi yang mematikan, kecuali
jika segera mendapatkan kebangkitan hati, atau
mengambil ibrah dari suatu mau’izhah, atau
mengambil manfaat dari suatu nasihat, dan tentunya,
sebelum, saat dan setelah itu ia mendapatkan rahmat,
kebersamaan dan taufiq Allah SWT.
Berdasarkan pengalaman dan mu’ayasyah (interaksi)
tampak bahwa ada sejumlah faktor yang memberi andil
bagi terjadinya penyakit ini, utamanya adalah:
* Menurunnya tingkat keikhlasan dan masuknya niat
yang tidak baik.
* Ada masalah pada unsur-unsur pemahaman
* Tidak mengetahui jati diri dakwah dan harakah
* Merespon berbagai godaan dunia dan mengejar
kemilauannya yang palsu
* Melupakan ghayah, atau inhiraf dan lalai darinya
* Putus asa, frustasi dan memprediksi keburukan
* Mengambang dan target yang tidak jelas
* Tidak interaktif dengan proses tarbawi
* Menghilangnya akhlaq yang menjadi tuntutan
marhalah, seperti: tsabat, sabar, tsiqah, tajarrud, tadh-
hiyah dan lainnya.
* Melemahnya rasa tanggung jawab
* Merasa panjang perjalanan dakwah yang mesti
ditempuh
* Menghilangnya semangat dan padamnya bara
keinginan untuk beramal
* Rancunya jenjang prioritas, kalaupun masih ada,
dakwah ditempatkan pada posisi prioritas paling akhir
* Berkaratnya sisi ruhani, tarbawi dan imani serta
rusaknya komitmen
* Buntunya selera beramal serta tidak merasakan
kelezatan mengerahkan jerih payah fi sabilillah
* Hilangnya citarasa berlelah dan bersungguh-sungguh
beramal di berbagai medan dakwah
* Kehilangan rasa ber-intima’ kepada dakwah dan
harakah dan semakin kurusnya unsur-unsur wala’
kepadanya.
* Tertutupnya bentuk izzah kepada manhaj dakwah dan
dinginnya ghirah terhadapnya
* Melemahnya immunitas fikriyah, imaniyah dan
tarbawiyah
Semua faktor, sebab ini mendorong seseorang untuk
qu’ud (berpangku tangan), menarik diri, menjauh dari
lapangan amal dan membikin-bikin alas an untuknya.
Karenanya, seseorang yang seperti ini akan menjadi
beban berat dakwah dan harakah. Akibat berikutnya,
dakwah semakin merintih karena memikul bebannya
dan menyeretnya, padahal seharusnya, orang itulah
yang semestinya memikul dakwah serta membawanya
kepada cakrawala masa depan yang luas
Jika penyakit pengangguran da’awi dan haraki
menyebar, akan muncullah ribuan perilaku-perilaku
rendah, baik dalam skala perseorangan maupun jama’i,
sebab, “barisan yang didalamnya tersebar
pengangguran, maka akan banyaknya kerusuhan” dan
“rumah yang kosong, akan banyak kebisingan.”
Maka hendaklah para pembawa panji dakwah dan
harakah tidak berhenti di tengah jalan. Jangan pula
semangatnya mendingin dan efektivitasnya padam
setiap kali berhembus angin keputusasaan. Jangan pula
harakahnya lumpuh, jalannya terhenti dan arahnya
berubah saat bertiup badai fitnah, sebab mereka
mengetahui bahwa, “Sifat mulia terkait dengan hal-hal
yang tidak disukai, dan kebahagiaan tidak dapat dicapai
kecuali melalui jembatan kesulitan, karenanya, tidak
mengantarkan untuk mencapainya kecuali
menggunakan kapal keseriusan dan kesungguhan.”
Tidak ada kegiatan bagi pasukan infantry adalah
ghaflah. Di antara penghancur tekad adalah mimpi
yang terlalu jauh dan senang bersantai-santai. Angan-
angan hendaklah diiringi amal, jika tidak, ia hanyalah
sekedar mimpi yang terpulang kepada pemiliknya.
Suatu hari Alhasan al-bashri melihat seorang pemuda
yang bermain-main dengan batu kecil sambil berdoa,
“Ya Allah, nikahkan aku dengan bidadari”, maka Al-
Hasan berkata, “Anda adalah pelamar yang paling
buruk, melamar bidadari dengan modal main-main
batu kecil!”
Begitu juga dengan kita, tidak mungkin kita melamar
cinta kasih tamkin, taghyir dan ishlah sementara kita
bermain-main dengan sesuatu yang lebih rendah dari
batu kecil, sementara itu kita adalah para penganggur,
bermalas-malasan, dan cukup menjadi penonton,
sebab, seorang pelamar mestilah membawa mahar, dan
“siapa yang meminang wanita cantik, maka ia tidak
mempedulikan mahalnya mahar.” Dan sebagaimana
dinyatakan oleh imam Al-Banna rahimahullah:
“Saya dapat membayangkan seorang mujahid adalah
seseorang yang menyiapkan segala yang diperlukannya,
membawa yang diperlukannya, niat jihad telah
memenuhi seluruh jiwa dan hatinya, selalu dipikirkan,
memberi perhatian besar, selalu dalam posisi siap, jika
diundang memenuhi, jika dipanggil menyambut,
paginya, petangnya, pembicaraannya, omongannya,
kesungguhannya dan main-mainnya tidak melampaui
medan yang ia telah persiapkan dirinya untuknya, dan
ia tidak mengambil selain fungsi yang sesuai dengan
kehidupan dan kehendaknya. Spirit berjihad fi sabilillah
dapat dibaca dari garis-garis wajahnya, tampak dalam
kilatan sinar matanya, dan terdengar dari celetukan
lisannya sesuatu yang menggambarkan betapa besar
gelora yang ada dalam hatinya, gelora yang selalu ada,
menjadi duka hatinya yang terpendam. Juga terbaca
dari jiwanya yang bertekad membaja, semangat tinggi
dan cita-cita yang jauh. Itulah sosok mujahid, secara
personal maupun bangsa. Engkau dapat melihatnya
secara jelas pada suatu bangsa yang menyiapkan
dirinya untuk berjihad tampak pada forum-forumnya
dan klub-klubnya, tampak di pasar dan di jalan, terasa
di sekolah, di rumah, terlihat pada generasi muda dan
tua, lelaki dan wanita, sehingga anda membayangkan
bahwa semua tempat merupakan medan, dan setiap
gerakan adalah jihad.
Saya dapat membayangkan hal ini karena jihad
merupakan buah dari pemahaman yang melahirkan
perasaan, menghilangkan ghaflah, perasaan
membangkitkan perhatian dan kebangkitan, dan
perhatian berdampak kepada jihad dan amal. Dan
masing-masing mempunyai dampak dan penampilan
Adapun mujahid yang tidur sekenyangnya, makan
sepuasnya, tertawa sekerasnya dan menghabiskan
waktu untuk bermain-main, maka bagaimana mungkin
termasuk yang beruntung atau terhitung dalam barisan
mujahidin?!”
Umat yang berpandangan bahwa perannya dalam
berjihad hanyalah kosa kata yang diucapkan, atau
makalah yang ditulis, lalu jika hati mereka diperiksa
ternyata kosong, saat diuji perhatiannya melompong,
tenggelam dalam ghaflah dan tidur yang molor, maka
tempat, forum dan klub mereka tidak ditemui selain
hal-hal tidak berguna, ketidakseriusan, main-main,
hiburan dan menghabiskan waktu tanpa guna. Seluruh
perhatian perseorangannya hanyalah kesenangan yang
fana, kelezatan semu, bersantai-santai dan bersenang-
senang, maka umat yang seperti ini lebih dekat kepada
main-main daripada serius dan bahkan tidak mengenal
keseriusan sama sekali.
Jadi, pengangguran adalah jalan kebangkrutan,
sementara kepeloporan, kepemimpinan dan ketokohan
tidak dapat diraih kecuali dengan keseriusan dan
kesungguhan dan tidak dapat dicapai kecuali dengan
segudang pengorbanan. Hal ini terbukti secara praktis
sepanjang sejarah dan seorang aktivis dakwah dan
harakah semestinya merupakan bagian dari mata rantai
emas para nabi, rasul, sahabat, tabiin, ulama dan dai
aktivis, karenanya, ia tidak akan mendapatkan
kehormatan sebagai anggota dan diberi kartu
keanggotaan kecuali jika ia telah membayar. Dan Ibnu
Qayyim lebih berterus terang daripada saya, sebab ia
memandang seseorang yang mengklaim menjadi
bagian dari mata rantai mulia ini tanpa memberi bukti
sebagai bentuk kebancian tekad. Beliau berkata:
“Wahai seseorang yang bertekad banci, di manakah
kamu berada? Sementara jalan yang akan kamu
tempuh adalah jalan di mana nabi Adam telah capek,
nabi Nuh telah kehabisan suara, nabi Ibrahim telah
dilemparkan ke dalam api, nabi Ismail telah
digeletakkan untuk disembelih, nabi Yusuf telah dijual
murah dan mendekam beberapa tahun dalam penjara,
nabi Zakariya telah digergaji, nabi Yahya telah
disembelih, nabi Ayyub telah menderita, nabi Daud
telah melebihi kadar dalam menangis, nabi Isa telah
berjalan sendirian dan nabi kita Muhammad SAW telah
bergelut dengan berbagai kemiskinan dan berbagai rasa
sakit, sedangkan engkau berbangga dengan hal-hal
tidak berguna dan main-main??!!”

(Terjemahan Artikel Jamal Zawari Ahmad, Sumber:
http://www.islameiat.com/main/?c=54&a=3954 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar