Rabu, 02 Mei 2012

Sindiran dari oleh dan untuk Penipu

Kini Pak Surpriatna punya hobi baru, ia suka menyapu
halaman depan Sanggar Motekar sambil menguping
obrolan anak-anak SMA Pasundan Jatinangor yang sering
nongkrong di gerbang masuk sanggar. Di dekat pintu
masuk sanggar memang ada warung kecil yang diurus
oleh Danny, putra bungsu Aki Ali, sang maestro Kuda
Renggong yang mengurusi istal Motekar. Dan warung itu
akhir-akhir ini menjadi tempat favorit anak-anak SMA
Pasundan sebelum mereka masuk kelas siang. SMA
swasta ini memang bertetangga dengan sanggar.
Biasanya mereka datang naik motor jauh sebelum bel
masuk kelas berbunyi.
Kisah yang hendak saya ceritakan ini adalah yang pertama
kali membuat Bapak sadar bahwa meski kehadiran
mereka berpotensi membuat sanggar terlihat “nakal”,
namun mereka memberi pesan lain. Pak Supriatna yang
merupakan penulis sastra, mencerna kehadiran mereka
sebagai inspirasi.
Suatu saat Bapak sedang bersih-bersih halaman Sanggar,
ia melihat seorang anak tengah menulis di secarik kertas.
Seorang lainnya memperhatikan sambil membantu
merangkaikan kata. Anak-anak yang lain cuek bebek
menikmati rokok diatas motor: pose ini layak dicatat
dalam sejarah sebagai pose penanda zaman kiwari.
Zeitgeist.
Bapak menghampiri mereka sambil sebisa mungkin tidak
menginterupsi mereka. Lalu Bapak bertanya dalam
bahasa Sunda,
“Keur naon, euy?” [1] , tanya Pak Supriatna.
“Ieu Pa, nuju ngadamel serat” [2] , jawab si anak yang
menulis surat.
“Surat naon, euy?” [3] , selidik Bapak.
“Ieu Pa, surat ijin kanggo abdi, Pa” [4] , jawab si Anak di
samping si penulis surat.
“Eh, surat ijin mah kuduna ge dijieun ku orang tua
meureun” [5] , ujar Bapak mencoba tidak menggunakan
nada teguran.
“Ah dijiga-jiga weh, Pa” [6] , tukas si penulis surat.
“Muhun, Pa, da sae seratana si ieu mah” [7] , tegas si anak
yang hendak bolos.
“Cing mana? Oh enya euy, alus geuning meni jiga” [8] ,
tanya Bapak sambil memperhatikan tulisan surat palsu
mereka.
Tiba-tiba salah seorang anak nongkrong di belakang
mereka nyeletuk memberi komentar.
“Tah kieu, Pa, diajar ti ayeuna meh ke mun jadi anggota
DPR lancar nipuna.” [9]
Pernyataan anak itu tidak dilontarkan dengan nada
kencang, santai saja. Sambil lalu. Anak itu tidak sadar
bahwa ucapannya mengagetkan Pak Supriatna. Ini saya
rasakan karena setelah itu dialog antara Bapak dan anak-
anak itu tidak lagi diceritakan pada saya. Berarti Bapak
tidak menganggap dialog lanjutannya sepenting
sebelumnya. Kemudian Bapak langsung mengajak saya
membahas makna celetukan si anak itu.
“Dari wajahnya Bapak yakin anak itu cerdas. Dia bisa
menghubungkan apa yang terjadi di pusat kekuasaan
negara ini dengan apa yang dia lihat di depan matanya.
Dan yang paling penting dia jujur, bicaranya ringan dan
cuek” analisa Bapak.
Buat saya dan Bapak, kejadian itu menampilkan contoh
penting bagi pemahaman kami mengenai bagaimana isu-
isu nasional hadir dalam keseharian anak muda.
Bagaimana “DPR” bisa dengan mudah diartikan sebagai
peluang bagi permainan curang?
Jika ini memang benar-benar cita-cita si anak, maka lihat
bagaimana bahayanya masa depan bangsa Indonesia.
Namun kami juga yakin anak itu sedang bercanda.
Candaan khas orang Sunda adalah sisindiran, jadi
ungkapan anak itu merupakan satir yang ingin ia
sampaikan. Canda anak itu mengandung keseriusan
tersendiri, mengingatkan kita pada citra-citra di media
massa tentang DPR yang harus diakui bukan lagi suatu
lembaga terhormat, tapi kumpulan penipu. Tapi jika ini
sebuah satir, toh mereka saat itu tengah melakukan
penipuan dengan entengnya di depan seorang kakek
pemilik sebuah sanggar seni. Paradoks.
Bapak tidak memarahi mereka apalagi mengusir mereka.
Keluarga sanggar tidak suka cara menegur yang represif,
jika mungkin malah kita ingin mereka masuk lebih dalam
ke sanggar dan ikut latihan silat atau karawitan. Tapi
pelan-pelan. Dan tampaknya Bapak malah seperti punya
laboratorium baru, jadi ia saat ini seperti tengah
melakukan penelitian etnografi. Banyak hal seru yang ia
ceritakan pada saya, yang seringkali datang ke sanggar
untuk menemaninya merunut dan menganalisa hasil
amatannya terhadap keseharian orang-orang di sanggar
dan sekitarnya.
“Kadang Bapak sengaja pura-pura menyapu dekat
mereka, sebetulnya Bapak ingin mendengar percakapan
mereka”, kisah Bapak.
[1] Lagi apa, nih?
[2] Ini Pak sedang menulis surat
[3] Surat apa, nih?
[4] Ini Pak, surat ijin buat saya, Pak
[5] Eh, surat ijin harusnya dibuat oleh orang tua, kali
[6] Ah, dimirip-miripkan saja, Pak
[7] Iya, Pak, soalnya anak ini tulisannya bagus
[8] Coba mana? Oh iya, bagus seperti betulan
[9] Nah begini, Pak, belajar dari sekarang biar nanti kalau
jadi anggota DPR lancar menipunya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar